"Menyoal Cita-Cita Pendidikan Kerakyatan"
Sebuah Kritik Terhadap Pendidikan Nasional
Demonstrasi mahasiswa menggugat keberadaan DPKP (Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan) dan Otonomisasi UI versi Rektorat dalam cara Dies Natalis UI di Balairung UI-Depok, 2 Februari 2000, telah berhasil menggelembungkan masalah-masalah pendidikan tinggi menjadi wacana publik di seluruh Indonesia, khususnya pada segmen sivitas akademika maupun para pemerhatinya. Genap 4 bulan setelah aksi massa tersebut, beberapa mahasiswa UI dipanggil oleh P3T2 (Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata-Tertib) yang mengklaim telah diberi mandat oleh Rektor. Mereka yang dipanggil tersebut adalah, Suma Mihardja, Mahawisnu Tridaya Alam, Dipo Asto Prayoga, dan Dhoho Ali Satro, Lucky A. Lontoh dari FHUI; Kokom dari FTUI, dan Dewi dari FSUI. Dua mahasiswa lain, Ai (FT) dan Erick (FS) yang kebetulan berada di sana untuk melihat acara Dies Natalis, ternyata tak luput dari panggilan dan pemeriksaan juga.
Belajar dari hal tersebut, kenyataanya pihak birokrasi kampus belum dapat menangkap aspirasi yang diserukan oleh mahasiswa-mahasiswa UI, dalam konteks pendidikan kerakyatan yang bisa membantu rakyat Indonesia untuk keluar dari krisis, sekaligus menegakkan harga diri bangsa di mata dunia internasional. Lebih jauh lagi, beberapa mahasiswa justru mendapatkan represi, intimidasi, dan pencabutan bantuan finasiil dari birokrat kampus. Aspek pendidikan kerakyatan akhirnya semakin menjauh dari perhatian di bawah tekanan dan nikmatnya fasilitas kampus. Untuk itu kami menghadirkan diskusi terbuka ini untuk menghembuskan otoritas pendidikan untuk rakyat yang emansipatoris dan berkeadilan sosial dalam dunia pendidikan kita yang telah dipisahkan dari akar sosialnya pada era Orde Baru.
"Terus terang gerakan mahasiswa sekarang kelelahan", ujar Reinhart Sirait, Koordinator Departemen Hubungan Internasional Liga Mahasiswa untuk Demokrasi (LMND), "… malah cepet lelah karena nggak ada tujuan". "Sebenarnya politik mahasiswa bukanlah politik kacangan, tapi, kalau bisa dibilang, politik kehilangan basis. Jadi ada jarak terhadap rakyat. Hal ini bukan sekali ini terjadi tetapi terjadi dimana-mana", ujarnya lagi, "hal ini tidak terpisah dari posisi mahasiswa dalam masyarakat yang gamang, makanya politik mahasiswa juga politik gamang …. Bohong kalau kampus itu netral dan bebas ideologi!", lanjutnya.
Diskusi yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa ini berjalan dengan suasana serius meskipun sesekali diselingi tawa terutama ketika mendengar sejarah gerakan mahasiswa di tempat lain, "Di Perancis, gerakan demokratisasi kampus berawal dari tuntutan mahasiswa laki-laki untuk berkunjung ke mess mahasiswa perempuan", ujaran ini tak luput membuat suasana diskusi menjadi ger. "Artinya, jangan pernah menganggap remeh sebuah isu. Meskipun remeh temeh, namun pada dasarnya setiap hambatan dan gejala sosial dalam kampus punya potensi untuk mendorong demokratisasi kampus, sayangnya kita kurang perhatian dengan masalah tersebut … nggak bener kalau isu di luar kampus lebih penting dari yang di dalam kampus, justru harus ada koordinasi", aku Reinhart. Sayangnya beberapa pembicara yang lain tidak dapat hadir jadi diskusi lebih difokuskan pada ulasan sejarah gerakan mahasiswa dalam mengusung demokrasi.
"Dalam konsep neo-liberal, istilah yang diperkenalkan sub-commandante Marcos dari gerakan Zapatista di Mexico, bisa jadi nanti ada universitas seperti mall, tapi hanya sedikit orang yang bisa ditampung. Ini sama dengan privatisasi. Dalam esensi sesungguhnya, ada subsidi dan kompetisi dari negara ke sektor pendidikan yang dihilangkan, Akibatnya pendidikan akan mahal. Tapi bagusnya, fasilitas kampus akan ditingkatkan. Dengan demikian, sekolah makin selektif, dan orang disaring menurut agaimana ia secara sosial dilahirkan. Gimana nasibnya anak-anak Manggarai tuh? Makan aja susah. Lebih kacaunya lagi, kalau di negara barat liberalisasi itu biasanya disertai dengan demokratisasi, tapi kalau di Indonesia, maunya liberal tapi nggak demokratis.", ujar Reinhart. "Sistem kompetisi harus dihilangkan. Ini produk keji dari: Pendidikan kapitalisme, bisa berbentuk ujian. Semuanya berhak untuk eksis. Kita satu kelas adalah satu kolektif. Kalau ada standarisasi, khan ada mahasiswa yang kuliah jauh-jauh dari Bogor, belajarnya gimana?", tambahnya.
Terus, bisakah pendidikan gratis menciptakan manusia berkualitas? "Kalau dalam kapitalisme pendidikan hanya jadi milik segmen tertentu. Hanya dengan gratis rakyat bisa bangkit. Di Eropa yang banyak "welfare state", universitas banyak yang kembali diprivatisasikan. Jadi privatisasi bukan monopoli negara berkembang. Cuba berpendidikan maju meski ekonominya diembargo, tapi pendidikannya gratis. Ingat, pengganguran di Cuba 0%. Hampir semua orang sarjana. Angka buta huruf 0%, karena rakyat miskinya disekolahkan. Kalau di sini orang nggak boleh pintar, orang pintar khan nantinya bisa berontak", jawab Reinhart.
Perjuangan membangun sistem pendidikan yang berorientasi pada pengembangan produktivitas dan pembangunan kualitas bangsa Indonesia bukanlah sebuah hal yang mudah. Kiranya dari diskusi ini kita dapat mengambil banyak manfaat dari pengalaman bangsa lain juga dari para pembicara bahwa tidak ada hal yang dicapai tanpa kerja konkrit, dan yang lebih penting adalah cita-cita kita tentang pendidikan berjiwa kerakyatan bagi bangsa Indonesia bukanlah sebuah impian, tetapi sebuah perjuangan yang harus dimenangkan..Beberapa program mendesak yang menjadi agenda kerja kita harus terus diperjuangkan walaupun dalam keadaan represif seperti ini. Momentum represi dan intimidasi dari para birokrat kampus adalah cermin bahwa tidak adanya demokrasi dalam dunia pendidikan Indonesia.
(Sekretariat KBUI-Depok, Jumat, 2 Juni 2000).