-->
thumbnail

Hubungan Lembaga Paud dengan Orang Tua dan Masyarakat

Posted by Yushan on Tuesday, September 28, 2021

a. Hubungan lembaga PAUD dengan Orang tua dalam konteks umum 
        Berkomunikasi dengan orang tua merupakan salah satu tanggungjawab pendidik. Demikian juga dengan orang tua, mereka perlu menjalin komunikasi dengan pendidik. Komunikasi timbal balik ini akan sangat efektif untuk memberikan layanan yang berkualitas kepada anak usia dini. Orang tua dan pendidik saling berbagi informasi baik mengenai program lembaga maupun tentang individual anak. Orang tua dapat mengetahui program-program yang akan dan sedang dilaksanakan oleh lembaga. Di samping itu juga dapat memberi saran serta kritikan tentang pelaksanaan program – program dan saling bekerja sama demi kemajuan lembaga tersebut. Pendidik dapat menginformasikan dan berdiskusi tentang perkembangan anak selama mengikuti kegiatan di lembaga tersebut dan juga menggali informasi dari orang tua tentang berbagai hal mengenai anak tersebut. Kegiatan berkomunikasi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Baik secara formal maupun informal, baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi bukan hal yang mudah baik bagi pendidik maupun orang tua untuk menjalin komunikasi dua arah secara efektif. 

        Ada banyak kendala baik dari pendidik maupun orang tua. Panduan ini memuat tentang strategi berkomunikasi antara pendidik dan orang tua melalui papan informasi, buku komunikasi, buku profil lembaga, surat, home visit, dan pertemuan pendidik-orang tua. 

b. Tujuan keterlibatan orang tua dalam komunikasi dua arah ini yaitu: 

1. Menyampaikan informasi tentang kebijakan dan program kegiatan yang ada di lembaga. 
2. Menjalin kerjasama antara lembaga dan orang tua dalam melaksanakan program lembaga 
3. Berdiskusi tentang perkembangan anak dan permasalahan yang dihadapi oleh masing – masing 
    anak. 
4. Berbagi pengalaman dan gagasan dalam membelajarkan anak. 
5. Bertukar informasi mengenai perkembangan anak yang ada di lembaga dan di rumah. 
6. Memperoleh informasi yang membantu pemahaman mengenai berbagai aspek tentang kemajuan tumbuh kembang anak. 

c. Strategi berkomunikasi antara pendidik (pengelola Lembaga PAUD) dan orang tua melalui: 

1. Papan Informasi 
        Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menjalin komunikasi dua arah antara pendidik dan orang tua adalah pengadaan papan informasi. Papan informasi adalah papan yang ditempel di dinding atau dipasang di tempat strategis sehingga mudah diakses dan dibaca oleh orang tua maupun pendidik. Papan informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk menempel berbagai pesan dari pendidik yang dimaksudkan untuk diketahui orang tua peserta didik maupun pesan dari orang tua peserta didik untuk diketahui oleh pendidik. 
        1. Pesan-pesan yang dapat disampaikan pada papan informasi: 
                1. Pengumuman tentang jadwal pertemuan 
                2. Selebaran berisi informasi tentang perkembagan dan pertumbuhan peserta didik. 
                3. Hasil karya peserta didik untuk diapresiasi oleh orang tua 
                4. Foto-foto kegiatan, baik kegiatan peserta didik, kegiatan pendidik maupun kegiatan orang 
                    tua 
                5. Foto-foto peserta didik 
                6. Jadwal pembelajaran peserta didik 
                7. Instruksi untuk volunteer 
                8. Hal-hal yang relevan dengan rencana kegiatan lembaga 

           Informasi melalui papan informasi dapat merupakan pengulangan atau penguatan dari informasi yang dikirimkan melalui surat atau catatan-catatan yang ditulis melalui buku penghubung. 

        2. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membuat papan informasi: 
                1. Menyiapkan lokasi yang strategis dan mudah diakses oleh orang tua dan pendidik 
                2. Menyiapkan papan informasi. 
                3. Menyiapkan bahan/materi. 
                4. Memasang dan menempel materi yang disiapkan 
                5. Menghias papan informasi 

            Materi yang disampaikan pada papan informasi hendaknya secara rutin diperbaharui sehingga selalu berisi informasi-informasi yang relevan dengan perkembangan kegiatan anak maupun kegiatan orang tua. Pembaharuan materi pada papan informasi dapat dilakukan setiap dua minggu, setiap bulan atau sesuai kebutuhan. Pembaharuan materi ini sangat penting untuk menarik perhatian karena jika papan dipenuhi dengan informasi yang sudah lama atau terlihat acak-acakan, pihak orang tua tidak akan melihatnya. Pelaksanaan kegiatan ini dapat melibatkan orang tua. 

            Orang tua yang tertarik menjadi volunteer dapat diikutsertakan untuk membantu memasang informasi dan menghiasnya. Di samping itu orang tua juga dapat dilibatkan untuk menyumbang hasil karyanya. 

2. Buku Profil 
        Lembaga Buku Profil lembaga merupakan salah satu media komunikasi yang penting dalam membangun keterlibatan dan peran serta orang tua dalam program pendidikan anak usia dini. Buku Profil lembaga adalah buku yang memuat informasi-informasi umum tentang profil lembaga, meliputi: 

        1. visi dan misi lembaga, Visi adalah tujuan yang hendak dicapai oleh suatu lembaga. Misi 
            memuat langkah-langkah yang hendak dilakukan untuk mewujudkan tujuan/visi yang telah 
            ditetapkan. 

        2. program pembelajaran, 

        3. jadwal kegiatan, 

        4. daftar kelas, 

        5. daftar peserta didik, Berisi informasi tentang jumlah peserta didik, nama-nama peserta didik, 
            usia/tempat tanggal lahir. 

        6. daftar pendidik dan tenaga kependidikan 

        7. fasilitas yang dimiliki 

        8. tata-tertib dan informasi lain yang bermanfaat untuk orang tua, Beirisi aturan-aturan yang harus 
            ditaati oleh pihak-pihak yang terkait dengan lembaga, meliputi tata tertib untuk pendidik, tata 
            tertib untuk anak dan tata tertib untuk orang tua. 

3. Buku Komunikasi/ Penghubung 
        Buku komunikasi adalah suatu media berbentuk buku yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang tua.Buku ini memuat catatan singkat yang menggambarkan keberhasilan yang spesifik, keterampilan atau perilaku baru serta saran-saran untuk kegiatan dirumah. Buku ini berfungsi untuk menjembatani komunikasi antara guru dan orang tua peserta didik, sehingga harus dapat diisi oleh kedua belah pihak. 
        Pihak orang tua didorong untuk mengirimkan catatan-catatan penting kepada pendidik dan sebaliknya pendidik juga harus aktif mengirimkan catatan-catatan penting tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertukaran catatan dan tanggapan ini penting agar masing-masing pihak yaitu pendidik dan orang tua saling bekerjasama untuk mendorong kemajuan anak. Catatan-catatan dalam buku komunikasi dapat digunakan sebagai dasar bagi orang tua maupun pendidik untuk menentukan materi atau program yang sesuai dengan kebutuhan anak. Tindak lanjut dari catatan-catatan dalam buku komunikasi adalah berupa pertemuan langsung antara pendidik dan orang tua. 

4. Surat 
        Surat adalah cara lain yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang tua. Komunikasi melalui surat dapat dilakukan secara rutin yaitu mingguan atau bulanan sehingga orang tua menerima informasi secara konsisten atau sesuai dengan kebutuhan. Topik surat bervariasi sesuai dengan kebutuhan. 

5. Home Visit 
        Home visit merupakan kegiatan yang dilakukan pendidik dengan mengunjungi rumah orang tua peserta didik. Home visit ini memiliki makna penting untuk membangun hubungan yang solid antara pendidik dan orang tua. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada awal dan akhir tahun ajaran. Namun demikian home visit juga dapat dilakukan ketika kegiatan pembelajaran sedang berlangsung ditahun tersebut. Jika pendidik tidak sanggup untuk mengunjungi dua atau tiga orang tua di rumah, dia dapat mengundang mereka dalam pertemuan khusus di lembaga. Beberapa orang tua mungkin lebih suka diundang dalam pertemuan dalam kelompok kecil. Jika orang tua tidak dapat datang ke lembaga dan pendidik tidak dapat berkunjung ke rumah, maka pendidik dapat mengundang mereka untuk bertemu di tempat lain sesuai kesepakatan. Pertemuan di tempat yang netral mungkin membantu orang tua merasa nyaman. Jika tidak mungkin, pendidik dapat mencoba kontak melalui telepon, atau surat. 

6. Pertemuan Orang tua dengan Pendidik (pengelola Lembaga) 
        Pertemuan pendidik dan orang tua merupakan salah-satu kegiatan yang dapat mendorong komunikasi antara mereka. Kegiatan ini dapat dijadwalkan secara rutin sesuai kebutuhan lembaga. 

7. Mempererat komunikasi pendidik-orang tua secara informal 
        Komunikasi yang sudah terbangun antara pendidik-orang tua perlu senantiasa dipererat. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk tujuan tersebut. Strategi komunikasi yang sudah disebutkan di atas adalah upaya membangun komunikasi secara formal dan terencana secara sistematis. Berikut ini adalah upaya mempererat komunikasi pendidik-orang tua secara informal dan tidak memerlukan perencanaan khusus. 
1. Waktu orang tua mengantar dan menjemput anak 
2. Menggunakan telephon 
3. Bertemu di luar lingkungan lembaga PAUD 
4. Melakukan kegiatan parenting 

2. Hubungan Lembaga PAUD dengan masyarakat dalam konteks umum 
        Pada umumnya sekolah merupakan tempat anak didik untuk memperoleh pengalaman-pengalaman, pengetahuan, keterampilan sehingga anak didik akan mendapat bekal hidup kelak bekerja di lingkungan masyarakat luas. 
        Anak usia dini pada hakikatnya adalah manusia yang memerlukan bimbingan, secara kodrati seorang anak sangat perlu pendidikan dan bimbingan dari orang dewasa. Masyarakat sebagai lingkungan terbesar dalam kehidupan, berguna untuk melatih jiwa anak dalam bersosialisasi terhadap masyarakat, seperti bermain dan bergaul. Yang harus diperhatikan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak misalnya anak yang terdidik dalam keluarga yang religius, setelah dewasa akan cenderung menjadi manusia yang religius pula. Lingkungan dan keluarga sebagai pendidikan kedua setelah sekolah, orang tua memiliki peran yang cukup strategis dalam membantu guru memaksimalkan proses pembelajaran bagi anak-anak usia prasekolah. 
        Dalam menyikapi berbagai perubahan sosial dan teknologi yang begitu cepat dalam masyarakat, maka orang tua harus memiliki pegangan edukatif dalam menciptakan suasana pembelajaran. Tugas pokok orang tua dan masyarakat yang dapat diberdayakan guru dalam meningkatkan perannya adalah : 

a. Memberi nama yang tepat. 
        Pemberian nama akan memberi identitas kepada anak. Dengan berbagai kemajuan dan perubahan sosial nama anak semakin baik dan beragam, namun identitas keklaminan justru sangat penting. 

