TULISAN S.N. Ratmana yang berjudul Pendidikan Kita Bikin Sesak Napas? (Kompas, 2/10/1996), sangat menarik untuk dibicarakan dan didiskusikan. Penulis begitu merisaukan dunia pendidikan di Indonesia (kini) yang seakan sudah tidak diketahui arah dan tujuannya. Di lain pihak kita begitu mendambakan lahirnya anak didik yang berprestasi dan bernilai baik, tetapi di lain pihak kita sendiri mengabaikan norma-norma dasar pendidikan (pedagogik) yang semestinya, yakni pendidikan yang didasarkan atas penjiwaan dan naluri nurani anak didik sendiri.
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk sekadar menambah atau mempertajam kegelisahan apa yang telah dipaparkan oleh S.N. Ratmana. Dan menurut pandangan saya, dunia pendidikan kita sekarang bukan saja sudah "terjangkit" penyakit sesak napas, tetapi sudah (mungkin) lebih menjurus pada stadium penurunan mutu pendidikan.
Kita mungkin masih ingat, kerap sebuah pameo dilontarkan di tengah masyarakat, bahwa bila terjadi pergantian seorang menteri maka akan berganti pula kebijakannya, dan biasanya akan diikuti pula dengan perubahan kurikulum yang digunakan sesuai dengan selera bapak menteri yang baru tadi. Apakah pameo ini benar? Kita akan sulit mendapat jawabannya dengan pasti. Tetapi, kebijakan pendidikan yang sering berubah bila seorang menteri yang baru tampil, adalah sebuah fakta. Oleh karena itulah, karena pameo tidak boleh diyakini sebagai fakta maka masyarakat sering dibuat bingung.
Isu pendidikan yang kini sedang hangat dibicarakan di masyarakat adalah masalah merosot dan rendahnya mutu pendidikan kita. Gejalanya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah eksklusif yang dibangun pihak swasta yang menjanjikan sistem pendidikan prima, lengkap dengan fasilitas dan guru-guru asingnya, atau semakin "berbondong-bondongnya" orang kaya menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan harapan mereka mendapat pendidikan yang lebih baik. Lantas, jika demikian apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia pendidikan kita ?
Tradisi kebebasan berpikir
Masalah mutu pendidikan tampaknya telah menjadi keprihatinan berbagai pihak. Banyak pakar membicarakannya, mereka tidak hanya berasal dari kalangan yang ahli di bidang teknis pendidikan semata, tetapi juga para pengamat berbagai disiplin ilmu yang merasa prihatin atas kondisi ini. Dengan "urun rembuk-nya" mereka dalam persoalan ini semakin menambah pemahaman kita akan pentingnya masalah ini agar segera cepat dibenahi. Ini menunjukkan, bahwa ternyata masalah kemerosotan kualitas pendidikan semakin kompleks dan pelik. Ia tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat teknis kependidikan semata, seperti kurikulum, rasio guru-murid, sistem pengajaran, sarana dan fasilitas, tetapi juga tidak terlepas dari kondisi sosiokultural masyarakat.
Suatu fenomena yang erat kaitannya dengan menurunnya kualitas pendidikan adalah kurang suburnya tradisi kebebasan berpikir kreatif di dalam masyarakat. Apa yang dimaksud dengan kebebasan berpikir kreatif di sini adalah suatu budaya di mana output intelektualitas seseorang sangat dihargai, ia tidak hanya berupa simbol-simbol dan status akademik yang selama ini banyak dipuji-puji dan dikagumi. Tetapi yang lebih penting di sini adalah kemampuan riil yang dihasilkan atas kemampuan intelektual seseorang. Kemampuan riil inilah yang kita tidak bisa mengukurnya dengan hanya nilai angka.
Kondisi tidak kondusif seperti di atas diakui tumbuh subur pada masyarakat kita dan sulit dipisahkan dari perilaku kita sehari-hari. Misalnya orangtua begitu mendambakan anaknya menjadi sarjana, karena kalau anaknya tidak menyandang gelar sarjana, gengsi keluarga menjadi taruhannya. Atau bila sang anak telah lulus kuliah ia harus bekerja di kantor pemerintah menjadi pegawai negeri, atau bila ia bekerja di perusahaan swasta, harus lebih dulu tahu apakah perusahaan itu "bonafide" atau tidak.
