-->
thumbnail

PENDIDIKAN KERAKYATAN

Posted by Yushan on Sunday, April 17, 2016

"Menyoal Cita-Cita Pendidikan Kerakyatan"
Sebuah Kritik Terhadap Pendidikan Nasional

Demonstrasi mahasiswa menggugat keberadaan DPKP (Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan) dan Otonomisasi UI versi Rektorat dalam cara Dies Natalis UI di Balairung UI-Depok, 2 Februari 2000, telah berhasil menggelembungkan masalah-masalah pendidikan tinggi menjadi wacana publik di seluruh Indonesia, khususnya pada segmen sivitas akademika maupun para pemerhatinya. Genap 4 bulan setelah aksi massa tersebut, beberapa mahasiswa UI dipanggil oleh P3T2 (Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata-Tertib) yang mengklaim telah diberi mandat oleh Rektor. Mereka yang dipanggil tersebut adalah, Suma Mihardja, Mahawisnu Tridaya Alam, Dipo Asto Prayoga, dan Dhoho Ali Satro, Lucky A. Lontoh dari FHUI; Kokom dari FTUI, dan Dewi dari FSUI. Dua mahasiswa lain, Ai (FT) dan Erick (FS) yang kebetulan berada di sana untuk melihat acara Dies Natalis, ternyata tak luput dari panggilan dan pemeriksaan juga.

Belajar dari hal tersebut, kenyataanya pihak birokrasi kampus belum dapat menangkap aspirasi yang diserukan oleh mahasiswa-mahasiswa UI, dalam konteks pendidikan kerakyatan yang bisa membantu rakyat Indonesia untuk keluar dari krisis, sekaligus menegakkan harga diri bangsa di mata dunia internasional. Lebih jauh lagi, beberapa mahasiswa justru mendapatkan represi, intimidasi, dan pencabutan bantuan finasiil dari birokrat kampus. Aspek pendidikan kerakyatan akhirnya semakin menjauh dari perhatian di bawah tekanan dan nikmatnya fasilitas kampus. Untuk itu kami menghadirkan diskusi terbuka ini untuk menghembuskan otoritas pendidikan untuk rakyat yang emansipatoris dan berkeadilan sosial dalam dunia pendidikan kita yang telah dipisahkan dari akar sosialnya pada era Orde Baru.

"Terus terang gerakan mahasiswa sekarang kelelahan", ujar Reinhart Sirait, Koordinator Departemen Hubungan Internasional Liga Mahasiswa untuk Demokrasi (LMND), "… malah cepet lelah karena nggak ada tujuan". "Sebenarnya politik mahasiswa bukanlah politik kacangan, tapi, kalau bisa dibilang, politik kehilangan basis. Jadi ada jarak terhadap rakyat. Hal ini bukan sekali ini terjadi tetapi terjadi dimana-mana", ujarnya lagi, "hal ini tidak terpisah dari posisi mahasiswa dalam masyarakat yang gamang, makanya politik mahasiswa juga politik gamang ….   Bohong kalau kampus itu netral dan bebas ideologi!", lanjutnya.

Diskusi yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa ini berjalan dengan suasana serius meskipun sesekali diselingi tawa terutama ketika mendengar sejarah gerakan mahasiswa di tempat lain, "Di Perancis, gerakan demokratisasi kampus berawal dari tuntutan mahasiswa laki-laki untuk berkunjung ke mess mahasiswa perempuan", ujaran ini tak luput membuat suasana diskusi menjadi ger. "Artinya, jangan pernah menganggap remeh sebuah isu. Meskipun remeh temeh, namun pada dasarnya setiap hambatan dan gejala sosial dalam kampus punya potensi untuk mendorong demokratisasi kampus, sayangnya kita kurang perhatian dengan masalah tersebut … nggak bener kalau isu di luar kampus lebih penting dari yang di dalam kampus, justru harus ada koordinasi", aku Reinhart. Sayangnya beberapa pembicara yang lain tidak dapat hadir jadi diskusi lebih difokuskan pada ulasan sejarah gerakan mahasiswa dalam mengusung demokrasi.

"Dalam konsep neo-liberal, istilah yang diperkenalkan sub-commandante Marcos dari gerakan Zapatista di Mexico, bisa jadi nanti ada universitas seperti mall, tapi hanya sedikit orang yang bisa ditampung. Ini sama dengan privatisasi. Dalam esensi sesungguhnya, ada subsidi dan kompetisi dari negara ke sektor pendidikan yang dihilangkan, Akibatnya pendidikan akan mahal. Tapi bagusnya, fasilitas kampus akan ditingkatkan. Dengan demikian, sekolah makin selektif, dan orang disaring menurut agaimana ia secara sosial dilahirkan. Gimana nasibnya anak-anak Manggarai tuh? Makan aja susah. Lebih kacaunya lagi, kalau di negara barat liberalisasi itu biasanya disertai dengan demokratisasi, tapi kalau di Indonesia, maunya liberal tapi nggak demokratis.", ujar Reinhart. "Sistem kompetisi harus dihilangkan. Ini produk keji dari: Pendidikan kapitalisme, bisa berbentuk ujian. Semuanya berhak untuk eksis. Kita satu kelas adalah satu kolektif. Kalau ada standarisasi, khan ada mahasiswa yang kuliah jauh-jauh dari Bogor, belajarnya gimana?", tambahnya.

Terus, bisakah pendidikan gratis menciptakan manusia berkualitas? "Kalau dalam kapitalisme pendidikan hanya jadi milik segmen tertentu. Hanya dengan gratis rakyat bisa bangkit. Di Eropa yang banyak "welfare state", universitas banyak yang kembali diprivatisasikan. Jadi privatisasi bukan monopoli negara berkembang. Cuba berpendidikan maju meski ekonominya diembargo, tapi pendidikannya gratis. Ingat, pengganguran di Cuba 0%. Hampir semua orang sarjana. Angka buta huruf 0%, karena rakyat miskinya disekolahkan. Kalau di sini orang nggak boleh pintar, orang pintar khan nantinya bisa berontak", jawab Reinhart.

Perjuangan membangun sistem pendidikan yang berorientasi pada pengembangan produktivitas dan pembangunan kualitas bangsa Indonesia bukanlah sebuah hal yang mudah. Kiranya dari diskusi ini kita dapat mengambil banyak manfaat dari pengalaman bangsa lain juga dari para pembicara bahwa tidak ada hal yang dicapai tanpa kerja konkrit, dan yang lebih penting adalah cita-cita kita tentang pendidikan berjiwa kerakyatan bagi bangsa Indonesia bukanlah sebuah impian, tetapi sebuah perjuangan yang harus dimenangkan..Beberapa program mendesak yang menjadi agenda kerja kita harus terus diperjuangkan walaupun dalam keadaan represif seperti ini. Momentum represi dan intimidasi dari para birokrat kampus adalah cermin bahwa tidak adanya demokrasi dalam dunia pendidikan Indonesia.

(Sekretariat KBUI-Depok, Jumat, 2 Juni 2000).
5:03:00 AM
thumbnail

SISTEM PENDIDIKAN TINGGI DEMOKRATIS (Antara humanisme dan kapitalisme)

Posted by Yushan on

Pada zaman yunani kuno (abad ke-5 SM) masyarakat sudah mulai melirik yang namanya pendidikan, dimana pada waktu itu mereka yang mempunyai waktu luang(scolae) setelah menyelesaikan pekerjaan mengisinya dengan belajar(diskusi)tentang ilmu pengetahan terutama tentang ilmu-ilmu filsafatdan kearifan-kearifan.sebagai usaha untuk memanusiakan manusia. Dari sisnilah awalmperkembangan pemndidikan.