b. Kebiasaan memberikan pakaian yang sesuai. 
        Berikan pakaian yang sesuai dengan anak agar nantinya Orang tua tidak bingung dengan kebiasaan anak yang kelaki-lakian atau keperempuan-perempuanan akibat dari seringnya memberikan pakaian yang tidak sesuai. 

c. Pemilihan warna yang tepat, sebab warna dan motif juga sangat berpengaruh terhadap identitas kekelaminan. 

d. Pengembangan hobi yang menunjang. 
        Kecenderungan biasanya terbaca sejak kecil sehingga pengembangan hobi yang sesuai akan memberikan bekal yang baik untuk perkembangan anak. 

e. Memberikan batasan-batasan, aturan-aturan dengan bimbingan yang tepat 

f. Memperhatikan tugas dalam rumah tangga secara tidak langsung anak akan memperhatikan dan mengerti akan tugas dan kewajibannya.
10:21:00 AM
thumbnail

Peran Masyarakat dalam Pendidikan Anak Usia Dini

Posted by Yushan on Monday, September 27, 2021

        Sungguh suatu hal yang ironis, betapa tekhnologi modern ternyata belum bisa memberi manfaat atau efek yang positif pada anak-anak. Seperti yang kita ketahui bahwa perkembangan dan pertumbuhan anak zaman sekarang ini lebih banyak dipengaruhi oleh Televisi, dimana tak ada filter yang bisa menyaring secara efektif hal hal yang baik untuk anak. Kita juga bisa membedakan bahwa di lingkungan pedesaan dengan lingkungan perkotaan terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam hal pendidikan. Dimana di Perkotaan Anak-anak usia dini sudah banyak yang tersentuh oleh pendidikan untuk anak usia dini. 

        Melihat dari perkembangan anak yang memerlukan perhatian khusus oleh orang tua, Pendidikan Anak Usia Dini perlu tersosialisasikan kepada masyarakat, agar visi Paud dapat tercapai sebelum anak tersebut masuk kesekolah dasar. Masyarakat yang peduli dengan anak-anak akan sangat antusias sekali untuk bahu membahu dalam mengembangkan kualitas PAUD. Meski PAUD yang didirikan masyarat masih berada dalam jalur nonformal namun sudah menggunakan kurikulum dengan menu generik. Ada beberapa strategi masyarakat dalam mendirikan PAUD: 

1. Memegang prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat, sehingga masyarakat dapat dilibatkan sejak identifikasi kebutuhan , merancang program , melaksakannya dan mengawasinya. 

2. Fleksibel yakni baik tempat, waktu , maupun saran ayang digunakan. Yang paling penting aman dan tidak mengganggu waktu tidur siang anak. 

3. Tidak harus dimulai dari nol, bisa dengan mengembangkan fasilitas yang sudah ada seperti, Posyandu, BKB, SPS, ataupun Majelis Ta’lim. 

4. Yang Mudah, Murah, tetapi harus bermutu. Yaitu PAUD nonformal bukan berarti gedung yang megah dan berfasilitas lengkap tetapi menjadi satu tolak ukur dimana anak merasa diperhatikan, diberi kesempatan, diberikan kebebasan mengungkapkan kemampuanya, didengar isi hatinya tanpa ada paksaan/ ancaman/ tekanan terhadap dirinya serta mendapatkan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan Usianya. 

        Dalam penyelenggaraanya sendiri PAUD nonformal diharuskan tidak kaku, maksudnya jika sudah ada keinginan dari masyarakat untuk mendirikan PAUD segeralah untuk memulainya meskipun belum mendapatkan ijin. Untuk sementara waktu sebelum dibuat kurikulum, maka bisa menggunakan kurikulum dengan Menu generik. Sambil berjalan, penilik PLS/ PAUD memantau, membina, dan mengarahkan hingga mendapatkan izin operasional. Sehingga dalam jangka waktu minimal 6 bulan setelah program berjalan, PAUD sudah mendapatkan ijin dari Dinas Pendidikan.
10:15:00 AM
thumbnail

Peran Orang Tua pada Pendidikan Anak Usia Dini

Posted by Yushan on Sunday, September 26, 2021

        Masa depan anak sesungguhnya ada ditangan kedua orang tuanya, bila orang tua senantiasa memperhatikan perkembangan buah hatinya niscaya masa depan anaknya akan jauh lebih baik. Pendidikan anak usia dini memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan memperlihatkan aktivitas di rumah. Pendidikan usia dini merupakan masa terpenting dan mendasar dalam kehidupan manusia yang memegang kendali dalam perkembangan kehidupannya. Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan dalam keluarga. Orang tua dalam pendidikan islam memiliki kewajiban dan tanpa ada yang memerintah langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik yang bersifat pemelihara, pengasuh, pembimbing maupun sebagai guru dan mereka sebagai pemimpin bagi anak-anaknya. 

        Perjalanan seorang anak menuju kedewasaan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor alam dan lingkungan, oleh karena itu perlu adanya peran orang tua serta pihak lain seperti guru dan masyarakat untuk membantu proses tersebut agar kedewasaan seorang anak tidak terhambat. Orang tua dan guru juga perlu memahami arti kreativitas dan bagaimana penampilannya jika dikaitkan dengan tingkat perkembangan anak dan mereka perlu memiliki keterampilan untuk membantu dan mendorong anak mengungkapkan daya kreatifnya, menyadari pentingnya kreativitas bagi anak dan bagi pendidik sendiri mampu menemukan kendali kreativitas pada anak dan membina mereka mengembangkan kesediaan dan keberanian untuk mewujudkan kreativitas mereka. Perkembangan merupakan rangkaian proses perubahan kearah yang lebih maju dan lebih dewasa. 

        Mengembangkan kreativitas sejak dini itu sangat penting bagi perkembangan anak karena ada beberapa perilaku yang mencerminkan perilaku kreativitas alamiah anak pra sekolah menjadi nyata seperti menjajaki lingkungannya, dan rasa ingin tahu mereka sangat besar. Oleh karena itu orang tua, guru dan masyarakat bertanggung jawab atas pemeliharaan, perhatian dan penyediaan lingkungan fisik dan social yang kondusif bagi perkembangan anak-anak.
10:12:00 AM
thumbnail

PERGESERAN DRASTIS PARADIGMA DUNIA PENDIDIKAN

Posted by Yushan on Friday, April 15, 2016

Dalam kondisi krisis moneter dengan kompetisi bebas di ambang pintu, ada baiknya kita  berfikir sejenak tentang kondisi dan pengkondisian Sumber Daya Manusia yang ada di Indonesia. Sudah siapkah kita? Mengertikah kita?

Tulisan ini akan mengupas beberapa pergesaran mendasar & drastis paradigma dunia pendidikan karena perkembangan pesat di teknologi informasi khususnya Internet yang pada akhirnya mempercepat aliran ilmu pengetahuan menembus batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemapanan dan waktu. Kita perlu menyadari bahwa di Internet bukan hanya ilmu pengetahuan yang dapat di transmisikan pada kecepatan tinggi akan tetapi juga data dan informasi. Kemampuan untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisi, mensintesa data menjadi informasi kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat sangat penting artinya.

Prasyarat lain yang akan mempercepat pergeseran paradigma dunia pendidikan adalah kompetisi bebas, free trade dan hilangnya monopoly. Kemungkinan prasyarat ini yang akan menghambat di Indonesia karena lambatnya adopsi kompetisi bebas di Indonesia. Akan tetapi saya yakin, cepat atau lambat dan mau tidak mau kompetisi bebas akan berjalan di Indonesia karena desakan dunia global. Bagi kami yang bergerak & betul-betul hidup mengambil manfaat dalam dunia informasi berbasis Internet, sebetulmnya kompetisi bebas & perdagangan bebas telah beberapa tahun ini kami nikmati - bahkan resesi ekonomi belum terlalu parah dirasakan. Mudah-mudahan hal ini dapat menggugah sedikit sebagian dari kita yang belum mengambil manfaat maksimal dari Internet.

Beberapa konsekuensi logis percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang selama ini berjalan antara lain adalah:

Sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal yang konvensional. Akan tetapi sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana & setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence (distributed knowledge). Fungsi guru / dosen / lembaga pendidikan akhirnya beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi mediator dari ilmu pengetahuan tsb. Proses long life learning dalam dunia informal yang sifatnya lebih learning based daripada teaching based akan menjadi kunci perkembangan SDM. Web, Homepage, Search Engine, CD-ROM merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge ini berkembang.

Ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran yang sifatnya konsensus bersama. Pemahaman akan sebuah konsep akan dilakukan secara bersama. Guru / dosen tidak lagi dapat memaksakan pandangan & kehendaknya karena mungkin para siswa / mahaiswa memiliki pengetahuan yang lebih dari informasi yang mereka peroleh selama ini.  Keadaan ini dikenal sebagai generation lap (kebalikan dari generation gap). Proses interaksi elektronik, diskusi melalui berbagai Internet mailing list, newsgroup, IRC, Webchat merupakan kunci proses pembentukan collective wisdom ini. Yang menarik disini adalah dari sisi kurikulum, tidak akan pernah terjadi kurikulum resmi yang rigid - kurikulum akan selalu berubah beradaptasi dengan berbagai perkembangan sesuai dengan collective wisdom yang diperoleh dari waktu ke waktu.

Akreditasi, Sertifikasi, pengakuan akan lebih banyak di tentukan oleh masyarakat profesional. Dengan kata lain  masyarakat profesional yang akan menjadi penilai (quality control) dari lembaga pendidikan yang ada. Kontrol dilakukan dari kemampuan para alumni sehingga  setiap lembaga pendidikan / dosen / guru secara individual akan di nilai langsung oleh masyarakat profesional. Sebagai contoh, di ITB dikembangkan untuk sertifikasi komputer profesional untuk sertifikasi MCP, MCSE, MCT bekerjasama dengan Microsoft yang merupakan bagian dari program AATP yang sifatnya lebih profesional daripada sekedar kurikulum formal pendidikan biasa. Pengembangan konsep ini ke berbagai lembaga lainnya sangat terbuka untuk bekerjasama dengan program AATP Microsoft-ITB. Track record, Curriculum Vitae, Resume, referensi merupakan senjata yang jauh lebih penting & ampuh daripada sekedar ijasah resmi dari lembaga pendidikan. Dengan adanya sertifikasi yang sifatnya global & internasional ini, konsekuensi yang menarik adalah seseorang dengan sertifikat global ini dapat bekerja dimana saja (tidak tergantung batas negara lagi). Hal ini merupakan tantangan yang berat bagi konsep-konsep lama di lembaga pendidikan formal, ujian negara bagi PTS dan Badan Akreditasi Negara (BAN). Konsep kompetisi perlu dikembangkan bagi dunia pendidikan, jadi BAN sebaiknya berfungsi sebagai lembaga untuk melakukan penilaian (rangking) bagi masing-masing lembaga pendidikan.

