-->
thumbnail

LINGKUNGAN KEKUASAAN ISLAM YANG PERTAMA

Posted by Yushan on Sunday, March 6, 2016

ISLAM

Tidak banyak waktu yang diperlukan Muhammad dalam menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan panjinya ke penjuru dunia. Sebelum wafatnya, Allah telah menyempurnakan agama ini bagi kaum Muslimin. Dalam pada itu iapun telah meletakkan landasan penyebaran agama itu: dikirimnya misi kepada Kisra1, kepada Heraklius dan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa lain supaya mereka sudi menerima Islam. Tak sampai seratus limapuluh tahun sesudah itu, bendera Islampun sudah berkibar sampai ke Andalusia di Eropa sebelah barat, ke India, Turkestan, sampai ke Tiongkok di Asia Timur, juga telah sampai ke Syam (meliputi Suria, Libanon, Yordania dan Palestina sekarang), Irak, Persia dan Afganistan, yang semuanya sudah menerima Islam. Selanjutnya negeri-negeri Arab dan kerajaan Arab, sampai ke Mesir, Cyrenaica, Tunisia, Aljazair, Marokko, -sekitar Eropa dan Afrika- telah dicapai oleh misi Muhammad 'alaihissalam. Dan sejak waktu itu sampai masa kita sekarang ini panji-panji Islam tetap berkibar di semua daerah itu, kecuali Spanyol yang kemudian diserang oleh Kristen dan penduduknya disiksa dengan bermacam-macam cara kekerasan. Tidak tahan lagi mereka hidup. Ada di antara mereka yang kembali ke Afrika, ada pula yang karena takut dan ancaman, berbalik agama berpindah dari agama asalnya kepada agama kaum tiran yang menyiksanya.

Hanya saja apa yang telah diderita Islam di Andalusia sebelah barat Eropa itu ada juga gantinya tatkala kaum Usmani (Turki) memasukkan dan memperkuat agama Muhammad di Konstantinopel. Dari sanalah ajaran Islam itu kemudian menyebar ke Balkan, dan memercik pula sinarnya sampai ke Rusia dan Polandia sehingga berkibarnya panji-panji Islam itu berlipat ganda luasnya daripada yang di Spanyol.

Sejak dari semula Islam tersebar hingga masa kita sekarang ini memang belum ada agama-agama lain yang dapat mengalahkannya. Dan kalaupun ada di antara umat Islam yang ditaklukkan, itu hanya karena adanya berbagai macam kekerasan, kekejaman dan despotisma, yang sebenarnya malah menambah kekuatan iman mereka kepada Allah, kepada hukum Islam, dengan memohonkan rahmat dan ampunan daripadaNya.

Kekuatan inilah yang telah menyebabkan Islam itu tersebar, telah dikonfrontasikan langsung dengan pihak Nasrani yang menghadapinya dengan sikap permusuhan yang sengit sekali. Muhammad telah berhasil melawan paganisma dan mengikisnya dari negeri-negeri Arab, seperti juga yang kemudian dilakukan oleh para penggantinya yang mula-mula, di Persia, di Afganistan dan tidak sedikit pula di India. Pengganti-pengganti Muhammad telah dapat juga mengalahkan kaum Nasrani di Hira, di Yaman, Syam, Mesir dan sampai ke pusat Nasrani sendiri di Konstantinopel.

Seperti halnya dengan paganisma, adakah juga terhadap agama Nasrani akan senasib mengalami kelenyapan sebagai salah satu agama Kitab yang juga dihormati oleh Muhammad dan yang juga mendapat wahyu melalui Nabinya? Adakah orang-orang Arab itu, Arab pedalaman yang datang merantau dari pelosok jazirah padang pasir yang gersang, akan ditakdirkan juga menguasai taman-taman Andalusia, Bizantium dan daerah-daerah Masehi lainnya? Lebih baik mati daripada itu. Selama beberapa abad terus-menerus antara pengikut-pengikut Isa dan pengikut-pengikut Muhammad telah terjadi peperangan yang terus-menerus. Dan peperangan itu tidak terbatas pada pedang dan meriam saja, malah juga diteruskan sampai ke bidang-bidang perdebatan dan pertentangan teologis yang dibawa oleh pejuang-pejuang itu, masing-masing atas nama Muhammad dan atas nama Isa, masing-masing mencari jalan mempengaruhi umum dan beragitasi membangkitkan fanatisma dan semangat rakyat jelata.

Akan tetapi Islam melarang kaum Muslimin merendahkan kedudukan Isa - karena dia hamba Allah yang diberiNya kitab dan dijadikanNya seorang nabi.
2:54:00 AM
thumbnail

BEBERAPA PARADIGMA ISLAMISASI

Posted by Yushan on Saturday, March 5, 2016

Berikut ini dikemukakan  beberapa paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan antara lain :

a. Paradigma rasionalistik dan positivistik
Agak aneh bahwa produk ilmu (khususnya ilmu sosial) keislaman dapat menggunakan metode rasionalistik dan positivistik. Terapan kedua aliran filsafat metodologi tersebut ( terutama aliran positivisme) tentu bukan pada sisi ontologiknya tetapi pada sisi epistemologik yang diintegrasikan dengan weltanschauung  Islami. Bila diterapkan pada studi keislaman, rasionalisme dan positivisme -- yang menganilis fakta manurut hukum kausalitas -- hanya digunakan pada analisis deskriptif. Pemaknaan yang bercorak religius dilakukan sebelum analisis deskriptif dan pada penarikan konklusi. Jadi, nilai-nilai Islam diterapkan pada kedua metode tersebut di atas pada sebelum dan sesudah deskripsi. Sebelum analisis deskriptif pertama kali diberikan uraian menyangkut weltanschauung  Islami, yakni tauhid sebagai pandangan dunia Islam. Dan, setelah analisis deskriptif diberi pemaknaan-pemaknaan yang bermuatan nilai-nilai Islam.Menjadikan tauhid sebagai orientasi keilmuan juga digunakan Hassan Hanafi (dari Mesir)12 dan Murtadha Mutahhari (dari Iran).  Menurut Mutahhari, tauhid harus dijadikan landasan pijak, orientasi dan tujuan keilmuan.

b. Paradigma Fenomenologis
Kalau dalam faradigma rasionalistik dan positivistik, analisis deskriptif  tidak diberikan pemaknaan nilai, maka dalam fenomenologi pemaknaan dapat diberikan pada setiap analisis yang dilakukan. Nilai-nilai (dalam hal ini nilai-nilai Islami) dapat dieksplikasikan dalam analsis ilmiah yang dilakukan. Denga demikian produk ilmiah menjadi tidak netral tetapi sudah memihak pada nilai-nilai yang dianut oleh ilmuan yang bersangkutan. Dalam epistomologi fenomenologi trasendental, subyek (manusia) “mencair” dengan obyek (realitas) yang diamati, sehingga ada intervensi subyek ke dalam obyek. Ini memberi peluang bagi nilai-nilai yang dianut oleh subyek berpengaruh ke dalam obyek yang diteliti. Hal tersebut dicapai melalui kesadaran trasendental berperan memaknai dunia yang diamati. Wild menjelaskan bahwa : “Hanya kesadaran trasendentallah yang dapat menangkap makna dunia kehidupan”. Pandangan Husserl lebih lanjut dikemukakan oleh  Natanson bahwa:
“berbicara tentang dunia sebagai sebuah struktur yang “konstitusi” berarti menunjukkan statusnya sebagai produk kesadaran intensional. Isi dunia kemudia dipahami sebagai makna-makna yang berkorelasi dengan tindakan noetik  Pengaturan yang mendasari kesemuanya itu adalah struktur noetik yang murni”.

Kutipan diatas menunjukkan bahwa fenomenologi trasendental memandang dunia kehidupan (Lebenswelt)  sebagai dunia makna-makna.Tindakan noetik adalah tindakan subyek yang “mencair” dengan obyek, sehingga pandangan dunia subyek akan berpengaruh terhadap obyek.
   
Bagi kaum fenomenolog, bagaimanapun orang ingin netral dalam produk ilmiahnya, tetapi perlu diketahui bahwa dalam kegiatan ilmiah orang mempunyai kepentingan, mengejar yang obyektif bebas nilai itu menurut metodologi ilmiah fenomenologi  adalah ilusi. Suatu penyelidikan ilmiah, bagaimanapun terkait dengan nilai, karena pengenalan seseorang selalu bersifat “persfektif”, bagaimanapun dan dari manapun ia mengenal apa yang ia kenal. Dalam kaitan ini, Ismail Faruqi juga menjelaskan:

Ilmuwan sosial memperlakukan fakta dengan membiarkan fakta itu berbicara sendiri, tetapi klaim ini sia-sia. Tidak mungkin lahir persepsi tentang fakta yang teoritis tanpa pemahaman corak dan hubungan aksiologis (pertimbangan nilai) pada fakta itu.

Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam proses analisis ilmiah deskriftif. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diorientasikan  pada weltanschauuung (pandangan hidup), mendudukkan  weltanschauuung pada  strata tertinggi, yakni fakta, pengamatan dan pemaknaan semuanya diwarnai oleh weltanschauuung Islami.

c. Paradigma Konsultatif   
Paradigma ini digunakan dalam penalaran induktif. Metode induktif berangkat dari kenyataan-kenyataan empirik. Tetapi temuan ilmiah berdasarkan fakta empirik itu tidak berperan untuk menghakimi al-Qur’an dan Sunnah. Dalam penalaran induktif, ayat-ayat Al-Qur’an berperan mempertajam konseptualisasi, memperdalam pemaknaan dan memperkokoh proposisi yang disajikan. Disini ayat Al-Qur’an berperan untuk tempat mengkonsultasikan temuan-temuan  empirik yang diperoleh. Peranan Al-Qur’an sebagai tempat berkonsultasi, berarti tetap menempatkan Al-Qur’an pada starta yang tertinggi.

Masalah yang timbul dalam paradigma ini adalah bagaimana bila konklusi dari temuan ilmiah empirik tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah ?

