-->
thumbnail

PESAN MAHASISWA DI MASA LALU : JANGAN SAMPAI KITA DISALAHKAN OLEH SEJARAH

Posted by Yushan on Monday, April 25, 2016

Apa yang kita perjuangkan adalah benar Semua propaganda hitam yang di tebar oleh rezim adalah untuk mematahkan perjuangan kita. Rakyat dan kelas pekerja yang kita belah dan kita perjuangkan,adalah pedang tajam yang mengancam kelangsungan penindasan. Perjuangan kita adalah satu dengan penderitaan panjang massa rakyat,perjuangan yang selalu berhadapan dengan kebohongan,kemunafikan, perlakuan tidak adil, terror, penangkapan, penyiksaan, penjara bahkan kematian. Semua itu yang pasti harus dihadapi oleh setiap perjuangan yang sungguh-sungguh.

Dalam perkembangan perjuangan kita mengalami peningkatan kwalitatif, demikian halnya resiko yang harus di bayar,semula dengan harus berlandaskan komitmen-komitmen moral yang berkonsekwensi rendah. Namun sejarah yang terus berjalan, semakin mendapatkan siraman sinar kebenaran, ketepatan pilihan apa yang harus di kerjakan yang kita dapatkan secara ilmiah bukan mengada-ada seperti hamparan tanah tandus yang kering mendapatkan siraman air hujan dan matahari, menyuburkan tanah tersebut agar berguna buat kehidupan.

Tujuan perjuangan kita adalah kemerdekaan dari semua bentuk penindasan atas dari semua jenis rakyat yang selama ini menderita secara ekonomi,politik,dan budaya. Secara histories semua itu tidak akan pernah datang begitu saja dan gratis atau tinggal sebagai sebuah pesan tapi harus di buktikan oleh setiap orang yang sadar akan hidup yang terus berhadapan dengan agresi kaum penindas yang tidak pernah puas kalau rakyat tidak habis kering darahnya oleh mesin mesin penghisap.

Kita bukan siapa-siapa, seorang kawan pernah mengingatkan bahwa kita adalah generasi anak haram yang tumbuh dari keharusan sejarah, yang harus setiap hari  mengasah ketajaman otak dan kemampuan kita untuk berhadapan dengan hidup yang semakin lama semakin keras dan memojokan generasi kita ke parit-parit sejarah yang hina dina. Kita hanya harus menempah dan mengasah pedang kita atau dengan sabar perlahan-lahan menunduhkan kepala kita pada tembok kekuasaan yang sombong, dan setiap darah yang mengucur di tembok itu akan mengalir menghidupi bunga yang tumbuh menjalar, yang akan terus merambat,mengukung dan satu saat akan meruntuhkantembok itu. Apa lagi yang jadi takdir hidup kita, ditengah kebuasan penindas.

Patutkah kita lari,buang muka dari penindasan yang melilit leher rakyat. ?? Let your pain be my sorrow ( Sting ), and the world will be as one  ( John Lenon ) Biarlah surga masa depan menjadi milik kita bersama,bukan menjadi milik sendiri-sendiri. kita bukan siapa-siapa, selain harus tetap pada garis perjuangan yang sudah kita patri bersama-sama dalam sejarah umat manusia. Secara jujur kita harus mengakui , perjuangan yang sudah dirintis bukan milik kita sekarang tetapi milik massa depan, milik rakyat yang kita perjuangkan. Pimpinan-pimpinan  ( yang kita pilih dan tunjuk sendiri ) yaitu kawan-kawan dekat kita,yang sudah mengorbankan hidup mereka dalam penyiksaan fisik,maupun jiwa dan pasti akan menjalani penjara. Semua yang sedang di hadapi adalah pilihan sadar mereka untuk kita semua, untuk massa rakyat yang kita belah dan perjuangkan. Lewat seorang kurir, kawan-kawan pimpinan telah mengeluarkan seruan : Penjara tidak membuat kami jera !! masih ingatkah kita bahwa sebagian besar dari mereka hidup di gerogoti penyakit kronik dari TBC, Radang usus, Lever, Ginjal, Geger otak dll. Ingatkah kita bahwa sebagian dari mereka meninggalkan orang tua dan keluarga yang menyayangi mereka ( sebagian dari mereka dalam ekonomi yang parah ) meninggalkan kuliah harapan ke dua orang tua dan orang orang yang mereka kasihi. Tapi, mereka tetap teguh mngepalkan tangan perjuangan-perjuangan mereka.

Ketakutan dan kepanikan kita adalah wajar,namun otak yang sudah ada harus bisa mengatasi itu semua. Tidak ada alasan bagi kita untuk mundur , semua teror yang kita hadapi adalah seujung kuku di bandingkan penderitaan yang sudah di hadapi massa rakyat ? Ingatkah kita terror yang di alami rakyat pada tahun 1965,Aceh Maubere, Papua dan lampung ? Terbayangkah kita pada MARSINAH dan jutaan kaum pekerja lainya yang hidup di kolong-kolong terror dan kemiskinan ? semua tragedy manusia Indonesia ada di benak kita dan tidak pernah bisa di hapus oleh air mata dan kata-kata kosong.

Kita telah melawan Kediktatoran Orde Baru semenjak peristiwa Malari 74, 27 juli 96 sampai kita memimpin revolusi penumbangan Soeharto pada tahun 98, barangkali sudah menjadi takdir sejarah dari penindasan kapitalisme, militerisme di Indonesia dan beberapa negara lain bahwa mahasiswalah yang dipilih oleh sejarah untuk memperbaiki kecacatanya. Mungkin sementara sejarah akan berterimah kasih dengan generasi kita, akan tetapi sejarah belum berhenti untuk mencatat, bahkan saat ini sejarah tersebut menggugat kembali pada generasi kita, sebab revolusi 98 hanya menghasilkan penumbagnan Suharto, sebagai bagian dari Orde Baru. Ingat Orde di topang oleh tiga pilar ; Seharto dan birokrasi korupnya, Partai Golkar Mesin Politiknya, Dwi Fingsi TNI Penjaga Stabilitasnya. Revolusi Rakyat yang kita pimpin belum selesai bahkan dicuri oleh oportunis yang tidak tau malu; Reformis Gadungan, masih menyisakan kotoran lama; Sisa-Sisa Orde Baru. Kenapa kita belum sanggup menyelesaikan tugas sejarah tersebut ?—Jawabanya kita tidak perlu menyalakan kelompok Mahasiswa yang memecah gerakan pada saat pendudukan DPR/MPR 98 setelah Soeharto jatuh Bahwa Reformasi telah selesai kata mereka,….Memang betul mereka adalah anjing kaki tangan Orde Baru seperti makian kita selama ini. Atau menyalakan kelompok Mahasiswa di bawah bendera BEM,KAMMI saat ini,…..Memang mereka adalah badut…ya..Badut Orde Baru dan Reformis Gadungan. Tapi mari kita pertanyakan sejauh mana kepeloporan kita dalam mendialetiskan kesadaran dan memimimpin massa rakyat dalam perjuangan Revolusi Demokratik. Jadi saat ini yang esesnsi adalah bagaimana mengorganisir kesadaran mayoritas mahasiswa dan rakyat. Jangan-jangan saat ini karena baru aksi sekali saja dengan tuntutan adili Golkar, kita telah onani dengan klaim subyektif sebagai seorang Revolusioner, bukankah ini adalah sikap manja dan kepengecutan Borjuis kecil kita.

Mungkin ketakutan kita akibat sekap ilusi kesadara Orang Tua atau bahkan kesadran kita kita sendiri yang telah tererosi oleh hegemoni negara, harus cepat kuliah untuk jadi sarjana, dan bekerja menjadi sekrup-sekrup memperkuat kapitalisme, sisa feodalisme dan itu berarti kita ikut memperpanjang barisan perbudakan. LMND barangkali menghalangi atau mengganggu ksarjanaan kita. Mungki kita ingat seorang kawan Andi Arif namanya seorang ketua SMID, yang oleh Orde Baru akibat mempertahankan idealismenya harus dipukuli, di culik, diestrum kemeluannya dan nayaris mati, tetapi ia juga bisa Sarjana sekaligus.

Perjuangan massa rakyat yang kita pimpin bukan saja berhadapan dengan rezim penguasa,tapi juga berhadapan dengan kaum opurtunis dan munafik yang selalu menjilat penguasa sambil menginjak- injak hak  massa rakyat. Mereka adalah alat-alat penguasa untuk menakuti-nakuti massa rakyat dengan jampi-jampi setanya. Perjuangan kita juga berhadapan dengan penghianatan dari elemen-elemen penetrator yang berusaha merusak dan menghancurkan gerakan massa rakyat dari dalam, yang tertawa terbahak-bahak melihat terror menimpah kita. Mereka juga bisa berbicara sama tentang pembebasan massa rakyat dan demokrasi, namun tangan mereka belum kering oleh darah massa rakyat yang telah mereka bantai mereka akan tertawa berjingkrak-jingkrak kesenangan melihat kita jirih,dan akan berpesta pora untuk merayakan kemenangan mereka bersama resim sambil menyanjung-nyanjung pimpinan-pimpinan boneka mereka yang akan menjadi penipu – penipu baru buat rakyat ! kelak pada saat rezim tumbang dan rezim boneka baru berkuasa maka massa rakyat akan dua kali lebih menderita, karena kemenangan yang seharusnya di rebut oleh rakyat telah di rampok untuk kemudian di gunakan membantai perjuangan massa rakyat lagi.

Mata hati kita tidak akan di tipu, namun memang sulit dan melelahkan untuk membangun masa depan yang berdaulat bagi massa rakyat !memang, beberapa tokoh democrat yang tadinya yang dekat dengan kita, kini,sekarang ikut-ikutan menginjak kita.mereka ikut ketakutan dan memilih lebih baik jauh dari kita.Watak yang demikian yang dari dulu mengililingi gerakan massa rakyat yang kita bangun selama ini. Dahulu mereka memeras keringat kawan-kawan kita. Menjadikan pekerjaan kita menjadi proyek-proyek dana mereka. Sambil sesekali hadir di tengah perjuangan massa dan menunjukan komitmenya terhadap perjuangan rakyat, mereka racuni beberapa elemen-elemen opurtunis di dalam tubuh gerakam untuk kemudian menjadi kaki tangan mereka yang setia. Dan semuanya telah menjadi darah dan daging merekaadalah keringat kerja keras kita membangun massa rakyat.

Namun kini apa yang mereka lakukan adalah dengan menganggap LMND kita sebagai kurap yang patut di jauhi, Beberapa dari mereka ikut mencaci  dan menista kita,  dibilang liga sepakbolah dan lainnya. Padahal kita hanya meminta sedikit hasil curian mereka dari para kapitalis internasional. Mereka akan tidak perna jujur terhadap keadilan dan menghargai sopan santun berpolitik karena mereka lahir dari rahim yang sama dengan kita, rahim orde baru, Cuma tulang dan darahnya yang saja kotor oleh moderasi uang dan karir, yang menghamburkan uang rakyat di club-club malam bersama sekretaris mudanya,rumah bordil dan diskotik, sepulangnya dari kantor mereka yang ber-AC
Viva kaum pro-demokrasi ! perjuangan dan tingkahmu akan kami kenang, kaum seperti mereka tidak pernah akan habis dan akan selalu mengganggu gerakan massa rakyat kapanpun dan di manapun mereka ! mereka akan selalu mengintip kita setiap kesempatan yang bisa mereka colong,dengan air liur menetes seakan melihat gerakan demokrasi sebagai dewi yang bisa sewaktu-waktu di ajak kencan,digilir atau di paksa di perkosa. Itulah mereka yang kini penuh kebencian menatap kita saat mengetuk pintu rumah mereka. Watak ini wajar tumbuh dan membesar di iklim demokrasi pancasila orde baru ini. Mereka tidak segan-segan berkolaborasi dengan rezim penindas atau dengan pemilik modal atau kekuatan asing imprialisme !

Kita tidak sama dengan mereka, dan kita tidak akan tunduk dengan mainstrem mereka kita tidak akan tunduk atau pada barisan opurtunis itu, penderitaan yang kita sudah telan selama ini mengarjakan kita untuk mandiri dan setia teguh pada perjuangan massa rakyat.Sejengkalpun kita tidak pernah mundur ! kita berjuang bukan karena uang atau karir politik tapi hanya untuk kemenangan massa rakyat dan demokrasi yang sejati.

Akhirnya saya mengutip sepotong kalimat kawan-kawan demonstarn Cina pada peristiwa Tiangnamen.
Prestasi Akademik itu memang penting
Gelar sarjana juga sangat penting
Akan tetapi Tanpa Demokrasi semua itu tidak berharga apa-pa.
4:07:00 AM
thumbnail

PENDIDIKAN KERAKYATAN

Posted by Yushan on Sunday, April 17, 2016

"Menyoal Cita-Cita Pendidikan Kerakyatan"
Sebuah Kritik Terhadap Pendidikan Nasional

Demonstrasi mahasiswa menggugat keberadaan DPKP (Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan) dan Otonomisasi UI versi Rektorat dalam cara Dies Natalis UI di Balairung UI-Depok, 2 Februari 2000, telah berhasil menggelembungkan masalah-masalah pendidikan tinggi menjadi wacana publik di seluruh Indonesia, khususnya pada segmen sivitas akademika maupun para pemerhatinya. Genap 4 bulan setelah aksi massa tersebut, beberapa mahasiswa UI dipanggil oleh P3T2 (Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata-Tertib) yang mengklaim telah diberi mandat oleh Rektor. Mereka yang dipanggil tersebut adalah, Suma Mihardja, Mahawisnu Tridaya Alam, Dipo Asto Prayoga, dan Dhoho Ali Satro, Lucky A. Lontoh dari FHUI; Kokom dari FTUI, dan Dewi dari FSUI. Dua mahasiswa lain, Ai (FT) dan Erick (FS) yang kebetulan berada di sana untuk melihat acara Dies Natalis, ternyata tak luput dari panggilan dan pemeriksaan juga.