Training for trainers, tingkat kenaikan jenjang dosen merupakan fokus yang perlu diperhatikan dengan pergeseran paradigma ini. Lembaga pendidikan harus melakukan investasi secara periodik bagi guru & dosen-nya jika ingin tetap memimpin di dunia pendidikan. Kegagalan dalam investasi guru & dosen akan berakibat kalah dalam persaingan merebut mahasiswa terbaiknya. Insentif bagi guru / dosen untuk mendidik diri sendiri bukan datang dari jalur struktural / jabatan; juga bukan dari jenjang kepangkatan tradisional (asisten ahli, lektor, guru besar) yang rigid. Reward yang lebih besar akan lebih banyak diperoleh dari pengakuan yang diberikan langsung oleh masyarakat. Bayangkan secara sederhana, betapa memalukannya jika ada seorang Profesor / Lektor yang ternyata bahasa Inggrisnya patah-patah & belum pernah menulis pada jurnal internasional. Akhirnya semua kembali kepada masyarakat profesional yang akan menilai kualitas sebenarnya seseorang.

Setelah mengetahui perubahan yang mendasar dari paradigma ini, apa yang perlu  & bisa kita lakukan sebagai bangsa Indonesia?

Terus terang pendapat saya pribadi sebagai orang Indonesia akan sangat sederhana yaitu mari kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan yang semakin terbuka untuk memperoleh ilmu pengetahuan & sertifikasi profesioanl ini untuk kebaikan nasib kita masing-masing. Pendidikan formal bukan lagi satu-satunya media untuk mengembangkan diri, karena ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari mana saja. Sertifikasi & akreditasi-pun sebetulnya dapat diperoleh dari mana saja. Bahasa Inggris akan menjadi salah satu aset yang sangat penting untuk dapat mengakses sumber ilmu yang terdistribusi dan menjadi rantai dalam collective wisdom ini. Selain berbahasa Inggris, kemampuan untuk membaca, mencerna dan menulis (menghasilkan) informasi / pengetahuan dengan menggunakan teknologi informasi (Internet) akan sangat strategis untuk dapat memperoleh keuntungan & manfaat yang besar dari keberadaan teknologi informasi.

Akan tetapi perlu di hayati bahwa kompetisi akan cukup ketat untuk memperoleh akreditasi & sertifikasi terbaik. Kerja keras & kerjasama kemitraan strategis dalam sebuah kelompok akan sangat menentukan keberhasilan kita dalam menentukan keberhasilan kita dalam penetrasi pasar. Belajar dari kuliah di kelas saja tanpa mempunyai visi & kemauan yang kuat untuk bertempur di dunia profesional tidak akan cukup. Aktif dalam dunia & kegiatan mahasiswa, maupun membantu kelompok-kelompok penelitian yang ada di masing-masing lembaga pendidikan akan sangat membantu membentuk kemampuan kompetisi yang tangguh. Sayang konsep NKK / BKK yang dulu sempat di canangkan & juga program percepatan Insinyur akhirnya banyak menghalangi mahasiswa dalam memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dalam berkompetisi bebas.

Bagi dunia pendidikan, skala ekonomi akan dapat dengan mudah dikembangkan dengan bertumpu pada teknologi informasi beberapa strategi mendasar yang akan membantu antara lain adalah:
Membuka aliansi kerjasama dengan berbagai universitas / dosen terbaik yang ada baik di Indonesia maupun di manca negara. Konsep aliansi untuk kerjasama pendidikan jarak jauh perlu dikembangkan & di encourage oleh DEPDIKBUD. Jangan sampai terjadi kesan "monopoli" bagi penyelenggaraan pendidikan jarak jauh hanya oleh Universitas Terbuka (UT) saja.

Berikan akses Internet bagi mahasiswa, penggunaan konsep warung Internet yang sifatnya self-finance akan sangat menguntungkan bagi investasi & operasional warung tersebut. Akhirnya mahasiswa & lembaga pendidikan yang akan di untungkan. Terus terang, dalam bisnis plan maka modal / investasi sebuah warung Internet dengan 5-10 komputer di sebuah universitas dengan sebuah saluran telepon ke Internet akan kembali dalam jangka waktu  8-12 bulan saja. Jadi pendekatan warung Internet akan menjadi sangat menarik, kunci keberhasilan berada pada kemampuan teknik & management SDM yang menjalankan warung tsb. Raanya tidak banyak yang mempunyai kemampuan ini, umumnya orang yang ahli di dunia pendidikan berada di institusi yang terkait ke Internet ITB, seperti UNSYIAH, UNILA, UNTAN, UMM, UNSOED, UKSW, dll.

Lakukan kerjasama periodik untuk melakukan seminar / workshop / training / pendidikan paska sarjana bagi dosen maupun civitas akademik yang ada supaya tetap pada ujung tombak ilmu pengetahuan.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberikan masukan bagi dunia pendidikan di Indonesia pada khususnya dan juga masyarakat umum pada umumnya.

Onno W. Purbo, Institut Teknologi Bandung.
10:09:00 PM
thumbnail

MENDIDIK PEREMPUAN ADALAH MENDIDIK BANGSA

Posted by Yushan on

SEJAK tahun 1975, tahun pertama konferensi dunia mengenai perempuan, di Meksiko, muncul kesadaran bahwa apa yang terjadi terhadap perempuan akan berdampak besar pada kesejahteraan umat manusia. Anggapan perempuan adalah pewaris pasif dari pertumbuhan dan pembangunan sosial semakin berkurang. Perempuan adalah pemain kunci yang akan menentukan nasib bangsa lewat anak-anak mereka. 

Meskipun ada kemajuan, namun sebenarnya kemajuan tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang signifikan terutama pada perempuan kelas bawah. Masih cukup banyak perempuan yang menganggur tidak punya pekerjaan meskipun ingin bekerja, atau bekerja di sektor informal yang penuh persaingan dan terkadang hasilnya kurang menjanjikan. Walaupun ada upaya menjamin persamaan di bidang ekonomi dan sosial, namun diskriminasi sebenarnya masih tetap berlangsung, dan kekerasan terhadap perempuan tetap berlanjut. 

Di banyak tempat, anak perempuan memperoleh pendidikan, pangan, dan pelayanan kesehatan yang lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. Di beberapa negara sedang berkembang kira-kira seperenam bayi perempuan meninggal disebabkan karena kelalaian dan diskriminasi. 

Sementara masalah perempuan dewasa yang sampai kini masih cukup menonjol di berbagai belahan dunia adalah tingginya angka kematian ibu karena komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan. Praktik aborsi yang tidak aman telah membawa perempuan ke jurang kematian tanpa dapat dicegah. Hal lainnya adalah banyaknya perempuan yang tidak memiliki akses yang baik untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang bermutu sehingga muncul kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan. 
***

DI bidang pendidikan percepatan perempuan untuk melek huruf tidak secepat kaum pria. Hal ini akan berimplikasi serius mengingat kesehatan dan kematian anak lebih banyak dipengaruhi pendidikan ibu dibandingkan pendidikan ayah. Bukti-bukti menunjukkan, pendidikan yang dimiliki perempuan menyebabkan turunnya angka kematian bayi dan membaiknya status gizi anak. 

Pola asih-asah (caring behavior) yang dimiliki seorang ibu merupakan faktor determinan yang sangat menentukan tumbuh kembang anak. Tumbuh kembang anak ini adalah ciri kualitas sumber daya keluarga. Di dalam mewujudkan pola asih-asah ini ada faktor eksternal yang turut berperan yakni status sosial ekonomi keluarga yang mencakup pendapatan, pendidikan, interaksi sosial, dan nilai-nilai dalam keluarga. 

Untuk bisa mengembangkan caring behavior yang sehat maka prasyarat yang penting adalah pendidikan ibu, beban kerja ibu, serta ada tidaknya alternate caregivers (pengasuh). Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih giat mencari dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan memelihara anak. Mereka juga akan menaruh perhatian lebih besar pada konsep sehat yang harus dicapai seluruh anggota keluarganya. 

Perempuan adalah aktor ekonomi yang berperan penting dalam mendukung keluarga sejahtera di berbagai negara. Peran mereka tidak hanya terbatas di sektor pertanian, tetapi juga di industri dan pelayanan/jasa. Pertumbuhan industri di suatu negara ditandai dengan partisipasi kaum perempuan, kebanyakan kaum buruh, untuk bekerja di sektor tersebut. 

Ketersediaan pangan rumah tangga tidak lepas dari peran kaum perempuan. Sebuah studi mengungkapkan, di Afrika perempuan memberikan kontribusi 70-80 persen dalam penyediaan pangan keluarga, sementara di Asia 65 persen. Meskipun kenyataannya, perempuan sering mengalami ketidaksetaraan akses dibandingkan kaum pria seperti dalam hal pendidikan, penguasaan teknologi, dan akses terhadap informasi. 

Keterlibatan perempuan di sektor ekonomi tidak selalu menjadi bagian dari statistik sehingga peran mereka menjadi tidak kelihatan. Hal ini terjadi karena penentu kebijakan di bidang pembangunan banyak didominasi pria. Mengabaikan peran perempuan di bidang sosial ekonomi dapat dianggap sebagai pemborosan pembangunan. Perempuan tidak mendapatkan input memadai, sehingga potensi kontribusi ekonomi mereka tidak dapat dimunculkan secara maksimal. 

Alokasi waktu bekerja yang dicurahkan perempuan dari keluarga miskin umumnya lebih banyak daripada kaum pria, meskipun produktivitas kaum perempuan masih dianggap rendah. Seandainya mereka memperoleh perhatian sehingga kebijakan pembangunan bisa sedikit banyak terfokus pada kaum perempuan, maka peran ekonomi perempuan akan muncul secara lebih signifikan. Setiap dollar bantuan negara donor yang dialokasikan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja perempuan, meningkatkan produktivitas mereka, dan memperkuat partisipasi perempuan dalam penentuan pengambilan keputusan akan berdampak nyata dalam pembangunan negara. 