Meskipun dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan fakta ilmiah, tetapi tetap saja ilmu pengetahuan adalah produk manusia yang bisa keliru. Untuk mengatasi masalah ini ditempuh beberapa alternatif.
1. Melakukan recek atas fakta empirik untuk rekonstruksi fakta
2. Melakukan reinterprestasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sepanjang tidak bertentangan dengan ruh Al-Qur’an.
3. Melakukan falsifikasi atas temuan ilmiah.

Pertanyaan yang timbul adalah, apakah cara ketiga (3) di atas masih disebut  ilmiah ? Seorang muslim mempunyai sikap bahwa keimanan kepada al-Qur’an  sebagai kebijakan tertinggi  dari Allah, sedangkan manusia adalah makhluk yang lemah belum mampu menangkap makna yang ada dalam pada ayat al-Qur’an itu. Karena itu, falsifikasi atas temuan ilmiah harus dilakukan bila bertentangan  dengan prinsip ilmiah, karena dalam ilmu pengetahuan  ada yang disebut  valid by authority ( sah karena otoritas). Bila yang menemukan suatu teori adalah pakar (yang memiliki otoritas) dibidang itu, maka kita sering menerima begitu saja teorinya itu tanpa kritik.

Dengan keimanan kepada Allah, Pakar segala Pakar, maka kita menerima begitu saja Sabda Pakar segala Pakar itu dan memfalsifikasikan pendapat yang bertentangan dengannya.
6:02:00 AM
thumbnail

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Posted by Yushan on

Alhamdulillah
Masalah yang muncul kini adalah apakah Islamisasi Ilmu pengetahuan itu mungkin dilakukan dengan tetap tegak di atas prinsip-prinsip ilmiah.

Berikut ini dikemukakan beberapa proporsi tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut  :
1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola sesuai dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan  membawa manfaat  bagi manusia.”Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil  pemahaman atas fenomena  disekitarnya. Sebagai produk pikiran maka corak  ilmu yang dihasikan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji  fenomena yang diteliti.
3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya  berputar-putar disekitar  rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb  yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan  al-qalb  memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
4. Dalam pandangan Islam, realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas  non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi  rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni : Empiris sensual, empiris rasional, empiris etik dan empiris transenden.

Konsep Islamisasi ilmu  pengetahuan digagaskan oleh sejumlah cendekiawan muslim misalnya: Ismail al-Faruqi, Naquib Alatas dan sebagainya. Lahirnya gagasan  Islamisasi ilmu pengetahuan ini didasarkan pada pandangan  bahwa ilmu pengetahuan produk modern dewasa ini tidak berhasil  mengantar manusia pada cita ilmu itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena ilmu dilepaskan dari akar “Ilahy” dan  dikosongkan dari pertimbangan nilai.

Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang dalam realitas alam semesta, realitas sosial dan historis  ada hukum-hukum yang mengatur  dan hukum itu ada ciptaan  Tuhan. Pandangan akan adanya hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler, tetapi dalam pandangan  Islam hukum tersebut adalah  ciptaan Allah. Sebagai ciptaan  Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tetapi mempunyai “maksud” dan “tujuan”. Maksud dan tujuan itu sesuai dengan maksud  dan tujuan itu sesuai dengan maksud dan tujuan Tuhan menciptakannya. Dalam pandangan filasafat Perennialisme maksud alam semesta secara trasendenal berada dalam “idea”  Ilahy, secara immanen maksud itu juga diendapkan Tuhan di alam semesta. Dalam al-Quran surah Ali Imran 191  dijelaskan :

Artinya: Ya Tuhan Kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan sia-sia.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa dialam ini tidak ada sesuatu yang diciptakan Allah dengan batil, melainkan mengandung yang al-haq (kebenaran). Dalam al-haq itu mengandung hikmah-hikmah, yang bila diketahui (melalui penyelidikan ilmiah) akan memberikan manfaat bagi kemajuan manusia.

Dalam ayat lain (surah al-Anbiya’ 16), dijelaskan :

Artinya : Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan main-main
Dengan demikian, alam semesta ini mempunyai tujuan yang luhur.Keluhuran alam ini akan lebih nyata dirasakan manusia bila dikelola manusia  yang luhur. Karena itu, Allah pun menyatakan bahwa bumi ini hanya diwariskan kepada hambaNya yang shaleh, sebagaimana daam surah al-Anbiya’ 105:

Artinya :  Sesungguhnya bumi ini hanyalah diwariskan kepada hambaKu yang shaleh

Bila orang yang anarki yang mengelola alam ini akan menyelewengkan maksud alam yang sesungguhnya, sehingga alam akan kembali merusak manusia. Keluruhan “maksud” alam dimanifestasikan dalam tabiatnya yang selalu bertasbih kepada Allah (Q.S. al-Hasyr 24):

Artinya : Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan dibumi dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa alam semesta membawa misi yang suci dalam keberadaannya. Dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa langit dan bumi ini pernah ditawarkan oleh Allah amanah untuk diemban, tetapi ditolak  (Q.S. al-Azab  72). Paling tidak dari sini dapat dipahami bahwa alam semesta ini bukanlah benda mati secara mutlak, karena ia dapat memberikan reaksi atas perlakuan terhadapnya. Dengan demikian, dalam Pandangan Islam, alam ini tidak netral melainkan secara hakiki membawa maksud dan missi yang mulia. Bila manusia memanfaatkan secara semena-mena, alam ini akan memberikan  rekasi yang bisa mencelakakan manusia. Agar alam memberikan kemanfaatan kepada manusia, maka “maksud” Tuhan dan tujuan manusia yang luhur diintegrasikan.

Manusia sebagai khalifah Allah, dalam pandangan Islam tidak identik dengan manusia dalam konsep humanisme Barat yang menempatkan manusia sebagai tuan di atas segalanya dan dapat berbuat menurut kehendaknya sendiri. Sebagai khalifah Allah  dalam pandangan Islam, kehendak manusia diselaraskan denga kehendak Allah, baik kehendak Allah yang berwujud qualiyah (dalam kitab suci/al-Qur’an) maupun kehendak Allah yang terwujud di alam semesta, kauniyah (berupa hukum alam/Sunnatullah). Islam menempatkan manusia sebagai makhluk tertinggi, tetapi harus pula mengakui ada yang lebih tinggi dari manusia, dan ada kehendak/kekuasaan yang tertinggi dari kehendak dan kekuasaan manusia, yaitu kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Menyelaraskan kehendak manusia dengan kehendak Allah (sebagaimana yang telah termanifestasi dalam KalamNya dan di dalam Sunnatullah) merupakan sikap seorang mukmin, sehingga seorang mukmin tidak akan menghendaki sesuatu kecuali yang sejalan dengan kehendak Allah itu. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah (surah al-Insan  30) :

Artinya : Dan mereka (orang  mukmin tidak menghendaki sesuatu kecuali apa yang dikehendaki  Allah.

Ayat tersebut kami tidak ditempatkan dalam konsep “Jabar” sebagaimana yang diyakini oleh kaum Jabariyah, bahwa kehendak manusia didominasi oleh kehendak Allah sehingga manusia tidak lagi berdaya apa-apa. Ayat tersebut kami tempatkan sebagai sikap pilihan hidup orang mukmin yang memilih suatu komitmen untuk berkehendak sesuai dengan kehendal Allah,  karena ayat tersebut tidak berbicara untuk semua manusia, melainkan berbicara tentang sikap seorang mukmin.
4:04:00 AM
thumbnail

STIGMATISASI JIHAD

Posted by Yushan on Friday, March 4, 2016

JIHAD

Terorisme dan jihad. Dua kata ini tidak henti-hentinya jadi bahan sorotan, sejak peristiwa penyerangan gedung WTC dan Pentagon 11 September lalu. Dua kata ini terus menghiasi media massa, dibahas dalam diskusi-diskusi dan seminar, digunjingkan di kaki lima, dalam bus kota, di masjid hingga pengajian kampung, di kamar-kamar kos mahasiswa, di kantor, dst.

Belum lama ini seorang rekan, dosen wanita di UGM, melabrak saya dengan pertanyaan yang lebih tepat disebut gugatan. Mengapa wajah Islam selalu mengerikan, identik dengan kekerasan? Mengapa begitu mudah mereka mengobarkan perang dengan dalih jihad? Tidak adakah wajah Islam yang teduh, yang damai sesuai kata Islam itu sendiri yang berarti kedamaian?

Kemudian ditunjuknya salah satu foto besar di halaman muka sebuah surat kabar nasional. Tampak sosok pejuang Taliban dengan pakaian khas, menghunus pedang. Pada bagian lain, foto seorang bocah Afgan ditampilkan sedang mengacungkan pistol. ''Saya ngeri, inikah yang dinamakan jihad?'' ujar dosen wanita tadi.

Cerita di atas barangkali mencerminkan stereotipe jihad dalam persepsi sebagian masyarakat kita. Jihad selalu diidentikkan dengan tindak kekerasan. Secara demikian, jihad --dalam benak mereka-- menjelma teror yang amat mencekam. Padahal, sesungguhnya tidak demikian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), pengertian pertama tentang jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan.

Arti lain dari jihad, adalah usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga. Jihad juga berarti perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Jadi jelas, jihad memang tidak menafikan kekerasan atau peperangan. Tetapi itu bukan jalan satu-satunya untuk mengimplementasikan semangat jihad.

Spektrum jihad dalam ajaran Islam sebetulnya sangat luas. Sayangnya, dalam kenyataan tidak jarang orang melakukan simplifikasi makna jihad semata-mata untuk dijadikan alat pembenar bagi tindakannya yang justru melenceng dari konteks jihad itu sendiri. Kita ingat hal-hal yang menggelikan, misalnya ketika muncul seruan jihad demi seorang presiden yang kebetulan berasal dari kalangan kiai. Caranya pun khas; siap berdarah-darah dan mati untuk tujuan tersebut.

Distorsi makna jihad semacam itu yang terus dibesar-besarkan oleh media massa kita. Lihatlah, sepanjang pekan kemarin, koran-koran mem-blow up maraknya posko pendaftaran sukarelawan ke Afganistan. Pendaftarnya melimpah. Kita juga disuguhi berita-berita mengenai aksi sweeping warga Amerika di beberapa kota, yang boleh jadi dengan gampang orang menudingnya sebagai implementasi dari jihad.