Di sini jelas terlihat keberhasilan anak yang ditandai dengan memperoleh predikat sarjana atau status pegawai negeri seolah-olah dianggap sebagai suatu yang luar biasa. Tetapi bagaimana ketika "puncak harapan" itu sirna dan si anak harus mulai berkiprah di dalam masyarakat, atau ia dihadapkan dengan persaingan mencari pekerjaan yang ternyata sulit. Di sini tidak jarang ia mengalami suatu keadaan yang sebaliknya. Jika semula ia dikagumi karena status kesarjanaannya, kini ia dipojokkan karena simbol kesarjanaannya, bahkan yang lebih tragis lagi bila sang anak sudah didudukkan sebagai tonggak harapan keluarga.
Perilaku sosiokultural masyarakat Indonesia seperti ini bukanlah khayalan, tetapi nyata terdapat dalam masyarakat kita. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya: di dalam keluarga masih terdapat adanya kesenjangan pemikiran antara orangtua dan anak yang keduanya hidup dalam dunia yang berbeda, se-dang mereka tidak dapat saling memahami satu-sama lain, atau masyarakat kita yang lebih melihat orang bertitel dari pihak orang yang berkemampuan namun tidak bertitel, begitu juga dengan pasaran kerja yang lebih melihat gelar seseorang daripada kemampuan seseorang.
Pola interaktif
Faktor lain yang bisa menghambat tumbuhnya tradisi kebebasan berpikir bagi anak didik adalah adanya "mitos" bahwa orangtua harus selalu berada pada posisi yang dominan, dan tidak dibenarkan seorang anak memiliki pemikiran lain kecuali menuruti kehendak berpikir orangtuanya. Contoh lain, bisa dilihat dalam hubungan guru-murid atau dosen-mahasiswa. Selama ini ukuran pintar tidaknya seorang murid atau mahasiswa didasarkan atas nilai formalnya. Seorang murid dengan nilai yang tinggi akan dihargai secara simbolis berupa predikat sang juara atau teladan. Tetapi bagaimana dengan nasib siswa yang sebenarnya memiliki kemampuan berpikir kreatif yang tinggi dan bersikap kritis, namun tidak dapat memunculkannya dalam nilai-nilai angka. Karena tiadanya penilaian atau metode evaluasi objektif yang sesuai dengan pola pikir anak. Masa depan anak berkemampuan seperti inilah yang tidak jarang lebih buruk nasibnya dibanding mereka yang tidak pintar sekali pun. Karena mereka secara konseptual sudah terpinggirkan dari "gelanggang
" Pengajaran yang "diwasiti" oleh guru.
Di dunia pendidikan, jika sistem pengajaran tidak kondusif bagi pertumbuhan sikap kritis dan berpikir kreatif, maka bisa dimengerti bila murid kemudian cenderung bersikap pasif dan masa "bodoh". Mereka sekadar menuruti apa yang dikatakan oleh gurunya di sekolah, tetapi tidak di luar sekolah. Murid sekadar mengikuti dan menerima pelajaran, namun bukan mengerti dan mempelajari apa yang diberikan oleh gurunya karena tiadanya rangsangan dan dorongan untuk benar-benar memahami.
Persoalan di atas selanjutnya berakibat pada rendahnya kemampuan nyata yang mereka dapatkan sehari-hari. Dihadap-kan pada kondisi ini guru tidak jarang mencoba mengkatrol nilai anak didiknya sendiri, jika guru tidak ingin dikatakan gagal dalam melaksanakan tugasnya. Fenomena ini semakin lama menjadi kebiasaan, sesuatu yang boleh dikatakan sebagai salah satu sebab merosotnya mutu pendidikan. Dengan adanya budaya katrol, secara tidak sadar guru "memaksa" murid untuk tidak perlu belajar keras, tidak berusaha mencari tahu apa kekurangan dan kesulitannya, serta tidak tahu apa yang sebenarnya dia cari di sekolah.