Dalam perjalannya pendidikan mengalami perbaikan perbaikan  sesuai perkembangan zaman dan perusakan-perusakan sebagai imbasdar pengaktualisasia potensi kejahatan manusia.

Salah satu usaha perbaikan pendidikan sesuai dengan perkembangan zaman adalah dengan pelembagaan terhadap pendidikan itu sendiri sehingga sekarang ada yang kita kenal dengan sekolah dan universitas. Serta lembaga pendidikan lainnya. Tetapi kemudian pelembagaan pendidikan yang diawali dengan niat yang baik ini mengakibatkan sistem pendidikan yang ada berubah menjadisitem pendidikan kapitalistik.sesuai dengan perkembangan pendididkan yang kapitalistikdan meninggalkan tujuan utamanya (memanusiakan manusia). Diantara akibat-akibat yang sangat parah dan harus segera diatasi.

1.Intervensi negara terhadap sistem pendidikan
Pendidikan (lembaga dan sistemnya) yang seharusnya bersifat independen dan otonom hari ini. Ini tidak terjadi, bahkan pendidikan hari ini digunakan oleh negara sebagai alat untuk melakukan pembodohan dan hegemoniterhadap rakyat dengan cara pemaksaan idiologi negara (seperti pancasila) dan pemutar balikan fakta sejarah melalui pendidikan yang memang mulai berasal dari pusat (negara). Bahkan dana pendidikan yang seharusnya ditanggung oleh negara malah dilimpahkan kepada lembaga pendidikan untuk menanganinya. Hingga mengakibatkan biaya pendidikan yang memang sudah mahal menjadi lebih mahal sehingga banyak rakyat yang tidak sempat menikmati pendidikan.

2.Tidak jelasnya orientasi pendidikan
Selain pendidkan dijadikan alat oleh negara untuk melakukan pembodohan dan hegemoni terhadap massa rakyat, negara juga tidak menawarkan orientasi yang jelas demi pendidikan hari ini. Secara umum ada dua orientasi dari pendidikan:

a.Memanusiakan manusia.
Lembaga pendidikan hari ini tidak berorientasi memanusiakan manusia, yang dihasilkan lembaga pendidikan hari ini adalah penindas-penindas baru yanghampir hilang sifat sifat kemanusiannya(seperti banyak teman penulis sendiri)

b.Orientasi pasar
Inipun tidak jelas, karena luliusan pendidikan hari ini tidak bisa menyesuaikan diri di “pasaran” sesuai tuntutan masyarakat sebab selama pendidikan, mereka (peserta didik) memang dijauhkan dari realitas sosial masyarakatdengantujuan untuk meredam “pemberontakan” dari kaum intelektual ini.terhadap hegemoni negaradan ini tidak pernah disadarioleh kaum intelektual tersebut. Selain itu ilmu yang ditawarkan pendidikan hari inimemang bukan orientasi pasar karena kita lebih banyak belajar tentang teori-teori zaman duluyang tidak pernah berubah dari tahun ketahun dan tidak pernah diajari mengenai kritik dan solusi terhadapo masalah yang berkembang sekarang. (seperti tulisan ini pula).

Oleh karena itu kita harus menuntut pendidikan yang murah, ilmiah dan demokratis, semoga dengan itu seluruh rakyat bisa menikmati pendidikan dan menjadi manusia yang sudah dimanusiakan serta mampu survive dipasaran (barang kali’ ye)
Say Yes for Refolution

Oleh: Khalid P.
Penulis adalah Kordinator Divisi Aksi dan Mobilisasi (DAM)
Komunitas Pelataran Baruga (KONTRA) Makassar

4:33:00 AM
thumbnail

PERGESERAN DRASTIS PARADIGMA DUNIA PENDIDIKAN

Posted by Yushan on Friday, April 15, 2016

Dalam kondisi krisis moneter dengan kompetisi bebas di ambang pintu, ada baiknya kita  berfikir sejenak tentang kondisi dan pengkondisian Sumber Daya Manusia yang ada di Indonesia. Sudah siapkah kita? Mengertikah kita?

Tulisan ini akan mengupas beberapa pergesaran mendasar & drastis paradigma dunia pendidikan karena perkembangan pesat di teknologi informasi khususnya Internet yang pada akhirnya mempercepat aliran ilmu pengetahuan menembus batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemapanan dan waktu. Kita perlu menyadari bahwa di Internet bukan hanya ilmu pengetahuan yang dapat di transmisikan pada kecepatan tinggi akan tetapi juga data dan informasi. Kemampuan untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisi, mensintesa data menjadi informasi kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat sangat penting artinya.

Prasyarat lain yang akan mempercepat pergeseran paradigma dunia pendidikan adalah kompetisi bebas, free trade dan hilangnya monopoly. Kemungkinan prasyarat ini yang akan menghambat di Indonesia karena lambatnya adopsi kompetisi bebas di Indonesia. Akan tetapi saya yakin, cepat atau lambat dan mau tidak mau kompetisi bebas akan berjalan di Indonesia karena desakan dunia global. Bagi kami yang bergerak & betul-betul hidup mengambil manfaat dalam dunia informasi berbasis Internet, sebetulmnya kompetisi bebas & perdagangan bebas telah beberapa tahun ini kami nikmati - bahkan resesi ekonomi belum terlalu parah dirasakan. Mudah-mudahan hal ini dapat menggugah sedikit sebagian dari kita yang belum mengambil manfaat maksimal dari Internet.

Beberapa konsekuensi logis percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang selama ini berjalan antara lain adalah:

Sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal yang konvensional. Akan tetapi sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana & setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence (distributed knowledge). Fungsi guru / dosen / lembaga pendidikan akhirnya beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi mediator dari ilmu pengetahuan tsb. Proses long life learning dalam dunia informal yang sifatnya lebih learning based daripada teaching based akan menjadi kunci perkembangan SDM. Web, Homepage, Search Engine, CD-ROM merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge ini berkembang.

Ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran yang sifatnya konsensus bersama. Pemahaman akan sebuah konsep akan dilakukan secara bersama. Guru / dosen tidak lagi dapat memaksakan pandangan & kehendaknya karena mungkin para siswa / mahaiswa memiliki pengetahuan yang lebih dari informasi yang mereka peroleh selama ini.  Keadaan ini dikenal sebagai generation lap (kebalikan dari generation gap). Proses interaksi elektronik, diskusi melalui berbagai Internet mailing list, newsgroup, IRC, Webchat merupakan kunci proses pembentukan collective wisdom ini. Yang menarik disini adalah dari sisi kurikulum, tidak akan pernah terjadi kurikulum resmi yang rigid - kurikulum akan selalu berubah beradaptasi dengan berbagai perkembangan sesuai dengan collective wisdom yang diperoleh dari waktu ke waktu.