Secara demikian, lengkaplah stigmatisasi atau pencitraan buruk mengenai jihad. Persis seperti sebutan "fundamentalis" yang acap ditudingkan pihak Barat terhadap kalangan Islam. Celakanya, hal yang sama juga sering terjadi di sini. Kontroversi mengenai seruan jihad MUI, saya kira sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi buruk kita tentang jihad. Dan, itulah stigmatisasi.

Seperti halnya jihad, istilah teroris atau terorisme pun sering begitu mudah dilekatkan pada seseorang, sekelompok orang, atau sebuah negara yang rajin menantang perang meski sekadar untuk membela kepentingan dasar rakyatnya. Stigmatisasi ini yang terus digembar-gemborkan Amerika, guna meraih simpati dan empati yang luas pascatragedi WTC dan Pentagon.

Dengan dalih membrantas terorisme, Amerika mengobarkan perang terhadap Afganistan yang dituduh menyembunyikan Osama bin Laden, tokoh yang paling diburu pihak Amerika. Kita sependapat penyerangan terhadap gedung WTC dan Pentagon yang menelan korban 10 ribu lebih warga sipil, adalah tindakan teror. Namun serangan Amerika yang semena-mena terhadap Afganistan, adalah "mbah"-nya teror.
Akhirnya, marilah kita belajar secara jernih dan proporsional melihat sebuah persoalan. Jangan kita terbawa arus pemikiran atau cara pandang yang dilandasi stigma-stigma.


Oleh ahmad syaify
11:08:00 PM
thumbnail

ISLAM LIBERAL Prospek dan Tantangannya (dari brosur agama Paramadina)

Posted by Yushan on

MekkahUngkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."

Tema-tema di atas berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat tentang Islam yang diidentifikasikan sebagai imaginasi-imaginasi terorisme, dan gambaran teokrasi yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara menambah kesan adanya perang dingin yang terlihat. Juga dalam dunia akademik, umat Islam dianggap mencurahkan perhatian kepada pemahaman keagamaan yang radikal. Hal itu terlihat pada karya-karya akademik dengan judul yang meresahkan, seperti; Islam Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan Jihad (Sacred Rage).

Memang sebagian Muslim sepakat dengan para orientalis Barat bahwa Islam belum diberi kesempatan untuk berubah. Itulah yang menyebabkan umat Islam dihadapkan pada sebuah tantangan untuk memberikan tafsir kontekstual terhadap berbagai persoalan. Namun, wacana tafsir kontekstual itu masih menjadi perdebatan yang seru dikalangan umat Islam. Seorang Muslim Pakistan, misalnya, pernah menulis: "Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal ... Mengapa Islam harus dimodernkan? Bukankah kemodernan Islam telah selesai, murni sempurna, universal, serta berlaku setiap waktu?"

Dalam kajian historis, di kalangan umat Islam memang terdapat pemahaman-pemahaman yang beraneka ragam. Di antara variasi pemahaman itu adalah adanya sebuah tradisi yang disuarakan dengan konsisten sehingga paralel dengan liberalisme di dunia Barat. Para penerjemah tradisi ini mengekspresikan kejengkelannya, karena posisi mereka pada umumnya "masih diacuhkan" oleh para sarjana dan media massa Barat yang lebih tertarik pada sensasionalisme wacana kaum ekstrimis-fundamentalis.

Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang orientalisme. Sebenarnya tradisi--yang disebut sebagai Islam Liberal--ini sangat menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.

Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.

Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).

Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada apa yang dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.

Usaha Ibn Taymiyah pun dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun--sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah--, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan politik.

Sebenarnya, liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), dan Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan?

Menurut mereka, 'ulama harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus terlebih dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat situasi dan kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu, dituntut pengetahuan tentang apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran tradisional. Sementara itu, syari'ah juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah (hukum Islam) dan hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di Eropa dianggap tidak banyak perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu keharusan untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.

Demikianlah, sampai sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja pemahaman kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Dan ini telah menimbulkan gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat!
Memang, mereka pun menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini. Tetapi, mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu, juga akan mampu mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan munculnya gagasan-gagasan itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran.

Selanjutnya, masalah menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun 1875-1878, telah kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki Perancis dan tahun 1882, Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada dalam genggaman kolonialisme Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan sudah berubah. Maka melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat. Dalam diri mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu ternyata juga mempunyai sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan kebudayaan Islam baik secara sosial-budaya maupun politis. Timbullah kesadaran bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa juga Islam. Karena itu pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong munculnya gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai akar fundamentalisme Islam kontemporer.

Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modernis ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Pemikir-pemikir Muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syari'ati, Zia-ul Haq, dan kalangan-kalangan transformis lainnya yang menaruh perhatian pada gagasan pembebasan, layak juga diperhatikan.

Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan non-Muslim.
2:17:00 AM
thumbnail

KETIKA ISLAM BERKUASA

Posted by Yushan on

ISLAM
Di saat kekuasaan Soeharto tumbang, sebagian kita teringat kembali pada peristiwa kejatuhan rezim-rezim diktator sebelumnya. Terbayanglah bagaimana Ferdinand Marcos yang sangat berkuasa di Filipina dijatuhkan oleh kekuatan yang sulit diperhitungkan, yaitu Cory Aquino, seorang wanita, ibu rumah tangga biasa.

Kita juga diingatkan pada peristiwa jatuhnya Nicolae Ceausescu yang tumbang oleh rakyatnya sendiri secara mengenaskan. Demikian juga dengan jatuhnya Syah Reza Pahlevi. Semua diktator yang disebutkan di atas jatuh oleh kekuatan yang kurang diperhitungkan. Sama halnya dengan Soeharto.

Maka kita jadi tersambung dengan pernyataan sosiolog Muslim yang amat terkenal, Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya. Ia menulis bahwa rezim, dinasti atau kekuasaan itu ibarat umur manusia. Ia lahir, dewasa, kemudian mati.
Bermacam-macam cara untuk berkuasa. Ada yang menggunakan cara kekerasan, baik melalui kudeta maupun revolusi sosial. Ada pula yang menggunakan cara-cara licik, yaitu dengan membonceng kekuatan atau kekuasaan orang lain. Secara riil mereka tidak memiliki apa-apa, tapi melalui berbagai rekayasa, kekuasaan itu akhirnya berada di tangannya.

Di samping ada beberapa usaha yang keras untuk mendapatkan kekuasaan melalui cara-cara yan tidak halal, ada pula orang yang mendapatkan kekuasaan karena kualitas dan kapabilitasnya. Ia tidak mencari-cari, apalagi memperebutkannya. Bahkan kekuasaan itu tidak pernah diinginkannya. Hanya karena amanat saja ia mau dan bersedia menerima kekuasaan itu.

Dalam sejarah, banyak kita dapati penguasa yang bertype seperti ini. Para nabi tidak pernah berambisi menempati posisi puncak dalam kepemimpinan ummatnya. Akan tetapi mereka diberi amanah oleh Allah sebagai Rasul dan pemimpin ummat, maka merekapun tak sanggup untuk menolaknya. Mereka terima kepemimpinan itu dengan sungguh-sungguh walaupun ummatnya sendiri banyak yang belum bisa menerima. Penolakan ummatnya atas kepemimpinan para nabi dan rasul ini bukan karena pribadi-pribadi mereka, tapi karena lebih banyak faktor ajaran yang dibawanya.

Selain nabi dan rasul, terdapat pula orang-orang shalih yang berkuasa. Mereka sama sekali tidak berambisi untuk menduduki kursi kepemimpinan, tapi tuntutan situasi dan kondisilah yang mengantarkan mereka menerima kedudukan itu. Khulafa'ur-Rasyidin adalah orang-orang shaleh yang menempati posisi ini. Jika ada kesan rivalitas kekuasaan di antara mereka sepeninggal Nabi, sesungguhnya itu hanya kesan belaka. Paling tidak hanya sebatas tanggung jawab semata.
Yang menarik dalam kaitan ni adalah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Meskipun ia bukan Khulafaur-Rasyidin, tapi para ahli sejarah menempatkannya sejajar dengan mereka. Kepemimpinannya yang singkat ternyata telah mengantarkan rakyatnya hidup lebih sejahtera.

Umar bin Abdul Aziz berkuasa setelah pamannya, Sulaiman meninggal dunia. Kedudukannya sebagai kepala negara memang didapatkan melalui garis keturunan atau warisan, tapi ia telah berhasil mendapatkan legitimasi dari rakyatnya. Sebelum ia terima kedudukan itu, ia kembalikan kekuasaan kepada pemiliknya, yaitu ummat atau masyarakatnya. Ia tidak mau menjadi pemimpin hanya karena faktor keturunan. Karena keshalehannya, juga kepiawaiannya dalam mengendalikan berbagai urusan, maka ia dipercayai rakyatnya untuk memimpin.

Tidak seperti raja-raja atau para penguasa sebelum dan sesudahnya, ia mengendalikan negara dengan semangat kesederhanaan. Ia tinggalkan semua yang berbau glamour. Ia memilih tetap hidup sederhana. Ketika para tukang kuda kerajaan membawa kuda-kuda pilihan untuknya sebagai kendaraan kerajaan, ia justru memerintahkan kepada mereka untuk melelangnya kepada masyarakat umum. Hasil lelang itu kemudian diserahkan kepada baitul maal.

Tidak hanya itu, istrinya yang mendapatkan harta warisan dan berbagai pemberian dari keluarga kerajaan diperintahkan pula untuk menyerahkannya kepada baitul maal. Demikian pula kaum kerabatnya, dirayunya agar bersedia melakukan hal yang sama. Dari hasil lelang dan pengembalian harta kepada baitul maal ini, maka terkumpullah dana yang tidak sedikit. Dana itu yang kemudian dipakai untuk modal menyejahterahkan masyarakat yang kurang mampu.