Belajar dari hal tersebut, kenyataanya pihak birokrasi kampus belum dapat menangkap aspirasi yang diserukan oleh mahasiswa-mahasiswa UI, dalam konteks pendidikan kerakyatan yang bisa membantu rakyat Indonesia untuk keluar dari krisis, sekaligus menegakkan harga diri bangsa di mata dunia internasional. Lebih jauh lagi, beberapa mahasiswa justru mendapatkan represi, intimidasi, dan pencabutan bantuan finasiil dari birokrat kampus. Aspek pendidikan kerakyatan akhirnya semakin menjauh dari perhatian di bawah tekanan dan nikmatnya fasilitas kampus. Untuk itu kami menghadirkan diskusi terbuka ini untuk menghembuskan otoritas pendidikan untuk rakyat yang emansipatoris dan berkeadilan sosial dalam dunia pendidikan kita yang telah dipisahkan dari akar sosialnya pada era Orde Baru.

"Terus terang gerakan mahasiswa sekarang kelelahan", ujar Reinhart Sirait, Koordinator Departemen Hubungan Internasional Liga Mahasiswa untuk Demokrasi (LMND), "… malah cepet lelah karena nggak ada tujuan". "Sebenarnya politik mahasiswa bukanlah politik kacangan, tapi, kalau bisa dibilang, politik kehilangan basis. Jadi ada jarak terhadap rakyat. Hal ini bukan sekali ini terjadi tetapi terjadi dimana-mana", ujarnya lagi, "hal ini tidak terpisah dari posisi mahasiswa dalam masyarakat yang gamang, makanya politik mahasiswa juga politik gamang ….   Bohong kalau kampus itu netral dan bebas ideologi!", lanjutnya.

Diskusi yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa ini berjalan dengan suasana serius meskipun sesekali diselingi tawa terutama ketika mendengar sejarah gerakan mahasiswa di tempat lain, "Di Perancis, gerakan demokratisasi kampus berawal dari tuntutan mahasiswa laki-laki untuk berkunjung ke mess mahasiswa perempuan", ujaran ini tak luput membuat suasana diskusi menjadi ger. "Artinya, jangan pernah menganggap remeh sebuah isu. Meskipun remeh temeh, namun pada dasarnya setiap hambatan dan gejala sosial dalam kampus punya potensi untuk mendorong demokratisasi kampus, sayangnya kita kurang perhatian dengan masalah tersebut … nggak bener kalau isu di luar kampus lebih penting dari yang di dalam kampus, justru harus ada koordinasi", aku Reinhart. Sayangnya beberapa pembicara yang lain tidak dapat hadir jadi diskusi lebih difokuskan pada ulasan sejarah gerakan mahasiswa dalam mengusung demokrasi.

"Dalam konsep neo-liberal, istilah yang diperkenalkan sub-commandante Marcos dari gerakan Zapatista di Mexico, bisa jadi nanti ada universitas seperti mall, tapi hanya sedikit orang yang bisa ditampung. Ini sama dengan privatisasi. Dalam esensi sesungguhnya, ada subsidi dan kompetisi dari negara ke sektor pendidikan yang dihilangkan, Akibatnya pendidikan akan mahal. Tapi bagusnya, fasilitas kampus akan ditingkatkan. Dengan demikian, sekolah makin selektif, dan orang disaring menurut agaimana ia secara sosial dilahirkan. Gimana nasibnya anak-anak Manggarai tuh? Makan aja susah. Lebih kacaunya lagi, kalau di negara barat liberalisasi itu biasanya disertai dengan demokratisasi, tapi kalau di Indonesia, maunya liberal tapi nggak demokratis.", ujar Reinhart. "Sistem kompetisi harus dihilangkan. Ini produk keji dari: Pendidikan kapitalisme, bisa berbentuk ujian. Semuanya berhak untuk eksis. Kita satu kelas adalah satu kolektif. Kalau ada standarisasi, khan ada mahasiswa yang kuliah jauh-jauh dari Bogor, belajarnya gimana?", tambahnya.

Terus, bisakah pendidikan gratis menciptakan manusia berkualitas? "Kalau dalam kapitalisme pendidikan hanya jadi milik segmen tertentu. Hanya dengan gratis rakyat bisa bangkit. Di Eropa yang banyak "welfare state", universitas banyak yang kembali diprivatisasikan. Jadi privatisasi bukan monopoli negara berkembang. Cuba berpendidikan maju meski ekonominya diembargo, tapi pendidikannya gratis. Ingat, pengganguran di Cuba 0%. Hampir semua orang sarjana. Angka buta huruf 0%, karena rakyat miskinya disekolahkan. Kalau di sini orang nggak boleh pintar, orang pintar khan nantinya bisa berontak", jawab Reinhart.

Perjuangan membangun sistem pendidikan yang berorientasi pada pengembangan produktivitas dan pembangunan kualitas bangsa Indonesia bukanlah sebuah hal yang mudah. Kiranya dari diskusi ini kita dapat mengambil banyak manfaat dari pengalaman bangsa lain juga dari para pembicara bahwa tidak ada hal yang dicapai tanpa kerja konkrit, dan yang lebih penting adalah cita-cita kita tentang pendidikan berjiwa kerakyatan bagi bangsa Indonesia bukanlah sebuah impian, tetapi sebuah perjuangan yang harus dimenangkan..Beberapa program mendesak yang menjadi agenda kerja kita harus terus diperjuangkan walaupun dalam keadaan represif seperti ini. Momentum represi dan intimidasi dari para birokrat kampus adalah cermin bahwa tidak adanya demokrasi dalam dunia pendidikan Indonesia.

(Sekretariat KBUI-Depok, Jumat, 2 Juni 2000).
5:03:00 AM
thumbnail

SISTEM PENDIDIKAN TINGGI DEMOKRATIS (Antara humanisme dan kapitalisme)

Posted by Yushan on

Pada zaman yunani kuno (abad ke-5 SM) masyarakat sudah mulai melirik yang namanya pendidikan, dimana pada waktu itu mereka yang mempunyai waktu luang(scolae) setelah menyelesaikan pekerjaan mengisinya dengan belajar(diskusi)tentang ilmu pengetahan terutama tentang ilmu-ilmu filsafatdan kearifan-kearifan.sebagai usaha untuk memanusiakan manusia. Dari sisnilah awalmperkembangan pemndidikan.

Dalam perjalannya pendidikan mengalami perbaikan perbaikan  sesuai perkembangan zaman dan perusakan-perusakan sebagai imbasdar pengaktualisasia potensi kejahatan manusia.

Salah satu usaha perbaikan pendidikan sesuai dengan perkembangan zaman adalah dengan pelembagaan terhadap pendidikan itu sendiri sehingga sekarang ada yang kita kenal dengan sekolah dan universitas. Serta lembaga pendidikan lainnya. Tetapi kemudian pelembagaan pendidikan yang diawali dengan niat yang baik ini mengakibatkan sistem pendidikan yang ada berubah menjadisitem pendidikan kapitalistik.sesuai dengan perkembangan pendididkan yang kapitalistikdan meninggalkan tujuan utamanya (memanusiakan manusia). Diantara akibat-akibat yang sangat parah dan harus segera diatasi.

1.Intervensi negara terhadap sistem pendidikan
Pendidikan (lembaga dan sistemnya) yang seharusnya bersifat independen dan otonom hari ini. Ini tidak terjadi, bahkan pendidikan hari ini digunakan oleh negara sebagai alat untuk melakukan pembodohan dan hegemoniterhadap rakyat dengan cara pemaksaan idiologi negara (seperti pancasila) dan pemutar balikan fakta sejarah melalui pendidikan yang memang mulai berasal dari pusat (negara). Bahkan dana pendidikan yang seharusnya ditanggung oleh negara malah dilimpahkan kepada lembaga pendidikan untuk menanganinya. Hingga mengakibatkan biaya pendidikan yang memang sudah mahal menjadi lebih mahal sehingga banyak rakyat yang tidak sempat menikmati pendidikan.

2.Tidak jelasnya orientasi pendidikan
Selain pendidkan dijadikan alat oleh negara untuk melakukan pembodohan dan hegemoni terhadap massa rakyat, negara juga tidak menawarkan orientasi yang jelas demi pendidikan hari ini. Secara umum ada dua orientasi dari pendidikan:

a.Memanusiakan manusia.
Lembaga pendidikan hari ini tidak berorientasi memanusiakan manusia, yang dihasilkan lembaga pendidikan hari ini adalah penindas-penindas baru yanghampir hilang sifat sifat kemanusiannya(seperti banyak teman penulis sendiri)

b.Orientasi pasar
Inipun tidak jelas, karena luliusan pendidikan hari ini tidak bisa menyesuaikan diri di “pasaran” sesuai tuntutan masyarakat sebab selama pendidikan, mereka (peserta didik) memang dijauhkan dari realitas sosial masyarakatdengantujuan untuk meredam “pemberontakan” dari kaum intelektual ini.terhadap hegemoni negaradan ini tidak pernah disadarioleh kaum intelektual tersebut. Selain itu ilmu yang ditawarkan pendidikan hari inimemang bukan orientasi pasar karena kita lebih banyak belajar tentang teori-teori zaman duluyang tidak pernah berubah dari tahun ketahun dan tidak pernah diajari mengenai kritik dan solusi terhadapo masalah yang berkembang sekarang. (seperti tulisan ini pula).

Oleh karena itu kita harus menuntut pendidikan yang murah, ilmiah dan demokratis, semoga dengan itu seluruh rakyat bisa menikmati pendidikan dan menjadi manusia yang sudah dimanusiakan serta mampu survive dipasaran (barang kali’ ye)
Say Yes for Refolution

Oleh: Khalid P.
Penulis adalah Kordinator Divisi Aksi dan Mobilisasi (DAM)
Komunitas Pelataran Baruga (KONTRA) Makassar

4:33:00 AM
thumbnail

PENTINGNYA TRADISI "KEMERDEKAAN BERFIKIR" DALAM PENDIDIKAN KITA

Posted by Yushan on Friday, April 15, 2016

TULISAN S.N. Ratmana yang berjudul Pendidikan Kita Bikin Sesak Napas? (Kompas, 2/10/1996), sangat menarik untuk dibicarakan dan didiskusikan. Penulis begitu merisaukan dunia pendidikan di Indonesia (kini) yang seakan sudah tidak diketahui arah dan tujuannya. Di lain pihak kita begitu mendambakan lahirnya anak didik yang berprestasi dan bernilai baik, tetapi di lain pihak kita sendiri mengabaikan norma-norma dasar pendidikan (pedagogik) yang semestinya, yakni pendidikan yang didasarkan atas penjiwaan dan naluri nurani anak didik sendiri. 

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk sekadar menambah atau mempertajam kegelisahan apa yang telah dipaparkan oleh S.N. Ratmana. Dan menurut pandangan saya, dunia pendidikan kita sekarang bukan saja sudah "terjangkit" penyakit sesak napas, tetapi sudah (mungkin) lebih menjurus pada stadium penurunan mutu pendidikan. 

Kita mungkin masih ingat, kerap sebuah pameo dilontarkan di tengah masyarakat, bahwa bila terjadi pergantian seorang menteri maka akan berganti pula kebijakannya, dan biasanya akan diikuti pula dengan perubahan kurikulum yang digunakan sesuai dengan selera bapak menteri yang baru tadi. Apakah pameo ini benar? Kita akan sulit mendapat jawabannya dengan pasti. Tetapi, kebijakan pendidikan yang sering berubah bila seorang menteri yang baru tampil, adalah sebuah fakta. Oleh karena itulah, karena pameo tidak boleh diyakini sebagai fakta maka masyarakat sering dibuat bingung. 

Isu pendidikan yang kini sedang hangat dibicarakan di masyarakat adalah masalah merosot dan rendahnya mutu pendidikan kita. Gejalanya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah eksklusif yang dibangun pihak swasta yang menjanjikan sistem pendidikan prima, lengkap dengan fasilitas dan guru-guru asingnya, atau semakin "berbondong-bondongnya" orang kaya menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan harapan mereka mendapat pendidikan yang lebih baik. Lantas, jika demikian apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia pendidikan kita ? 

Tradisi kebebasan berpikir 
Masalah mutu pendidikan tampaknya telah menjadi keprihatinan berbagai pihak. Banyak pakar membicarakannya, mereka tidak hanya berasal dari kalangan yang ahli di bidang teknis pendidikan semata, tetapi juga para pengamat berbagai disiplin ilmu yang merasa prihatin atas kondisi ini. Dengan "urun rembuk-nya" mereka dalam persoalan ini semakin menambah pemahaman kita akan pentingnya masalah ini agar segera cepat dibenahi. Ini menunjukkan, bahwa ternyata masalah kemerosotan kualitas pendidikan semakin kompleks dan pelik. Ia tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat teknis kependidikan semata, seperti kurikulum, rasio guru-murid, sistem pengajaran, sarana dan fasilitas, tetapi juga tidak terlepas dari kondisi sosiokultural masyarakat. 

