Proses pembangunan yang sedang kita laksanakan berhadapan dengan era yang jauh berbeda dengan era sebelumnya. Saat ini kita berhadapan dengan dua era, yaitu era reformasi dan era globalisasi. Era reformasi merupakan era baru dalam sejarah berdirinya republik ini. Era pengganti Orde Baru ini berusaha menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran yang selama ini banyak dinodai dan disalahtafsirkan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Akibat kurang ditegakkannya nilai-nilai hakiki tersebut bangsa ini mengalami krisis di berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi dan sosial. Korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kebijakan yang kurang memihak pada kebenaran merupakan perilaku yang banyak dilakukan sebagian besar golongan masyarakat yang telah dianggap sebagai panutan. Padahal mereka selama ini dianggap sebagai sumber daya manusia yang kita andalkan untuk mengelola kekayaan negara dan menjalankan roda pemerintahan. Namun pengakuan itu menjadi terbalik ketika kekuatan menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Karena itu bangsa ini pun tidak ingin memilih dan mempunyai sumber daya manusia yang dipercaya untuk mengelola kekayaan negara dan menjalankan roda pemerintahan tetapi masih memiliki perilaku menyimpang dari apa yang ingin diperjuangkan dalam era reformasi.
Sementara itu pada waktu yang bersamaan dengan usaha menegakkan nilai-nilai kebenaran, kita juga berhadapan dengan era globalisasi. Yaitu, suatu era ketika dunia terasa semakin kecil, dunia tanpa tapal batas. Melalui kecanggihan teknologi transportasi dan komunikasi masyarakat suatu bangsa berhubungan dan berinteraksi dengan masyarakat bangsa lain tanpa dapat dibendung oleh batas-batas administrasi kenegaraan.
Hal ini memungkinkan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai dan budaya bangsa Indonesia masuk. Selain itu era ini juga ditandai dengan industrialisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Ini memerlukan kemampuan dan daya nalar setiap individu lebih meningkat, demikian pula kemampuan daya serap terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi semakin dititikberatkan pada antisipasi di masa depan.
Untuk itu diperlukan pengembangan sumber daya manusia ini yang diarahkan kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap memelihara dan berpegang pada nilai hakiki dan budaya bangsa. Tantangan ini membuat keadaan kita memang tidak menguntungkan. Di saat bangsa ini harus mempertegas nilai-nilai pribadi yang hakiki berkaitan dengan masuknya berbagai nilai baru akibat globalisasi, bangsa ini mengalami krisis nilai. Apabila tidak ada pembenahan, perilaku yang pernah terjadi marak pada zaman Orde Baru akan terulang lagi. Untuk itu diperlukan pendidikan nilai yang lebih menyentuh agar dapat terinternalisasi pada diri setiap warga bangsa.
Menjaga Nilai-nilai
Berdasarkan uraian tersebut sumber daya manusia sebagai pelaku pembangunan merupakan unsur yang sangat strategis bagi maju mundurnya negara dan bangsa ini. Karena itu diperlukan sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki kualitas dan kemampuan berdaya saing global, tetapi juga harus mampu menjaga nilai-nilai dan budaya bangsa di saat mereka harus beradaptasi dengan peradaban yang semakin maju dan modern. Apabila tidak diimbangi dengan kemampuan untuk mempertahankan nilai dan budaya bangsa, tidak menutup kemungkinan identitas dan jati diri bangsa Indonesia akan kabur.
Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa kehancuran dan kepunahan suatu bangsa selalu didahului oleh hancurnya nilai dan budaya bangsa yang bersangkutan. Konsekuensi tersebut mengingatkan bahwa era globalisasi yang ditandai dengan revolusi industri ini menciptakan sistem sosial dengan teknologi yang menakjubkan, namun ekses industrialisasi mengubah juga sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang tidak jarang keluar dari falsafah hidup bangsa.