Untuk itu negara perlu memperhatikan program yang bertujuan meningkatkan pendidikan kaum perempuan, peningkatan keterampilan, dan penguasaan teknologi. Perempuan juga harus diberdayakan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut produksi, reproduksi, dan distribusi. Bila kaum perempuan mempunyai posisi kuat untuk mendukung ekonomi rumah tangga, maka permasalahan khususnya menyangkut kerawanan pangan dan malnutrisi akan dapat diatasi dengan cepat. 
***

BEBERAPA studi menunjukkan, kesejahteraan keluarga tidak melulu tergantung pada penghasilan yang diperoleh, tetapi juga sangat ditentukan oleh siapa yang mencari nafkah dan mengontrol pengeluaran rumah tangga. Kaum perempuan, dibandingkan pria, ternyata cenderung mengalokasikan uang untuk belanja pangan keluarganya. Sementara pendapatan yang berasal dari perempuan berkorelasi erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan dan status gizi anak. Karena itu kesetaraan jender, khususnya di bidang ekonomi dan pengambilan keputusan, akan berdampak besar pada kesejahteraan keluarga. 

Ibarat pepatah mengatakan: mendidik seorang pria adalah mendidik satu orang, tetapi mendidik perempuan adalah mendidik bangsa. 

* Dr Ir Ali Khomsan, dosen Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Faperta IPB.
9:01:00 PM
thumbnail

REFLEKSI POLA PENDIDIKAN NILAI DI SEKOLAH

Posted by Yushan on

Proses pembangunan yang sedang kita laksanakan berhadapan dengan era yang jauh berbeda dengan era sebelumnya. Saat ini kita berhadapan dengan dua era, yaitu era reformasi dan era globalisasi. Era reformasi merupakan era baru dalam sejarah berdirinya republik ini. Era pengganti Orde Baru ini berusaha menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran yang selama ini banyak dinodai dan disalahtafsirkan untuk kepentingan pribadi atau golongan. 

Akibat kurang ditegakkannya nilai-nilai hakiki tersebut bangsa ini mengalami krisis di berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi dan sosial. Korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kebijakan yang kurang memihak pada kebenaran merupakan perilaku yang banyak dilakukan sebagian besar golongan masyarakat yang telah dianggap sebagai panutan. Padahal mereka selama ini dianggap sebagai sumber daya manusia yang kita andalkan untuk mengelola kekayaan negara dan menjalankan roda pemerintahan. Namun pengakuan itu menjadi terbalik ketika kekuatan menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran. 

Karena itu bangsa ini pun tidak ingin memilih dan mempunyai sumber daya manusia yang dipercaya untuk mengelola kekayaan negara dan menjalankan roda pemerintahan tetapi masih memiliki perilaku menyimpang dari apa yang ingin diperjuangkan dalam era reformasi. 

Sementara itu pada waktu yang bersamaan dengan usaha menegakkan nilai-nilai kebenaran, kita juga berhadapan dengan era globalisasi. Yaitu, suatu era ketika dunia terasa semakin kecil, dunia tanpa tapal batas. Melalui kecanggihan teknologi transportasi dan komunikasi masyarakat suatu bangsa berhubungan dan berinteraksi dengan masyarakat bangsa lain tanpa dapat dibendung oleh batas-batas administrasi kenegaraan. 

Hal ini memungkinkan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai dan budaya bangsa Indonesia masuk. Selain itu era ini juga ditandai dengan industrialisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Ini memerlukan kemampuan dan daya nalar setiap individu lebih meningkat, demikian pula kemampuan daya serap terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi semakin dititikberatkan pada antisipasi di masa depan. 

Untuk itu diperlukan pengembangan sumber daya manusia ini yang diarahkan kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap memelihara dan berpegang pada nilai hakiki dan budaya bangsa. Tantangan ini membuat keadaan kita memang tidak menguntungkan. Di saat bangsa ini harus mempertegas nilai-nilai pribadi yang hakiki berkaitan dengan masuknya berbagai nilai baru akibat globalisasi, bangsa ini mengalami krisis nilai. Apabila tidak ada pembenahan, perilaku yang pernah terjadi marak pada zaman Orde Baru akan terulang lagi. Untuk itu diperlukan pendidikan nilai yang lebih menyentuh agar dapat terinternalisasi pada diri setiap warga bangsa. 

Menjaga Nilai-nilai 
Berdasarkan uraian tersebut sumber daya manusia sebagai pelaku pembangunan merupakan unsur yang sangat strategis bagi maju mundurnya negara dan bangsa ini. Karena itu diperlukan sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki kualitas dan kemampuan berdaya saing global, tetapi juga harus mampu menjaga nilai-nilai dan budaya bangsa di saat mereka harus beradaptasi dengan peradaban yang semakin maju dan modern. Apabila tidak diimbangi dengan kemampuan untuk mempertahankan nilai dan budaya bangsa, tidak menutup kemungkinan identitas dan jati diri bangsa Indonesia akan kabur. 

Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa kehancuran dan kepunahan suatu bangsa selalu didahului oleh hancurnya nilai dan budaya bangsa yang bersangkutan. Konsekuensi tersebut mengingatkan bahwa era globalisasi yang ditandai dengan revolusi industri ini menciptakan sistem sosial dengan teknologi yang menakjubkan, namun ekses industrialisasi mengubah juga sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang tidak jarang keluar dari falsafah hidup bangsa. 

Selain itu globalisasi juga sangat berperan dalam memacu transformasi kehidupan manusia yang mendasar. Arus informasi dan komunikasi semakin mengglobalkan nilai-nilai budaya yang berlangsung sangat intensif serta menjurus ke arah nilai budaya universal di atas nilai-nilai budaya tradisional. Perubahan dan pergeseran tata nilai dalam masyarakat berlangsung cepat dan tidak terduga. Hubungan antara manusia bukan lagi berdasarkan sambung rasa tetapi berdasarkan hubungan industrial, keuntungan material serta status sosial semakin mendesak perikemanusiaan, solidaritas, kegotongroyongan. 

Demikian juga dengan dekadensi moral sudah menjadi hal yang biasa dan nilai-nilai tradisional yang patut dipertahankan sebagai ciri bangsa yang beradab mulai runtuh dan diganti dengan nilai-nilai pragmatis dan materialistis, termasuk kepatuhan pada ajaran agama mulai luntur. Bahkan, cita-cita membebaskan diri dari serba keterbelakangan di satu pihak dan maju di berbagai bidang, sering kali memperlihatkan wajah yang terlalu ambisius dan hal itu memberi peluang besar untuk tumbuh suburnya perilaku yang jauh dari kepribadian bangsa Indonesia. 

Dalam kondisi demikian hanya ada satu kunci untuk menghadapinya. Yaitu, ikut serta dalam arus perubahan menuju modernisasi, tanpa harus terlarut di dalamnya dan kehilangan jati diri sebagai suatu bangsa yang berkepribadian luhur. Untuk itu perlu pendidikan nilai guna mempersiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga memiliki keselarasan hubungan vertikal dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitar dan memiliki kemantapan kehidupan lahiriah dan batiniah, berjiwa dinamis serta memiliki semangat gotong royong yang senantiasa berkembang sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan kemajuan bangsa dan negara. 

Institusi yang paling cocok untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sekaligus memiliki kemantapan dan kemampuan untuk mempertahankan dan mengaplikasikan nilai-nilai dan budaya bangsa seperti yang diharapkan adalah lembaga pendidikan (baca: sekolah dan kampus). 

Pendidikan Nilai 
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan berperanan sangat penting dan strategis untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa yang bersangkutan. Dalam hal ini pendidikan secara sosio-antropologis merupakan transformasi seleksi dan pengembangan nilai-nilai sosial-budaya dari generasi satu ke generasi berikutnya. Karena itu, pendidikan nilai berperan sebagai acuan dan alur transformasi kebudayaan nasional. 

Selanjutnya pendidikan nilai berperan memberikan karakteristik umum kepada keanekaragaman norma, adat istiadat, etnis dan budaya lokal yang menjadi akar budaya nasional tersebut. Dengan demikian, diharapkan pendidikan nilai mampu menyerap sains dan teknologi tinggi dalam mengikuti arus globalisasi, sekaligus mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai kepribadian Indonesia. Dalam hubungan ini lembaga pendidikan merupakan ''pintu keluar'' orang-orang yang diharapkan dapat memajukan bangsa ini. Lembaga pendidikan, baik pendidikan tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi harus mampu mengaktualisasikan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik. 

Mengingat lembaga inilah yang nantinya menggodok dan menghasilkan manusia-manusia yang diandalkan bangsa dan negara untuk membangun dan memajukan bangsa dan negara ini. Dengan penginternalisasian nilai-nilai luhur bangsa diharapkan lembaga pendidikan mampu melahirkan tenaga-tenaga profesional punya semangat dan gerakan produktif dan konstruktif serta punya kepekaan tinggi terhadap segala perubahan yang dihadapi di tengah masyarakat dalam era pembangunan, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa sebagai ciri kepribadian bangsa Indonesia. Fungsi lembaga pendidikan dituntut lebih efektif saat ini, terutama saat era globalisasi. Karena, era globalisasi menghasilkan titik temu antara berbagai ragam budaya dunia (multi cultural), sekaligus memberi peluang untuk mengembangkan dan memperkaya khasanah nilai-nilai dan kebudayaan. Karena itu, lembaga pendidikan harus memberi bekal kepada peserta didik (siswa dan mahasiswa) dengan berbagai kemampuan untuk menyaring nilai-nilai baru yang bermanfaat untuk dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan. 

Pola Pendidikan 
Pola pendidikan nilai dan budaya bangsa di lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi selama Orde Baru dilakukan dengan cara penataran-penataran. Sebagai contoh penataran P4 yang pada masa Orde Baru dipandang cukup ''ampuh'' untuk mentransfer dan menanamkan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik. 