Suatu fenomena yang erat kaitannya dengan menurunnya kualitas pendidikan adalah kurang suburnya tradisi kebebasan berpikir kreatif di dalam masyarakat. Apa yang dimaksud dengan kebebasan berpikir kreatif di sini adalah suatu budaya di mana output intelektualitas seseorang sangat dihargai, ia tidak hanya berupa simbol-simbol dan status akademik yang selama ini banyak dipuji-puji dan dikagumi. Tetapi yang lebih penting di sini adalah kemampuan riil yang dihasilkan atas kemampuan intelektual seseorang. Kemampuan riil inilah yang kita tidak bisa mengukurnya dengan hanya nilai angka. 

Kondisi tidak kondusif seperti di atas diakui tumbuh subur pada masyarakat kita dan sulit dipisahkan dari perilaku kita sehari-hari. Misalnya orangtua begitu mendambakan anaknya menjadi sarjana, karena kalau anaknya tidak menyandang gelar sarjana, gengsi keluarga menjadi taruhannya. Atau bila sang anak telah lulus kuliah ia harus bekerja di kantor pemerintah menjadi pegawai negeri, atau bila ia bekerja di perusahaan swasta, harus lebih dulu tahu apakah perusahaan itu "bonafide" atau tidak. 

Di sini jelas terlihat keberhasilan anak yang ditandai dengan memperoleh predikat sarjana atau status pegawai negeri seolah-olah dianggap sebagai suatu yang luar biasa. Tetapi bagaimana ketika "puncak harapan" itu sirna dan si anak harus mulai berkiprah di dalam masyarakat, atau ia dihadapkan dengan persaingan mencari pekerjaan yang ternyata sulit. Di sini tidak jarang ia mengalami suatu keadaan yang sebaliknya. Jika semula ia dikagumi karena status kesarjanaannya, kini ia dipojokkan karena simbol kesarjanaannya, bahkan yang lebih tragis lagi bila sang anak sudah didudukkan sebagai tonggak harapan keluarga. 

Perilaku sosiokultural masyarakat Indonesia seperti ini bukanlah khayalan, tetapi nyata terdapat dalam masyarakat kita. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya: di dalam keluarga masih terdapat adanya kesenjangan pemikiran antara orangtua dan anak yang keduanya hidup dalam dunia yang berbeda, se-dang mereka tidak dapat saling memahami satu-sama lain, atau masyarakat kita yang lebih melihat orang bertitel dari pihak orang yang berkemampuan namun tidak bertitel, begitu juga dengan pasaran kerja yang lebih melihat gelar seseorang daripada kemampuan seseorang. 

Pola interaktif 
Faktor lain yang bisa menghambat tumbuhnya tradisi kebebasan berpikir bagi anak didik adalah adanya "mitos" bahwa orangtua harus selalu berada pada posisi yang dominan, dan tidak dibenarkan seorang anak memiliki pemikiran lain kecuali menuruti kehendak berpikir orangtuanya. Contoh lain, bisa dilihat dalam hubungan guru-murid atau dosen-mahasiswa. Selama ini ukuran pintar tidaknya seorang murid atau mahasiswa didasarkan atas nilai formalnya. Seorang murid dengan nilai yang tinggi akan dihargai secara simbolis berupa predikat sang juara atau teladan. Tetapi bagaimana dengan nasib siswa yang sebenarnya memiliki kemampuan berpikir kreatif yang tinggi dan bersikap kritis, namun tidak dapat memunculkannya dalam nilai-nilai angka. Karena tiadanya penilaian atau metode evaluasi objektif yang sesuai dengan pola pikir anak. Masa depan anak berkemampuan seperti inilah yang tidak jarang lebih buruk nasibnya dibanding mereka yang tidak pintar sekali pun. Karena mereka secara konseptual sudah terpinggirkan dari "gelanggang

" Pengajaran yang "diwasiti" oleh guru. 
Di dunia pendidikan, jika sistem pengajaran tidak kondusif bagi pertumbuhan sikap kritis dan berpikir kreatif, maka bisa dimengerti bila murid kemudian cenderung bersikap pasif dan masa "bodoh". Mereka sekadar menuruti apa yang dikatakan oleh gurunya di sekolah, tetapi tidak di luar sekolah. Murid sekadar mengikuti dan menerima pelajaran, namun bukan mengerti dan mempelajari apa yang diberikan oleh gurunya karena tiadanya rangsangan dan dorongan untuk benar-benar memahami. 

Persoalan di atas selanjutnya berakibat pada rendahnya kemampuan nyata yang mereka dapatkan sehari-hari. Dihadap-kan pada kondisi ini guru tidak jarang mencoba mengkatrol nilai anak didiknya sendiri, jika guru tidak ingin dikatakan gagal dalam melaksanakan tugasnya. Fenomena ini semakin lama menjadi kebiasaan, sesuatu yang boleh dikatakan sebagai salah satu sebab merosotnya mutu pendidikan. Dengan adanya budaya katrol, secara tidak sadar guru "memaksa" murid untuk tidak perlu belajar keras, tidak berusaha mencari tahu apa kekurangan dan kesulitannya, serta tidak tahu apa yang sebenarnya dia cari di sekolah. 

Kasus yang pernah hangat seperti manipulasi NEM (Nilai Ebtanas Murni) oleh para guru atas anak didiknya semakin memperkuat asumsi di atas, atau prasyarat NEM yang diberlakukan oleh pemerintah untuk bisa masuk ke suatu sekolah. Atas kondisi-kondisi di atas, maka boleh dikatakan dunia pendidikan kita (tampaknya) saat ini tengah terjadi suatu dilema yang sangat membingungkan. Di satu pihak guru harus mempertahankan nama baik sekolahnya di mata masyarakat, sedang di lain pihak guru harus pula membantu anak didiknya "mempertinggi" nilai NEM agar ia dapat masuk ke sekolah tertentu. Maka, dengan menyadari bahwa selama ini kita tidak mencoba menerapkan tradisi kebebasan berpikir kreatif sebagai elemen sistem pendidikan, paling tidak kita telah menemukan satu akar permasalahan mengapa mutu pendidikan kita agak tertinggal. 

Konsistensi sistem 
Dengan menyadari tidak berkembangnya tradisi kebebasan berpikir dalam dunia pendidikan seperti sekarang, satu alternatif yang bisa dicoba adalah melakukan perubahan secara nyata berupa perombakan kebiasaan berpikir, baik di dalam lingkungan keluarga maupun sekolah. Penerapan sistem mendidik Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di sekolah-sekolah adalah sebuah gejala yang baik. Sejauh sistem CBSA tidak diterapkan coba-coba, upaya ini merupakan satu tahap awal keterbukaan dalam pendidikan, atau dapat disebut adanya sedikit perubahan dalam cara berpikir. 

Dengan diterapkannya CBSA kedudukan guru-murid bisa diharapkan sedikit berubah, di sini murid tidak lagi dianggap sebagai "tempat kosong" yang harus diisi ilmu oleh guru, tetapi sudah diperlakukan sebagai anak manusia yang sedang mencari dan mencoba pola pikirnya. Sistem pengajaran yang selama ini masih dipakai, yakni pola indoktrinasi tampaknya sudah harus diganti, anak didik sekarang harus didorong untuk mencari permasalahan dan mencoba memecahkan persoalan menurut caranya sendiri. Di sini, sekali lagi fungsi guru hanyalah sebagai pendamping atau mediator saja. 

Namun, apa yang telah dirintis dalam pendidikan formal seperti penerapan CBSA di atas tidak dibarengi dengan perubahan dalam sistem pendidikan keluarga, kiranya kita tidak bisa mengatakan CBSA itu sebagai langkah awal pembakuan tradisi pendidikan baru. Sebab apa yang dialami di sekolah atau perguruan tinggi akan sangat berbeda sekali bila ia kembali pada keluarga, oleh karena interaksi antara anak dan orangtua relatif lebih intensif daripada interaksinya dengan guru-gurunya. Bukannya tidak mungkin gaya pendidikan keluarga yang masih indoktrinatif itu akan lebih dominan terhadap si anak. Karena itu pula sistem CBSA yang mengandalkan hubungan antarindividu secara demokratis harus dijadikan suatu kebiasaan di masyarakat dan keluarga. 

Dari uraian di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa masalah pendidikan sebenarnya merupakan persoalan kita bersama. Persoalan masyarakat, persoalan keluarga, dan persoalan pemerintah. Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ternyata harus juga disertai dengan tradisi kebebasan berpikir dan berkreasi, seraya mengembangkan nilai-nilai demokratis di antara kita sendiri. Namun, itu pun dengan syarat bahwa kebijakan pendidikan tidak harus berganti seiring dengan bergantinya seorang policy maker. Oleh karena itu harus diyakini bersama, siapa pun menteri yang naik bila sistemnya baik akan berjalan baik. 

Oleh Dudy Hidayat
(Catatan Tambahan untuk S.N. Ratmana)
* Dudy Hidajat, mantan guru, sekarang bekerja di pusat Data Informasi Anak-YKAI, Jakarta, Selasa, 15 Oktober 1996
9:18:00 PM
thumbnail

MENYOROT KOMITE REFORMASI PENDIDIKAN

Posted by Yushan on Thursday, April 14, 2016


Dunia persekolahan atau lembaga-lembaga pendidikan formal adalah institusi yang paling lamban (too slow) dan selalu terlambat (too late) memberikan respons terhadap arus deras perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Hal ini kembali terbukti saat kita membaca berita dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) lewat SK Mendiknas No.016/P/2001 tertanggal 21 Februari 2001 (Kompas, 7/3/2001, hlm.9). 

Bayangkan, sudah sekitar tiga tahun arus reformasi bergulir, baru sekarang dibentuk KRP. Dan kalau kita membaca berita tentang perlunya perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional, kuat dugaan bahwa KRP ini dibentuk justru atas permintaan Bank Dunia yang bersedia mendanainya (Kompas, 14/2/2001, hlm.9). Jadi, mungkin benar pertanyaan retorik dalam judul tulisan Mayling Oey-Gardiner: Adakah yang Peduli Mutu Pendidikan? (Tempo, 24 Desember 2000, hlm.58). 

Pemerintah agaknya tak terlalu peduli, kecuali bila soal-soal ini kemudian menjadi prasyarat pencairan bantuan dari Bank Dunia atau IMF dan lembaga donor lainnya.

Sambil mengelus dada dan menyeka air mata yang terkuras habis selama empat dekade terakhir (sejak 1959), kita mungkin hanya dapat berkata untuk kesekian ribu kalinya, better late than never. Lalu dengan harapan yang telah ribuan kali dikecewakan, kita perlu memberikan berbagai masukan kepada segenap anggota KRP yang terhormat agar hasil kerja mereka yang (dalam jangka pendek) diharapkan selesai akhir tahun ini, dapat terlihat adanya paradigm repentance, pertobatan paradigma. 

KRP kita harapkan dapat menjadi faktor pemicu agar birokrasi pendidikan di pusat dan di daerah mengalami metanoia dan menindaklanjuti proses otonomi pendidikan sampai bermuara ke otonomi sekolah dengan terutama menunjukkan kemauan untuk belajar bersama-sama dengan masyarakat. Arogansi birokrasi dalam sistem pendidikan sentralistis yang dipolitisir selama ini harus berubah dengan lebih memperhatikan secara saksama aspirasi masyarakat yang sedang berubah dengan segala kompleksitasnya. 

Penyederhanaan berbagai persoalan hanya akan membuat KRP "sukses" mengerjakan tugas jangka pendeknya (memperbaiki UUSPN, yakni UU No.2/1989), namun akan gagal membuat pendidikan terselenggara secara relatif otonom pada tingkat sekolah dan universitas di daerah.

Jelas sangat diharapkan bahwa paradigma pendidikan yang "baru" itu benar-benar berorientasi ke masa depan. Mochtar Buchori, yang entah mengapa tidak termasuk dalam daftar nama 12 orang anggota KRP, menyebutnya sebagai Pendidikan Antisipatoris (Kanisius, 2001). Dalam bahasa yang agak berbeda Winarno Surakhmad mengatakan, "Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana kita bisa mengembangkan suatu pendidikan yang bernafaskan desentralisasi dan sekaligus berdimensi global, sesuai dengan tuntutan masa depan itu" (Kompas, 9/3/2001,hlm 9). 

Dan kalau kita coba merangkum ide-ide dasar dari wacana pendidikan yang berkembang akhir-akhir ini, maka setidak ada benang merah harapan masyarakat luas bahwa arah atau visi pendidikan adalah menuju sistem pendidikan yang utamanya bersifat indijines (indigenous), kontekstual, otonom, demokratis, dan berwawasan global. 

Sistem pendidikan yang baru nanti, setelah diuji coba selama 15-20 tahun, kiranya mampu memanusiawikan kaum muda dan masyarakat luas agar menjadi pembelajar-pembelajar mandiri dan kreatif, yang mampu membentuk jati diri kulturalnya sebagai masyarakat Indonesia Baru yang berperadaban dan yang memandang segala perbedaan (SARA) sebagai aset nasional yang paling berharga.

Kalau harapan-harapan yang dikemukakan di atas dapat disepakati sebagai harapan dan visi bersama, atau sekurang-kurangnya harapan sebagian besar anggota komunitas pendidikan yang menaruh perhatian serius terhadap masalah-masalah kelangsungan hidup bangsa ini, maka pertanyaannya adalah apakah susunan keanggotaan KRP yang dibentuk Mendiknas itu memperbesar harapan atau justru sebaliknya? 

Artinya, apakah komposisi anggota KRP mewakili berbagai komponen bangsa yang dianggap kompeten dan arif dalam memahami persoalan-persoalan dasar dalam dunia pendidikan di negeri ini?

Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa sedikitnya ada tiga pertanyaan yang muncul dalam masyarakat sehubungan dengan komposisi keanggotaan KRP tersebut. Pertama, mengapa tokoh-tokoh pendidikan yang dikenal luas seperti Mochtar Buchori, Conny Semiawan, Pater Drost, Arief Rahman, dan Sindhunata, tidak termasuk didalamnya? 

Apakah ada perbedaan pandangan yang membuat tokoh-tokoh tersebut harus berada di "pinggiran" ataukah hanya sekadar karena jumlah anggota KRP dibatasi secara ketat dengan dalih yang lain bisa memberikan masukan? Atau lebih mendasar lagi, bagaimana proses pemilihan anggota KRP itu? Apakah dilakukan secara demokratis dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota komunitas pendidikan yang ada atau dipaksakan mengikuti kehendak birokrat pendidikan di tingkat pusat? Tidakkah untuk membentuk komite yang sangat penting itu diperlukan semacam fit and proper test dalam batas-batas tertentu seperti dalam proses pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai oleh Yusuf Syakir berdasarkan Keppres No.242/M/2000?

Kedua, mengapa seluruh anggota KRP adalah akademisi dan praktisi di persekolahan formal, yang ditandai dengan atribut akademis setingkat master, doktor dan profesor? Apakah masalah pendidikan masih dipahami sebagai masalah yang hanya dipahami oleh kaum akademisi dan praktisi di lembaga-lembaga pendidikan formal yang masa depannya sedang digugat, baik di Jerman maupun di Perancis (seperti sering dikutip Sindhunata dalam kata pengantar beberapa buku terbitan Kanisius belakangan ini)? Bagaimana dengan tokoh-tokoh pendidikan luar sekolah yang sekalipun tidak memiliki atribut akademis tetapi banyak berkiprah dalam proses pendidikan dalam arti yang luas (informal, formal, nonformal)?

Ketiga, mengapa kaum muda dibawah usia 40 tahun yang sangat kritis dalam menyikapi soal-soal pendidikan seperti Darmaningtyas dan Khoe Yao Tung tidak dilibatkan? Tidakkah kaum muda lebih progresif dan "memahami" dinamika perubahan zaman di bandingkan angkatan yang telah terbelenggu oleh paradigma-paradigma lama karena telah terbiasa hidup dalam suasana sistem pendidikan yang sentralistis?

Menyoal komposisi anggota KRP terutama relevan dalam kaitannya dengan harapan adanya paradigma baru dalam memetakan maslah-masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, meminjam konsep para pakar di bidang studi "paradigma shifts" (Khun, Smith, Harmon, Ferguson, Barker, dsb), paradigma yang sungguh-sungguh baru dapat lebih diharapkan dari: 

pertama, orang muda yang relatif belum berpengalaman tetapi memiliki idealisme yang jelas; 

kedua, orang berpengalaman yang beralih bidang pengabdiannya (an older person shifting field); 

ketiga, orang-orang yang tidak berpikir konvensional (the maverick); 

dan terakhir, para pelaksana di lapangan yang amatir (tinkerers). 

Dalam konteks KRP, mereka yang "sangat berpengalaman" di bidang pendidikan pada masa lalu, kecuali yang benar-benar diyakini tidak berpikir konvensional, justru tidak dapat diharapkan untuk melahirkan paradigma baru. Sama seperti pesimisme sebagian anggota masyarakat yang sinis mendengarkan kampanye paradigma baru Partai Golkar dan belakangan menuntut pembubaran parpol warisan Orde Baru itu.

Dalam seminar "Reformasi Pendidikan Nasional" yang diselenggarakan KRP Depdiknas di Yogyakarta, 16 Maret 2001, disebutkan antara lain, "Meski seminar ini banyak dihadiri pakar pendidikan, namun ide-ide yang muncul tampaknya belum banyak memunculkan pandangan yang berbeda dari anggota KRP" (Kompas, 17/3/2001, hlm.9). 

Ini merupakan pencerminan awal bahwa harapan akan munculnya paradigma baru dari para pakar yang "berpengalaman" memang sulit diharapkan. Akankah hasil kerja KRP kelak akan kembali menghasilkan airmata (seperti judul sebuah tulisan Sindhunata di majalah Basis)?

Oleh: Andrias Harefa
12:06:00 AM
thumbnail

DOSA ORBA TERHADAP PELAJAR

Posted by Yushan on Wednesday, April 13, 2016

Setelah 3 tahun Indonesia tanpa kemimpinan diktator Jendral Soeharto, melalui penggulingan massa, disponsori mahasiswa yang menuntut reformasi, ternyata masih banyak kendala menuju masyarakat Indonesia yang demokratik. Gerakan mahasiswa saat iitu ternyata tidak kompak, sehingga GAGAL meruntuhkan tiang-tiang penyangga kediktatoran rejim Orde Baru. Gerakan mahasiswa ter-ilusi dengan jatuhnya Jendral Soeharto dan mengira Indonesia sudah mencapai tahap demokratik, padahal kenyataan yang terjadi: kekuatan penyangga dari " bangunan usang' rejim Orde Baru berhasil melakukan konsolidasi kekuatannya dan siap untuk memukul mundur kekuatan-kekuatan yang selama ini konsisten dengan perjuangan untuk demokratisasi. Apa saja tiang Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun di atas lumuran darah rakyat Indonesia ?

Pertama, Partai Golkar, alat untuk melegitimasi setiap kebijakan yang telah terbukti merugikan rakyat dan bahkan menggadaikan nasib kita generasi muda Indonesia yang saat ini masih duduk di bangku sekolah , menjadi buram masa depannya. Masih ingat kawan-kawan akan utang yang selama ini di tanggung oleh rakyat indonesia? Semua karena partai Golkar sebagai partai yang berkuasa melegitimasi kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru yang mengandalkan hutang luar negeri, dan terbukti gagal. Utang-utang itu dipakai untuk proyek-proyek ambisius yang tidak masuk akan untuk tingkat kemampuan ekonomi kita, tapi dipaksakan agar memberikan gambaran bahwa Indonesia telah menjadi negara modern. Mimpi-mimpi yang ditabur oleh rejim Orde Baru sehingga kesadaran kita terbius oleh ' kepastian akan nasib dan masa depan anak muda Indonesia'.

Kedua, militer atau tentara. Demi terciptanya kestabilan politik serta keamanan yang di perlukan untuk menunjangan kestabilan ekonomi makan militer Indonesia siap sedia menumpas setiap perlawanan rakyat menentang kediktaktoranOrde Baru. Ingat pembantaian Tanjung PRiok, DOM di Aceh dan Papua, Marsinah, Udin, Penculikan aktivis pro-demokrasi, Penculikan seniman rakyat Wiji Thukul sampai tragedi pembantaian 65-66 yang konon mencapai jutaan jiwa. Bagaimana kita mau berani menghadapi masa depan Indonesia Baru dengan kepala tegak, sedangkan masa lalu kita berlumuran darah dan para pelaku kejahatan tersebut masih bebas berkeliaran, serta lembaga-lembaga pelaku kejahatan kemanusiaan masih memainkan peran yang dominan saat ini. Ditambah masih adanya pembagian komando teritorial (Kodam, Korem, Kodim, Koramil, Babinsa) yang memungkinkan militer melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap rakyat sipil. Dwifungsi TNI/Polri memberi peluang bagi militer untuk berfungsi ganda, yaitu fungsi pertahanan keamanan dan fungsi politik. Dari sini mungkin kira akan gampang, terus kenapa Dwifungsi harus di cabut? Bahayanya mempertahankan Dwifungsi adalah: karena militer mendominasi kekuatan politik sipil di parlemen dan masuk kedalam kehidupan rakyat sipil, maka tentara yang seharusnya menjaga pertahanan dan keamanan bangsa dari serangan luar negeri malah mengurusi unjuk rasa buruk pabrik, atau sengketa tanah rakyat, atau malah mengurus perizinan usaha di pasar-pasar tradisional alias mengutip pungutan gelap dana malah mungkin membangun imperium-imperium bisnis. Keuntungan dari bisnis yang dikelola militer digunakan untuk membiayai operasi-operasi militer seperti menculik aktivis pro-demokrasi (Herman Hendrawan, Petrus Bima, Anugerah, Suyat, DLL) yang sampai saat ini entah berantah keberadaannya. Bahkan bisa juga untuk membiayai organisasi-organisasi sipil untuk menghadang gerakan demokratik. Ini semua karena dominaso militer selama 32 tahun berkuasa memang memungkinkan untuk menghimpun dana yang cukup besar tersebut.

Ketiga, Soehartois. Disini dimaknai sebagai birokrat/pejabat dan konglomerat yang diuntungkan selama rejim orde baru berkuasa yang melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Masih ingatkah kawan-kawan kasus penggelapan dana-dana pendidikan/beasiswa, atau kasus birokrasi sekolah yang selalu mengutip uang ini-itu yang tidak jelas untuk keperluan apa, sehingga banyak kawan-kawan yang kualitas kehidupannya buruk terancam putus sekolah. Kaum Soehartois seperti ini harus di lenyapkan, karena hanyalah parasit dalam masyarakat Indonesia yang demokratik.
DOSA-DOSA Orde Baru terhadap perlajar Indonesia :

1. Pengekangan terhadap kebebasan berorganisasi/berserikat, dengan hanya membangun satu organisasi induk di sekolah (OSIS) dan beberapa organ/kegiatan ekstra kurikuler di bawahnya.
2. Pemberangusan terhadap kebebasan berpikir dan nilai-nilai ilmiah demokratik.
3. Mewariskan budaya fasis-militeris, ketentuan untuk baris berbaris/upacara bendera tanpa adanya kebebasan untuk memilih, penyeragaman berpikir dan bersikap dengan suatu keharusan tunduk pada otoritas yang "ditakuti".
4. Pola pembangunan ekonomi yang salah kaprah mengakibatkan pelajar merasa tertekan oleh lingkungan, menciptakan ruang-ruang yang tidak ramah sehingga pelajar merasa asing dengan lingkungan sekitar, dan akhirnya banyak yang terjebak dalam bentuk konflik horizontal : tawuran antara sesama pelajar.
5. Buruknya sarana dan prasarana belajar sehingga mempengaruhi kualitas pendidikan. Ini akibat minimnya anggaran pendidikan, sementara anggaran hankam selalu jadi prioritas.

Kekuatan-kekuatan penyangga Orde Baru saat ini masih ada di sekeliling kita, bahkan telah berhasil membangun kembali kekuatannya. Buktinya, fraksi Golkar berani muncul terang-terangan di parlemen untuk menyerang pemerintahan Gus Dur, didukung pula oleh fraksi TNI/Porli dan reformis-reformis gadungan di MPR/DPR. Di daerah-daerah Partai Golkar menguasai lebih dari 60% bupati/walikota, dan masih adanya struktur komando teritorial militer jelas sangat berbahaya seiring dengan berlakunya otonomi daerah. Akankah kita berkorban dengan sia-sia cinta-cita Indonesia yang demokratik?? Akankah kita percayakan kekuatan-kekuatan Orde Baru memimpin kembali, kepemimpinan yang telah cacat sejarah dan penuh dosa-dosa terhadap rakyat Indonesia??

Ada beberapa pokok yang dapat dan harus dilakukan kawan-kawan pelajar, untuk mencegah bangkitanya kembali kekuatan Orde Baru : Pertama: bentuk kelompok-kelompok diskusi di sekolah, diskusikan masalah aktual yang dihadapi oleh kawan-kawan pelajar, bentuklah organisasi pelajar yang memperjuangkan kepentingan kawan-kawan, dan bergabung dalam serikat pelajar untuk menyatukan gerak langkah perjuangan pelajar. Karena hanya dengan organisasilah, pelajar yang tercerai-berai dapat menjadi satu. Kedua, terlibat aktif dalam aksi-aksi politik terhadap penolakan kekuatan orde baru. Bisa berupa aksi massa pelajar, mendistribusikan selebaran, diskusi-diskusi, membuat tulisan atau jurnal yang berisi gagasan serta pendangan kawan-kawan.

TOLAK PENCABUTAN SUBSIDI PENDIDIKAN MURAH UNTUK RAKYAT, SITA ASET SUHARTO UNTUK SUBSIDI PENDIDIKAN ADILI PARTAI GOLKAR ATAS KEJAHATAN ORDE BARU, CABUT DWIFUNGSI TNI DENGAN PEMBUBARAN KODAM, KOREM, KODIM, KORAMIL, BABINSA!
Bahan diambil dari Media Pelajar Untuk Pembebasan keluaran FPP (Front Pembebasan Pelajar) edisi Februari
10:23:00 PM
thumbnail

MEMAHAMI KEBANGKITAN GERAKAN ISLAM KAMPUS

Posted by Yushan on Tuesday, April 12, 2016

Geliat kehidupan kampus ditandai dengan menguatnya kembali gerakan mahasiswa yang berhaluan Islam. Fenomena ini dapat dibaca jelas dengan tampilnya generasi baru Islam, paling tidak yang terefleksikan dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan kelompok-kelompok dakwah kampus (halaqah) yang banyak mengambil peran dalam berbagai momentum dan dinamika kampus.
Berbeda dari tampilan beberapa organisasi kemahasiswaan Islam lain yang sudah ada sebelumnya, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), maupun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), kehadiran KAMMI seakan-akan mewakili sebuah spirit "Islam baru" yang mencerminkan "totalitas" dan "kesungguhan", baik dalam tujuan perjuangannya maupun dari segi perilaku politik sosialnya. Pendek kata, KAMMI terlihat betul-betul ingin merefleksikan sebuah potret generasi muda Islam yang ideal, sebagai generasi yang sholeh, menjunjung tinggi moralitas Islam dalam berbagai aspek kehidupan (kaffah).
Lazimnya, mereka tumbuh dan berkembang pesat di berbagai kampus yang berlatarbelakang negeri dan umum (bukan di perguruan tinggi berlabelkan agama, seperti IAIN maupun STAIN). Lebih spesifik lagi, biasanya perkembangannya sangat pesat di fakultas-fakultas eksakta, bidang keilmuan pasti, seperti MIPA, kimia, fisika, matematika dan lain sebagainya. Meski di fakultas-fakultas sosial juga ada, tetapi persentasenya jauh lebih kecil dibanding perkembangannya di fakultas eksakta.
Meski organisasi ini masih terhitung belia, tepatnya berusia 10 tahun, tetapi daya resonansi dan popularitasnya cukup mengagumkan. Bahkan, belakangan, karena kuatnya ruh Islam yang dipegangnya, organisasi baru ini mampu menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi kalangan mahasiswa di kampus-kampus besar.