Selain itu globalisasi juga sangat berperan dalam memacu transformasi kehidupan manusia yang mendasar. Arus informasi dan komunikasi semakin mengglobalkan nilai-nilai budaya yang berlangsung sangat intensif serta menjurus ke arah nilai budaya universal di atas nilai-nilai budaya tradisional. Perubahan dan pergeseran tata nilai dalam masyarakat berlangsung cepat dan tidak terduga. Hubungan antara manusia bukan lagi berdasarkan sambung rasa tetapi berdasarkan hubungan industrial, keuntungan material serta status sosial semakin mendesak perikemanusiaan, solidaritas, kegotongroyongan.
Demikian juga dengan dekadensi moral sudah menjadi hal yang biasa dan nilai-nilai tradisional yang patut dipertahankan sebagai ciri bangsa yang beradab mulai runtuh dan diganti dengan nilai-nilai pragmatis dan materialistis, termasuk kepatuhan pada ajaran agama mulai luntur. Bahkan, cita-cita membebaskan diri dari serba keterbelakangan di satu pihak dan maju di berbagai bidang, sering kali memperlihatkan wajah yang terlalu ambisius dan hal itu memberi peluang besar untuk tumbuh suburnya perilaku yang jauh dari kepribadian bangsa Indonesia.
Dalam kondisi demikian hanya ada satu kunci untuk menghadapinya. Yaitu, ikut serta dalam arus perubahan menuju modernisasi, tanpa harus terlarut di dalamnya dan kehilangan jati diri sebagai suatu bangsa yang berkepribadian luhur. Untuk itu perlu pendidikan nilai guna mempersiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga memiliki keselarasan hubungan vertikal dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitar dan memiliki kemantapan kehidupan lahiriah dan batiniah, berjiwa dinamis serta memiliki semangat gotong royong yang senantiasa berkembang sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan kemajuan bangsa dan negara.
Institusi yang paling cocok untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sekaligus memiliki kemantapan dan kemampuan untuk mempertahankan dan mengaplikasikan nilai-nilai dan budaya bangsa seperti yang diharapkan adalah lembaga pendidikan (baca: sekolah dan kampus).
Pendidikan Nilai
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan berperanan sangat penting dan strategis untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa yang bersangkutan. Dalam hal ini pendidikan secara sosio-antropologis merupakan transformasi seleksi dan pengembangan nilai-nilai sosial-budaya dari generasi satu ke generasi berikutnya. Karena itu, pendidikan nilai berperan sebagai acuan dan alur transformasi kebudayaan nasional.
Selanjutnya pendidikan nilai berperan memberikan karakteristik umum kepada keanekaragaman norma, adat istiadat, etnis dan budaya lokal yang menjadi akar budaya nasional tersebut. Dengan demikian, diharapkan pendidikan nilai mampu menyerap sains dan teknologi tinggi dalam mengikuti arus globalisasi, sekaligus mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai kepribadian Indonesia. Dalam hubungan ini lembaga pendidikan merupakan ''pintu keluar'' orang-orang yang diharapkan dapat memajukan bangsa ini. Lembaga pendidikan, baik pendidikan tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi harus mampu mengaktualisasikan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik.
Mengingat lembaga inilah yang nantinya menggodok dan menghasilkan manusia-manusia yang diandalkan bangsa dan negara untuk membangun dan memajukan bangsa dan negara ini. Dengan penginternalisasian nilai-nilai luhur bangsa diharapkan lembaga pendidikan mampu melahirkan tenaga-tenaga profesional punya semangat dan gerakan produktif dan konstruktif serta punya kepekaan tinggi terhadap segala perubahan yang dihadapi di tengah masyarakat dalam era pembangunan, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa sebagai ciri kepribadian bangsa Indonesia. Fungsi lembaga pendidikan dituntut lebih efektif saat ini, terutama saat era globalisasi. Karena, era globalisasi menghasilkan titik temu antara berbagai ragam budaya dunia (multi cultural), sekaligus memberi peluang untuk mengembangkan dan memperkaya khasanah nilai-nilai dan kebudayaan. Karena itu, lembaga pendidikan harus memberi bekal kepada peserta didik (siswa dan mahasiswa) dengan berbagai kemampuan untuk menyaring nilai-nilai baru yang bermanfaat untuk dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan.