Langkahnya yang sangat reformatif tentu mengundang simpati dan dukungan masyarakat luas. Meskipun sebagian elite penguasa ada yang kurang puas dengan berbagai kebijakannya, tapi negara dalam keadaan aman, damai dan sejahtera. Tidak ada yang berani mengganggu, sebab mereka akan berhadapan langsung dengan kekuatan rakyatnya sendiri.

Karena ia berhasil mengangkat orang-orang yang shaleh, jujur dan cakap, serta efisien dalam kabinetnya, maka berbagai prasangka kelompok dapat diatasinya. Ia adalah bapak bagi rakyatnya, tapi tetap bisa bersikap tegas dan keras kepada siapa saja yang melanggar hukum. Rasa keadilannya yang tinggi membuatnya tidak segan-segan menghukum, bahkan memenjarakan kerabat dekatnya, seperti Yazid bin Muhallab dengan tuduhan penggelapan.

Bila ada penguasa muslim bersikap dan berwatak seperti ini, maka kepemimpinannya pasti akan abadi. Sejarah akan mencatatnya dengan tinta emas, dan generasi di belakangnya pasti akan selalu mengenang. Tidak sekadar menjadi pelajaran, tapi sekaligus teladan.

Akankah kepemimpnan sekarang ini berwatak sederhana, jujur, ikhlash, cakap dan efisien sebagaimana yang melekat pada diri Umar bin Abdul Aziz? Jarum sejarah masih berputar, waktu juga yang akan membuktikan. Kini saatnya kita tunggu sambil kita doakan, semoga Allah memberi kekuatan iman.
12:27:00 AM
thumbnail

BENTUK-BENTUK KEMUSYRIKAN

Posted by Yushan on Thursday, March 3, 2016

yushan

Dalam memahami ide tauhid, ada baiknya bila kita memahami
apa-apa yang oleh al-Qur'an dianggap sebagai syirik atau
kemusyrikan. Al-Qur'an mengemukakan dua ciri utama dari
kemusyrikan, yakni, pertama, menganggap Tuhan mempunyai syarik
atau sekutu, dan kedua, menganggap Tuhan mempunyai andad atau
saingan. Kedua ciri utama itu wujud dalam berbagai bentuk
manifestasi.

Kalau kita mendengar perkataan syirik atau kemusyrikan yang
segera terbayang dalam angan-angan kita biasanya penyembahan
berhala, seperti dilakukan para penganut agama-agama "pagan."
Dan memang al-Qur'an sendiri menyinggung bahkan mengecam
orang-orang yang menjadikan berhala sebagai ilah atau
sesembahan (QS. 6:74; 7:138; 21:52). Selain berhala al-Qur'an
juga mengemukakan hal-hal lain yang bisa dijadikan obyek
sesembahan selain Tuhan, misalnya penyembahan benda-benda
langit seperti matahari, bulan dan bintang (QS. 41:37) atau
benda-benda mati lainnya (QS. 4:117). Juga disinggung adanya
penyembahan makhluk halus seperti jin (QS. 6:101) atau
tokoh-tokoh yang dipertuhan atau dianggap mempunyai
unsur-unsur ketuhanan (QS. 4:171; 5:116; 6:102; 19:82-92;
16:57; 17:40 dan 37:49).

Berkenaan dengan penyembahan berhala, benda-benda langit atau
benda-benda mati lainnya, atau penyembahan makhluk halus atau
manusia yang dipertuhan, kiranya dari segi keberagamaan kita
sebagai muslim, bukanlah persoalan yang masih memerlukan
perhatian lebih banyak. Masalahnya sangat jelas dan karena itu
menghindarinya pun sangat mudah. Akan tetapi masalah
kemusyrikan tidak berhenti sampai di situ saja. Al-Qur'an
masih mengemukakan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah
kemusyrikan, yang lebih halus sifatnya, terutama berkaitan
dengan ciri kemusyrikan yang menempatkan adanya andad atau
saingan terhadap Tuhan, bukan dalam bentuk penyembahan
melainkan dalam bentuk kecintaan (QS. 2:165). Dalam kategori
ini bisa dimasukkan juga sikap ketaatan yang sama sekali tanpa
reserve terhadap ulama (QS. 9:31) atau sikap fanatisme
golongan, aliran atau juga organisasi yang berlebih-lebihan
(QS. 23:52-53; 30:31-32).

Hal-hal lain yang oleh al-Qur'an dijadikan contoh sebagai
saingan Tuhan dalam kaitannya dengan kecintaan kita adalah
keluarga dan kerabat dekat kita, kekayaan, usaha atau
bussiness kita, dan rumah-rumah mewah kita (QS. 9:24). Selain
itu masih ada satu hal lagi yang oleh al-Qur'an disebutkan
sebagai "sesuatu yang bisa menjadi ilah atau sesembahan kita,"
yaitu hawa nafsu kita sendiri (QS.25:43).

Berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan tersebut, sebagaimana
dikemakakan al-Qur'an, menunjukkan bahwa masalah kemusyrikan
bukanlah sesuatu yang sederhana, karena itu usaha kita menjadi
orang yang benar-benar bertauhid bukanlah masalah yang mudah.
6:07:00 AM
thumbnail

KONSEP TEOLOGIS

Posted by Yushan on

KALIGRAFI ALLAH

Perkataan teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi
agama Islam. Ia istilah yang diambil dari agama lain, yaitu
dari khazanah dan tradisi Gereja Kristiani. Hal ini tidaklah
dimaksudkan untuk menolak pemakaian kata teologi itu. Sebab
pemungutan suatu istilah dari khazanah dan tradisi agama lain
tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, apalagi
jika istilah tersebut bisa memperkaya khazanah dan membantu
mensistematisasikan pemahaman kita tentang Islam.

Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of
Religion and Religions berarti "ilmu yang membicarakan tentang
Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali
diperluas mencakup keseluruhan bidang agama." Dalam pengertian
ini agaknya perkataan teologi lebih tepat dipadankan dengan
istilah fiqih, dan bukan hanya dengan ilmu kalam atau ilmu
tauhid. Istilah fiqih di sini bukan dimaksudkan ilmu fiqih
sebagaimana kita pahami selama ini, melainkan istilah fiqih
seperti yang pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir. Imam
Abu Hanifah, Bapak ilmu fiqih, menulis buku al-fiqh-u 'l-akbar
yang isinya bukan tentang ilmu fiqih, tapi justru tentang
aqidah yang menjadi obyek bahasan ilmu kalam atau tauhid.
Boleh jadi, ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini
dalam kerangka pemikiran Imam Abu Hanifah adalah al-fiqh-u
'l-ashghar. Sebab, keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid
maupun ilmu fiqih pada dasarnya adalah fiqih atau pemahaman
yang tersistematisasikan. Yang pertama, menyangkut bidang
ushuliyah (tentang yang prinsip atau yang pokok), sedangkan
yang kedua meyangkut bidang furu'iyah (detail atau cabang).
Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam
telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana dipergunakan
Imam Abu Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya ingin
dikatakan bahwa pemakaian istilah teologi mempunyai alasan
cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih
utuh dan lebih terpadu.

Pijakan tulisan ini tentang teologi al-Qur'an. Kita tentu
sepakat bahwa ide sentral dalam teologi al-Qur'an adalah ide
tauhid. Pertanyaan yang perlu kita munculkan, bagaimana
sebaiknya kita memahami dan kemudian menghayati ide tauhid itu
dalam kehidupan kita sebagai muslim? Dalam pengalaman kita
--sekurang-kurangnya sebagian dari kita-- mengenal atau pernah
diberi pelajaran ilmu tauhid. Biasanya, dalam mempelajari ilmu
tersebut, pertama-tama kita diperkenalkan dengan apa yang
disebut sebagai "hukum akal." Hal ini bisa kita baca dalam
buku-buku ilmu tauhid, dari yang sangat tradisional hingga
yang termasuk modern seperti buku Risalah Tawhid karya
Muhammad Abduh, misalnya. Melalui kategori-kategori yang
dirumuskan sebagai hukum akal itu, yakni: wajib, mustahil dan
harus, kita diajak memahami tentang konsep ketuhanan dan
kenabian. Maka kita pun mengetahui sifat-sifat Tuhan dan
Nabi-nabi, baik yang dikategorikan sebagai sifat-sifat yang
wajib, sifat-sifat yang mustahil maupun sifat-sifat yang
harus. Masalah-masalah lain seperti kepercayaan tentang
malaikat, kitab-kitab wahyu, hari akhirat maupun qadla dan
qadar, adalah kelanjutan atau pelengkap dari kepercayaan
terhadap Tuhan dan Kenabian tersebut. Pembahasan tentang dan
di sekitar hal-hal inilah yang selama ini disebut sebagai ilmu
tauhid.

Jelas sekali pembahasan tentang teologi sebagaimana terdapat
dalam ilmu tauhid sangat intelektualistik sifatnya.
Lebih-lebih kalau kita memasuki pembahasan yang lebih rumit,
terutama ketika membicarakan sifat-sifat Tuhan, yang selama
ini dikenal sebagai "sifat dua puluh." Dalam membahas sifat
dua puluh itu, muncul berbagai konsep seperti sifat nafsiyah,
Salbiyah, ma'ani dan sifat ma'nawiyah. Juga dikemukakan
pembahasan tentang kaitan atau ta'alluq sifat-sifat Tuhan
dengan alam ini, dan muncullah konsep-konsep tentang ta'alluq
ma'iyah, ta'alluq ta'tsir, ta'alluq hukmiyah, ta'alluq bi
'l-quwwah, ta'alluq shuluhi qadim, ta'allaq tanjizi qadim,
ta'alluq tanjizi hadits. Kebanyakan dari kita tentu tidak
akrab dengan istilah-istilah atau konsep -konsep tersebut.