Efek Modernisasi
Harus diakui, arus modernisasi yang berjalan kuat dan pesat, membuat dinamika kemahasiswaan berjalan sangat dinamis dengan tingkat kebebasan berpikir yang sangat tinggi. Melalui disiplin keilmuan yang diterimanya serta jaringan pergaulan dan informasi yang mampu diaksesnya, menjadikan mahasiswa hidup dalam dunia kebebasan yang sangat lebar. Modernisasi telah benar-benar menggeser dan meruntuhkan segala pranata yang sudah mapan, termasuk pranata moral keagamaan dan sosial.
Seorang ilmuan muslim Mesir kenamaan Hassan Hanafi, mensinyalir bahwa modernisasi mampu menyuguhkan sejuta opsi dalam satu hal kecil yang sangat terbatas sekalipun. Di sana tersedia sejumlah standar dan ukuran-ukuran. Siapa pun bebas menggunakan ukuran dan standar tersebut, bahkan juga berganti-ganti dari satu standar ke standar yang lain. Kebebasan menggunakan standar inilah yang kemudian meruntuhkan segala bangunan pranata sosial-keagamaan yang sudah mapan.
Lihatlah bagaimana generasi muda kampus melakukan seks bebas, obat-obatan terlarang, dan larut dalam tuntutan-tuntutan gaya hidup modern lainnya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berlatarbelakang masyarakat desa dengan kultur yang sangat bertolak belakang. Alfin Tofler menyebut gejala ini dengan cultural shock, sebuah keterkejutan budaya yang tanpa disadari menyeretnya ke dalam arus kebudayaan baru yang tidak dikenal sebelumnya.
Modernisasi memang benar-benar menjadi satu persoalan tersendiri dalam kultur masyarakat praindustri, seperti Indonesia. Di dalamnya terjadi aneka kontradiksi yang berjalan dalam satu irama perubahan pada dimensi kultural dan kesadaran manusia. Dalam jeratan kultur seperti inilah, lanjut Hassan Hanafi, setiap orang berkecenderungan kembali kepada nilai-nilai primordialnya atau membangun mekanisme defensif dengan mengusung sebuah nilai-nilai fundamental yang sangat asasi. Biasanya, alternatif pengimbang terhadap modernisasi dipilihlah nilai-nilai keagamaan.
Tesis yang diajukan oleh Hanafi adalah semakin deras arus modernisasi mengguncang sendi-sendi kultural sebuah masyarakat, maka kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai primordialnya juga semakin kuat. Ini yang ditemukan Hanafi tentang perkembangan fundamentalisme kristen di zaman pencerahan Eropa, atau munculnya gerakan Islam puritan di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk berkembangnya gerakan Islam radikal di Pakistan, Mesir dan Turki, khususnya di zaman Kemal Attaturk.
Tampaknya, sinyalemen Hanafi tidak terlalu berlebihan untuk digunakan dalam meneropong fenomena perkembangan menguatnya gerakan Islam di berbagai kampus umum di Indonesia. Setidaknya, ada dua indikasi yang menguatkannya.
Pertama, gerakan Islam kampus ini berkembang di kota-kota besar dengan tingkat modernisasi yang cukup tinggi. Sebaliknya, di kota-kota yang derajat modernisasinya sangat kecil, kehadiran mereka sulit untuk diterima. Artinya, fenomena itu menjadi kekhasan masyarakat perkotaan.
Kedua, sebagai bentuk kecenderungannya yang sangat kuat terhadap ornamen-ornamen keagamaan (Islam), nuansa puritanismenya ditonjolkan jauh lebih kental sehingga kontras dengan khazanah-khazanah lokal. Ini menjadi ciri yang paling tampak dari gerakan-gerakan Islam puritan. Biasanya mereka kesulitan membangun titik konvergensi antara tuntutan formalisme keagamaan dengan realitas aktual kebudayaan lokal yang sedang berkembang.
Mengapa modernisme, pada dimensinya yang lain, mendorong orang untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental atau primordialismenya? Seorang ilmuan Donald Smith menengarai ada tiga sebab.
Pertama, modernisme dapat menyebabkan pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur eklesiastikal. Modernisme dapat menyebabkan ruang sosial pecah, tanpa terhubung antara satu dengan yang lain. Misalnya politik terpisah dari agama, ekonomi dijauhkan dari prinsip-prinsip keadilan dan lain sebagainya.
Kedua, ekspansi politik merambah ke dalam semua segmen sosial dalam menjalankan semua fungsinya, sehingga agama kehilangan peran sosialnya.
Ketiga, terjadi transvaluasi kultur politik yang lebih mengutamakan pentingnya nilai-nilai yang rasional, pragmatis, profan dan non-transendental. Ketiga hal ini, lanjut Smith terjadi secara universal di semua lapisan masyarakat modern.

Agenda yang Belum Tuntas
Begitu kuatnya pengaruh modernisme yang mampu meruntuhkan segala bangunan sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, maka dalam dunia Islam timbul polemik yang cukup serius, apakah modernisme sesuai dengan agama atau malah bertolak belakang.
Kelompok yang memahaminya bertolak belakang dari doktrin agama mengambil sikap resistensi dan konfrontasi, sehingga disebut sebagai kelompok fundamentalis. Ini muncul di beberapa negara seperti Iran, Sudan dan lain-lain. Mereka membangun sebuah antitesa dengan menampilkan Islam sebagai kekuatan tandingan. Di sini kesadaran keagamaan tidak semata-mata dipahami sebagai cara dan pola hidup, tetapi juga dipahami alternatif sistem yang harus diperlawankan dengan sistem mana pun juga.
Sementara kelompok yang menyetujui modernitas mengambil sikap afirmatif-kompromistik dan menganggapnya sebagai bagian dari dimensi doktrinal keagamaan. Sederhananya, menurut kelompok ini, bukankah agama sendiri menganjurkan kemajuan.

Bagaimana sebetulnya pengaruh modernitas terhadap bangunan keagamaan?
Seorang cendekiawan muslim Indonesia Prof Dr Nurcholish Madjid mengatakan bahwa esensi modernisasi sebenarnya adalah rasionalisasi. Sebuah upaya penempatan formula-formula teologis kedalam bingkai ilmiah-teoritis. Dengan demikian, dalam konteks keagamaan, modernisme diperlawankan dengan dogmatisme. Karena dogmatisme sudah pasti irrasional. Itulah sebabnya, mengapa sang cendekiawan selalu mengkampanyekan keharusan modernisasi terhadap bangunan keagamaan sejak tahun 70-an.
Tetapi rasionalisasi terhadap segala bangunan keagamaan, terutama pada anasir teo-ritualistiknya, mengakibatkan hilangnya dimensi spiritualitas agama yang menyebabkan perilaku dan praktik keagamaan itu sendiri menjadi kering dan gersang.

oleh Aminullah Yunus
Ketua Umum Badko HMI Jateng-DIY
8:04:00 PM
thumbnail

GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI GERAKAN PEMBERDAYAAN DAN IDENTITAS

Posted by Yushan on

Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.

Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya. 

Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa. 

Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri Presiden Soeharto. 

Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada kehidupan gerakan mahasiswa. 

Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas". 

Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.

Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa --- jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan efektif. 

Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling)..

Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa penggulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.

© Copyright 1999 Masyarakat Transparansi Indonesia
The Indonesian Society for Transparency
http://www.transparansi.or.id
E-mail: mti@centrin.net.id
Jl. Ciasem I No. 1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12180
Telp: (62-21) 724-8848, 724-8849 Fax: (62-21) 724-8849 [MTI] [Jurnal Transparansi Edisi 20/Mei 2000] [Jurnal Transparansi Online]
1:15:00 AM
thumbnail

HERDER, MAHASISWA DAN TENTARA

Posted by Yushan on Monday, April 11, 2016

Thomas G. Masaryk (1850-1937) seorang pembebas di negara Cekoslovakia pernah mengatakan, "Diktator selalu kelihatan baik hingga menit-menit terakhir kekuasaannya!" Tapi seorang dikatator yang baik, belum tentu mempunyai pengikut yang baik juga. Sebab kediktatoran adalah wujud dari nafsu rendah manusia untuk mempertahankan kekuasaan atas manusia lainnya justru dengan menggunakan manusia lainnya. Kediktatoran tidak akan muncul ketika tak seorang manusiapun mau diperbudak oleh manusia lainnya.

Kediktatoran tidak akan muncul ketika tak seorang manusiapun mau diperbudak oleh manusia lainnya. Kedikatatoran bisa muncul dimana saja dan kapan saja. Seorang dosen akan berubah menjadi diktator ketika menggunakan kekuasannya untuk menekan anak didiknya guna tujuan-tujuan pribadi. Begitupun seorang pejabat pemerintah yang diberi kepercayaan oleh rakyat akan muncul sebagai seorang diktator ketika memaksakan suatu kehendak atau kebijaksanaan yang sama sekali merugikan rakyat. Kediktatoran adalah kekuasaan minoritas atas mayoritas. 

Dibalik itu semua, seorang diktator adalah manusia yang paling pengecut di dunia. Untuk itu ia merasa perlu melengkapi diri dengan segala jenis pengamanan. Rumahnya dijaga oleh herder-herder besar yang hanya tunduk kepada tuannya. Herder-herder ini akan menyalak pada siapa saja yang bukan tuannya. Herder-herder ini bermata tajam, bertelinga nyaring, dan berhidung peka untuk mengantisipasi semua bahaya yang mengancam tuannya. Namun ketika sepotong daging diberikan kepadanya, herder ini akan diam dan menikmatinya.
***
Dalam negara moderen, kediktatoran muncul samar-samar. Teknologi, ilmu pengetahuan, dan medium informasi digunakan untuk mewujudkan dan sekaligur memberikan bungkus yang seindah-indahnya agar kediktatoran diterima dan dikagumi masyarakat, terutama oleh masyarakat awam yang kurang kritis dan kurang jeli. Sebaliknya di negara primitif dan terkebelakang, kediktatoran nyaris muncul terlanjang, irrasional, ditakuti rakyat awam, tetapi kelihatan lucu dan menjadi bahan tertawaan kalangan intelektual. Kedikatatoran yang muncul telanjang ini bisa berupa penggunaan tentara, arogansi kekuasaan, pamer kekayaan, pemakaian doktrin-doktrin kepatuhan, aksi propaganda dan sloganisme, dan penggunaan fasilitas negara bagi sekelompok orang tertentu Kediktatoran diatas tidak menunjukkan sikap rasionalnya. Penghormatan dan penguasaan manusia lain sebagaimana yang mereka inginkan justru tidak menimbulkan simpati dan empati, tetapi malah sikapantipati dan caci-maki, sekalipun sikap ini banyak muncul melalui bisik-bisik di warung-warung, tulisan grafiti di beton-beton kota, puisi-puisi perlawanan, dn kalang-kadang nyelonong ke alat-alat komunikasi lainnya, dari yang paling primitif sampai moderen.  Nantinya tumpukan bangkai-bangkai huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat itu akan membentuk danau dan kanal. Suatu saat, tumpukan itu akan meluap dan akan menyapu bersih sebersih-bersihnya segala sesuatu yang menghalanginya, termasuk kediktatoran. Itulah yang disebut sebagai people power. People power sedang mengintip kesempatan. People power itu lahir dari dendam-dendam sejarah dan ketakutan yang dipendam lama, berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun.
***
Sejarah telah berbicara kepada kita bahwa betapapun kuatnya sebuah kediktatoran, maka waktu akan menggerogotinya pelan-pelan. Tak seorang diktatorpun bertahan lama dan abadi. Hitler, Mussolini, Stalin, sampai Marcos, semuanya ditelan ambisinya sendiri dan meninggalkan nama yang cacat sepanjang sejarah.  Begitupun negara, tak satupun yang bisa menghegomoni dunia dibawah kekuasaannya. Romawi, Yunani, Persia, Sriwijaya, Majapahit, dan bahkan kekuasaan Eropa Barat yang mempunyai teknologi dan ilmu pengetahuan pun pada akhirnya bertekuk lutut dikalahkan dan dimakan waktu. Sovyet pun tinggal nama. Yang tinggal dari negara-negara itu hanyalah mitos-mitos dan kepingan-kepingan sejarah yang kadangkala dimanfaatkan manusia sekarang untuk mengambil keuntungan bagi kekuasaannya.

