Dunia persekolahan atau lembaga-lembaga pendidikan formal adalah institusi yang paling lamban (too slow) dan selalu terlambat (too late) memberikan respons terhadap arus deras perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Hal ini kembali terbukti saat kita membaca berita dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) lewat SK Mendiknas No.016/P/2001 tertanggal 21 Februari 2001 (Kompas, 7/3/2001, hlm.9).
Bayangkan, sudah sekitar tiga tahun arus reformasi bergulir, baru sekarang dibentuk KRP. Dan kalau kita membaca berita tentang perlunya perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional, kuat dugaan bahwa KRP ini dibentuk justru atas permintaan Bank Dunia yang bersedia mendanainya (Kompas, 14/2/2001, hlm.9). Jadi, mungkin benar pertanyaan retorik dalam judul tulisan Mayling Oey-Gardiner: Adakah yang Peduli Mutu Pendidikan? (Tempo, 24 Desember 2000, hlm.58).
Pemerintah agaknya tak terlalu peduli, kecuali bila soal-soal ini kemudian menjadi prasyarat pencairan bantuan dari Bank Dunia atau IMF dan lembaga donor lainnya.
Sambil mengelus dada dan menyeka air mata yang terkuras habis selama empat dekade terakhir (sejak 1959), kita mungkin hanya dapat berkata untuk kesekian ribu kalinya, better late than never. Lalu dengan harapan yang telah ribuan kali dikecewakan, kita perlu memberikan berbagai masukan kepada segenap anggota KRP yang terhormat agar hasil kerja mereka yang (dalam jangka pendek) diharapkan selesai akhir tahun ini, dapat terlihat adanya paradigm repentance, pertobatan paradigma.
KRP kita harapkan dapat menjadi faktor pemicu agar birokrasi pendidikan di pusat dan di daerah mengalami metanoia dan menindaklanjuti proses otonomi pendidikan sampai bermuara ke otonomi sekolah dengan terutama menunjukkan kemauan untuk belajar bersama-sama dengan masyarakat. Arogansi birokrasi dalam sistem pendidikan sentralistis yang dipolitisir selama ini harus berubah dengan lebih memperhatikan secara saksama aspirasi masyarakat yang sedang berubah dengan segala kompleksitasnya.
Penyederhanaan berbagai persoalan hanya akan membuat KRP "sukses" mengerjakan tugas jangka pendeknya (memperbaiki UUSPN, yakni UU No.2/1989), namun akan gagal membuat pendidikan terselenggara secara relatif otonom pada tingkat sekolah dan universitas di daerah.
Jelas sangat diharapkan bahwa paradigma pendidikan yang "baru" itu benar-benar berorientasi ke masa depan. Mochtar Buchori, yang entah mengapa tidak termasuk dalam daftar nama 12 orang anggota KRP, menyebutnya sebagai Pendidikan Antisipatoris (Kanisius, 2001). Dalam bahasa yang agak berbeda Winarno Surakhmad mengatakan, "Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana kita bisa mengembangkan suatu pendidikan yang bernafaskan desentralisasi dan sekaligus berdimensi global, sesuai dengan tuntutan masa depan itu" (Kompas, 9/3/2001,hlm 9).
Dan kalau kita coba merangkum ide-ide dasar dari wacana pendidikan yang berkembang akhir-akhir ini, maka setidak ada benang merah harapan masyarakat luas bahwa arah atau visi pendidikan adalah menuju sistem pendidikan yang utamanya bersifat indijines (indigenous), kontekstual, otonom, demokratis, dan berwawasan global.
Sistem pendidikan yang baru nanti, setelah diuji coba selama 15-20 tahun, kiranya mampu memanusiawikan kaum muda dan masyarakat luas agar menjadi pembelajar-pembelajar mandiri dan kreatif, yang mampu membentuk jati diri kulturalnya sebagai masyarakat Indonesia Baru yang berperadaban dan yang memandang segala perbedaan (SARA) sebagai aset nasional yang paling berharga.
Kalau harapan-harapan yang dikemukakan di atas dapat disepakati sebagai harapan dan visi bersama, atau sekurang-kurangnya harapan sebagian besar anggota komunitas pendidikan yang menaruh perhatian serius terhadap masalah-masalah kelangsungan hidup bangsa ini, maka pertanyaannya adalah apakah susunan keanggotaan KRP yang dibentuk Mendiknas itu memperbesar harapan atau justru sebaliknya?