Cara demikian memang tidak dapat disangkal akan memasyarakatkan nilai-nilai luhur. Namun demikian tidak menutup kemungkinan nilai-nilai luhur itu hanya sekadar dipahami dan dimengerti peserta didik. Tindakan nyata atau sikap nyata atas persetujuan terhadap nilai-nilai yang dipahami belumlah secara total diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Barangkali dapat kita hitung dengan jari berapa persen yang mampu untuk mengamalkan nilai-nilai luhur secara murni dan konsekuen. Paling tidak tindak korupsi, kolusi dan nepotisme yang begitu marak dilakukan orang-orang yang selalu mendengungkan nilai-nilai kebenaran 

Pancasila dan berbagai sikap dan perilaku sebagian masyarakat kita yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, seperti penjarahan, perampokan, dan pembakaran. Itu semua merupakan fakta nilai-nilai yang selama ini diajarkan belum terinternalisasikan. Kenyataan ini boleh jadi merupakan indikator kegagalan strategi penanaman nilai-nilai luhur bangsa dengan penataran kepada peserta didik sebagai generasi muda yang akan mengantarkan bangsa dan negara ini menuju kemajuan dan kemandirian. 
Kegagalan ini tidak hanya karena strategi penanaman nilai yang cenderung mendoktrin, tetapi juga karena jurang pemisah antara nilai-nilai yang diajarkan dengan kenyataan dan berbagai perilaku dalam kehidupan yang menyimpang. Akibatnya nilai-nilai luhur yang patut dijaga dan diaplikasikan dalam kehidupan hanya menjadi impian. Untuk itu perlu pola baru dalam pendidikan nilai. Dalam hubungan itu ada dua pola pendidikan nilai yang dapat dikembangkan. 

Pertama, pendidikan nilai berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Dengan pola ini peserta didik diberi kesempatan menggunakan pengalamannya untuk menafsirkan nilai-nilai yang diajarkan. Selanjutnya mereka dibawa pada kenyataan hidup, misalnya ke tempat-tempat permukiman kumuh, ke pengadilan untuk melihat proses keadilan dalam hukum, ke panti asuhan dan lain-lain. 
Dalam pola ini peserta didik diberi kesempatan untuk mengritik hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai yang diajarkan. 

Dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran untuk mempertahankan dan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai luhur bangsa. 

Kedua, penanaman nilai-nilai luhur melalui semua mata pelajaran atau mata kuliah. Artinya pendidikan nilai tidak harus dieksplisitkan sebagai mata kuliah atau mata pelajaran khusus tetapi dapat secara implisit pada semua mata kuliah, bahkan pada semua mata pelajaran atau bidang ilmu. 

Hal ini penting mengingat bahwa semua mata pelajaran atau mata kuliah baik itu yang terkait dengan ilmu eksakta seperti matematika, biologi, fisika, kimia atau ilmu sosial seperti ekonomi, pemerintahan, jurnalistik, maupun yang terkait dengan ilmu-ilmu humaniora seperti kesusastraan dan bahasa tidak akan terlepas dengan nilai yang kaitannya dengan kehidupan manusia. 

Seorang pengajar pada saat mentransfer ilmu harus tetap mempertemukan antara arah ilmu yang dipelajari peserta didik dengan nilai-nilai kepribadian bangsa. Dengan demikian peserta didik selalu dikenalkan dan dibiasakan dengan nilai kemanusiaan yang terkandung di dalam ilmu itu. Sehingga, baik secara kognitif dan afektif mereka memperoleh pendidikan nilai melalui berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang dipelajari. 

Karena itu, mereka diharapkan menjadi peserta didik dan generasi penerus bangsa yang tidak hanya mampu menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan sebagai modal untuk berkompetisi global, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menjaga nilai dan menggunakan ilmunya dengan tetap sejalan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan di berbagai bidang tanpa harus melepaskan jati diri sebagai bangsa Indonesia. *** 

Oleh: Teguh Setiawan
Penulis adalah staf pengajar FPBS IKIP Yogyakarta 
8:37:00 PM
thumbnail

KURIKULUM JANGAN SAMPAI MEMBERATKAN, KARENA MURID AKAN MENJADI KORBAN

Posted by Yushan on

Psikolog Sartono Mukadis, menilai, sudah waktunya pendidikan di Indonesia tidak lagi menjadikan murid sebagai objek tetapi subjek pendidikan. Selama paradigma murid adalah objek tetap dipelihara, maka murid serta walinya akan terus menjadi korban dan "sapi perahan" sekolah. Ironisnya lagi, murid sekolah terus-menerus dibenani kurikulum pendidikan yang tidak masuk akal beratnya, seperti sudah jatuh tertimpa tangga. 

Ditambah lagi dengan banyaknya guru yang sewenang-wenang dan menjadi "hantu" bagi murid, sehingga tidak sedikit anak yang takut sekolah dan takut mengikuti pelajaran."Paradigma itu harus diubah, dan sekarang pelan-pelan saya lihat sedang terjadi. Paradigma pendidikan satu arah yang berorientasi pada target Ebtanas harus diganti. Pendidikan bukanlah sesuatu yang langsung jadi. Pendidikan adalah proses panjang sepanjang hayat," ujar Sartono kepada Pembaruan, di Jakarta.

Sartono menyatakan bersyukur karena sistem peringkat di sekolah sudah dihapus setelah dirinya ikut memprotes selama 20 tahun penerapan peringkat kelas. Pasalnya, peringkat merupakan penghinaan kepada siswa. Anak yang pandai matematika, belum tentu juga pandai dalam olahraga.

Adanya peringkat sekolah, katanya, berarti sekolah menghapus semangat bertanding murid dengan diri mereka sendiri. Guru seharusnya memuji setiap prestasi dan memicu semangat belajar anak didik. Untuk mencapai paradigma itu harus memenuhi berbagai syarat. Jangan malah menjadi "hantu" yang menakutkan anak.

Menurut Sartono, pendidikan yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak adalah di tingkat sekolah dasar (SD). Jadi, jangan lagi guru SD direkrut secara asal-asalan, guru di SD harus betul-betul berkualitas.

Diingatkan pula, janganlah bermimpi bahwa mendidik anak itu tugas guru semata, dan perlu diingat bahwa belajar dan mendidik itu juga berarti bermain. Selama di rumah, orangtua harus membuat suasana belajar sambil bermain dalam setiap kesempatan. "Prinsip sekolah tanpa dinding itu yang terpenting. Guru harus mengajak anak untuk terus bertanya, dan mencari jawaban dari daya analitis dan kritis. Guru harus mengizinkan anak didiknya berpikir beda. Janganlah orangtua atau guru memberhalakan atau menjadikan IQ sebagai Tuhan," ujarnya.

Mutu pendidikan di Indonesia, menurut Sartono, masih sangat menyedihkan. Rendahnya mutu tersebut, lama kelamaan akan membahayakan masa depan bangsa. Lewat jalur pendidikan, diharapkan para orang muda atau peserta didik nantinya dapat bertahan hidup di tengah masyarakat.

"Akan lebih berguna apabila kita bertanya secara positif, apa yang kita harapkan dari pendidikan kita sekarang ini? Apakah para guru telah menjalankan tugasnya dengan baik di dalam kelas sehingga dia tidak menjadi hantu yang menakutkan bagi para murid," ucapnya.Dikatakan, pendidikan yang diberikan para guru itu harus menyangkut seluruh aspek kehidupan, bukan hanya daya hafalnya.

"Mendidik manusia seutuhnya itu tidak seperti itu. Jika hanya mentransformasikan ilmu, sama saja kita menganggap anak didik itu robot atau komputer yang diisi program-program,'' tuturnya. Menurutnya, untuk membentuk manusia seutuhnya itu adalah dengan membantu siswa agar ia diperkuat dalam kepribadiannya yang lebih bermoral, agar ia belajar membawa diri dengan percaya diri, sekaligus sopan, sehingga dapat mengembangkan suatu wawasan yang memahami situasi lingkungan alam dan sosialnya. Ditambahkan, kita ingin mendidik anak yang terbuka, yang mempunyai wawasan luas, yang tahu bahwa dalam masyarakat Indonesia hidup orang dari berbagai suku, budaya, dan agama, serta dapat bergaul antara yang satu dan yang lainnya. Tidak sektarian atau memiliki sikap fanatisme berlebihan.

3:23:00 AM
thumbnail

PERLU SISTEM PEMBELAJARAN "MULTIGRADE TEACHING"

Posted by Yushan on

Guna mengembalikan memori anak-anak yang traumatis pascakerusuhan, diperlukan sistem pembelajaran yang bersifat multigrade teaching, yakni pembelajaran terhadap satu kelompok yang terdiri dari beberapa kelas. Namun, metode yang seharusnya dijalankan secara kontinu dan konprehensif ini terbentur masalah dana. Demikian dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Suyanto MEd PhD.

"Kita tahu bahwa dampak kerusuhan terhadap aspek pendidikan sangat luar biasa. Sebab, dalam kondisi traumatis, stigma-stigma sosial akan terkenang seumur hidup sehingga diperlukan penanganan pedagogi yang baik pula," ujarnya.

Untuk mengembalikan kondisi yang sulit itu, apalagi "mengobati" memori anak-anak yang tengah berada dalam puncak kepekaannya-di mana anak-anak disuguhi peristiwa pembunuhan yang luar biasa-diperlukan penanganan yang kontinu dan komprehensif. Menghadapi kenyataan ini, sistem pembelajaran yang diharapkan bukan sekadar memberikan ilmu-ilmu pendidikan formal, tetapi juga pendampingan psikis mereka. Karena itu, kata Suyanto, sistem pembelajaran multigrade teaching adalah yang paling mungkin dilakukan. Artinya, pembelajaran dilakukan terhadap satu kelompok yang terdiri dari beberapa kelas. Misalnya, kelas satu sampai kelas tiga digabung menjadi satu kelas dan untuk anak-anak kelas empat hingga enam juga dibuat kelompok yang berbeda. Untuk itu, masyarakat harus bisa memakluminya sebab kondisi darurat ini sedang mereka alami.

Menurut Suyanto, secara teoretis, metode pembelajaran yang digunakan harus dimulai dengan mengekspose hal-hal yang sangat menakutkan hingga menjadi sesuatu yang tidak menakutkan. "Akan tetapi, secara praktis, anak-anak itu perlu juga diajarkan tentang nilai-nilai yang mengutamakan toleransi. Kalau tidak melalui cara ini, anak-anak akan memiliki perasaan antipati terhadap etnis-etnis tertentu, yang menurut pikiran mereka telah menyebabkan malapetaka," tegasnya.

Hanya saja, demikian Suyanto mengingatkan, metode pembelajaran ini memerlukan waktu yang panjang. Kendati begitu ia juga tidak yakin sepenuhnya kalau metode pembelajaran ini dapat menyembuhkan traumatis anak-anak, apalagi jika itu tidak dilakukan secara serius. Ke depan, tambahnya, pendidikan di daerah rawan konflik tidak harus mengandalkan pendidikan persekolahan yang memberikan teori-teori atau konsep umum pendidikan. "Pendidikan dengan konsep-konsep sosiologis, antropologis, dan budaya juga harus ditempuh," tuturnya.