Pola Pendidikan
Pola pendidikan nilai dan budaya bangsa di lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi selama Orde Baru dilakukan dengan cara penataran-penataran. Sebagai contoh penataran P4 yang pada masa Orde Baru dipandang cukup ''ampuh'' untuk mentransfer dan menanamkan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik.
Cara demikian memang tidak dapat disangkal akan memasyarakatkan nilai-nilai luhur. Namun demikian tidak menutup kemungkinan nilai-nilai luhur itu hanya sekadar dipahami dan dimengerti peserta didik. Tindakan nyata atau sikap nyata atas persetujuan terhadap nilai-nilai yang dipahami belumlah secara total diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Barangkali dapat kita hitung dengan jari berapa persen yang mampu untuk mengamalkan nilai-nilai luhur secara murni dan konsekuen. Paling tidak tindak korupsi, kolusi dan nepotisme yang begitu marak dilakukan orang-orang yang selalu mendengungkan nilai-nilai kebenaran
Pancasila dan berbagai sikap dan perilaku sebagian masyarakat kita yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, seperti penjarahan, perampokan, dan pembakaran. Itu semua merupakan fakta nilai-nilai yang selama ini diajarkan belum terinternalisasikan. Kenyataan ini boleh jadi merupakan indikator kegagalan strategi penanaman nilai-nilai luhur bangsa dengan penataran kepada peserta didik sebagai generasi muda yang akan mengantarkan bangsa dan negara ini menuju kemajuan dan kemandirian.
Kegagalan ini tidak hanya karena strategi penanaman nilai yang cenderung mendoktrin, tetapi juga karena jurang pemisah antara nilai-nilai yang diajarkan dengan kenyataan dan berbagai perilaku dalam kehidupan yang menyimpang. Akibatnya nilai-nilai luhur yang patut dijaga dan diaplikasikan dalam kehidupan hanya menjadi impian. Untuk itu perlu pola baru dalam pendidikan nilai. Dalam hubungan itu ada dua pola pendidikan nilai yang dapat dikembangkan.
Pertama, pendidikan nilai berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Dengan pola ini peserta didik diberi kesempatan menggunakan pengalamannya untuk menafsirkan nilai-nilai yang diajarkan. Selanjutnya mereka dibawa pada kenyataan hidup, misalnya ke tempat-tempat permukiman kumuh, ke pengadilan untuk melihat proses keadilan dalam hukum, ke panti asuhan dan lain-lain.
Dalam pola ini peserta didik diberi kesempatan untuk mengritik hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai yang diajarkan.
Dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran untuk mempertahankan dan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai luhur bangsa.
Kedua, penanaman nilai-nilai luhur melalui semua mata pelajaran atau mata kuliah. Artinya pendidikan nilai tidak harus dieksplisitkan sebagai mata kuliah atau mata pelajaran khusus tetapi dapat secara implisit pada semua mata kuliah, bahkan pada semua mata pelajaran atau bidang ilmu.
Hal ini penting mengingat bahwa semua mata pelajaran atau mata kuliah baik itu yang terkait dengan ilmu eksakta seperti matematika, biologi, fisika, kimia atau ilmu sosial seperti ekonomi, pemerintahan, jurnalistik, maupun yang terkait dengan ilmu-ilmu humaniora seperti kesusastraan dan bahasa tidak akan terlepas dengan nilai yang kaitannya dengan kehidupan manusia.
Seorang pengajar pada saat mentransfer ilmu harus tetap mempertemukan antara arah ilmu yang dipelajari peserta didik dengan nilai-nilai kepribadian bangsa. Dengan demikian peserta didik selalu dikenalkan dan dibiasakan dengan nilai kemanusiaan yang terkandung di dalam ilmu itu. Sehingga, baik secara kognitif dan afektif mereka memperoleh pendidikan nilai melalui berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang dipelajari.
Karena itu, mereka diharapkan menjadi peserta didik dan generasi penerus bangsa yang tidak hanya mampu menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan sebagai modal untuk berkompetisi global, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menjaga nilai dan menggunakan ilmunya dengan tetap sejalan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan di berbagai bidang tanpa harus melepaskan jati diri sebagai bangsa Indonesia. ***
Oleh: Teguh Setiawan
Penulis adalah staf pengajar FPBS IKIP Yogyakarta