Artinya, apakah komposisi anggota KRP mewakili berbagai komponen bangsa yang dianggap kompeten dan arif dalam memahami persoalan-persoalan dasar dalam dunia pendidikan di negeri ini?
Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa sedikitnya ada tiga pertanyaan yang muncul dalam masyarakat sehubungan dengan komposisi keanggotaan KRP tersebut. Pertama, mengapa tokoh-tokoh pendidikan yang dikenal luas seperti Mochtar Buchori, Conny Semiawan, Pater Drost, Arief Rahman, dan Sindhunata, tidak termasuk didalamnya?
Apakah ada perbedaan pandangan yang membuat tokoh-tokoh tersebut harus berada di "pinggiran" ataukah hanya sekadar karena jumlah anggota KRP dibatasi secara ketat dengan dalih yang lain bisa memberikan masukan? Atau lebih mendasar lagi, bagaimana proses pemilihan anggota KRP itu? Apakah dilakukan secara demokratis dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota komunitas pendidikan yang ada atau dipaksakan mengikuti kehendak birokrat pendidikan di tingkat pusat? Tidakkah untuk membentuk komite yang sangat penting itu diperlukan semacam fit and proper test dalam batas-batas tertentu seperti dalam proses pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai oleh Yusuf Syakir berdasarkan Keppres No.242/M/2000?
Kedua, mengapa seluruh anggota KRP adalah akademisi dan praktisi di persekolahan formal, yang ditandai dengan atribut akademis setingkat master, doktor dan profesor? Apakah masalah pendidikan masih dipahami sebagai masalah yang hanya dipahami oleh kaum akademisi dan praktisi di lembaga-lembaga pendidikan formal yang masa depannya sedang digugat, baik di Jerman maupun di Perancis (seperti sering dikutip Sindhunata dalam kata pengantar beberapa buku terbitan Kanisius belakangan ini)? Bagaimana dengan tokoh-tokoh pendidikan luar sekolah yang sekalipun tidak memiliki atribut akademis tetapi banyak berkiprah dalam proses pendidikan dalam arti yang luas (informal, formal, nonformal)?
Ketiga, mengapa kaum muda dibawah usia 40 tahun yang sangat kritis dalam menyikapi soal-soal pendidikan seperti Darmaningtyas dan Khoe Yao Tung tidak dilibatkan? Tidakkah kaum muda lebih progresif dan "memahami" dinamika perubahan zaman di bandingkan angkatan yang telah terbelenggu oleh paradigma-paradigma lama karena telah terbiasa hidup dalam suasana sistem pendidikan yang sentralistis?
Menyoal komposisi anggota KRP terutama relevan dalam kaitannya dengan harapan adanya paradigma baru dalam memetakan maslah-masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, meminjam konsep para pakar di bidang studi "paradigma shifts" (Khun, Smith, Harmon, Ferguson, Barker, dsb), paradigma yang sungguh-sungguh baru dapat lebih diharapkan dari:
pertama, orang muda yang relatif belum berpengalaman tetapi memiliki idealisme yang jelas;
kedua, orang berpengalaman yang beralih bidang pengabdiannya (an older person shifting field);
ketiga, orang-orang yang tidak berpikir konvensional (the maverick);
dan terakhir, para pelaksana di lapangan yang amatir (tinkerers).
Dalam konteks KRP, mereka yang "sangat berpengalaman" di bidang pendidikan pada masa lalu, kecuali yang benar-benar diyakini tidak berpikir konvensional, justru tidak dapat diharapkan untuk melahirkan paradigma baru. Sama seperti pesimisme sebagian anggota masyarakat yang sinis mendengarkan kampanye paradigma baru Partai Golkar dan belakangan menuntut pembubaran parpol warisan Orde Baru itu.
Dalam seminar "Reformasi Pendidikan Nasional" yang diselenggarakan KRP Depdiknas di Yogyakarta, 16 Maret 2001, disebutkan antara lain, "Meski seminar ini banyak dihadiri pakar pendidikan, namun ide-ide yang muncul tampaknya belum banyak memunculkan pandangan yang berbeda dari anggota KRP" (Kompas, 17/3/2001, hlm.9).
Ini merupakan pencerminan awal bahwa harapan akan munculnya paradigma baru dari para pakar yang "berpengalaman" memang sulit diharapkan. Akankah hasil kerja KRP kelak akan kembali menghasilkan airmata (seperti judul sebuah tulisan Sindhunata di majalah Basis)?
Oleh: Andrias Harefa