Akreditasi, Sertifikasi, pengakuan akan lebih banyak di tentukan oleh masyarakat profesional. Dengan kata lain  masyarakat profesional yang akan menjadi penilai (quality control) dari lembaga pendidikan yang ada. Kontrol dilakukan dari kemampuan para alumni sehingga  setiap lembaga pendidikan / dosen / guru secara individual akan di nilai langsung oleh masyarakat profesional. Sebagai contoh, di ITB dikembangkan untuk sertifikasi komputer profesional untuk sertifikasi MCP, MCSE, MCT bekerjasama dengan Microsoft yang merupakan bagian dari program AATP yang sifatnya lebih profesional daripada sekedar kurikulum formal pendidikan biasa. Pengembangan konsep ini ke berbagai lembaga lainnya sangat terbuka untuk bekerjasama dengan program AATP Microsoft-ITB. Track record, Curriculum Vitae, Resume, referensi merupakan senjata yang jauh lebih penting & ampuh daripada sekedar ijasah resmi dari lembaga pendidikan. Dengan adanya sertifikasi yang sifatnya global & internasional ini, konsekuensi yang menarik adalah seseorang dengan sertifikat global ini dapat bekerja dimana saja (tidak tergantung batas negara lagi). Hal ini merupakan tantangan yang berat bagi konsep-konsep lama di lembaga pendidikan formal, ujian negara bagi PTS dan Badan Akreditasi Negara (BAN). Konsep kompetisi perlu dikembangkan bagi dunia pendidikan, jadi BAN sebaiknya berfungsi sebagai lembaga untuk melakukan penilaian (rangking) bagi masing-masing lembaga pendidikan.

Training for trainers, tingkat kenaikan jenjang dosen merupakan fokus yang perlu diperhatikan dengan pergeseran paradigma ini. Lembaga pendidikan harus melakukan investasi secara periodik bagi guru & dosen-nya jika ingin tetap memimpin di dunia pendidikan. Kegagalan dalam investasi guru & dosen akan berakibat kalah dalam persaingan merebut mahasiswa terbaiknya. Insentif bagi guru / dosen untuk mendidik diri sendiri bukan datang dari jalur struktural / jabatan; juga bukan dari jenjang kepangkatan tradisional (asisten ahli, lektor, guru besar) yang rigid. Reward yang lebih besar akan lebih banyak diperoleh dari pengakuan yang diberikan langsung oleh masyarakat. Bayangkan secara sederhana, betapa memalukannya jika ada seorang Profesor / Lektor yang ternyata bahasa Inggrisnya patah-patah & belum pernah menulis pada jurnal internasional. Akhirnya semua kembali kepada masyarakat profesional yang akan menilai kualitas sebenarnya seseorang.

Setelah mengetahui perubahan yang mendasar dari paradigma ini, apa yang perlu  & bisa kita lakukan sebagai bangsa Indonesia?

Terus terang pendapat saya pribadi sebagai orang Indonesia akan sangat sederhana yaitu mari kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan yang semakin terbuka untuk memperoleh ilmu pengetahuan & sertifikasi profesioanl ini untuk kebaikan nasib kita masing-masing. Pendidikan formal bukan lagi satu-satunya media untuk mengembangkan diri, karena ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari mana saja. Sertifikasi & akreditasi-pun sebetulnya dapat diperoleh dari mana saja. Bahasa Inggris akan menjadi salah satu aset yang sangat penting untuk dapat mengakses sumber ilmu yang terdistribusi dan menjadi rantai dalam collective wisdom ini. Selain berbahasa Inggris, kemampuan untuk membaca, mencerna dan menulis (menghasilkan) informasi / pengetahuan dengan menggunakan teknologi informasi (Internet) akan sangat strategis untuk dapat memperoleh keuntungan & manfaat yang besar dari keberadaan teknologi informasi.

Akan tetapi perlu di hayati bahwa kompetisi akan cukup ketat untuk memperoleh akreditasi & sertifikasi terbaik. Kerja keras & kerjasama kemitraan strategis dalam sebuah kelompok akan sangat menentukan keberhasilan kita dalam menentukan keberhasilan kita dalam penetrasi pasar. Belajar dari kuliah di kelas saja tanpa mempunyai visi & kemauan yang kuat untuk bertempur di dunia profesional tidak akan cukup. Aktif dalam dunia & kegiatan mahasiswa, maupun membantu kelompok-kelompok penelitian yang ada di masing-masing lembaga pendidikan akan sangat membantu membentuk kemampuan kompetisi yang tangguh. Sayang konsep NKK / BKK yang dulu sempat di canangkan & juga program percepatan Insinyur akhirnya banyak menghalangi mahasiswa dalam memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dalam berkompetisi bebas.

Bagi dunia pendidikan, skala ekonomi akan dapat dengan mudah dikembangkan dengan bertumpu pada teknologi informasi beberapa strategi mendasar yang akan membantu antara lain adalah:
Membuka aliansi kerjasama dengan berbagai universitas / dosen terbaik yang ada baik di Indonesia maupun di manca negara. Konsep aliansi untuk kerjasama pendidikan jarak jauh perlu dikembangkan & di encourage oleh DEPDIKBUD. Jangan sampai terjadi kesan "monopoli" bagi penyelenggaraan pendidikan jarak jauh hanya oleh Universitas Terbuka (UT) saja.

Berikan akses Internet bagi mahasiswa, penggunaan konsep warung Internet yang sifatnya self-finance akan sangat menguntungkan bagi investasi & operasional warung tersebut. Akhirnya mahasiswa & lembaga pendidikan yang akan di untungkan. Terus terang, dalam bisnis plan maka modal / investasi sebuah warung Internet dengan 5-10 komputer di sebuah universitas dengan sebuah saluran telepon ke Internet akan kembali dalam jangka waktu  8-12 bulan saja. Jadi pendekatan warung Internet akan menjadi sangat menarik, kunci keberhasilan berada pada kemampuan teknik & management SDM yang menjalankan warung tsb. Raanya tidak banyak yang mempunyai kemampuan ini, umumnya orang yang ahli di dunia pendidikan berada di institusi yang terkait ke Internet ITB, seperti UNSYIAH, UNILA, UNTAN, UMM, UNSOED, UKSW, dll.

Lakukan kerjasama periodik untuk melakukan seminar / workshop / training / pendidikan paska sarjana bagi dosen maupun civitas akademik yang ada supaya tetap pada ujung tombak ilmu pengetahuan.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberikan masukan bagi dunia pendidikan di Indonesia pada khususnya dan juga masyarakat umum pada umumnya.

Onno W. Purbo, Institut Teknologi Bandung.
10:09:00 PM
thumbnail

PENTINGNYA TRADISI "KEMERDEKAAN BERFIKIR" DALAM PENDIDIKAN KITA

Posted by Yushan on

TULISAN S.N. Ratmana yang berjudul Pendidikan Kita Bikin Sesak Napas? (Kompas, 2/10/1996), sangat menarik untuk dibicarakan dan didiskusikan. Penulis begitu merisaukan dunia pendidikan di Indonesia (kini) yang seakan sudah tidak diketahui arah dan tujuannya. Di lain pihak kita begitu mendambakan lahirnya anak didik yang berprestasi dan bernilai baik, tetapi di lain pihak kita sendiri mengabaikan norma-norma dasar pendidikan (pedagogik) yang semestinya, yakni pendidikan yang didasarkan atas penjiwaan dan naluri nurani anak didik sendiri. 

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk sekadar menambah atau mempertajam kegelisahan apa yang telah dipaparkan oleh S.N. Ratmana. Dan menurut pandangan saya, dunia pendidikan kita sekarang bukan saja sudah "terjangkit" penyakit sesak napas, tetapi sudah (mungkin) lebih menjurus pada stadium penurunan mutu pendidikan. 

Kita mungkin masih ingat, kerap sebuah pameo dilontarkan di tengah masyarakat, bahwa bila terjadi pergantian seorang menteri maka akan berganti pula kebijakannya, dan biasanya akan diikuti pula dengan perubahan kurikulum yang digunakan sesuai dengan selera bapak menteri yang baru tadi. Apakah pameo ini benar? Kita akan sulit mendapat jawabannya dengan pasti. Tetapi, kebijakan pendidikan yang sering berubah bila seorang menteri yang baru tampil, adalah sebuah fakta. Oleh karena itulah, karena pameo tidak boleh diyakini sebagai fakta maka masyarakat sering dibuat bingung. 