Ia menambahkan, sampai saat ini upaya memasukkan sikap toleransi menjadi sebuah kurikulum khusus saja masih mengalami pro dan kontra. Namun, lepas dari itu semua, upaya yang paling baik adalah bahwa dalam setiap mata pelajaran seharusnya ada pesan nilai-nilai tertentu untuk kemudian dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. "Pendidikan agama yang sudah mengajarkan nilai-nilai tidak bisa dikatakan gagal. Variabel yang menentukan perilaku manusia begitu banyak. Ia tidak bisa hanya ditentukan oleh kesanggupan murid berada di kelas selama jangka waktu tertentu secara formal," jelasnya. 

(Kutipan Kompas 030301)

3:14:00 AM
thumbnail

BUKAN KEMEWAHAN YANG MEMBUAT SEKOLAH JADI UNGGULAN

Posted by Yushan on Thursday, April 14, 2016


Definisi sekolah unggul yang mewah, luks, sarana (hardware) yang lengkap dalam beberapa tahun kedepan akan ditinggalkan masyarakat. Sekolah yang lebih mementingkan hardware tersebut menyesatkan indikasi sekolah unggulan karena dari sekolah seperti itu belum tentu menghasilkan lulusan yang optimal dan unggulan.

"Sekolah unggulan ialah sebuah sistem dimana seluruh komponen pendidikannya terintegrasi, utamanya guru," ucap Prof. Dr. Yaumil Agoes Achir anggota Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma (YPP Adik Irma). Dia memaksudkan terintegrasinya sistem ialah guru, kurikulum, sarana, dan murid-muridnya saling mendukung.

Ketrampilan, kepandaian, dan penguasaan materi oleh guru adalah kunci sekolah unggul. "Guru juga tidak boleh diperas, pengembangan karir serta materinya harus diperhatikan pengelola sekolah," ucapnya. Dia mengatakan kesejahteraan guru sangat penting untuk meningkatkan mutu pendidikan. Semakin guru sejahtera akan lebih tinggi konsentrasinya kependidikan dan murid.

Selain itu ada lagi syarat yang diajukan Yaumil mengenai sekolah unggulan yaitu kurikulum. "Jangan hanya bergantung kepada kurikulum nasional, harus ada penambahan jam serta materi pada beberapa pelajaran yang penting," tuturnya.

YPP Adik Irma sendiri memberi penekanan kepada pelajaran matematika, fisika, humaniora (budi pekerti), kemampuan berbahasa, dan komputer. "Penekanan pada lima poin tersebut menjadikan kurikulum nasional lebih unggul," ujarnya.

Sedangkan konsekuensi yang harus dihadapi anak dengan adanya beberapa penekanan pelajaran tersebut jam pulang anak akan lebih panjang. Yaumil mengatakan mungkin anak harus pulang sekolah jam 15.30 atau 16.00.

"Jangan khawatir anak akan jenuh karena terlalu lama disekolah. Di luar negeri sendiri anak pulang sekolah sore hari itu sudah biasa," tegasnya. Biasanya kejenuhan anak disekolah justru karena faktor gurunya karena guru tidak mampu menampilkan materi secara menarik. (KPM/Warta Kota 260400)

11:19:00 PM
thumbnail

MENYOAL PENDIDIKAN UNTUK SI MISKIN

Posted by Yushan on

Tahun ajaran baru sudah tiba. Pada setiap tahun ajaran baru, dapat kita saksikan pemandangan menarik; penerimaan siswa baru dari tingkat TK-SLTA, juga mereka yang berebut kursi di bangku perguruan tinggi. Bagi kalangan menengah ke atas, tidak terlalu menjadi masalah bagaimana mereka bisa melanjutkan pendidikan. Dengan NEM yang mereka miliki serta dana yang tersedia, mereka dengan mudah dapat meraih kursi di sekolah yang diidamkan.

Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan les privat, bimbingan tes dan berbagai kursus untuk meraih NEM tinggi. Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti mengalami kesulitan. Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis mereka tidak mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk melanjutkan ke sekolah bermutu, mereka tidak akan pernah bisa masuk dengan persyaratan yang rumit serta biaya yang mahal.

Sebagai pendidik, dan orang tua, kita merasakan betapa akses ke dunia pendidikan tidak diperoleh semua kalangan. Orang kecil terutama, selalu termarginalisasi oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Mereka tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan memperoleh pendidikan yang layak, mereka juga dengan mudah diperlakukan tidak adil oleh mereka yang menguasai pangsa pasar. Sekolah-sekolah zaman sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk sekolah. Fungsi sekolah yang di masa lalu mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis yang subur.

Hak
Banyak sekolah didirikan semata-mata untuk mengeruk uang dan keuntungan. Dengan NEM yang rendah dan biaya yang sangat sedikit, masihkah ada peluang untuk memperoleh pendidikan? Kisah-kisah semacam ini menjadi menarik, ketika mereka mengatakan telah mendatangi sekolah-sekolah untuk mendaftarkan diri tetapi ditolak karena tidak ada biaya. Ironis memang.

Wali Kota Semarang H Sukawi Sutarip dalam sebuah dialog dengan LSM dan wartawan pernah menyesalkan iklan ’’Ayo Sekolah’’ di televisi yang mendorong anak-anak bersekolah, tetapi begitu tiba di sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara kita menggariskan semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak.

Ketiadaan memperoleh kesempatan sekolah merupakan pengingkaran dari tujuan pendidikan sendiri, yang mencakup: Pertama, pendidikan bertujuan membentuk manusia seutuhnya yakni manusia Pancasilais sejati. Kedua, pendidikan berlangsung seumur hidup di dalam dan di luar sekolah.

Ketiga, pendidikan berdasarkan pada faktor ekologi, yakni kondisi masyarakat yang sedang membangun dengan kondisi sosial budaya serta alam Indonesia. Keempat, berdasarkan pandangan psikologis belajar modern, anak didik diakui sebagai suatu organisme yang sedang berkembang, yang berkemampuan, beraktivitas dan berinteraksi, baik dengan masyarakat maupun dengan lingkungan.
Kelima, hasil pendidikan diharapkan, kelak anak didik menjadi manusia atau warga masyarakat yang terampil bekerja, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya kini dan di masa mendatang. (Oemar Hamalik, 1980). Oleh karena itu, kesempatan memperoleh pendidikan merupakan hak setiap warga negara.

Sekalipun banyak pihak menyadari -- juga termasuk pengelola pendidikan -- perlunya pendidikan bagi kaum miskin, tetapi jangankan bisa sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah payah. Apalagi biaya sekolah kian hari kian mahal. Idealnya biaya pendidikan tidak dibebankan kepada orang tua, tetapi subsidi dari negara.

Namun apa lacur? Pada zaman mantan Presiden Gus Dur, yang dikenal sebagai seorang populis dan humanis dan di masa lalu memberikan perhatian besar kepada dunia pendidikan, anggaran pendidikan dalam APBN 2001 justru amat kecil.

Munculnya keprihatinan semacam itu tidak terjadi sekarang saja. Paulo Freire, ahli pendidikan Amerika Latin yang menulis buku berjudul Pedagogy of the Oppressed (1972), dengan lantang dan tegas mengkritik pendidikan. Menurut Freire, praksis pendidikan dalam kenyataannya tidak lain sebagai proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga.

Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan justru semakin dilegitimasi kehadirannya lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai objek pendidikan, instruksional, dan antidialog.

Penjinakan
Secara tajam, Freire mengatakan sekolah tidak lebih sebagai penjinakan. Dengan begitu rupa, murid dipaksa pasrah, nrimo. Murid digiring dalam ketaatan bisu. Mereka harus diam, atau tidak semestinya tahu realitas diri dan dunianya sebagai tertindas. Sebab kesadaran diri akan membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal yang selama ini diidamkan oleh segelintir elite sosial politis.

Kita pun merasakan 32 tahun pendidikan berjalan sebagai realitas pembungkaman anak didik. Kesadaran kritis mereka dinafikan untuk status quo penguasa yang tidak mau dikritik dan kekuasaannya diganggu. Jangankan orang miskin dapat bersekolah secara memadai, untuk mengenal realitas kemiskinan mereka sendiri saja hampir tidak memungkinkan.

Harus diakui, kritik tajam Freire itu mengilhami banyak orang tentang perlunya mengubah paradigma pandang mengenai pendidikan. Pertanyaan mendasar perlu diajukan, bagaimana mengelola pendidikan seperti diidamkan oleh Freire.

Sekarang saja, sistem pendidikan yang ada masih kaku, sentralistis, serta dibelenggu oleh kurikulum dan penyeragaman. Fatalnya, pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi dan penyeragaman.

Pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi kaum berkuasa karena sekolah memang dijadikan salah satu tempat untuk pembungkaman kritik. Tragisnya, sekolah berubah menjadi representasi kaum elite politis terutama selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Sekolah menjadi kesempatan pembungkaman kesadaran yang bertolak belakang dari cita-cita para pejuang kemerdekaan.

Di pihak lain, sejalan dengan kritik dan pemikiran Freire, sekolah lebih menjadi legitimasi sekelompok elite sosial politik lewat sistem pendidikan yang manipulatif serta menutup jalan terjadinya kreativitas. Karenanya, tidaklah mungkin terjadi perkembangan dan perubahan, kalau orang sudah kehilangan kesadaran (awareness).

Kegelisahan
Sampai saat ini potret muram dunia pendidikan menjadi kegelisahan banyak orang, pendidikan dengan amat mudah diperalat untuk melayani kepentingan masyarakat elitis semata. Pendidikan lebih sebagai tempat yang menyediakan tenaga kerja untuk sekelompok kecil masyarakat, dan bukan sebagai agen dan pelaku perubahan dalam kehidupan masyarakat. Tengok saja sekolah-sekolah kaya di kota-kota besar pada musim pendaftaran siswa baru seperti sekarang ini, hanya kelas menengah ke ataslah yang bisa masuk. Dengan biaya yang mahal, persyaratan yang rumit -- pendidikan bagi kaum miskin tidak pernah terwujud.

Padahal, dalam konteks ini, pendidikan bukan pertama-tama melayani masyarakat, melainkan membantu kelahiran manusia-manusia dewasa dan matang sehingga kelak dengan bebas dan sadar membantu masyarakatnya. Kita masuk dalam suatu fenomena globalisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dengan tiba-tiba kita memasuki budaya instan. Pola yang tertanam dalam masyarakat akan lapangan kerja dengan persyaratan tertentu, jabatan dengan gelar tertentu "merayu" model pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan 'kebutuhan' pasar.