Institusi-institusi formal seperti dinas rahasia, militer dan penunjang kekuasaan negara lainnya punakan menemukan kebangkrutan. Sejarahnyapun akan dihilangkan dari muka bumi. Sejarah tentara akan dihilangkan karena dianggap memberikan cacat lahir dan batin bagi manusia yang mencintai keluhuran. Pengagung-agungan sejarah tentara hanya diperlukan ketika tentara berkuasa, baik sebagai herder, atau sebagai diktator. Tetapi setelah manusia muncul sebagai mahkluk yang beridentitas, berpribadi, bermoral dan mempunyai tingkat intelegensia yang tinggi, maka orang-orang akan menghapuskan jabatan tentara dalam silsilah keluarganya. Mempunyai tentara akan dianggap sebagai perilaku paling primitif dalam sebuah negara berdaulat dan dalam sebuah peradaban. Tentara hanya menghabiskan devisa, memupuk kebencian, dan membunuh hati nurani, terutama hati nurani tentara itu sendiri ketika mereka dengan wajah dingin harus menghabisi nyawa manusia lainnya yang tak berdosa hanya atas nama "perintah atasan!"
***
Dan sejarah juga sudah menunjukkan, terutama di Indonesia, bahwa dalam setiap perubahan mahasiswa selalu memberikan kontribusinya, besar atau kecil, sebagai pion atau aktor. Mahasiswa yang terbunuh dalam Peristiwa Tiananmen adalah korban kediktatoran pemerintah China. Begitu juga mahasiswa-mahasdiswa yang bergerak di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah, sekalipun akhirnya mereka dikalahkan tau mengalah demi kepentingan yang lebih besar. 

Tengok dan bacalah Revolusi Perancis 1789 yang digerakkan kaum borjuasi, kalangan muda dan diilhami oleh pikiran-pikiran Voltaire, serta digerakkan oleh mahasiswa-mahasiswa kritis dan radikal seperti Roberpierre dan Danton.  Tengok juga roboh dan tumbangnya rezim kolonialis Jepang dan Belanda di Indonesia yang banyak ditunjang oleh peranan mahasiswa dan pemuda Indonesia, baik sebagai aktivis politik maupun sebagai tentara pelajar dan mahasiswa. Lihat juga pemberontakan daerah, perebutan Irian Barat, dan proses integrasi Timor-Timur yang digunakan sebagai pasukan khusus yang banyak ditugaskan untuk rehabilitasi pasca pendudukan. Masa-masa itu menunjukkan hubungan mesra, bahkan teramat intim, antara mahasiswa dan tentara. Tentara yang hanya mempunyai pasukan tempur dibantu oleh mahasiswa yang mempunyai pemikiran dan mampu memahami aspek-aspek sosio-kultural masyarakat yang kurang dipahami tentara. Hubungan mesra itu makin dikokohkan dan dimitoskan dengan peristiwa '66 yang heroik itu, ketika mahasiswa bekerjasama dengan tentara menumpas PKI dan antek-anteknya. 

Namun apa hendak dikata, dalam tahun-tahun berikutnya ketika kekuasaan sudah mantap dalam genggaman tentara, pelan-pelan mereka menafikan keberadaan generasi mahasiswa berikutnya, dan malah menindasnya. Dengan menguasai institusi politik, tentara mampu membuat sekolah-sekolah dan pusat-pusat ilmu pengetahuan untuk mempelajari apa-apa yang dulu mereka dapatkan dari mahasiswa dan kalangan intelektual lainnya. Dan ketika tentara mampu berpkir dan berteori, maka mahasiswa langsung masuk dalam deretan kaum kriminal yang harus ditumpas habis ketika sedang menuntur sesuatu, apalagi ketika mahasiswa menggugat kekuasaan. Aksi mahasiswa 1974 dan 1978 dikalahkan dalam sekali sapu. Pimpinan mahasiswa dibenamkan dalam dinginnya dinding-dinding penjara.

Dan sekarang, apabila kita mau bergerak, kita terlebih dahulu harus mempelajari dulu ilmu tentara, atau melakukan kolaborasi dengan kaum intelektual bebas yang masih mempunyai idealisme dan moral. Sekalipun negeri ini sudah tidak aman lagi bagi jenis intelektual semacam itu, dengan adanya berbagai usaha untuk menjatuhkan mereka, sama seperti yang dilakukan terhadap mahasiswa. Dan negeri ini, pada akhirnya mungkin akan menjadi milik tentara, milik herder, milik diktator. Maukah kita???????
Alumni Sejarah UI, Pengamat Politik

Oleh Indra J. Piliang
11:57:00 PM
thumbnail

Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek

Posted by Yushan on Sunday, April 10, 2016

Pengantar :
Pada tahun 1968, seorang Marxist dari Belgia, Ernest  Mandel berbicara  di  depan 33 perguruan tinggi di Amerika  Serikat  dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari Montreal ke Vancouver. Lebih  dari 600 orang memadati Education Auditorium di  New  York University  pada tanggal  21  September  1968  untuk  menghadiri "Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner". Presenta¬si  Mandel di tempat itu dipandang sebagai kejadian yang  sangat menonjol oleh majelis dan salah satu saat penting  dari  seluruh perjalanannya.  Pidato  dan beberapa kutipan dari  diskusi  yang mengikutinya menjadi dua bagian pertama dari pamflet ini.
Pidato  Mandel  adalah polemik yang  sangat  hebat  terhadap kecenderungan "aktivisme" dan "spontanisme", yang belakangan  ini muncul  di  kalangan  kaum radikal di dunia  Barat.  Ia kemudian berbicara  mengenai konsepsi Marxis tentang integrasi yang  tidak terpisahkan  antara teori dan praktek.  Selama  diskusi,  Mandel menjawab sejumlah pertanyaan yang kontroversial di kalangan kaum radikal  dengan  argumen  panjang lebar.  Beberapa  di antaranya berbicara tentang azas sosial ekonomi dari Uni Sovyet,  "Revolusi Kebudayaan"  di  Cina, perlunya dibentuk sebuah  partai Leninis, dorongan moral lawan dorongan material, dan banyak hal lainnya.
Bagian  ketiga  pamflet  ini adalah  pidato  yang  diberikan Mandel  pada  Seminar  Ilmu dan Kesejahteraan yang diadakan  di Universitas Leiden, Negeri Belanda pada tahun 1970, ketika sedang dilakukan perayaan 70 tahun universitas tersebut. Mandel  berpen¬dapat bahwa kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang ekspansi universitas  yang cepat  dan  menghasilkan "proletarianisasi"  tenaga  intelektual, yang  tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan tidak  berhu¬bungan dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia.
Makin  terasingnya  tenaga  kerja  intelektual  ini  sedikit banyak  menggerakkan perlawanan mahasiswa yang, walaupun  tidak menduduki posisi sebagai pelopor kelas buruh, dapat menjadi  picu peledak  di dalam masyarakat luas. Menurutnya mahasiswa  memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik  yang  radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas penduduk.  Mahasiswa harus berjuang di dalam universitas  dan  di balik  itu  untuk masyarakat yang  menempatkan pendidikan untuk rakyat di depan penumpukan barang.  

Gerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek
Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah  tokoh mahasiswa  lainnya di Eropa, telah menjadikan  konsep  menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang revolusioner  tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan  yang sewenang-wenang.  Persatuan teori dan praktek ini dapat  dibilang pelajaran  yang paling berharga dari rekaman sejarah yang  diukir oleh  revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika  dan bagian dunia lainnya
Tradisi  historis yang mengandung gagasan ini  dimulai  dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha  yang sadar  untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi  sebuah keadaan  di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi  pasar yang  buta  dan mulai menggurat nasib dengan  tangannya  sendiri. Aksi  pembebasan  yang sadar ini tidak  dapat dijalankan  secara efektif,  dan  tentunya tidak dapat berhasil,  jika  orang  belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengen¬al  kekuatan  sosial yang harus dihadapinya, dan  kondisi  sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.
Sama  seperti persatuan antara teori dan  praktek  merupakan penuntun  yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat  ini, begitu  pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi,  revolusi yang sadar,  hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas  masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerak¬kan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan  kata lain,  jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan  evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi.  Ini  adalah konsepsi utama yang diberikan  Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.
Kita  akan coba melihat bahwa kedua konsep  itu,  menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan mahasis¬wa  di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali  dalam  aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri. Gerakan  mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana  dan  di Amerika  Serikat pun tidak berbedasebagai perlawanan  terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di  dunia  Barat tempat kita hidup,  walaupun keadaannya  sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan  lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan  di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial. Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika  Serikat termasuk di dalam perkecualian itu;  para  buruh imigran  yang  dibayar  rendah di Eropa Barat  juga termasuk  di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat,  maha¬siswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima  gaji  atau upah yang mendapat bayaran  lumayan.  Ketika memasuki  universitas mereka secara umum  tidak  disiapkan  oleh hidup  yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan  lengkap  tentang  alasan-alasan  perlunya  perlawanan sosial.  Mereka  baru akan memahaminya ketika  berada  di dalam kerangka  universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian  atau  golongan kecil  elemen-elemen  yang  memiliki pengetahuan  politik yang memadai, tapi kepada  massa  mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi,  yang membimbing mereka pada jalan perlawanan
Singkatnya,  ini  sudah mencakup  organisasi,  struktur  dan kurikulum  universitas  yang amat tidak memadai dan  serangkaian fakta  material, sosial dan politik yang dialami  dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh keban¬yakan  mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik  borjuis yang berusaha memahami perlawanan  mahasiswa, harus  memasukkan  sejumlah pernyataan di dalam  analisis mereka terhadap  lingkungan mahasiswa, yang telah lama  mereka  enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.
Beberapa  hari  yang lalu, ketika berada di  Toronto,  salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya,  alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat material.  Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan  karena mereka  diperlakukan  buruh seperti buruh abad XIX.  Tapi  karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak  berhak berpartisipasi  dalam  menentukan kurikulum, tidak  berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan  mereka sendiri  selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas."Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang  non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar  borjuis ini  sebagian  telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa.  Struktur universitas borjuis hanyalah  cerminan  dari struktur  hirarki  yang umum dalam masyarakat  borjuis;  keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadar¬an sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berle¬bihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti  yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman  langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.
Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempe¬lajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu  bahwa  sampai Perang Dunia II,  wewenang  paternal  paling sedikit  dipertanyakan  di negara itu.  Kepatuhan  anak  terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyara¬kat (fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan  adanya  generasi orang  tua  di Jerman yang menerima Nazisme,  mendukung  Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa "kapitalisme rakyat" (disebut  juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan  menghadapi resesi,  krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun  dari dua  atau tiga generasi orang tua seperti itu  kini menghasilkan rasa  jijik  di kalangan anak muda terhadap  wewenang orang  tua mereka.  Perasaan ini membuat anak-anak tersebut,  saat  memasuki universitas,  tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu  saja, tanpa perlawanan.
Mereka  pertama-tama berhadapan dengan wewenang  para  dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam  bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang  obyek¬tif  tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari  lembaga inilah  yang kemudian cepat bergeser menjadi  tantangan terhadap isi pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk  universi¬tas  masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa  harus mendengar  dosen-dosen berbicara melalui  sound  system. Mereka tidak  dapat  berbicara dengan dosen-dosen  itu  atau  sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog.  Perumahan dan  makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya  makin menajamkan  kekuatan  pemberontakan mahasiswa.  Tapi,  perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan pemberontakan  akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah dibenahi. Struktur  otoriter  dari universitas dan  substansi  yang  sangat lemah  dari  pendidikan, paling tidak dalam bidang  ilmu  sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi material di atas.
Inilah  alasan mengapa usaha-usaha mengadakan  reformasi  di universitas,  yang disorongkan oleh sayap liberal dalam  keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan  mencapai  tujuannya karena  tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan  maha¬siswa.  Mereka  tidak berusaha menekan  sebab-sebab  keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.
Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diaju¬kan  oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam  kenyataan, rancangan  reformasi itu tidak lain untuk  meluruskan  organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi  neo-kapitalis dan  masyarakat  neo-kapitalis. Tuan-tuan itu  mengatakan: tentu sangat disayangkan  adanya proletariat akademis;  sayang  sekali begitu  banyak  orang  yang meninggalkan  universitas  dan tidak berhasil  mendapat  pekerjaan. Ini  akan  menimbulkan  ketegangan sosial dan ledakan sosial.
Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan  membe¬nahinya  dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi  tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi  neo-kapitalis. Di  tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik  jika dikirim 100.000  insinyur daripada 50.000  orang  sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak.  Hal seperti inilah yang akan menghentikan pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan  fungsi  universitas pada  posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari  ekonomi neo-kapitalis  dan masyarakat. Hal ini akan menggerakkan ketera-singan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi  itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universi¬tas  dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan  mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan  disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan  keahlian  dan kebutuhan  mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan,  disi¬plin ilmu dan bidang studi yang berhubungan  dengan kepentingan penguasa  masyarakat  kapitalis,  dan  tidak berhubungan  dengan kebutuhan  mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di  uni¬versitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum Marxis  coba mencari  slogan-slogan  transisional dalam  gerakan  sosial  lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan "student power"  tidak dapat  diangkat di dalam lingkup universitas.  Dalam  masyarakat luas  slogan  ini memang dihindari karena artinya bahwa  sebuah minoritas  kecil menempatkan dirinya sebagai  pemimpin  mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan "student power" ini, atau  slogan lain yang sejurus dengan ide "self-management"  oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.
Tapi  di sinipun aku akan hati-hati karena banyak  persoalan yang  membuat  universitas berbeda dari  pabrik atau  komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan sebagian teore¬tisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanya¬kan  mahasiswa memang  akan menjadi buruh  atau  sudah setengah buruh.  Mereka dapat dibandingkan dengan orang  yang  magang  di pabrik karena kedudukan mereka sama --dari sudut kerja intelektu¬al dengan  orang  magang di pabrik-- dari  sudut  kerja  manual. Mereka  memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang  khas dalam  masyarakat.  Karena itu kita  harus hati-hati  merumuskan slogan tentang transisi ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan  ini sekarang.  Mari  kita terima saja gagasan "student  power"  atau "student  control" sebagai slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan  ini yang  tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak  akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena  mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengu¬bah  sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal  ini universitas  borjuis,  dan berpikir bahwa  masalah  sosial dapat diatasi  di segmen tertentu tanpa mengubah masalah  sosial  dalam masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja yang terasing,  baik  itu kerja manual maupun kerja  intelektual.  Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.
Sekali  lagi, ini bukan observasi teoretis yang  jatuh  dari langit.  Ini  adalah pelajaran dari pengalaman praktek.  Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya, telah  mela¬lui  pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa.  Dalam  garis besar,  gerakan  mahasiswa dimulai dengan  isyu-isyu  kampus  dan dengan  cepat mulai  bergerak  keluar  batas-batas universitas. Gerakan  itu mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan  politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di  dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah  penin¬dasan  komunitas  kulit hitam diangkat  oleh  sejumlah  mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa  Barat,  paling tidak di kalangan elemen  yang  maju,  yang paling  peka terhadap masalah-masalah yang  dihadapi  orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.
Mereka  terlibat  dalam  berbagai  aksi  solidaritas  dengan perjuangan  pembebasan revolusioner di  negara-negara  berkembang seperti  Kuba,  Vietnam dan bagian-bagian  tertindas lainnya   Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar  dalam gerakan  mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan  pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana  diferensiasi politik  yang nyata terjadi di kalangan gerakan  mahasiswa  kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil  tempat  di depan  dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm  melawan perang agresi imperialisme Amerika.Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai  dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu  oleh aksi  solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah negara  Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran  berkun¬jung ke Berlin.
Para  mahasiswa  pelopor tidak  sekadar  mengidentifikasikan diri  mereka  dengan perjuangan di Aljazair, Kuba  dan  Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses  yang sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin  memulai aksi  yang  revolusioner tanpa analisis teori tentang  asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang  mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi  lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang  revolu¬sioner menentang imperialisme.Melalui  analisis  tentang  kolonialisme  dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan  terorgani¬sir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang  masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis  internasional di  mana  kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem  ini,  kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti  kenapa kita harus mengikatkan  diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.Di  Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam  waktu  kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur  universitas  yang otoriter, dan  terus menuju masalah imperialisme  dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri  di mana mahasiswa-mahasiswa  Jerman itu bergerak. Mereka  kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk  memahami  alasan-alasan terdalam dari masalah  sosial  dan perlawanan.