Isu pendidikan yang kini sedang hangat dibicarakan di masyarakat adalah masalah merosot dan rendahnya mutu pendidikan kita. Gejalanya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah eksklusif yang dibangun pihak swasta yang menjanjikan sistem pendidikan prima, lengkap dengan fasilitas dan guru-guru asingnya, atau semakin "berbondong-bondongnya" orang kaya menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan harapan mereka mendapat pendidikan yang lebih baik. Lantas, jika demikian apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia pendidikan kita ? 

Tradisi kebebasan berpikir 
Masalah mutu pendidikan tampaknya telah menjadi keprihatinan berbagai pihak. Banyak pakar membicarakannya, mereka tidak hanya berasal dari kalangan yang ahli di bidang teknis pendidikan semata, tetapi juga para pengamat berbagai disiplin ilmu yang merasa prihatin atas kondisi ini. Dengan "urun rembuk-nya" mereka dalam persoalan ini semakin menambah pemahaman kita akan pentingnya masalah ini agar segera cepat dibenahi. Ini menunjukkan, bahwa ternyata masalah kemerosotan kualitas pendidikan semakin kompleks dan pelik. Ia tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat teknis kependidikan semata, seperti kurikulum, rasio guru-murid, sistem pengajaran, sarana dan fasilitas, tetapi juga tidak terlepas dari kondisi sosiokultural masyarakat. 

Suatu fenomena yang erat kaitannya dengan menurunnya kualitas pendidikan adalah kurang suburnya tradisi kebebasan berpikir kreatif di dalam masyarakat. Apa yang dimaksud dengan kebebasan berpikir kreatif di sini adalah suatu budaya di mana output intelektualitas seseorang sangat dihargai, ia tidak hanya berupa simbol-simbol dan status akademik yang selama ini banyak dipuji-puji dan dikagumi. Tetapi yang lebih penting di sini adalah kemampuan riil yang dihasilkan atas kemampuan intelektual seseorang. Kemampuan riil inilah yang kita tidak bisa mengukurnya dengan hanya nilai angka. 

Kondisi tidak kondusif seperti di atas diakui tumbuh subur pada masyarakat kita dan sulit dipisahkan dari perilaku kita sehari-hari. Misalnya orangtua begitu mendambakan anaknya menjadi sarjana, karena kalau anaknya tidak menyandang gelar sarjana, gengsi keluarga menjadi taruhannya. Atau bila sang anak telah lulus kuliah ia harus bekerja di kantor pemerintah menjadi pegawai negeri, atau bila ia bekerja di perusahaan swasta, harus lebih dulu tahu apakah perusahaan itu "bonafide" atau tidak. 

Di sini jelas terlihat keberhasilan anak yang ditandai dengan memperoleh predikat sarjana atau status pegawai negeri seolah-olah dianggap sebagai suatu yang luar biasa. Tetapi bagaimana ketika "puncak harapan" itu sirna dan si anak harus mulai berkiprah di dalam masyarakat, atau ia dihadapkan dengan persaingan mencari pekerjaan yang ternyata sulit. Di sini tidak jarang ia mengalami suatu keadaan yang sebaliknya. Jika semula ia dikagumi karena status kesarjanaannya, kini ia dipojokkan karena simbol kesarjanaannya, bahkan yang lebih tragis lagi bila sang anak sudah didudukkan sebagai tonggak harapan keluarga. 

Perilaku sosiokultural masyarakat Indonesia seperti ini bukanlah khayalan, tetapi nyata terdapat dalam masyarakat kita. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya: di dalam keluarga masih terdapat adanya kesenjangan pemikiran antara orangtua dan anak yang keduanya hidup dalam dunia yang berbeda, se-dang mereka tidak dapat saling memahami satu-sama lain, atau masyarakat kita yang lebih melihat orang bertitel dari pihak orang yang berkemampuan namun tidak bertitel, begitu juga dengan pasaran kerja yang lebih melihat gelar seseorang daripada kemampuan seseorang. 

Pola interaktif 
Faktor lain yang bisa menghambat tumbuhnya tradisi kebebasan berpikir bagi anak didik adalah adanya "mitos" bahwa orangtua harus selalu berada pada posisi yang dominan, dan tidak dibenarkan seorang anak memiliki pemikiran lain kecuali menuruti kehendak berpikir orangtuanya. Contoh lain, bisa dilihat dalam hubungan guru-murid atau dosen-mahasiswa. Selama ini ukuran pintar tidaknya seorang murid atau mahasiswa didasarkan atas nilai formalnya. Seorang murid dengan nilai yang tinggi akan dihargai secara simbolis berupa predikat sang juara atau teladan. Tetapi bagaimana dengan nasib siswa yang sebenarnya memiliki kemampuan berpikir kreatif yang tinggi dan bersikap kritis, namun tidak dapat memunculkannya dalam nilai-nilai angka. Karena tiadanya penilaian atau metode evaluasi objektif yang sesuai dengan pola pikir anak. Masa depan anak berkemampuan seperti inilah yang tidak jarang lebih buruk nasibnya dibanding mereka yang tidak pintar sekali pun. Karena mereka secara konseptual sudah terpinggirkan dari "gelanggang

" Pengajaran yang "diwasiti" oleh guru. 
Di dunia pendidikan, jika sistem pengajaran tidak kondusif bagi pertumbuhan sikap kritis dan berpikir kreatif, maka bisa dimengerti bila murid kemudian cenderung bersikap pasif dan masa "bodoh". Mereka sekadar menuruti apa yang dikatakan oleh gurunya di sekolah, tetapi tidak di luar sekolah. Murid sekadar mengikuti dan menerima pelajaran, namun bukan mengerti dan mempelajari apa yang diberikan oleh gurunya karena tiadanya rangsangan dan dorongan untuk benar-benar memahami. 

Persoalan di atas selanjutnya berakibat pada rendahnya kemampuan nyata yang mereka dapatkan sehari-hari. Dihadap-kan pada kondisi ini guru tidak jarang mencoba mengkatrol nilai anak didiknya sendiri, jika guru tidak ingin dikatakan gagal dalam melaksanakan tugasnya. Fenomena ini semakin lama menjadi kebiasaan, sesuatu yang boleh dikatakan sebagai salah satu sebab merosotnya mutu pendidikan. Dengan adanya budaya katrol, secara tidak sadar guru "memaksa" murid untuk tidak perlu belajar keras, tidak berusaha mencari tahu apa kekurangan dan kesulitannya, serta tidak tahu apa yang sebenarnya dia cari di sekolah. 

Kasus yang pernah hangat seperti manipulasi NEM (Nilai Ebtanas Murni) oleh para guru atas anak didiknya semakin memperkuat asumsi di atas, atau prasyarat NEM yang diberlakukan oleh pemerintah untuk bisa masuk ke suatu sekolah. Atas kondisi-kondisi di atas, maka boleh dikatakan dunia pendidikan kita (tampaknya) saat ini tengah terjadi suatu dilema yang sangat membingungkan. Di satu pihak guru harus mempertahankan nama baik sekolahnya di mata masyarakat, sedang di lain pihak guru harus pula membantu anak didiknya "mempertinggi" nilai NEM agar ia dapat masuk ke sekolah tertentu. Maka, dengan menyadari bahwa selama ini kita tidak mencoba menerapkan tradisi kebebasan berpikir kreatif sebagai elemen sistem pendidikan, paling tidak kita telah menemukan satu akar permasalahan mengapa mutu pendidikan kita agak tertinggal. 