Dengan mengemukakan hal itu ingin diturunkkan betapa jauhnya
teologi yang dibahas dalam buku-buku ilmu tauhid dengan dunia
praktis, dengan problematika kemanusiaan. Teologi semacam itu
adalah teologi yang steril dan mandul. Ia tidak mempunyai
relevansi dengan realitas kehidupan kita. Teologi semacam itu
tidaklah membuahkan elan vital (gairah hidup). Ia tidak
melahirkan innerforce (kekuatan batin), moral maupun
spiritual, yang membuat kita bergairah dalam aksi untuk
membebaskan diri kita dan masyarakat sekitar kita dari segala
bentuk kemusyrikan.
4:47:00 AM
thumbnail

UNIVERSALISME ISLAM DAN KOSMOPOLITANISME PERADABAN ISLAM

Posted by Yushan on

gusdur

Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tawhid), etika (akhlaq, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedlaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri. Keterbukaan yang membuat kaum Muslim selama sekian abad menyerap segala macam menifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal itu, waktu itu di kawasan "Dunia Islam" waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah kedua wajah Islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini.

Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup (Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial.
Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kedhaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah ummat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah "orang besar", walaupun sasarannya selalu "orang kecil". Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagal dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan.
Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit, ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalu proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyrakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi sosial masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.
Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembanguya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya
sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat. Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta-benda inilah yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal kehidupannya?
Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau mungkin bahkan hanya moralistik belaka) yang tidak berfungsi, juga tidak didukung oleh kosmopolititanisme peradaban Islam. Watak kosmopolitan dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad s.a.w mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India.
Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum Muslim, karena tidak adanya konsensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dibaca dengan cara lain bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka, karena mampu saling berdialog secara demikian bebas. Kebebasan kaum Mu'tazilah untuk mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-Qur'an turun dalam bentuk huruf dan bahasa yang sekarang dikenal (bahasa Arab, huruf Hija'iyyah) dan menganggap Kitab Suci kaum Muslim tersebut diturunkan hanya secara maknawi belaka, sesuatu yang sekarang tentunya dianggap sikap seorang murtad dari agama Islam, adalah dari pertanda kuatnya watak kosmopolitan dari peradaban Islam waktu itu. Pertanyaan bagaimanapun gilanya mendapatkan peluang untuk diutarakan dengan bebas. Dalam situasi seperti itu tokh tidak ada bahaya apapun bagi Islam, karena proses dialog serba dialektik akan memunculkan koreksi budayanya sendiri, yang dalam kasus Mu'tazilah mengambil bentuk koreksi al-Asy'ari, al-Maturidi dan al-Baqillani yang berujung pada ilmu kalam skolastik dari kaum Sunni. Koreksi itupun memperlihatkan watak kosmopolitan, karena ia tidak muncul sebagai hardikan atau tuntutan ilegal-yuridis, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili atau menghakimi. Baru ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah sajalah, sambil memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari dan kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam, watak kosmopolitan dari peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.
Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat di antara sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian sempit antara kebebasan berfikir di satu pihak dan imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar tidak saling menghimpit. Ketegangan intelektual (intellectual tension) yang mewarnai situasi seperti itu akan memotori kosmopolitanisme yang menjadi keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga adalah ilmuwan di bidang bahasa. Imam al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung beliau, Qamus al-A'ain, yang sepenuhnya menggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'I mujtahid di bidang hukum agama (fiqh), justru menundukkan proses pengambilan hukum agama (istinbat al-ahkam) kepada sejumlah kaidah metodologis tertentu, bukannya hanya sekedar menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya merupakan proses kreatif yang dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama, namun sangat disayangkan ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut fiqh secara tidak kreatif dan dengan sendirinya berubah fungsi menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas.
Sebuah agenda baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa datang. Pengembangan agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang akan muncul di masa pasca-indrustri nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh seperti yang lainnya. Jika itu yang diinginkan, mau tidak mau haruslah dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya bagi ummat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini. Dari proses itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan ideologi lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumber daya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.

Oleh Abdurrahman Wahid
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174
3:15:00 AM
thumbnail

SHOLAT TARAWIH

Posted by Yushan on Wednesday, March 2, 2016

Sholat Tarawih

Ulama dulu-dulu sama ada di tanah Jawi atau di tanah Arab mengerjakan sembahayang sunat tarawikh 20 rakaat dengan sepuluh salam dan kemudian di iringi dengan sebahayang witir 3 rakaat.
Namun bergiu apa yang kita lihat sekarang ini kebanyakan di madrasah-madrasah, surau-surau malah di mesjid-masjid apabila imam selesai memberi salam pada rakaat yang ke lapan maka jadi sepi saf-saf yang tadinya dengan sepuluh saf yang tinggal hanya satu atau dua saf. Malah ada yang tinggal hanyalah tok-tok makmun sedangkan tok-tok imam entah kemana.
Yang menyedihkan lagi ada yang membidahkan sembahayang tarawih dengan 20 rakaat. Jadi insyAllah akan kami cuba bincangkan dengan secara ilmiah duduk perkara sebenar tentang masalah ini. Dengan Allah jualah kami minta tolong dengan taufik dan hidayahnya agar berhasil maksud kami.

Sembahayang Tarawih Di Zaman Rasulullah.
Berkata seorang sahabat Nabi, Abu Huraurah r.a.:
"Adalah Rasulullah s.a.w. mengemarkan sembahayang pada bulan Ramadan dengan anjuran yang tidak keras, Beliau bersabda: Barangsiapa mengerjakan sembahayang malam Ramadan dengan kepercayaan yang teguh dan kerana Alah semata, akan dihapus dosanya yang telah lalu".
(hadis riwayat imam Muslim, lihat syarah Muslim jilid 6).
Maksud sembahayang dalam hadis ini ialah sembahayang sunat tarawih kerana senbahayang fardu lima waktu termasuk anjuran yang keras, kerana sembahayang itu wajib hukumnya. Hadis ini juga menunjukkan bahawa Nabi saw mengarahkan umat islam supaya memperbanyakkan sembahayang sunat dalam bulan Ramadan, dan hendaknya lebih banyak dari bulan-bulan yang lain.
Telah diriwayatkan oleh Siti Aisyah, beliau berkata:
"Bahawasanya nabi Muhammad sembahayang di masjid maka banyak orang mengikut baginda, bergitu juga malam keduanya, Nabi sembahayang dan pengikut bertambah ramai. Pada malam ketiga dan keempaat ramai orang berkumpul menunggu Nabi, tetapi nabi tidak datang ke masjid lagi. Pagi-pagi Nabi berkata: aku tahu apa yang kamu buat malam tadi, tetapi aku tidak datang ke masjid kerana aku takut sekali kalau-kalau sembahayang ini diwajibkan untuk mu".
Dalam hadis ini menerangkan bahawa Nabi saw hanya datang berjamaah hanya pada malam pertama dan kedua sahaja kerana takut-takut nanti sembahayang itu di fardukan keatas umat Islam yang tentu akan membebankan umat.
Dalam kedua-dua hadis ini tiada disebut akan jumlah rakaat Nabi mengerjakan sembahayang tarawih. Dan pada waktu sekarang ini umat Islam boleh mengerjakan sembahayang tarawih secara berjamaah berterusan kerana wahyu yang akan mewajibkan tidak akan turun lagi.

Tarawih Di Zaman Abu Bakar ra. Dan Umar ra.
Pada masa Saidina Abu Bakar ra. sembahayang tarawih dengan satu iman dalam satu masjid tidak dilakukan malah umat islam masa itu mengerjakan sembahayang tarawih dengan bersendirian dan juga ada yang mengerjakan dengan kumpulan-kumpulan yang kecil.
Dari Abdul Rahman bin Abdul Qarai beliau berkata:
Saya keluar bersama Saidina Umar bin Al-Khattab pada suatu malambulan Ramadhan pergi ke masjid (Madinah). Didapati dalam masjid orang-orang sembahayang tarawih bercerai-cerai, ada yang sembahayang bersendirian, ada yang sembahayang dan ada beberapa orang di belakangnya. Maka Saidina Umar ra. berkata, "Aku berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam sesungguhnya lebih baik, lebih serupa dengan sembahayang Rusulullah". Maka disatukan orang-orang itu sembahayang di belakang seorang imam bernama Ubai bin Ka'ab. Kemudian pada suatu malam (yang lain) kami datang lagi ke mesjid, lantas kami melihat orang-orang sembahayang berkaum-kaum di belakang seorang imam. Saidina Umar ra. berkata; "Ini adalah bid'ah yang baik".
(HR Imam Bukhari, lihat sahih Bukhari jilid 1, ms 242)
Abdul Rahman bin Abdul Qarai adalah seorang Tabi'in yang lahir ketika Nabi saw masih hidup. Beliau adalah murid Saidina Umar ra. dan wafat pada tahun 81H ketika berusia 78 tahun.
Tersebut di dalam kitab Al-Muwatta bagi Imam Malik pada mukasurat 138, juzuk 1:
"Dari Malik daru Yazid bin Ruman, ia berkata: Adalah manusia mendirikan sembahayang pada zaman Umar bin Khattabsebanyak 23 raka'at".
Nampaknya sahabat-sahabat nabi telah diperintahkan oleh Umar mengerjakan sembahayang sebanyak 23 raka'at iaitu 20 raka'at sembahayang tarawih dan 3 raka'at sembahayang witir sesudah tarawih.

Fatwa Ulama-Ulama Fekah
Ulama-ulama fekah dalam mazhab Shafie, seluruhnya memfatwakan bahawasanya rakaat sembahayang tarawikh adalah 20 rakaat, sesuai dengan fatwa Saidina Umar Al-Khattab.
Berkata Imam nawawi dalam kitab Al-Majmu syarah Al-Mahzab jilid IV mukasurat 32:
"Dalam mazahab kita tarawih itu 20 rakaat dengan 10 salam selain witir".
Berkata Imam Sarbini Al-Khattab di dalam Mughni Al-Mutaj, juzu 1 mukasurat 226 yang bererti:
"Dan tarawih itu 20 rakaat dengan 10 salam tiap-tiap bulan Ramadan, demikian hadis Baihaqi dengan sanad yang sahih, bahawasanya sahabat-sahabat Nabi mendirikan sembahayang pada masa Umar bin Khattab dalam bulan Ramadan sebanyak 20 rakaat, dan merawikan Imam malik dalam kitab Al-Muwatta sebanyak 23 rakaat tetapi Imam Baihaqi mengatakan bahawa yang tiga rakaat yang akhir ialah sembahayang witir."