Kesatuan Teori dan Aksi
Dalam proses keseluruhan kesatuan teori dan aksi yang  dina¬mis, teori kadang ada di depan aksi dan sewaktu-waktu aksi tampil di  depan teori. Bagaimanapun, pada setiap titik  keharusan per¬juangan mendesak para aktivis untuk memantapkan kesatuan ini pada tingkat yang lebih tinggi.Untuk memahami proses yang dinamis ini kita harus  menyadari bahwa  mempertentangkan aksi langsung dengan studi yang  mendalam itu sepenuhnya keliru. Saya tersentak ketika mengikuti Konferensi Sarjana Sosialis dan pertemuan lainnya yang saya ikuti di Amerika selama dua minggu terakhir, melihat bagaimana pemisahan teori dan praktek terus dipertahankan. Saya seperti sedang mengikuti perde¬batan  di  antara orang-orang tuli, di mana  sebagian pengunjung mengatakan, "yang  penting  aksi! Tidak perlu  yang  lain,  yang penting  aksi!"  sementara  di pihak lain  ada yang mengatakan, "Tidak,  sebelum bisa aksi, kita harus tahu apa yang  dikerjakan. Duduk, belajar, dan tulis buku." (tepuk tangan)
Jawaban  yang jelas dari pengalaman sejarah gerakan  revolu¬sioner, bukan hanya dari periode Marxis tapi bahkan dari  periode pra-Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya tidak dapat dipisah¬kan (tepuk tangan) Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan  berhasil  melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya  katakan sebelumnya, kita tidak dapat  membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan  mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk mengu¬ji teori kecuali melalui aksi.
Setiap  bentuk  teori yang tidak diuji  melalui  aksi  bukan teori yang sahih, dan dengan sendirinya menjadi teori yang  tidak berguna  dari  sudut pandang pembebasan manusia.  (tepuk tangan) Hanya  melalui usaha terus menerus memajukan keduanya  pada  saat bersamaan,  tanpa pemisahan kerja, maka kesatuan teori dan  aksi dapat dimantapkan, sehingga gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat mencapai hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal  lain yang  membuat  saya tersentak, dan benar-benar menyentak  karena diajukan  dalam  satu pertemuan orang-orang  sosialis. Pemisahan teori dan aksi yang sudah begitu buruk, kini diberi satu  dimensi baru  dalam gerakan sosialis ketika dikatakan: di satu pihak  ada para  aktivis, orang-orang awam yang kerja kasar. Di  pihak  lain adalah elit yang kerjanya berpikir. Jika elit ini terlibat  dalam aksi demonstrasi,  maka mereka tidak akan punya  waktu  berpikir atau  menulis  buku, dan dengan begitu maka ada  elemen berharga dalam perjuangan yang akan hilang.
Saya  katakan bahwa setiap pernyataan yang  menyebut  adanya pemisahan kerja manual dan kerja pikiran di dalam gerakan revolu¬sioner,  yang memisahkan barisan aksi yang kerja kasar dan  elit yang  kerja pikiran, secara mendasar bukan  pernyataan  sosialis. Pernyataan  itu bertentangan dengan salah satu tujuan utama  dari gerakan sosialis, yang ingin mencapai penghapusan pemisahan kerja manual dan intelektual (tepuk tangan) bukan hanya dalam organisa¬si tapi, lebih penting lagi, dalam masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang  sosialis  revolusioner pada 50 atau 100  tahun  yang lalu  belum  dapat  melihat hal ini dengan jelas,  seperti  kita sekarang ini, saat sudah ada kemungkinan obyektif untuk  mencapai tujuan itu. Kita sudah memasuki satu proses teknologi dan  pendi¬dikan yang memungkinkan tercapainya hal itu. Salah satu  pelajaran berharga yang harus kita  ambil  dari kemunduran  Revolusi Rusia, adalah jika pemisahan  antara  kerja manual dan kerja intelektual dipertahankan pada masyarakat  yang sedang dalam transisi dari kapitalisme menuju sosialisme  dalam bentuk  lembaga, maka hasilnya pasti meningkatkan birokrasi  dan menciptakan ketimpangan baru dan bentuk-bentuk penindasan manusia yang tidak sesuai dengan kemakmuran sosialis. (tepuk tangan)
Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan  tentang pemisahan kerja manual dan kerja  pikiran  dalam gerakan  revolusioner. Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi  yang  baik jika tidak terlibat dalam aksi,  dan  tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima,  memperkuat dan memajukan teori. (tepuk tangan)
Gerakan  mahasiswa  Eropa  telah mencoba  mencapai  hal  ini sampai  tingkat tertentu di Jerman, Prancis dan Italia.  Di  sana muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa agitator yang juga dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan bertempur  mempertahankannya, dan pada saat yang dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan berdiskusi  dengan sosiolog terkemuka, ahli politik  dan  ekonomi dan  mengalahkan mereka dalam bidang ilmu mereka sendiri.  (tepuk tangan) Hal ini makin memperkuat keyakinan bukan  hanya  tentang masa depan gerakan mahasiswa tapi juga tentang masa ketika orang-orang ini sudah berhenti menjadi mahasiswa, dan harus berjuang di bidang lain.