Kasus yang pernah hangat seperti manipulasi NEM (Nilai Ebtanas Murni) oleh para guru atas anak didiknya semakin memperkuat asumsi di atas, atau prasyarat NEM yang diberlakukan oleh pemerintah untuk bisa masuk ke suatu sekolah. Atas kondisi-kondisi di atas, maka boleh dikatakan dunia pendidikan kita (tampaknya) saat ini tengah terjadi suatu dilema yang sangat membingungkan. Di satu pihak guru harus mempertahankan nama baik sekolahnya di mata masyarakat, sedang di lain pihak guru harus pula membantu anak didiknya "mempertinggi" nilai NEM agar ia dapat masuk ke sekolah tertentu. Maka, dengan menyadari bahwa selama ini kita tidak mencoba menerapkan tradisi kebebasan berpikir kreatif sebagai elemen sistem pendidikan, paling tidak kita telah menemukan satu akar permasalahan mengapa mutu pendidikan kita agak tertinggal.
Konsistensi sistem
Dengan menyadari tidak berkembangnya tradisi kebebasan berpikir dalam dunia pendidikan seperti sekarang, satu alternatif yang bisa dicoba adalah melakukan perubahan secara nyata berupa perombakan kebiasaan berpikir, baik di dalam lingkungan keluarga maupun sekolah. Penerapan sistem mendidik Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di sekolah-sekolah adalah sebuah gejala yang baik. Sejauh sistem CBSA tidak diterapkan coba-coba, upaya ini merupakan satu tahap awal keterbukaan dalam pendidikan, atau dapat disebut adanya sedikit perubahan dalam cara berpikir.
Dengan diterapkannya CBSA kedudukan guru-murid bisa diharapkan sedikit berubah, di sini murid tidak lagi dianggap sebagai "tempat kosong" yang harus diisi ilmu oleh guru, tetapi sudah diperlakukan sebagai anak manusia yang sedang mencari dan mencoba pola pikirnya. Sistem pengajaran yang selama ini masih dipakai, yakni pola indoktrinasi tampaknya sudah harus diganti, anak didik sekarang harus didorong untuk mencari permasalahan dan mencoba memecahkan persoalan menurut caranya sendiri. Di sini, sekali lagi fungsi guru hanyalah sebagai pendamping atau mediator saja.
Namun, apa yang telah dirintis dalam pendidikan formal seperti penerapan CBSA di atas tidak dibarengi dengan perubahan dalam sistem pendidikan keluarga, kiranya kita tidak bisa mengatakan CBSA itu sebagai langkah awal pembakuan tradisi pendidikan baru. Sebab apa yang dialami di sekolah atau perguruan tinggi akan sangat berbeda sekali bila ia kembali pada keluarga, oleh karena interaksi antara anak dan orangtua relatif lebih intensif daripada interaksinya dengan guru-gurunya. Bukannya tidak mungkin gaya pendidikan keluarga yang masih indoktrinatif itu akan lebih dominan terhadap si anak. Karena itu pula sistem CBSA yang mengandalkan hubungan antarindividu secara demokratis harus dijadikan suatu kebiasaan di masyarakat dan keluarga.
Dari uraian di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa masalah pendidikan sebenarnya merupakan persoalan kita bersama. Persoalan masyarakat, persoalan keluarga, dan persoalan pemerintah. Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ternyata harus juga disertai dengan tradisi kebebasan berpikir dan berkreasi, seraya mengembangkan nilai-nilai demokratis di antara kita sendiri. Namun, itu pun dengan syarat bahwa kebijakan pendidikan tidak harus berganti seiring dengan bergantinya seorang policy maker. Oleh karena itu harus diyakini bersama, siapa pun menteri yang naik bila sistemnya baik akan berjalan baik.
Oleh Dudy Hidayat
(Catatan Tambahan untuk S.N. Ratmana)
* Dudy Hidajat, mantan guru, sekarang bekerja di pusat Data Informasi Anak-YKAI, Jakarta, Selasa, 15 Oktober 1996