Dan banyak lagi Imam-Imam dalam mazahab kita Shafie yang memfatwakan bahawa sembahayang tarawih ialah sebanyak 20 rakaan seperti Imam Ramli (lihat dalam Nihayatul Muhtaj juzu 2, mukasurat 122), Imam Jalaluddin Al-Mahli (lihat dalam Al-Mahli Muhtaj juzu 1, mukasurat 217) dan Imam Sayid Bakri Syatta (lihat dalam Ia'natut Talibin, juzu 1, mukasurat 265).
Demikianlah fatwa ulama-ulama besar dalam Mazhab Shafie iaitu mazhab yang dipakai di rantau Asia Tenggara termasuk Malaysia, Brunai, Singapura, Indonisia, Thailand, Burma, Filipina dll.

Dalil Mereka Yang Berkata Dengan 8 Rakaat
Namun bergitu terdapat mereka yang berkata dengan 8 rakaat sembahayang tarawih ini. Dan jika di tanya mereka ini dalilnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Iman Bukhari dari Siti Aisyah Ummul Mu'minim:
"Tidak ada Nabi menambah pada bulan Ramadan dan bulan lainnya dari 11 rakaat... " alhadis
Dari hadis ini mereka mengambil dalil bahawa Nabi saw. hanya sembahayang 8 rakaat dan diiringi dengan 3 rakaat sembahayang witir. Mereka jua menuduh bahawa sembahayang tarawih yang dilakukan lebih daripada 8 rakaat adalah bidah.

Hujjah Kami Bagi Menolak Mereka Yang Membantah
Marilah kita lihat dan tilik masalah ini secara berhati-hati dan dengan jalan untuk mencari kebenaran agar selalu mendapat keredaran dari Allah Subhanahu Taala.

Pertamanya marilah kita lihat hadis Siti Aisyah (yang dibuat dalil bagi mereka yang membantah). Perkataan Ummul Mu'minim Siti Aisyah itu diakui kebenarnanya dan hadis ini terdapat di dalam kitab Hadis Sahih Bukhari pada juzu ke 3, mukasurat 275.
Persoalannya apakah maksud sembahayang malam yang dikatakan oleh Siti Aisyah itu. Apakah jenis sembahayang yang dilakukan oleh Nabi saw. pada tiap-tiap malam yang tidak lebih dan tidak kurang daripada 11 rakaat itu.
Jika kita kata itu ialah seluruh sembahayang malam, maka itu tidak benar kerana sekurang-kurang sembahayang malam ialah 18 rakaat, iaitu 3 rakaat magrib, 2 rakaat sesudah magrib, 2 rakaat sebelum Isya 4 rakaat Isya dan dua sesudahnya, dan tahajjut paling kurang 2 rakaat dan ditambah dengan witir yang paling kurang 3 rakaat.
Kalau hendak dikatakan sembahayang tarawih pun tidak mungkin kerana di dalam hadis itu Siti Aisyah ada menyebut ".. pada bulan Ramadan dan bulan lainnya.." menjadi dalil bagi kita bahawa maksud sembahayang malam itu tidak titujukan pada sembahayang tarawih kerana sembahayang tarawih hanya dilakukan pada bulan ramadan sahaja. Maka dengan ini dalil ini tidak sesuai dibuat dalil pada sembahayang tarawih.

Jika ditakdirkan bahawa benar yang dimaksudkan oleh hadis Siti Aisyah itu sembahayang tarawih, kenapakah Saidina Umar bin Al-Khattab dan Sahabat-sahabat Nabi pada zamam Saidina Umar sepakat mengerjakan 20 rakaat?
Andai kata maksud Siti Aisyah dengan sembahayang malam itu ialah sembahayang tarawih umpamanya, maka dalil dari Siti Aisyah tidak dapat mengalahkan dalil Saidina Umar dan Sahabat-Sahabat Nabi sezamam dengan Saidina Umar yang sepakat mengatakan sembahayang tarawih itu 20 rakaat kerana menurut keadah usul fikah "Yang menetapkan ada didahulukan atas yang meniadakan". Siti Aisyah hanya seorang sahaja melihat Nabi saw. sembahayang 11 rakaat (termasuk 3 rakaat witir) sedangkan sahabat-sahabat Nab yang utama juga melihat 23 rakaat (termasuk 3 rakaat witir). Maka orang yang banyak ilmunya di dahulukan dari orang yang sedikit ilmunya. Inilah maksid keadah usul fekah ini.

Maka bergitu juga perkataan ustaz-ustaz yang mengajar di surau-surau atau di madrasah-madrasah dan masjid-masjid tidak dapat mengalahkan perkataan Ulama-ulama muktabar dalam mazhab Shafie kerana keadah ini juga dimana orang yang banyak ilmunya (seperti Ulama-ulama Shafieyah) di dahulukan dari orang yang sedikit ilmunya.
Tidakah Nabi saw. pernah bersabda bahawa sahabat-sahabat baginda seperti bintang dilangit dan barang mana yang kita ikut dari sahabat-sahabat baginda kita akan mendapat pertunjuk.

Maka kesimpulannya:
Rakaat sembahayang tarawih adalah 20 rakaat kerana sudah ijma Sahabat Nabi dan kita umat Islam diwajibkan mengikut ijma, apa lagi ijma Sahabat.
11:27:00 PM
thumbnail

JIHAD PROPORSIONAL

Posted by Yushan on


Azyumardi Azra
Azyumardi Azra
Teror terhadap World Trader Center (WTC) New York dan Pentagon, yang diikuti dengan serangan Amerika Serikat dan sekutunya telah menimbulkan political repercussions yang cukup signifikan di tanah air. Gelombang demonstrasi, ancaman sweeping terhadap warga negara AS yang ada di Indonesia, himbauan untuk jihad ke Afghanistan, dan pemutusan hubungan diplomatik Indonesia AS, telah meningkatkan suhu politik di dalam negeri.
Bahkan sejumlah pengamat telah berbicara bahwa gelombang anti AS tersebut pada akhimya bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Megawati. Asumsi yang sangat sumir ini didasarkan pada kenyataan, bahwa di antara mereka yang sangat gencar melakukan berbagai demonstrasi dan aksi anti Amerika terdapat kelompok-kelompok yang sejak semula menolak Megawati sebagai presiden dengan alasan gender, yakni bahwa dalam pemahaman mereka¬ Islam tidak mengizinkan perempuan menjadi pemimpin puncak.
Berbagai demonstrasi dan aksi anti Amerika dan sekutu sekutunya sedikit banyak telah menggeser citra Islam di Indonesia sebagai Islam yang lebih toleran, menekankan kedamaian dan perdamaian, harmoni, selalu menempuh jalan tengah moderat (ummatan washatan), atau bahkan digambarkan media massa internasional sebagai "Islam with a smiling face". Pergeseran citra ini dapat sedikit banyak mengubah pandangan dan harapan banyak kalangan, khususnya kalangan Islam internasional di negara negara lain, bahwa Islam Indonesia merupakan alternatif bagi kemajuan Islam di tengah peradaban dunia dan modernisme yang tak terelakkan. Islam di Indonesia dalam pandangan mereka adalah Islam yang kompatibel dengan modernisme, kemajuan sains dan teknologi, dan multikulturalisme.
Pada pihak lain, pemerintahan Presiden Megawati yang berhadapan dengan berbagai demontrasi dan aksi anti Amerika tersebut tersebut semula terlihat mengambil posisi yang sangat defensif, walaupun kemudian menjadi lebih tegas (firmer), baik terhadap AS maupun kelompok kelompok "garis keras" di dalam negeri. Terhadap AS, Presiden Megawati menyatakan tetap mendukung usaha internasional menghadapi terorisme   khususnya melalui badan badan internasional. Tetapi pada saat yang sama, Presiden Megawati juga menyatakan, bahwa operasi militer dengan alasan memerangi terorisme  yang kemudian turut mengorbankan banyak rakyat sipil  sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Dalam waktu yang sama, pemerintahan Presiden Megawati juga mengambil posisi dan sikap yang lebih tegas terhadap kelompok kelompok garis keras. Sikap tegas itu dimulai dengan "ancaman" mencabut kewarganegaraan mereka yang akan pergi ke Afghanistan dan bergabung dengan tentara Taliban sampai kepada tindakan keras polisi menghadapi demonstrasi pada hari libur Isra' Mi raj, dan bahkan menahan sejumlah orang (FPI Solo) dan memanggil pimpinan FPI, Habib Riziq Shihab ke kantor polisi.
Dengan sikap lebih tegas itu, gelombang demonstrasi dan sikap anti Amerika lainnya, serta tuntutan tuntutan kepada pemerintah Indonesia kelihatan menurun secara signifikan. Harus diakui, memang, tidak ada jaminan bahwa gelombang demonstrasi tidak akan mewabah lagi di waktu waktu mendatang, bukan hanya karena serangan AS yang terus berkelanjutan, tetapi juga karena isu isu lain yang berkaitan dengan Islam, seperti usul dan tekanan untuk pemasukan kembali "Piagam Jakarta" ke dalam UUD 1945, atau penerapan syariah Islam secara keseluruhan.
Memandang dampak yang telah terjadi dan yang mungkin berlanjut di hari hari datang terhadap kondisi politik dan ekonomi nasional, maka sebaiknya seluruh elemenl bisa melihat masalah konfrontasi AS dengan Bin Laden/Taliban secara lebih jernih, dingin dan obyektif dengan titik tolak kepentingan nasional. Juga perlu pengamatan yang lebih jernih tentang Bin Laden maupun rejim Taliban sendiri dilihat dari perspektif Islam di Indonesia. Dalam banyak segi pemahaman dan praktek keagamaan yang dianut Bin Laden maupun Taliban memiliki perbedaan yang mencolok dengan pemahaman dan praktek Islam umumnya di Indonesia.
Bahkan, pandangan dan praktek keagamaan Bin Laden dan Taliban —oleh kalangan garis keras Islam di Indonesia sendiri— disebut sebagai satu bentuk gerakan Khawarij yang menyempal dari mainstream Ahl al Sunnah wa al Jamaah yang diikutikaum Muslimin Indonesia umumnya. Kaum Muslimin Indonesia harus berusaha semaksimal mungkin menghindari kesan bahwa sikap anti Amerika identik dengan dukungan tanpa reserve terhadap Bin Laden dan Taliban. Sekarang ini, sementara kalangan pengamat asing keliru dengan menyebut terjadinya proses "Talibanisasi" di kalangan kaum Muslimin Indonesia. Langkah-¬langkah antisipatif terhadap gejala yang mencerminkan terjadinya proses "radiklisasi" di kalangan kelompok kelompok tertentu di Indonesia perlu diambil.
Solidaritas Islam (ukhuwwah Islamiyyah) memang sangat dianjurkan Islam, karena sebagaimana dikemukakan dalam ayat ayat al Qur'an dan hadits, setiap Muslim merupakan saudara bagi Muslim lainnya; penderitaan yang dialami seorang atau sekelompok Muslim lainnya merupakan juga penderitaan bagi Muslim lainnya. Tetapi ekspresi solidaritas Islam itu harus ditempatkan pada proporsinya. Dalam kerangka proporsionalitas itu, maka ukhuwah Islamiyah terhadap Muslim Aghanistan yang menjadi korban serangan AS tidak harus selalu dalam bentuk jihad (perang) bersama lama melawan AS. Berbagai constraints yang ada baik di dalam negeri sendiri dan di luarnegeri khususnya di Afghanistan, dan juga Pakistan  seharusnya mendorong ungkapan solidaritas Islam itu dalam bentuk lain, seperti pengumpulan dana, makanan, pakaian, obat obatan untuk membantu saudara saudara Muslim di Afghanistan.
Proporsionalitas ungkapan solidaritas Islam itu mestilah juga lebih berorientasi ke dalam. Keadaan ekonomi Indonesia yang masih terpuruk telah menjadikan kaum Muslimin sebagai korban yang paling menderita, apakah dalam bentuk merosotnya pendapatan maupun dalam bentuk pengangguran yang semakin meluas. Selain itu, sekitar 1,3 juta anak bangsa telah menjadi pengungsi di mana¬mana. Bisa dipastikan, sebagian besar mereka ini adalah kaum Muslimin. Ukhuwwah Islamiyah yang begitu menggelora belakangan ini haruslah juga ditujukan kepada mereka ini. Jika tidak, kita berarti lebih memberikan perhatian kepada "rumahtangga" orang lain, sementara rumahtangga kita sendiri yang berantakan, hampir dilupakan.
Memandang berbagai gejala yang kurang menggembirakan tersebut, maka sepatutnya para pemimpin organisasi organisasi besar mainstream seperti NU, Muhammadiyah, dan organisasi-¬organisasi besar lainnya mengambil sikap lebih pro aktif. Sikap pro-aktif itu bisa dilakukan dengan lebih sering melakukan dialog dengan kelompok kelompok garis keras untuk merumuskan sikap yang lebih proporsional dalam menyikapi berbagai perkembangan baik di dalam maupun luarnegeri yang mempengaruhi kaum Muslimin dan Islam. Para pemimpin mainstream Muslim juga harus lebih outspoken dan asertif untuk menyatakan kepada publik umumnya tentang sikap proporsional dalam meresponi dan menyikapi berbagai perkembangan tersebut.
Azyumardi Azra. Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
6:03:00 AM
thumbnail