Konsistensi sistem 
Dengan menyadari tidak berkembangnya tradisi kebebasan berpikir dalam dunia pendidikan seperti sekarang, satu alternatif yang bisa dicoba adalah melakukan perubahan secara nyata berupa perombakan kebiasaan berpikir, baik di dalam lingkungan keluarga maupun sekolah. Penerapan sistem mendidik Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di sekolah-sekolah adalah sebuah gejala yang baik. Sejauh sistem CBSA tidak diterapkan coba-coba, upaya ini merupakan satu tahap awal keterbukaan dalam pendidikan, atau dapat disebut adanya sedikit perubahan dalam cara berpikir. 

Dengan diterapkannya CBSA kedudukan guru-murid bisa diharapkan sedikit berubah, di sini murid tidak lagi dianggap sebagai "tempat kosong" yang harus diisi ilmu oleh guru, tetapi sudah diperlakukan sebagai anak manusia yang sedang mencari dan mencoba pola pikirnya. Sistem pengajaran yang selama ini masih dipakai, yakni pola indoktrinasi tampaknya sudah harus diganti, anak didik sekarang harus didorong untuk mencari permasalahan dan mencoba memecahkan persoalan menurut caranya sendiri. Di sini, sekali lagi fungsi guru hanyalah sebagai pendamping atau mediator saja. 

Namun, apa yang telah dirintis dalam pendidikan formal seperti penerapan CBSA di atas tidak dibarengi dengan perubahan dalam sistem pendidikan keluarga, kiranya kita tidak bisa mengatakan CBSA itu sebagai langkah awal pembakuan tradisi pendidikan baru. Sebab apa yang dialami di sekolah atau perguruan tinggi akan sangat berbeda sekali bila ia kembali pada keluarga, oleh karena interaksi antara anak dan orangtua relatif lebih intensif daripada interaksinya dengan guru-gurunya. Bukannya tidak mungkin gaya pendidikan keluarga yang masih indoktrinatif itu akan lebih dominan terhadap si anak. Karena itu pula sistem CBSA yang mengandalkan hubungan antarindividu secara demokratis harus dijadikan suatu kebiasaan di masyarakat dan keluarga. 

Dari uraian di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa masalah pendidikan sebenarnya merupakan persoalan kita bersama. Persoalan masyarakat, persoalan keluarga, dan persoalan pemerintah. Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ternyata harus juga disertai dengan tradisi kebebasan berpikir dan berkreasi, seraya mengembangkan nilai-nilai demokratis di antara kita sendiri. Namun, itu pun dengan syarat bahwa kebijakan pendidikan tidak harus berganti seiring dengan bergantinya seorang policy maker. Oleh karena itu harus diyakini bersama, siapa pun menteri yang naik bila sistemnya baik akan berjalan baik. 

Oleh Dudy Hidayat
(Catatan Tambahan untuk S.N. Ratmana)
* Dudy Hidajat, mantan guru, sekarang bekerja di pusat Data Informasi Anak-YKAI, Jakarta, Selasa, 15 Oktober 1996
9:18:00 PM
thumbnail

MENDIDIK PEREMPUAN ADALAH MENDIDIK BANGSA

Posted by Yushan on

SEJAK tahun 1975, tahun pertama konferensi dunia mengenai perempuan, di Meksiko, muncul kesadaran bahwa apa yang terjadi terhadap perempuan akan berdampak besar pada kesejahteraan umat manusia. Anggapan perempuan adalah pewaris pasif dari pertumbuhan dan pembangunan sosial semakin berkurang. Perempuan adalah pemain kunci yang akan menentukan nasib bangsa lewat anak-anak mereka. 

Meskipun ada kemajuan, namun sebenarnya kemajuan tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang signifikan terutama pada perempuan kelas bawah. Masih cukup banyak perempuan yang menganggur tidak punya pekerjaan meskipun ingin bekerja, atau bekerja di sektor informal yang penuh persaingan dan terkadang hasilnya kurang menjanjikan. Walaupun ada upaya menjamin persamaan di bidang ekonomi dan sosial, namun diskriminasi sebenarnya masih tetap berlangsung, dan kekerasan terhadap perempuan tetap berlanjut. 

Di banyak tempat, anak perempuan memperoleh pendidikan, pangan, dan pelayanan kesehatan yang lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. Di beberapa negara sedang berkembang kira-kira seperenam bayi perempuan meninggal disebabkan karena kelalaian dan diskriminasi. 

Sementara masalah perempuan dewasa yang sampai kini masih cukup menonjol di berbagai belahan dunia adalah tingginya angka kematian ibu karena komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan. Praktik aborsi yang tidak aman telah membawa perempuan ke jurang kematian tanpa dapat dicegah. Hal lainnya adalah banyaknya perempuan yang tidak memiliki akses yang baik untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang bermutu sehingga muncul kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan. 
***

DI bidang pendidikan percepatan perempuan untuk melek huruf tidak secepat kaum pria. Hal ini akan berimplikasi serius mengingat kesehatan dan kematian anak lebih banyak dipengaruhi pendidikan ibu dibandingkan pendidikan ayah. Bukti-bukti menunjukkan, pendidikan yang dimiliki perempuan menyebabkan turunnya angka kematian bayi dan membaiknya status gizi anak. 

Pola asih-asah (caring behavior) yang dimiliki seorang ibu merupakan faktor determinan yang sangat menentukan tumbuh kembang anak. Tumbuh kembang anak ini adalah ciri kualitas sumber daya keluarga. Di dalam mewujudkan pola asih-asah ini ada faktor eksternal yang turut berperan yakni status sosial ekonomi keluarga yang mencakup pendapatan, pendidikan, interaksi sosial, dan nilai-nilai dalam keluarga. 

Untuk bisa mengembangkan caring behavior yang sehat maka prasyarat yang penting adalah pendidikan ibu, beban kerja ibu, serta ada tidaknya alternate caregivers (pengasuh). Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih giat mencari dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan memelihara anak. Mereka juga akan menaruh perhatian lebih besar pada konsep sehat yang harus dicapai seluruh anggota keluarganya. 

Perempuan adalah aktor ekonomi yang berperan penting dalam mendukung keluarga sejahtera di berbagai negara. Peran mereka tidak hanya terbatas di sektor pertanian, tetapi juga di industri dan pelayanan/jasa. Pertumbuhan industri di suatu negara ditandai dengan partisipasi kaum perempuan, kebanyakan kaum buruh, untuk bekerja di sektor tersebut. 

Ketersediaan pangan rumah tangga tidak lepas dari peran kaum perempuan. Sebuah studi mengungkapkan, di Afrika perempuan memberikan kontribusi 70-80 persen dalam penyediaan pangan keluarga, sementara di Asia 65 persen. Meskipun kenyataannya, perempuan sering mengalami ketidaksetaraan akses dibandingkan kaum pria seperti dalam hal pendidikan, penguasaan teknologi, dan akses terhadap informasi. 

Keterlibatan perempuan di sektor ekonomi tidak selalu menjadi bagian dari statistik sehingga peran mereka menjadi tidak kelihatan. Hal ini terjadi karena penentu kebijakan di bidang pembangunan banyak didominasi pria. Mengabaikan peran perempuan di bidang sosial ekonomi dapat dianggap sebagai pemborosan pembangunan. Perempuan tidak mendapatkan input memadai, sehingga potensi kontribusi ekonomi mereka tidak dapat dimunculkan secara maksimal. 