Perlunya Organisasi Revolusioner 
Sekarang saya ingin berbicara tentang aspek lain dari kesat¬uan  teori dan aksi yang sudah menjadi perdebatan dalam  gerakan mahasiswa  Eropa  dan Amerika Utara. Saya  secara  pribadi yakin bahwa  tanpa organisasi yang revolusioner, bukan  suatu  formasi yang  longgar  tapi sebuah organisasi yang  serius  dan permanen sifatnya,  maka kesatuan teori dan praktek tidak  akan bertahan lama. (tepuk tangan)
Ada  dua alasan. Yang pertama berhubungan dengan  asas  dari mahasiswa  sendiri.  Status kemahasiswaan, hanya  berlaku  untuk jangka  waktu yang singkat, tidak seperti buruh. Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak ada yang dapat  memperkirakan apa yang terjadi  setelah ia  meninggalkan universitas. Pada kesempatan ini saya sekaligus  ingin menjawab salah satu argumen demagogis yang telah digunakan sejumlah pemim¬pin  partai-partai komunis di Eropa  yang  menentang  perlawanan mahasiswa. Dengan nada sinis mereka mengatakan: "Siapa mahasiswa-mahasiswa itu? Hari ini mereka berontak, besok mereka akan menja¬di bos yang menindas kita. Kita tidak perlu memperhitungkan aksi-aksi mereka dengan serius."
Ini adalah argumen yang tolol karena tidak  mempertimbangkan transformasi revolusioner dari peranan lulusan universitas sekar¬ang  ini. Jika mereka melihat angka-angka statistik, maka mereka akan  tahu  bahwa hanya sebagian kecil dari  lulusan  universitas yang  bisa  menjadi kapitalis atau agen-agen langsung  dari  para kapitalis  ini. Apa yang mereka khawatirkan mungkin saja  menjadi kenyataan  jika  jumlah  lulusan itu hanya 10.000,  15.000  atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi sekarang ada satu juta, empat juta,  lima  juta mahasiswa, dan tidak  mungkin kebanyakan  dari mereka  akan  menjadi kapitalis atau  manejer  perusahaan karena tidak ada lowongan sebanyak itu untuk mereka.
Argumen  demagogis  ini ada  benarnya.  Lingkungan  akademis memang  memiliki konsekuensi tertentu terhadap tingkat  kesadaran sosial  dan aktivitas politik seorang mahasiswa. Selama ia  tetap di  universitas, maka lingkungannya mendukung aktivitas  politik. Ketika ia meninggalkan universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di sekelilingnya, dan ia makin mudah ditekan oleh  ideologi  dan kepentingan borjuasi atau borjuasi kecil (petty-bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan melibatkan dirinya dalam lingkungan  sosial yang  baru  ini, apapun bentuknya.  Ada  kemungkinan  terjadinya proses  mundur ke posisi intelektual reformis atau liberal  kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas revolusioner.
Penting untuk mempelajari sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini  adalah  gerakan mahasiswa revolusioner yang  paling  tua  di Eropa.  Setelah dikeluarkan dari kalangan Sosial Demokrat  Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS yang militan meninggalkan  universitas. Setelah beberapa tahun, dengan  tidak adanya organisasi revolusioner, kebanyakan  orang-orang  militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis  sosialis,  tidak  aktif lagi dalam  politik  dari  sudut pandang revolusioner. Jadi, untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner  ini,  kita harus punya organisasi yang lebih luas jangkauannya  dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah  organisasi di mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama.Dan ada alasan yang lebih penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki  satu organisasi partai. Karena  tanpa  organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan aksi dengan  kelas buruh  industri,  dalam pengertian yang  paling  umum sekalipun. Sebagai  Marxis,  saya tetap yakin bahwa tanpa aksi  kelas  buruh tidak  akan mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan  dan  itu berarti  tidak mungkin juga dibangun masyarakat sosialis.  (tepuk tangan)
Di sini sekali lagi kita lihat bagaimana pengalaman  gerakan mahasiswa,  pertama  di Jerman, lalu Prancis dan Italia,  sudah berhasil  mencapai  kesimpulan teoretis tersebut  dalam praktek. Diskusi  yang  sama  tentang relevan atau tidaknya  kelas  buruh industri  bagi  aksi revolusioner dilakukan setahun  atau  bahkan enam bulan yang lalu di negara-negara seperti Jerman dan Italia.Masalah  ini  ditempatkan  dalam praktek  bukan  hanya oleh peristiwa revolusioner selama Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi juga oleh aksi bersama mahasiswa di Turin dengan buruh Fiat di Italia. Ini  juga diperjelas dengan usaha-usaha sadar  dari  SDS  Jerman untuk melibatkan bagian dari kelas buruh di dalam agitasi mereka di  luar universitas menentang perusahaan penerbit Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya undang-undang  darurat yang akan mencegah kebebasan sipil.
Pengalaman  seperti  ini mengajarkan  gerakan  mahasiswa  di Eropa  Barat bahwa mereka harus menemukan jembatan  dengan  kelas buruh industri. Masalah ini memiliki sejumlah aspek yang  berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Ada masalah programatik  yang tidak dapat saya jabarkan sekarang. Hal yang diungkapkan di  sini adalah bagaimana mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan  sebagai guru,  karena buruh tentunya menolak hubungan seperti itu,  tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan kepentingan yang sama. Terutama diuraikan masalah organisasi partai. Selain  penga¬laman  kalah beberapa kali untuk membangun kolaborasi di  tingkat rendahan dalam aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil mahasiswa dan  sejumlah  kecil buruh, setelah tiga  sampai  delapan  bulan, persekutuan itu akan hilang. Bahkan jika kalian memulai lagi dari awal,  dan  saat keseimbangan sudah tercapai, maka  sedikit  saja yang tersisa.
Kegunaan organisasi revolusioner yang permanen adalah  untuk menyediakan integrasi timbal balik antara mahasiswa dan  perjuan¬gan  kelas buruh oleh para pelopornya secara terus menerus.  Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana  dalam  batas  waktu tertentu,  tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial  yang berbeda yang memiliki tujuan sosialis  revolusioner yang sama.Kita  harus kritis  melihat apakah  integrasi  seperti  ini memang mungkin secara obyektif. Melihat pengalaman  di  Prancis, Italia,  dan  sejumlah negara Eropa Barat  lainnya,  maka  dengan mudah  kita bisa bilang ya. Dan garis inipun dapat  dipertahankan di Amerika Serikat. Dengan alasan-alasan historis yang juga tidak dapat  saya  uraikan sekarang, sebuah situasi  khusus muncul  di Amerika Serikat di mana mayoritas kelas buruh, yakni kelas buruh kulit putih, belum menerima gagasan sosialis tentang aksi revolu¬sioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.
Tentu  saja  hal ini dengan cepat  dapat  berubah.  Sejumlah orang  berpendapat seperti itu di Prancis, hanya beberapa  minggu sebelum  tanggal 10 Mei 1968. Namun, bahkan di  Amerika Serikat, ada  minoritas  dalam kelas buruh industri  yang  penting,  yaitu buruh  kulit hitam. Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa  setelah dua  tahun terakhir mereka tidak dapat menerima gagasan  sosialis atau  tidak mampu menjalankan aksi revolusioner. Di  sini paling tidak  ada kemungkinan langsung terjadinya kesatuan antara  teori dan praktek di sebagian kalangan kelas buruh.
Sebagai  tambahan, kiranya penting untuk menganalisa  kecen¬derungan sosial dan ekonomi yang dalam jangka panjang akan  meng¬guncang  ketidakpedulian  politik yang platen  dan konservatisme kelas buruh kulit putih. Pelajaran dari Jerman dengan  lingkungan yang  sangat mirip membuktikan bahwa hal  itu  mungkin terjadi. Beberapa  tahun lalu di kalangan kelas buruh di Jerman  mengendap stabilitas,  konservatisme,  dan integrasi  masyarakat  kapitalis yang tidak terguncang,  sama seperti Amerika  Serikat  di  mata banyak orang sekarang ini. Hal ini sudah mulai berubah. Kasus ini memperlihatkan bahwa pergeseran kecil di dalam perimbangan kekua¬tan, yaitu penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari pengusaha terhadap  struktur serikat buruh tradisional dan  hak-hak  dapat menciptakan ketegangan sosial yang mampu mengubah banyak hal.
Tugas saya di sini tidak lebih dari memberi informasi kepada kalian tentang masalah-masalah perjuangan kelas kalian  sementara tugas kalian adalah menyadari bahwa kalian harus bergabung dengan buruh.  Saya hanya akan menunjukkan satu di antara sekian  banyak saluran tempat  kesadaran sosialis  dan  aktivitas revolusioner dapat menghubungkan  mahasiswa dan buruh,  seperti  ditunjukkan bukan  hanya  oleh Eropa Barat tapi juga oleh  Jepang. Rangkaian penghubung  ini adalah pemuda dari kalangan kelas buruh.  Sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi selama beberapa tahun terak¬hir  yang  mempengaruhi struktur kelas buruh,  sistem pendidikan borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh muda, atau sebagian dari  buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam  teknologi yang  telah  berubah  bahkan dari sudut pandang para kapitalis sendiri. Amerika Serikat adalah contoh yang jelas tentang  kehan¬curan  total dari pendidikan bagi buruh muda berkulit hitam  yang tingkat  penganggurannya  sama tinggi seperti tingkat  rata-rata pengangguran seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan  ini memperlihatkan  apa yang tengah terjadi di kalangan pemuda  kulit hitam negeri itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum yang mendikte kepekaan ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda.  Kebusukan dan kemacetan sistem sosial sekarang  ini  jelas menunjukkan ketidakberpihakan para penguasanya kepada kaum  muda. Para penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak  membeda-bedakan antara  mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan semuanya sebagai musuh.Contoh  kongkret  dari ini adalah insiden  di Flins  ketika terjadi demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah  dibunuh oleh  polisi muncul kegelisahan besar. Polisi bergerak masuk  dan mulai memerika para demonstran, memerika kartu identitas  orang-orang  yang  lewat. Setiap orang yang berusia di bawah 30 tahun ditangkap karena dianggap potensial sebagai pemberontak,  sebagai orang yang akan bergerak menghantam polisi. (tepuk tangan)
Jika  kalian  secara  seksama  membaca  buku-buku  sekarang, industri  film dan bentuk-bentuk refleksi kenyataan  sosial  yang lain di dalam suprastruktur budaya selama lima atau sepuluh tahun terakhir,  kalian akan lihat bahwa di samping  semua  pembicaraan yang palsu tentang kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggam¬barkan jenis pemuda yang dihasilkan sistemnya dan juga  semangat memberontak  dari  kaum muda. Ini tidak terbatas  bagi mahasiswa atau  kelompok  minoritas seperti orang kulit  hitam  di  Amerika Serikat. Ini juga berlaku bagi buruh-buruh muda.Kiranya perlu dipelajari apa yang ada lingkungan buruh-buruh muda karena perjuangan memenangkan mereka kepada kesadaran sosia¬lis, kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis kelihatannya  pent¬ing  bagi  negeri-negeri Barat selama  sepuluh  sampai  limabelas tahun mendatang.  Jika kita berhasil mengangkat kaum  muda  yang terbaik menjadi sosialis revolusioner --saya  pikir  ini  sudah mulai dilakukan di negeri-negeri Eropa Barat-- kita  bisa yakin tentang kemajuan  gerakan kita. Jika kemungkinan ini lepas  dan kebanyakan  orang muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan,  maka kita  akan kalah dalam perjuangan yang menentukan dan akan  masuk ke  dalam liang kubur bersama sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.
Persatuan  teori dan praktek juga berarti bahwa  serangkaian gagasan  kunci  dari gerakan sosialis  dan tradisi revolusioner telah  ditemukan kembali sekarang. Aku tahu bahwa sebagian orang dalam  gerakan mahasiswa di Amerika  Serikat  ingin  menciptakan sesuatu  yang  sama sekali baru. Aku sepenuh hati  setuju dengan setiap  usulan yang menginginkan sesuatu yang lebih baik,  karena apa  yang  telah dicapai oleh generasi-generasi  sebelumnya  juga kurang  meyakinkan dari  sudut  pandang  pembangunan  masyarakat sosialis. Tapi penting juga aku utarakan peringatan. Jika  kalian menyangka  sedang menciptakan sesuatu yang baru, yang  sebenarnya sedang  dilakukan adalah mundur ke masa lalu  yang  jauh  lebih terbelakang dari masa lalu Marxisme.
Semua gagasan baru yang dimajukan dalam gerakan mahasiswa di Eropa selama tiga atau empat tahun terakhir, dan menjadi  populer di  kalangan mahasiswa Amerika Serikat, sebenarnya sudah  sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis dari evolusi  sosial dan kecenderungan kritik  sosialis dikembangkan dalam  jalur  para pemikir besar abad 18 dan  19. Terlepas  dari kalian  suka atau tidak, hal itu memang benar, dan berlaku  bagi ilmu sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian hukumnya  dicipta¬kan  di masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan  kecenderungan baru,  kalian harus maju dari landasan yang merupakan hasil  ter¬baik dari generasi-generasi sebelumnya. Keinginan  untuk  senantiasa menciptakan sesuatu  yang baru hanyalah  satu  aspek  awal dari radikalisme  mahasiswa.  Ketika gerakan  sudah  berkembang menjadi besar dan  bisa  memobilisasi massa yang besar maka yang akan terjadi adalah sebaliknya seperti ditunjukkan para sosiologis Prancis ketika melihat kejadian bulan Mei 1968. Saat itu massa mahasiswa revolusioner yang  luas ber¬juang  menemukan kembali tradisi sejarah dan  akar-akar historis mereka. Mereka  seharusnya sadar bahwa mereka akan lebih  kuat  jika mengatakan: perjuangan kami adalah perpanjangan dari  perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150 tahun lalu, atau  bahkan  2.000 tahun  lalu  ketika budak-budak  pertama memberontak   terhadap tuannya. Ini akan jauh lebih meyakinkan daripada mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama sekali baru yang terputus dari sejar¬ah  dan  terisolasi dari keseluruhan masa lalu seakan masa  lalu tidak  pernah mengajarkan apa-apa kepada kita dan tidak ada  yang dapat kita pelajari dari itu. (tepuk tangan)
Masalah ini akhirnya akan membawa aktivis mahasiswa  kembali pada beberapa konsep historis dasar dari sosialisme dan Marxisme. Kita  telah melihat bagaimana gerakan mahasiswa di Prancis,  Jer¬man,  Italia dan sekarang Inggris kembali kepada  gagasan-gagasan revolusi  sosialis dan demokrasi buruh. Bagi  seseorang  seperti saya, sangat menggembirakan melihat bagaimana gerakan revolusion¬er  Prancis mempertahankan hak kebebasan berbicara,  dan menghu¬bungkannya dengan  tradisi terbaik  dari  sosialisme.  Pertemuan kalian sekarang ini juga memperbarui kembali tradisi internasion¬alisme  dari  sosialisme lama dan Marxisme ketika kalian  bilang bahwa perlawanan mahasiswa bersifat mendunia dan  bahwa  gerakan mahasiswa itu bersifat internasional. Ini adalah internasionalisme yang sama, dengan akar-akar dan tujuan yang sama seperti internasionalisme dari sosialisme,  sama seperti  internasionalisme  dari kelas  buruh. Masalah-masalah internasional  yang  dihadapi adalah masalah  solidaritas  dengan kawan-kawan kita di Meksiko, Argentina dan Brasil yang  memimpin perjuangan  besar,  yang  mengangkat revolusi  Amerika  Latin  ke tingkat lebih tinggi setelah menderita kekalahan karena  kepemim¬pinan  yang buruh, reaksi internal dan represi imperialis  selama tahun-tahun belakangan ini. Kita harus menyanjung kekuatan  maha¬siswa-mahasiswa Mexico. (tepuk tangan) Dalam beberapa hari mereka telah mengubah situasi politik secara mendasar di negeri itu  dan membuang topeng demokrasi palsu yang dipasang pemerintah  Mexico untuk  menerima  jutaan dolar dari penonton-penonton  Olimpiade. Sekarang setiap orang yang menonton Olimpiade akan tahu bahwa  ia telah mengunjungi  negeri di mana para  pemimpin  serikat  buruh kereta apinya ditahan bertahun-tahun setelah masa tahanan  mereka berakhir; negeri di mana banyak pemimpin politik  kalangan  kiri dipenjara  bertahun-tahun tanpa  pengadilan,  di  mana pemimpin mahasiswa  dan ribuan milisi mahasiswa ditahan di  penjara  tanpa landasan  hukum. Protes mereka yang heroik  memiliki konsekuensi bagi  masa depan politik Meksiko dan perjuangan kelas  di  negeri itu. (tepuk tangan)
Penting  juga kiranya mengutarakan beberapa patah kata  ten¬tang  mahasiswa tahanan di negeri-negeri semi kolonial  lainnya, yang  tidak pernah dibicarakan orang, seperti pemimpin mahasiswa Kongo yang telah ditahan selama hampir satu tahun karena  mengor¬ganisir sebuah demonstrasi kecil menentang perang Vietnam ketika wakil presiden Humphrey bertandang ke sana. Kita tidak boleh lupa bahwa pemimpin-pemimpin mahasiswa Tunisia yang ditahan selama dua belas tahun dengan alasan yang sama, memimpin sebuah demonstrasi. Duabelas tahun di penjara! Kita harus menyadarkan masyarakat agar kejahatan penindas seperti ini tidak akan terlupakan.
Akhirnya, kita tidak boleh lupa perjuangan melawan intervensi  Amerika  Serikat di Vietnam, yang  tetap menjadi  perjuangan utama  di dunia sekarang ini. Dengan dimulainya negosiasi itu  di Paris,  tidak  berarti bahwa tidak ada yang  dapat  kita  lakukan untuk membantu perjuangan kawan-kawan kita di Vietnam. Untuk itu, saya  mengajak kalian ikut dalam aksi dunia yang  dimulai  oleh gerakan mahasiswa Jepang, Zengakuren, Federasi Mahasiswa  Revolu¬sioner Inggris bersama dengan Kampanye Solidaritas Vietnam,  dan Komite Mobilisasi Mahasiswa di sini. Ini adalah Minggu  Solidaritas  untuk revolusi Vietnam, dari tanggal 21 sampai  27  Oktober. Minggu  ini ratusan ribu mahasiswa, buruh muda  dan  revolusioner muda  akan turun ke jalan bersamaan untuk mencapai  tujuan-tujuan yang  diajukan kawan-kawan Vietnam! Perlihatkan pada dunia  bahwa di  Amerika  Serikat  ada ratusan ribu  orang  yang menginginkan penarikan  kembali pasukan Amerika dari Vietnam. Itu  pasti  akan berhasil. (terputus oleh tepuk tangan)
8:08:00 PM