Tidaklah mengherankan, kalau sekolah elite yang menghasilkan lulusan pintar, jurusan elite yang terbuka luas peluang masuk ke dunia kerja kebanjiran murid. Celakanya, banyak orang dan bahkan pendidik menganggap sekolah hanya sekadar untuk memperoleh pekerjaan, nilai tinggi, prestasi terlepas cara mengupayakannya.

Pentingnya linking dan delinking dan link and match yang digembar-gemborkan Wardiman Djojonegoro, mendikbud era Soeharto, menjadi alat legitimasi mereka yang secara sosial, ekonomi, dan intelektual saja yang bisa mengakses dunia pendidikan bermutu.

Gagasan itu menekankan anak didik harus mempunyai persambungan dengan lingkungan hidupnya, baik itu sosial, alam maupun kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, pendidikan membuat orang bisa mengenali kelebihan dan kekurangan pada dirinya dan lingkungannya.

Kemampuan itulah yang membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan. Anak didik adalah manusia, karenanya harus diperlakukan dengan hati-hati. Ia mengingatkan bahwa manusia adalah unfertiges Wesen, makhluk yang tidak siap.

Kodrat manusia lain dibanding binatang. Seekor anak ayam hanya membutuhkan beberapa saat untuk mematuk makanannya, tetapi seorang bayi membutuhkan waktu bertahun-tahun ’’hanya’’ untuk belajar makan. Tampak jelas, tanpa bantuan orang lain manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam dataran itu, manusia tidak cukup hanya dilatih -- melainkan harus dididik. Dengan pendidikan, ia akan berubah secara mental dan emosional.

Ketidakmampuan mengadaptasi diri dengan masyarakat dan lingkungan merupakan kegagalan pendidikan. Lihat saja, anggota DPR yang diangkat oleh rakyat melalui pemilu kehilangan sense of crisis dengan mengedepankan kekuasaan ketimbang memikirkan nasib rakyat yang menderita karena krisis ekonomi.

Di tengah beragam keprihatinan akan situasi bangsa dewasa ini, bagaimanapun pendidikan untuk si miskin patut memperoleh perhatian secara seksama dan serius. Jika tidak, mereka akan dengan mudah diperalat kaum berkuasa untuk kepentingannya sendiri. Pendidikan yang tidak merata juga menyebabkan tidak meratanya akses untuk menikmati kue pembangunan, informasi dan tegasnya reformasi menuju demokratisasi tidak segera terwujud. Indikasi ke arah itu amat jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang terdidik yang mampu menjadi penggerak. Dalam bahasa yang sederhana tidak ditemukan orang yang sudah menep (baca = mengendap) untuk membawa perubahan di negeri ini.

Dalam tahun ajaran baru semacam pengelola pendidikan, yayasan dan pemerintah mesti memberikan perhatian kepada kaum miskin. Ketiadaan akses memperoleh pendidikan justru akan memperuncing kesenjangan sosial yang sampai kapan pun akan mengundang kerawanan sosial bagi kehidupan bersama.

* Penulis, Oleh: Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang. (Suara Pembaruan 270701)

10:16:00 PM
thumbnail

PENDIDIKAN BERPIHAK PADA "THE UPPER CLASS"?

Posted by Yushan on

PENDIDIKAN BERPIHAK PADA "THE UPPER CLASS"?

Berkenaan dengan politik etis, Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang amat kolonialistik mengatakan, pendidikan akan membuat orang turut serta dalam kehidupan orang yang mendidik. Karena itu, pendidikan itu perlu. Cuma perlu dibatasi pada the upper class, karena hanya ingin memperkecil jarak antara mereka dengan kita yang berkuasa. Malah dalam semangat, kata Hurgronje, mereka tidak akan mengikatkan diri dengan massa. Karena itu, kita harus mempersatukan diri kita dengan orang-orang Indonesia dari the upper class.

Makna substansial dari paparan itu tergambar jelas dalam ideologi Le desir d'etre esemble yang dianyam dalam bungkusan politik etis dan secara sadar dijalankan kolonial Belanda. Pendidikan itu diciptakan untuk membuat anak didik melekat pada struktur atau sistem yang ada bukan untuk mengubah atau memperbaiki struktur itu. Sayangnya ajakan "keberhasilan" ini hanya sampai di puncak piramida sosial, tidak sampai ke lapisan menengah dan bawah.

Pikiran Hurgronje itu pada dasarnya adalah pikiran yang anti-pendidikan, karena sebetulnya Belanda telah menumbuhkan penjara, yakni penjara untuk menjadi pelayan politik kolonial Belanda yang repressive dan ingin tetap pada status quo. Hal ini didasarkan pada, pertama, yang mengenyam pendidikan terbatas pada the upper class yang secara lahiriah bersifat repressive dan diskriminatif terhadap mereka yang berasal dari lapisan menengah dan bawah. Kedua, karena mata pelajaran yang diberikan adalah yang pada dasarnya diciptakan untuk menjadi pelayan pemerintah kolonial Belanda.
Mengacu paparan itu, kita mendapat hikmah, pendidikan di zaman Belanda pada dasarnya bersifat repressive dan diskriminatif. Fakta historis ini amat membekas dalam pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Bila kita mencermati kurikulum yang berlaku, misalnya pada pendidikan tinggi, sukar bagi kita untuk menghindar bahwa kita sedang dipaksa berpihak menjadi bagian dari the upper class yang cinta pada status quo. Sebagai contoh kita dapat menyimak kurikulum Fakultas Hukum. Kurikulumnya berpihak kepada the upper class, dan diarahkan untuk melindungi sistem perekonomian. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), misalnya, lebih berurusan dengan perlindungan terhadap pedagang. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) cenderung membela perusahaan multinasional. Aspek-aspek yang mengenai hak asasi manusia yang dekat dengan the lower class hampir tidak pernah tersentuh. Pendidikan kita tidak liberal, tetapi justru suatu pendidikan yang antiliberal. Pendidikan kita cenderung berpihak memperkuat sistem yang ada yang notabene tidak memihak mayoritas rakyat miskin yang ada di struktur bawah. Kenyataan seperti inilah yang membuat Ivan Illick dan Paulo Freire mengkritik tajam dunia pendidikan di negara berkembang yang menurut dia tidak membawa perubahan apa-apa. Kritik Ivan Illick dan Paulo Freire adalah kritik terhadap kita semua, bahwa kita harus mempertanyakan kembali pendidikan itu untuk apa? Suatu sikap tegas dengan berpihak yang pasti adalah mutlak. Pendidikan bukan hanya fungsional membuka mata kita akan kemiskinan dan ketidakadilan, tetapi justru harus mampu mengurangi kemiskinan dan memperkecil ketidakadilan. Jika kita menggunakan pendidikan sebagai paspor untuk melekatkan diri pada struktur atas, maka secara sadar kita sedang melestarikan adanya jurang ketidakadilan antara upper class dengan middle class and the lower class.

Politik pendidikan

Bila kita membaca UUD 1945, kita akan tahu, setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran yang penyelenggaraannya diatur undang-undang tersendiri. Cita-cita luhur dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengatakan "Mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", masih merupakan kata-kata kosong. Kita masih jauh dari pemenuhan kebutuhan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat. Kalau pembangunan dikatakan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, maka akibat logisnya adalah semakin melebarnya jurang antara si terdidik dengan si tidak terdidik. Pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi mencerdaskan orang yang sudah cerdas. Orang-orang yang sudah cerdas adalah kelompok the upper class yang kaya dan terdidik serta memiliki akses ke pendidikan. Mereka inilah yang sebenarnya sangat menikmati pendidikan.

Jelas sekali, fenomena empirik di atas merupakan suatu ketidakadilan yang melanda dunia pendidikan kita. Ketidakadilan itu dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, pemerintah seolah tidak merasa bahwa pendidikan ini penting. Kalaupun dianggap penting, maka itu sebatas retorika. Tidak ada konsistensi dalam kebijakan pendidikan. Pendidikan selalu dijadikan tempat membuat eksperimen, peserta didik diperlakukan sebagai obyek.

Kedua, karena itu anggaran pendidikan tidak pernah ditambah. Bahkan cenderung sangat kecil. Bidang pendidikan adalah kehidupan yang miskin. Ketiga, karena pemerintah terlalu menempatkan pembangunan politik dan ekonomi di atas segala-galanya dan dalam konteks ini pendidikan mestinya diciptakan untuk menunjang laju pembangunan itu sendiri.

Pendidikan merupakan penunjang suksesnya pembangunan. Dalam tautan makna yang demikian, maka peran yang dianut adalah peranan pendidikan sebagai service station. Hal ini sama dengan yang dikatakan Johan Galtung mengenai politics of growth dalam dunia pendidikan, ketika dia mencoba mempertentangkan dengan pendidikan yang lebih berorientasi kepada pemerataan pendidikan (politics of equality).

Kondisi obyektif itu didukung pemerintah Orde Baru (Orba) yang tertuang dalam kebijakan pembangunan pada setiap Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Yang mengutamakan politics of growth sesuai laju pembangunan. Politik pendidikan yang bersifat perluasan kesempatan, baru akan diadakan setelah pembangunan relatif berhasil. Namun, kapan pembangunan berhasil dan berjalan dengan politics of equality bisa dimulai? Kini bangsa kita sedang mengalami krisis ekonomi amat parah. Bidang pembangunan pendidikan memperoleh support dana APBN sebesar 3,83 persen dari total APBN 2001, terendah di dunia setelah Bostwana.

Selain itu, yang mengundang pertanyaan, pendidikan di Indonesia adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Mestinya yang paling bertanggung jawab di bidang pendidikan adalah pemerintah, baru kemudian keluarga dan masyarakat. Bila kita kaitkan hal itu dengan hak asasi manusia, maka dapat dikatakan, pendidikan masih tetap bersifat diskriminatif dan repressive. Apalagi bila tanggung jawab utama terletak pada keluarga. Karena sesungguhnya yang akan mampu sekolah adalah mereka yang berasal dari keluarga yang kaya dan terdidik. Kondisi obyektif ini merupakan pembenaran bahwa pendidikan berpihak kepada the upper class.

Mengacu pada paparan itu dapat disimpulkan, aktualisasi hak-hak asasi manusia dalam pendidikan masih amat jauh. Masih banyak warga negara yang belum menerima pelayanan pendidikan bermutu. Pendidikan sekarang kelihatannya kurang manusiawi, dan itu adalah kejahatan (crime). Kapan kita perang melawan kejahatan itu?