Alokasi waktu bekerja yang dicurahkan perempuan dari keluarga miskin umumnya lebih banyak daripada kaum pria, meskipun produktivitas kaum perempuan masih dianggap rendah. Seandainya mereka memperoleh perhatian sehingga kebijakan pembangunan bisa sedikit banyak terfokus pada kaum perempuan, maka peran ekonomi perempuan akan muncul secara lebih signifikan. Setiap dollar bantuan negara donor yang dialokasikan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja perempuan, meningkatkan produktivitas mereka, dan memperkuat partisipasi perempuan dalam penentuan pengambilan keputusan akan berdampak nyata dalam pembangunan negara. 

Untuk itu negara perlu memperhatikan program yang bertujuan meningkatkan pendidikan kaum perempuan, peningkatan keterampilan, dan penguasaan teknologi. Perempuan juga harus diberdayakan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut produksi, reproduksi, dan distribusi. Bila kaum perempuan mempunyai posisi kuat untuk mendukung ekonomi rumah tangga, maka permasalahan khususnya menyangkut kerawanan pangan dan malnutrisi akan dapat diatasi dengan cepat. 
***

BEBERAPA studi menunjukkan, kesejahteraan keluarga tidak melulu tergantung pada penghasilan yang diperoleh, tetapi juga sangat ditentukan oleh siapa yang mencari nafkah dan mengontrol pengeluaran rumah tangga. Kaum perempuan, dibandingkan pria, ternyata cenderung mengalokasikan uang untuk belanja pangan keluarganya. Sementara pendapatan yang berasal dari perempuan berkorelasi erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan dan status gizi anak. Karena itu kesetaraan jender, khususnya di bidang ekonomi dan pengambilan keputusan, akan berdampak besar pada kesejahteraan keluarga. 

Ibarat pepatah mengatakan: mendidik seorang pria adalah mendidik satu orang, tetapi mendidik perempuan adalah mendidik bangsa. 

* Dr Ir Ali Khomsan, dosen Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Faperta IPB.
9:01:00 PM
thumbnail

REFLEKSI POLA PENDIDIKAN NILAI DI SEKOLAH

Posted by Yushan on

Proses pembangunan yang sedang kita laksanakan berhadapan dengan era yang jauh berbeda dengan era sebelumnya. Saat ini kita berhadapan dengan dua era, yaitu era reformasi dan era globalisasi. Era reformasi merupakan era baru dalam sejarah berdirinya republik ini. Era pengganti Orde Baru ini berusaha menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran yang selama ini banyak dinodai dan disalahtafsirkan untuk kepentingan pribadi atau golongan. 

Akibat kurang ditegakkannya nilai-nilai hakiki tersebut bangsa ini mengalami krisis di berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi dan sosial. Korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kebijakan yang kurang memihak pada kebenaran merupakan perilaku yang banyak dilakukan sebagian besar golongan masyarakat yang telah dianggap sebagai panutan. Padahal mereka selama ini dianggap sebagai sumber daya manusia yang kita andalkan untuk mengelola kekayaan negara dan menjalankan roda pemerintahan. Namun pengakuan itu menjadi terbalik ketika kekuatan menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran. 

Karena itu bangsa ini pun tidak ingin memilih dan mempunyai sumber daya manusia yang dipercaya untuk mengelola kekayaan negara dan menjalankan roda pemerintahan tetapi masih memiliki perilaku menyimpang dari apa yang ingin diperjuangkan dalam era reformasi. 

Sementara itu pada waktu yang bersamaan dengan usaha menegakkan nilai-nilai kebenaran, kita juga berhadapan dengan era globalisasi. Yaitu, suatu era ketika dunia terasa semakin kecil, dunia tanpa tapal batas. Melalui kecanggihan teknologi transportasi dan komunikasi masyarakat suatu bangsa berhubungan dan berinteraksi dengan masyarakat bangsa lain tanpa dapat dibendung oleh batas-batas administrasi kenegaraan. 

Hal ini memungkinkan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai dan budaya bangsa Indonesia masuk. Selain itu era ini juga ditandai dengan industrialisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Ini memerlukan kemampuan dan daya nalar setiap individu lebih meningkat, demikian pula kemampuan daya serap terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi semakin dititikberatkan pada antisipasi di masa depan. 

Untuk itu diperlukan pengembangan sumber daya manusia ini yang diarahkan kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap memelihara dan berpegang pada nilai hakiki dan budaya bangsa. Tantangan ini membuat keadaan kita memang tidak menguntungkan. Di saat bangsa ini harus mempertegas nilai-nilai pribadi yang hakiki berkaitan dengan masuknya berbagai nilai baru akibat globalisasi, bangsa ini mengalami krisis nilai. Apabila tidak ada pembenahan, perilaku yang pernah terjadi marak pada zaman Orde Baru akan terulang lagi. Untuk itu diperlukan pendidikan nilai yang lebih menyentuh agar dapat terinternalisasi pada diri setiap warga bangsa. 

Menjaga Nilai-nilai 
Berdasarkan uraian tersebut sumber daya manusia sebagai pelaku pembangunan merupakan unsur yang sangat strategis bagi maju mundurnya negara dan bangsa ini. Karena itu diperlukan sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki kualitas dan kemampuan berdaya saing global, tetapi juga harus mampu menjaga nilai-nilai dan budaya bangsa di saat mereka harus beradaptasi dengan peradaban yang semakin maju dan modern. Apabila tidak diimbangi dengan kemampuan untuk mempertahankan nilai dan budaya bangsa, tidak menutup kemungkinan identitas dan jati diri bangsa Indonesia akan kabur. 

Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa kehancuran dan kepunahan suatu bangsa selalu didahului oleh hancurnya nilai dan budaya bangsa yang bersangkutan. Konsekuensi tersebut mengingatkan bahwa era globalisasi yang ditandai dengan revolusi industri ini menciptakan sistem sosial dengan teknologi yang menakjubkan, namun ekses industrialisasi mengubah juga sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang tidak jarang keluar dari falsafah hidup bangsa. 

Selain itu globalisasi juga sangat berperan dalam memacu transformasi kehidupan manusia yang mendasar. Arus informasi dan komunikasi semakin mengglobalkan nilai-nilai budaya yang berlangsung sangat intensif serta menjurus ke arah nilai budaya universal di atas nilai-nilai budaya tradisional. Perubahan dan pergeseran tata nilai dalam masyarakat berlangsung cepat dan tidak terduga. Hubungan antara manusia bukan lagi berdasarkan sambung rasa tetapi berdasarkan hubungan industrial, keuntungan material serta status sosial semakin mendesak perikemanusiaan, solidaritas, kegotongroyongan. 

Demikian juga dengan dekadensi moral sudah menjadi hal yang biasa dan nilai-nilai tradisional yang patut dipertahankan sebagai ciri bangsa yang beradab mulai runtuh dan diganti dengan nilai-nilai pragmatis dan materialistis, termasuk kepatuhan pada ajaran agama mulai luntur. Bahkan, cita-cita membebaskan diri dari serba keterbelakangan di satu pihak dan maju di berbagai bidang, sering kali memperlihatkan wajah yang terlalu ambisius dan hal itu memberi peluang besar untuk tumbuh suburnya perilaku yang jauh dari kepribadian bangsa Indonesia. 

Dalam kondisi demikian hanya ada satu kunci untuk menghadapinya. Yaitu, ikut serta dalam arus perubahan menuju modernisasi, tanpa harus terlarut di dalamnya dan kehilangan jati diri sebagai suatu bangsa yang berkepribadian luhur. Untuk itu perlu pendidikan nilai guna mempersiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga memiliki keselarasan hubungan vertikal dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitar dan memiliki kemantapan kehidupan lahiriah dan batiniah, berjiwa dinamis serta memiliki semangat gotong royong yang senantiasa berkembang sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan kemajuan bangsa dan negara. 

Institusi yang paling cocok untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sekaligus memiliki kemantapan dan kemampuan untuk mempertahankan dan mengaplikasikan nilai-nilai dan budaya bangsa seperti yang diharapkan adalah lembaga pendidikan (baca: sekolah dan kampus). 

Pendidikan Nilai 
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan berperanan sangat penting dan strategis untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa yang bersangkutan. Dalam hal ini pendidikan secara sosio-antropologis merupakan transformasi seleksi dan pengembangan nilai-nilai sosial-budaya dari generasi satu ke generasi berikutnya. Karena itu, pendidikan nilai berperan sebagai acuan dan alur transformasi kebudayaan nasional. 

Selanjutnya pendidikan nilai berperan memberikan karakteristik umum kepada keanekaragaman norma, adat istiadat, etnis dan budaya lokal yang menjadi akar budaya nasional tersebut. Dengan demikian, diharapkan pendidikan nilai mampu menyerap sains dan teknologi tinggi dalam mengikuti arus globalisasi, sekaligus mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai kepribadian Indonesia. Dalam hubungan ini lembaga pendidikan merupakan ''pintu keluar'' orang-orang yang diharapkan dapat memajukan bangsa ini. Lembaga pendidikan, baik pendidikan tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi harus mampu mengaktualisasikan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik. 

Mengingat lembaga inilah yang nantinya menggodok dan menghasilkan manusia-manusia yang diandalkan bangsa dan negara untuk membangun dan memajukan bangsa dan negara ini. Dengan penginternalisasian nilai-nilai luhur bangsa diharapkan lembaga pendidikan mampu melahirkan tenaga-tenaga profesional punya semangat dan gerakan produktif dan konstruktif serta punya kepekaan tinggi terhadap segala perubahan yang dihadapi di tengah masyarakat dalam era pembangunan, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa sebagai ciri kepribadian bangsa Indonesia. Fungsi lembaga pendidikan dituntut lebih efektif saat ini, terutama saat era globalisasi. Karena, era globalisasi menghasilkan titik temu antara berbagai ragam budaya dunia (multi cultural), sekaligus memberi peluang untuk mengembangkan dan memperkaya khasanah nilai-nilai dan kebudayaan. Karena itu, lembaga pendidikan harus memberi bekal kepada peserta didik (siswa dan mahasiswa) dengan berbagai kemampuan untuk menyaring nilai-nilai baru yang bermanfaat untuk dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan. 

Pola Pendidikan 
Pola pendidikan nilai dan budaya bangsa di lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi selama Orde Baru dilakukan dengan cara penataran-penataran. Sebagai contoh penataran P4 yang pada masa Orde Baru dipandang cukup ''ampuh'' untuk mentransfer dan menanamkan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik. 

Cara demikian memang tidak dapat disangkal akan memasyarakatkan nilai-nilai luhur. Namun demikian tidak menutup kemungkinan nilai-nilai luhur itu hanya sekadar dipahami dan dimengerti peserta didik. Tindakan nyata atau sikap nyata atas persetujuan terhadap nilai-nilai yang dipahami belumlah secara total diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Barangkali dapat kita hitung dengan jari berapa persen yang mampu untuk mengamalkan nilai-nilai luhur secara murni dan konsekuen. Paling tidak tindak korupsi, kolusi dan nepotisme yang begitu marak dilakukan orang-orang yang selalu mendengungkan nilai-nilai kebenaran 

Pancasila dan berbagai sikap dan perilaku sebagian masyarakat kita yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, seperti penjarahan, perampokan, dan pembakaran. Itu semua merupakan fakta nilai-nilai yang selama ini diajarkan belum terinternalisasikan. Kenyataan ini boleh jadi merupakan indikator kegagalan strategi penanaman nilai-nilai luhur bangsa dengan penataran kepada peserta didik sebagai generasi muda yang akan mengantarkan bangsa dan negara ini menuju kemajuan dan kemandirian. 
Kegagalan ini tidak hanya karena strategi penanaman nilai yang cenderung mendoktrin, tetapi juga karena jurang pemisah antara nilai-nilai yang diajarkan dengan kenyataan dan berbagai perilaku dalam kehidupan yang menyimpang. Akibatnya nilai-nilai luhur yang patut dijaga dan diaplikasikan dalam kehidupan hanya menjadi impian. Untuk itu perlu pola baru dalam pendidikan nilai. Dalam hubungan itu ada dua pola pendidikan nilai yang dapat dikembangkan. 

Pertama, pendidikan nilai berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Dengan pola ini peserta didik diberi kesempatan menggunakan pengalamannya untuk menafsirkan nilai-nilai yang diajarkan. Selanjutnya mereka dibawa pada kenyataan hidup, misalnya ke tempat-tempat permukiman kumuh, ke pengadilan untuk melihat proses keadilan dalam hukum, ke panti asuhan dan lain-lain. 
Dalam pola ini peserta didik diberi kesempatan untuk mengritik hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai yang diajarkan. 

Dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran untuk mempertahankan dan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai luhur bangsa. 

Kedua, penanaman nilai-nilai luhur melalui semua mata pelajaran atau mata kuliah. Artinya pendidikan nilai tidak harus dieksplisitkan sebagai mata kuliah atau mata pelajaran khusus tetapi dapat secara implisit pada semua mata kuliah, bahkan pada semua mata pelajaran atau bidang ilmu. 

Hal ini penting mengingat bahwa semua mata pelajaran atau mata kuliah baik itu yang terkait dengan ilmu eksakta seperti matematika, biologi, fisika, kimia atau ilmu sosial seperti ekonomi, pemerintahan, jurnalistik, maupun yang terkait dengan ilmu-ilmu humaniora seperti kesusastraan dan bahasa tidak akan terlepas dengan nilai yang kaitannya dengan kehidupan manusia. 

Seorang pengajar pada saat mentransfer ilmu harus tetap mempertemukan antara arah ilmu yang dipelajari peserta didik dengan nilai-nilai kepribadian bangsa. Dengan demikian peserta didik selalu dikenalkan dan dibiasakan dengan nilai kemanusiaan yang terkandung di dalam ilmu itu. Sehingga, baik secara kognitif dan afektif mereka memperoleh pendidikan nilai melalui berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang dipelajari. 

Karena itu, mereka diharapkan menjadi peserta didik dan generasi penerus bangsa yang tidak hanya mampu menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan sebagai modal untuk berkompetisi global, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menjaga nilai dan menggunakan ilmunya dengan tetap sejalan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan di berbagai bidang tanpa harus melepaskan jati diri sebagai bangsa Indonesia. *** 

Oleh: Teguh Setiawan
Penulis adalah staf pengajar FPBS IKIP Yogyakarta 
8:37:00 PM
thumbnail

KURIKULUM JANGAN SAMPAI MEMBERATKAN, KARENA MURID AKAN MENJADI KORBAN

Posted by Yushan on

Psikolog Sartono Mukadis, menilai, sudah waktunya pendidikan di Indonesia tidak lagi menjadikan murid sebagai objek tetapi subjek pendidikan. Selama paradigma murid adalah objek tetap dipelihara, maka murid serta walinya akan terus menjadi korban dan "sapi perahan" sekolah. Ironisnya lagi, murid sekolah terus-menerus dibenani kurikulum pendidikan yang tidak masuk akal beratnya, seperti sudah jatuh tertimpa tangga. 