Oleh: Umbu Tagela
* Penulis adalah pengajar di UKSW Salatiga, Jawa Tengah. (Kompas 040701)

8:11:00 PM
thumbnail

SEKOLAH UNGGULAN VERSI OTONOMI PENDIDIKAN

Posted by Yushan on

Dewasa ini sering kita dengar istilah "sekolah unggulan" atau "sekolah plus". Predikat tersebut ada yang datangnya tiba-tiba (karena kepentingan birokrat pendidikan) dan ada pula yang muncul karena penilaian masyarakat. Di era otonomi pendidikan seperti sekarang, ada sebuah gagasan yang ingin saya tawarkan kepada pembaca, yaitu tentang sekolah unggulan versi otonomi pendidikan. Artinya, sekolah unggulan tersebut tetaplah sebagaimana sekolah-sekolah yang lain. Hanya saja, pada sisi tertentu mempunyai keunggulan. Begitu pula sekolah unggulan lainnya, mempunyai suatu keunggulan di bidang tertentu. Saya berpendapat bahwa tidak mungkin sekolah unggulan akan unggul segalanya. 

Suatu sekolah unggulan yang mendambakan untuk menjadi unggul segalanya akan menjadi sekolah yang "tidak sehat". Mengapa? Karena mereka telah memaksakan diri untuk menjadi unggul, padahal dalam hal tertentu tidak mungkin mengungguli sekolah yang lain. Yang perlu dilakukan adalah memetakan keunggulan masing-masing sekolah dan mengembangkan sekolah tersebut secara khusus kepada keunggulannya. Sebab, hanya sekolah yang mampu menekuni keunggulannya yang akan bisa eksis di era otonomi pendidikan. Mengapa? Karena sekolah tersebut benar-benar berupaya untuk menjadi unggul di sisi tertentu tanpa melupakan sisi lainnya. Misalnya, sebuah sekolah di lingkungan pantai, maka sekolah itu setidaknya unggul dalam hal pemberdayaan pantai dan segala sesuatu yang berhubungan dengan laut, termasuk teknologi yang dapat dikembangkan di daerah pantai. Begitu pula untuk daerah pegunungan, maka suatu sekolah haruslah memiliki keunggulan sesuai dengan letak geografis dan sosial budaya masyarakatnya.

Di sini tampak jelas bahwa otonomi pendidikan telah memberikan peluang dan tantangan yang optimal bagi berkembangnya sekolah-sekolah unggulan. Artinya, setiap sekolah dapat saja mengembangkan diri, sehingga menjadi unggul dalam hal tertentu.

Konsep semacam ini mungkin agak berbeda dengan konsep umum yang sekarang sedang menjamur, yaitu bahwa sekolah unggulan haruslah unggul segala-galanya. Saya berpandangan bahwa sekolah unggulan menurut manajemen berbasis sekolah (MBA) adalah sekolah yang unggul dalam tiga hal; yaitu (1) pelaksanaan pembelajarannya, (2) transparansi manajemennya, dan (3) partisipasi masyarakatnya.

Jika di suatu kecamatan ada dua atau tiga sekolah yang memiliki keunggulan pada tiga komponen tersebut, apakah mereka tidak berhak memperoleh predikat unggulan? Rasanya sangat tidak logis apabila keunggulan suatu sekolah hanya diukur dari sisi administratif. Harus ada pandangan yang komprehensif mengenai profil suatu sekolah. Bahkan, untuk sekolah yang hanya memiliki satu keunggulan saja (misalnya, partisipasi masyarakatnya), maka sekolah tersebut sudah bisa disebut unggulan, yaitu unggulan di bidang partisipasi masyarakat. Begitu pula sekolah yang hanya unggul transparansi manajemennya atau pembelajaran aktifnya. Tingginya otonomi sekolah telah mendorong suatu sekolah untuk dapat mengembangkan dirinya sesusai dengan potensi yang ada. Ketika saya mengadakan penelitian di daerah uji coba MBS di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, ada banyak sekolah yang memiliki keunggulan di bidang tertentu, tetapi masih kurang di bidang yang lain. Misalnya, untuk partisipasi masyarakat, maka Sekolah Dasar (SD) Mlaten II dan SD Sumbergirang II memiliki keunggulan tersendiri dibanding SD yang lain. Untuk pembelajaran aktif dan menyenangkan bisa ditemui di SD Kebonagung. Begitu seterusnya. * * * Keunggulan yang tidak merata semacam itu sebenarnya memberikan nilai tersendiri bagi suatu sekolah. Bagi sekolah yang belum unggul di bidang pembelajaran aktif misalnya, dapat mengadakan studi banding di sekolah yang sudah unggul di bidang tersebut. Begitu seterusnya. Namun yang pasti, setiap sekolah harus mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya, sehingga benar-benar ada yang dapat diunggulkan. Penyeragaman sesuatu pada semua sekolah harus mulai ditinggalkan. Artinya, tuntutan agar sekolah yang satu sama persis dengan sekolah yang lain di era otonomi pendidikan ini, hendaknya dibuang jauh-jauh. Sebab, "virus keseragaman" inilah yang terjadi di era Orde Baru, sehingga membentuk anak-anak kita menjadi "pengekor" kelas wahid. Sekarang sekolah harus benar-benar otonom, dalam arti memiliki kewenangan yang besar untuk menentukan programnya. Bersama Dewan Sekolah, maka kepala sekolah dan guru harus dapat menentukan visi dan misi, sesuai dengan keadaan lingkungannya. Jika realitas semacam ini terwujud, maka keunggulan yang dimiliki masing-masing sekolah akan menjadi pemicu untuk berkompetisi secara sehat. Selain itu, secara sportif kita akan mengakui kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri. Dari aspek pendidikan, sekolah unggulan versi ini justru akan merekatkan hubungan antarsekolah, bukan sebaliknya. Di era otonomi pendidikan ini, perbedaan hendaknya dihargai, termasuk perbedaan dalam hal sekolah unggulan.

Penulis
* Achmad Sapari, pengawas TK/SD/SDLB di Probolinggo dan mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Malang (Kompas 130701

8:08:00 PM
thumbnail

BELAJAR KAPAN SAJA DI KAMPUS MAYA

Posted by Yushan on Tuesday, April 12, 2016

Pepatah belajar di mana saja dan kapan saja tampaknya benar-benar menjadi kenyataan sekarang. Untuk belajar pun kini tak perlu repot-repot datang ke kampus untuk berinteraksi dengan dosen atau teman lainnya. Anda cukup duduk di depan komputer yang terhubung dengan jaringan internet. Dari situ anda sudah cukup bisa berbangga diri menjadi seorang mahasiswa. Anda pun tak perlu ikut unjuk rasa jika merasa tak cocok dengan pelajaran yang diberikan.
Sejak maraknya teknologi informasi seperti internet, belajar pun dilakukan dari depan layar monitor. Banyak lembaga dan perguruan tinggi, terutama di luar negeri, yang menawarkan program belajar jarak jauh (long distance learning). Beragam ilmu pengetahuan ditawarkan untuk menarik minat peserta. Belajar dengan cara seperti ini tentu si mahasiswa tak perlu memasuki ruang kelas. Cukup duduk manis di depan internet, baik di rumah maupun di kantor.
Salah satu lembaga yang menawarkan belajar jarak jauh ini adalah The Cornel Cooperative Extension Satellite Network (CCESN), yang membuka program belajar jarak jauh sejak 1996. Pusat kendali peralatan telekomunikasi "kampus maya" ini berpusat di Ithaca, Amerika Serikat, dengan 46 "kampus maya" yang dimilikinya. Satu kampus hadir di Jenewa, yang sengaja dijinkan oleh CCESN untuk membuka program belajar mereka.
Tak hanya CCESN yang menawarkan program serupa. PurpleTrain.com pun menawarkan program belajarnya yang mereka sebut e-learning. PurpleTrain.com merupakan provider yang menawarkan one-stop service pada bidang bisnis dan pendidikan teknologi informasi.
PurpleTrain.com membidik kelas menengah secara individual maupun kelompok, serta karyawan perusahaan, untuk menjadi mahasiswanya. "Kami menghadirkan nilai yang tinggi dalam kualitas dan solusi pendidikan online," kata Jolyn Chua, manajer pemasaran dan public relations lembaga yang bermarkas di Singapura ini. Tak kurang dari 300 buah kursus secara online, yang meliputi pendidikan setara diploma dalam bidang bisnis dan program teknologi informasi, disediakan.
Kampus maya dari Singapura ini 100 persen dimiliki oleh Informatics Holdings Limited sebagai penyelenggara pelatihan serta dan pendidikan terbesar yang terdaftar di bursa saham Singapura. "Hingga kini pemakai kami mencapai 40 ribu orang," kata Jolyn. Fasilitas terbaru yang diberikan PurpleTrain.com berupa fasiltas chatting dan diskusi langsung antaranggota. Layanan ini sebagai bentuk pembaharuan yang akan dicanangkan pada 30 Mei 2001 mendatang. Perusahaan pemilik PurpleTrain.com ini berdiri sejak 1983. Kini lembaga pendiikannya telah berkembang di 245 pusat pendidikan yang tersebar di 27 negara di belahan dunia.
Perbaikan layanan berupa fasilitas berlajar, materi pelajaran, dan layanan bimbingan lainnya menjadi salah satu daya tarik yang ditawarkan. Direktur Cornel Cooperative Extension Gary Goff membenarkan pemberian layanan itu sebagai nilai jual mereka. "Dengan daya jangkau kita yang luas pemberian layanan terbaik bagi peserta adalah sesuatu yang wajar," kata Gary.
CCESN juga menggunakan satellite videoconferencing yang dapat diakses secara bersama pada beberapa saluran yang telah terdaftar dalam lembaga mereka. Cara itu diyakini Gary bisa menekan ongkos lebih murah tanpa mengurangi kualitas pendidikan mereka. "Dengan begitu standart yang kita tetapkan sama pada semua mahasiswa," katanya. Untuk mengatasi kesulitan mahasiswa lembaga ini juga menyediakan layanan konseling pendidikan.
Untuk memperluas jaringan dan meningkatkan kualitas yang dimiliki, PurpelTrain.com menjalin kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi lainnya. Andrews University (AS), Curtin University of Technology (Australia), Ottawa University (AS), Oxford Brooks University (Inggris), Thames Valley University (Inggris), dan University of London merupakan mitra PurpleTrain.com mengembangkan dirinya.
Belajar melalui internet tampaknya memberikan kemudahan dan fleksibilitas bagi mahasiswa. Seperti yang ditawarkan oleh Global University Alliance dalam Gua.com. Mahasiswa diberi jadwal pelajaran yang sesuai dengan kesukaaan dan waktu yang mereka miliki. Dengan begitu mahasiswa yang sibuk pun bisa mengatur sendiri jadwal belajarnya. Tak aneh mahasiswa bisa belajar lebih cepat karena tidak terikat dengan jadwal seperti dalam kampus non-maya. (arif firmansyah)
©PDAT 2000
8:56:00 PM