Ditambah lagi dengan banyaknya guru yang sewenang-wenang dan menjadi "hantu" bagi murid, sehingga tidak sedikit anak yang takut sekolah dan takut mengikuti pelajaran."Paradigma itu harus diubah, dan sekarang pelan-pelan saya lihat sedang terjadi. Paradigma pendidikan satu arah yang berorientasi pada target Ebtanas harus diganti. Pendidikan bukanlah sesuatu yang langsung jadi. Pendidikan adalah proses panjang sepanjang hayat," ujar Sartono kepada Pembaruan, di Jakarta.

Sartono menyatakan bersyukur karena sistem peringkat di sekolah sudah dihapus setelah dirinya ikut memprotes selama 20 tahun penerapan peringkat kelas. Pasalnya, peringkat merupakan penghinaan kepada siswa. Anak yang pandai matematika, belum tentu juga pandai dalam olahraga.

Adanya peringkat sekolah, katanya, berarti sekolah menghapus semangat bertanding murid dengan diri mereka sendiri. Guru seharusnya memuji setiap prestasi dan memicu semangat belajar anak didik. Untuk mencapai paradigma itu harus memenuhi berbagai syarat. Jangan malah menjadi "hantu" yang menakutkan anak.

Menurut Sartono, pendidikan yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak adalah di tingkat sekolah dasar (SD). Jadi, jangan lagi guru SD direkrut secara asal-asalan, guru di SD harus betul-betul berkualitas.

Diingatkan pula, janganlah bermimpi bahwa mendidik anak itu tugas guru semata, dan perlu diingat bahwa belajar dan mendidik itu juga berarti bermain. Selama di rumah, orangtua harus membuat suasana belajar sambil bermain dalam setiap kesempatan. "Prinsip sekolah tanpa dinding itu yang terpenting. Guru harus mengajak anak untuk terus bertanya, dan mencari jawaban dari daya analitis dan kritis. Guru harus mengizinkan anak didiknya berpikir beda. Janganlah orangtua atau guru memberhalakan atau menjadikan IQ sebagai Tuhan," ujarnya.

Mutu pendidikan di Indonesia, menurut Sartono, masih sangat menyedihkan. Rendahnya mutu tersebut, lama kelamaan akan membahayakan masa depan bangsa. Lewat jalur pendidikan, diharapkan para orang muda atau peserta didik nantinya dapat bertahan hidup di tengah masyarakat.

"Akan lebih berguna apabila kita bertanya secara positif, apa yang kita harapkan dari pendidikan kita sekarang ini? Apakah para guru telah menjalankan tugasnya dengan baik di dalam kelas sehingga dia tidak menjadi hantu yang menakutkan bagi para murid," ucapnya.Dikatakan, pendidikan yang diberikan para guru itu harus menyangkut seluruh aspek kehidupan, bukan hanya daya hafalnya.

"Mendidik manusia seutuhnya itu tidak seperti itu. Jika hanya mentransformasikan ilmu, sama saja kita menganggap anak didik itu robot atau komputer yang diisi program-program,'' tuturnya. Menurutnya, untuk membentuk manusia seutuhnya itu adalah dengan membantu siswa agar ia diperkuat dalam kepribadiannya yang lebih bermoral, agar ia belajar membawa diri dengan percaya diri, sekaligus sopan, sehingga dapat mengembangkan suatu wawasan yang memahami situasi lingkungan alam dan sosialnya. Ditambahkan, kita ingin mendidik anak yang terbuka, yang mempunyai wawasan luas, yang tahu bahwa dalam masyarakat Indonesia hidup orang dari berbagai suku, budaya, dan agama, serta dapat bergaul antara yang satu dan yang lainnya. Tidak sektarian atau memiliki sikap fanatisme berlebihan.

3:23:00 AM
thumbnail

PERLU SISTEM PEMBELAJARAN "MULTIGRADE TEACHING"

Posted by Yushan on

Guna mengembalikan memori anak-anak yang traumatis pascakerusuhan, diperlukan sistem pembelajaran yang bersifat multigrade teaching, yakni pembelajaran terhadap satu kelompok yang terdiri dari beberapa kelas. Namun, metode yang seharusnya dijalankan secara kontinu dan konprehensif ini terbentur masalah dana. Demikian dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Suyanto MEd PhD.

"Kita tahu bahwa dampak kerusuhan terhadap aspek pendidikan sangat luar biasa. Sebab, dalam kondisi traumatis, stigma-stigma sosial akan terkenang seumur hidup sehingga diperlukan penanganan pedagogi yang baik pula," ujarnya.

Untuk mengembalikan kondisi yang sulit itu, apalagi "mengobati" memori anak-anak yang tengah berada dalam puncak kepekaannya-di mana anak-anak disuguhi peristiwa pembunuhan yang luar biasa-diperlukan penanganan yang kontinu dan komprehensif. Menghadapi kenyataan ini, sistem pembelajaran yang diharapkan bukan sekadar memberikan ilmu-ilmu pendidikan formal, tetapi juga pendampingan psikis mereka. Karena itu, kata Suyanto, sistem pembelajaran multigrade teaching adalah yang paling mungkin dilakukan. Artinya, pembelajaran dilakukan terhadap satu kelompok yang terdiri dari beberapa kelas. Misalnya, kelas satu sampai kelas tiga digabung menjadi satu kelas dan untuk anak-anak kelas empat hingga enam juga dibuat kelompok yang berbeda. Untuk itu, masyarakat harus bisa memakluminya sebab kondisi darurat ini sedang mereka alami.

Menurut Suyanto, secara teoretis, metode pembelajaran yang digunakan harus dimulai dengan mengekspose hal-hal yang sangat menakutkan hingga menjadi sesuatu yang tidak menakutkan. "Akan tetapi, secara praktis, anak-anak itu perlu juga diajarkan tentang nilai-nilai yang mengutamakan toleransi. Kalau tidak melalui cara ini, anak-anak akan memiliki perasaan antipati terhadap etnis-etnis tertentu, yang menurut pikiran mereka telah menyebabkan malapetaka," tegasnya.

Hanya saja, demikian Suyanto mengingatkan, metode pembelajaran ini memerlukan waktu yang panjang. Kendati begitu ia juga tidak yakin sepenuhnya kalau metode pembelajaran ini dapat menyembuhkan traumatis anak-anak, apalagi jika itu tidak dilakukan secara serius. Ke depan, tambahnya, pendidikan di daerah rawan konflik tidak harus mengandalkan pendidikan persekolahan yang memberikan teori-teori atau konsep umum pendidikan. "Pendidikan dengan konsep-konsep sosiologis, antropologis, dan budaya juga harus ditempuh," tuturnya.

Ia menambahkan, sampai saat ini upaya memasukkan sikap toleransi menjadi sebuah kurikulum khusus saja masih mengalami pro dan kontra. Namun, lepas dari itu semua, upaya yang paling baik adalah bahwa dalam setiap mata pelajaran seharusnya ada pesan nilai-nilai tertentu untuk kemudian dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. "Pendidikan agama yang sudah mengajarkan nilai-nilai tidak bisa dikatakan gagal. Variabel yang menentukan perilaku manusia begitu banyak. Ia tidak bisa hanya ditentukan oleh kesanggupan murid berada di kelas selama jangka waktu tertentu secara formal," jelasnya. 

(Kutipan Kompas 030301)

3:14:00 AM