PANDANGAN TERHADAP ILMU TASAWUF

Posted by Yushan on Tuesday, March 1, 2016

Muhammad sawDalam sebuah hadits, Rasulullah  s.a.w.  disebutkan  sebagai bersabda  bahwa  masa  kenabian  (nubuwwah)  dan rahmat akan disusul oleh masa kekhalifahan kenabian (Khilafat  nubuwwah) dan  rahmat,  sesudah  itu  masa kerajaan (mulk) dan rahmat, kemudian masa kerajaan (saja).1  Ibn  Taymiyyah  menjelaskan bahwa masa "kenabian dan rahmat" itu ialah, tentu saja, masa Nabi sendiri.  Sedangkan  masa  "kekhalifahan  kenabian  dan rahmat"  berlangsung  selama  tiga puluh tahun sesudah wafat Nabi s.a.w., yaitu sejak permulaan  kekhalifahan  Abu  Bakr, disusul  Umar  ibn  al-Khathtab, kemudian Utsman ibn 'Affan, dan  akhirnya  'Ali  ibn  Abi  Thalib.  Mereka  adalah  para pengganti  (khalifah)  Nabi  yang kelak dikenal sebagai para khalifah   yang   berpetunjuk   (al-khulafa    al-rasyidun). Sedangkan  masa  para  khalifah  yang  empat itu adalah masa "kerajaan dan rahmat."

Dari masa "kerajaan dan rahmat" itu, menurut Ibn  Taymiyyah, yang  terbaik  ialah masa "Raja" Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus. Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa di antara raja-raja tidak  ada  yang  menjalankan  kekuasaan  sebaik  Mu'awiyah. Dialah sebaik-baik raja Islam, dan  tindakannya  lebih  baik daripada tindakan para raja mana pun sesudahnya.2

Pandangan  Ibn Taymiyyah itu khas paham Sunni, terutama dari kalangan mazhab Hanbali. Malah, sesungguhnya, apa  pun  yang terjadi  pada  Mu'awiyah akan dianggap Ibn Taymiyyah sebagai tidak bisa dipersalahkan  begitu  saja,  karena  dia  adalah seorang  Sahabat  Nabi.  Lebih  jauh,  Ibn  Taymiyyah  masih mempunyai alasan untuk memuji anak Mu'awiyah,  yaitu  "Raja" Yazid   (yang  oleh  kaum  Syi'ah  dituding  sebagai  paling bertanggungjawab  atas   pembunuhan   amat   keji   terhadap al-Husayn,  cucunda Nabi), karena, kata Ibn Taymiyyah, Yazid adalah komandan tentara Islam  yang  pertama  memerangi  dan mencoba  merebut  Konstantinopel,  sementara  sebuah  hadits menyebutkan  adanya  sabda  Nabi:  "Tentara   pertama   yang menyerbu  Konstantinopel  diampuni  (oleh  Allah akan segala dosanya)."3

Tetapi pandangan Ibn Taymiyyah itu berbeda dengan  yang  ada pada banyak kelompok Islam yang lain, termasuk dari kalangan kaum Sunni sendiri. Mereka ini berpendapat  bahwa  Mu'awiyah tanpa  mengabaikan jasa-jasa yang telah diperbuatnya- adalah orang  yang   pertama   bertanggung-jawab   merubah   sistem kekhalifahan  yang  terbuka (pengangkatan pemimpin tertinggi Islam me]alui pemilihan) menjadi  sistem  kekhalifahan  yang tertutup  (pengangkatan  pemimpin  melalui  penunjukan  atau wasiat berdasarkan pertalian darah). Ini memang bisa disebut sistem  kerajaan  seperti  dimaksudkan  dalam hadits, tetapi Mu'awiyah dan para penggantinya, begitu pula  para  penguasa 'Abbasiyah,  menyebut  diri  mereka  masing-masing  Khalifah (dari Nabi), bukan raja. Namun tetap ada suatu  sistem  yang adil  telah  diganti  dengan  sistem  yang kurang adil, jika bukannya yang zalim.

Segi keadilan sistem kekhalifahan yang pertama  tidak  hanya ada dalam mekanisme penggantiannya melalui pemilihan, tetapi lebih-lebih lagi mereka itu dalam menjalankan kekuasaan  dan pemerintahan.  Penyebutan  para  pengganti Nabi yang pertama itu  sebagai  "berpetunjuk"  (al-rasyidun)  adalah  terutama berkenaan dengan kualitas pemerintahan mereka itu.4

Dalam  pandangan  banyak  orang  Muslim,  pemerintahan  masa kekhalifahan yang pertama adalah suatu bentuk kesalehan  dan rasa  keagamaan  yang mendalam, sedangkan para penguasa Bani Umayyah hanya tertarik kepada kekuasaan  itu  sendiri  saja. Kalaupun  tidak begitu tepat untuk masa Mu'awiyah (dan 'Umar ibn 'Abd al'Aziz) -sebagaimana argumen untuk  Mu'awiyah  itu telah  dikutip  dari  Ibn Taymiyyah di atas-penilaian serupa itu jelas dianggap  berlaku  untuk  keseluruhan  rezim  Bani Umayyah,  khususnya  sejak  kekuasaan  Marwan  ibn  al-Hakam (60-62 H/644-655 M).  Apalagi  Marwan  ini  pernah  menjabat sebagai  pembantu  utama  Khalifah  Utsman ibn 'Affan (22-35 H/644-656 M),  dan  diduga  keras  berada  dibalik  beberapa kebijakan 'Utsman yang mengundang fitnah besar dalam sejarah Islam  itu.  Karenanya,  sejak  saat  itu   tumbuh   oposisi keagamaan  kepada  rezim  Damaskus,  tidak  saja  oleh musuh tradisional kaum Umayyah yang terdiri dari  golongan  Syi'ah dan  Khawarij,  tetapi  juga oleh golongan Sunnah, yang kaum Umayyah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya.

Wujud oposisi keagamaan terhadap rezim Bani Umayyah itu yang paling terkenal ialah yang dilakukan oleh seorang tokoh yang amat saleh, yaitu Hasan dari Basrah (Hasan al-Bashri,  wafat 728   M).  Pada  masa  kekuasaan  Abd  al-Malik  ibn  Marwan (memerintah 685-705 M), Hasan pernah  menulis  surat  kepada Khalifah,   menuntut  agar  rakyat  diberi  kebebasan  untuk melakukan apa  yang  mereka  anggap  baik,  sehingga  dengan begitu  ada  tempat  bagi tanggung-jawab moral. Suratnya itu bernada  menggugat  praktek-praktek  zalim  penguasa  Umawi. Namun  Hasan  dibiarkan  bebas  oleh  pemerintah, disebabkan wibawa kepribadiannya yang saleh dan pengaruhnya  yang  amat besar kepada masyarakat luas.

(Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan Keagamaan Islam) oleh Dr. Nurcholish Madjid
Semoga Artikelnya Bermanfaat 

Jangan Lupa Like dan Share yahh.. Terima Kasih
4:52:00 AM
thumbnail

PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA

Posted by Yushan on Monday, February 29, 2016

Buka Puasa
PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA
Sebagai Pendidikan Tentang Kesucian serta
Tanggung Jawab Pribadi dan Kemasyarakatan
oleh Nurcholish Madjid

Dari berbagai ibadah dalam  Islam,  puasa  di  bulan  Ramadhan barangkali   merupakan   ibadat  wajib  yang  paling  mendalam bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman  selama  sebulan dengan  berbagai  kegiatan  yang menyertainya seperti berbuka, tarawih dan makan sahur senantiasa  membentuk  unsur  kenangan yang  mendalam  akan  masa kanak-kanak di hati seorang Muslim. Maka  ibadah  puasa  merupakan  bagian  dari  pembentuk   jiwa keagamaan  seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim  menampilkan corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka  kekhasan bangsa   kita  dalam  menyambut  dan  menjalani  ibadah  puasa Ramadhan telah pula menjadi perhatian  orang  Muslim  Arab  di akhir   abad   yang   lalu.  Seorang  sarjana  bernama  Riyadl menyebutkan  bahwa  di  Jawa  (yang  dicampuradukkan   olehnya sebagai  bagian  dari India) para pemeluk Islam mempunyai cara yang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah  puasa.  Mereka itu, kata Prof. Riyadl.
    pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz' sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang buncis. [1]
Dari penuturan sederhana itu maka  tidak  terlalu  salah  jika kita  kaum  Muslim  Indonesia  mempunyai  kesan yang amat khas tentang bulan Ramadhan, agaknya  lebih  dari  kaum  Muslim  di negeri-negeri  lain.  Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaan dengan intensitas yang tinggi, yang bakal  meninggalkan  kesan mendalam  pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhan pada bangsa  kita  tercermin  juga  dalam  suasana  Hari  Raya Lebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentu akan baik sekali jika kita  memahami  berbagai  hikmah  ibadah puasa yang kita jalankan selama bulan itu.
PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT
Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah  yang  khas  ini,  ada baiknya  kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu, guna memperoleh sedikit bahan perbandingan  tentang  bagaimana puasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia.
Firman   Allah   berkenaan   dengan   kewajiban  kaum  beriman menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya  kewajiban  serupa atas  manusia  sebelum  mereka:  "Wahai  sekalian  orang  yang beriman! Diwajibkan atas kamu  sekalian  berpuasa  sebagaimana telah   diwajibkan   atas   mereka  sebelum  kami,  agar  kamu bertaqwa."  [2]  Ini  menunjukkan  adanya  ibadat  puasa  pada umat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
Menurut  para  ahli,  puasa merupakan salah satu bentuk ibadat yang paling mula-mula  serta  yang  paling  luas  tersebar  di kalangan  umat  manusia.  Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat  ke  tempat  yang  lain.  Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari  makan  dan  minum  serta  dari pemenuhan  kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan diri  dari  bekerja,  malah  dari  berbicara.   Puasa   berupa penahanan  diri  dari  berbicara  dituturkan  dalam  al-Qur'an pernah dijalankan  oleh  Maryam,  ibunda  Nabi  Isa  al-Masih. Karena  terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan  keji  (sebab  ia  telah  melahirkan seorang  putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun juga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini:
... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam), serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm) kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak akan berbicara kepada siapapun jua. [3]
Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran  jasmani dan   ruhani   secara  sukarela  dari  sebagian  kebutuhannya, khususnya  dari  kebutuhan  yang  menyenangkan.   Pengingkaran jasmani  dari  kebutuhannya,  yaitu  makan  dan  minum,  dapat beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri  dari makan  dan  minum  itu  secara  mutlak  (artinya, semua bentuk makanan dan minuman  dihindari,  tanpa  kecuali),  sejak  dari fajar  sampai  terbenam  matahari.  Tetapi  ada umat lain yang berpuasa  dengan  menghindari  beberapa  jenis  makanan   atau minuman  tertentu  saja.  Konon  kaum Sabean (al-Shabi'un) dan para pengikut Manu  (al-Manuwiyyun),  yaitu  kelompok-kelompok keagamaan  di  Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan Persia,  adalah  umat-umat  yang  menjalankan   puasa   dengan menghindari  jenis  tertentu makanan dan minuman itu. Demikian pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen  Timur di Asia Barat dan Mesir.
Dari  segi  waktu  pun  terdapat  keanekaragaman  dalam amalan berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian siang,  atau  seluruh  siang,  atau siang dan malam sekaligus. Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya  untuk  malam  hari. Karena  itu  sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa perlu meneranghan hikmah puasa siang hari  saja  seperti  yang dijalankan   oleh  kaum  Muslim.  Maka  al-Jurjawi,  misalnya, memandang bahwa puasa di siang hari adalah  yang  lebih  utama daripada  di  malam  hari,  karena  lebih berat. Ini dikaitkan dengan ketentuan, menurut sebuah Hadist  Nabi,  bahwa  "Ibadat yang  paling  utama  ialah  yang paling mengigit (ahmaz yakni, paling berat)",  dan  bahwa  "Sebaik-baik  amalan  ialah  yang paling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah  (exercise),  yaitu latihan  keruhanian,  sehingga  semakin berat semakin baik dan utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan  raga  orang yang melakukannya.
Berkenaan  dengan  puasa  di  bulan  Ramadhan, disebutkan oleh al-Jurjawi bahwa sebagian  ahli  tafsir  Yahudi  dan  Kristen, namun  kemudian  mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali  barangkali untuk  orang-orang  Yahudi  dan Kristen Arab di Jazirah Arabia karena terpengaruh atau meneruskan  adat  kebiasaan  setempat. Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyak dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya suku  Quraisy.  Dan  memang  banyak  amalan yang disyari'atkan dalam  Islam  telah  pula   disyari'atkan   kepada   umat-umat sebelumnya,   sebagaimana   diisyaratkan  dalam  firman  Allah tersebut  di  atas,  sebagaimana  juga   jelas   bahwa   Islam mengukuhkan  sebagian  ibadat  sebelum Islam, seperti beberapa amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya  itu  dibersihkan dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid. [5]
Berdasarkan  itu  semua  dapat dikatakan bahwa puasa merupakan salah satu mata rantai  yang  menunjukkan  segi  kesinambungan atau  kontinuitas  agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadi salah satu bukti bahwa  agama  itu  merupakan  kelanjutan  dan penyempurnaan  dari  agama-agama  Allah  yang telah diturunkan kepada   umat-umat   sebelumnya.   Segi   kesinambungan   atau kontinuitas  Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan hal yang dengan sangat  kukuh  dijelaskan  dalam  Kitab  Suci, yaitu  dalam  perspektif  bahwa  peran Nabi Muhammad saw ialah tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan Rasul sebelumnya sepanjang sejarah:
    Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan) kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah Kami berikan Kitab Zabur.
Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa.
Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman, agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha Bijaksana.
Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan (sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [6]

PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI
Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya  firman  Tuhan  (dalam bentuk  Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa,  sebab  puasa  itu  adalah untuk-Ku,  dan  Aku-lah  yang  akan  memberinya  pahala."  [7] Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan bahwa puasa itu
     ... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya (Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat puasa.[8]
     Jadi salah satu  hakikat  ibadah  puasa  ialah  sifatnya  yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi  kerahasiaan  itu  merupakan letak  seorang  manusia  dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri  terkait  erat  dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara  puasa  yang  sejati  dan  puasa  yang  palsu  hanyalah dibedakan  oleh,  misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian.
Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian  kesadaran  akan adanya  Tuhan  yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam  pengawasan-Nya  terhadap segala  tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah)  itu  bersama  kamu dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala sesuatu yang kamu perbuat." [9] "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat;  maka  ke  mana  pun  kamu  menghadap, di sanalah Wajah Allah." [10] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan  manusia, dan  Kami  mengetahui  apa  yang  dibisikkan oleh hatinya Kami lebih dekat kepadanya daripada urat  lehernya  sendiri."  [11] "Ketahuilah   olehmu  sekalian  bahwa  Allah  menyekat  antara seseorang dan hatinya sendiri..." [12]
 Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik  Islam (Salaf)  yang  hidup  sekitar  tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751  H).  Penjelasan  serupa juga  dikemukakan  oleh  'Ali  Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh pemikir Islam di Zaman  Modern  dari  Mesir.  Dalam  uraiannya tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan:
Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'I (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat  (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak, padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih. Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia. Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan -  (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan Yang Maha Agung itu untuk melanggar larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman, dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan. Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka, dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar. [13]
Dari penjelasan itu tampak bahwa sesungguhnya inti  pendidikan Ilahi  melalui  ibadah  puasa  ialah  penanaman dan pengukuhan kesadaran   yang   sedalam-dalamnya    akan    ke-MahaHadir-an (omnipresence)  Tuhan.  Adalah  kesadaran  ini  yang melandasi ketaqwaan atau  merupakan  hakikat  ketaqwaan  itu,  dan  yang membimbing  seseorang  ke  arah  tingkah  laku  yang  baik dan terpuji. Dengan begitu dapat diharapkan ia akan tampil sebagai seorang   yang  berbudi  pekerti  luhur,  ber-akhlaq  karimah. Kesadaran  akan  hakikat  Allah  yang  Maha  Hadir   itu   dan konsekuensinya  yang  diharapkan  dalam  tingkah laku manusia, digambarkan dengan kuat sekali dalam Kitab Suci:
"Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi?! Sama sekali tidak ada suatu bisikan dari tiga orang, melainkan Dia adalah Yang Keempat; dan tidak dari empat orang, melainkan Dia adalah Yang Kelima; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia adalah Yang Keenam; dan tidak lebih sedikit daripada itu ataupun lebih banyak, melainkan Dia beserta mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan membeberkan apa yang telah mereka perbuat itu di Hari Kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Tahu akan segala sesuatu." [14]
     Sekali lagi, dari keterangan di atas itu  tampak  bahwa  puasa adalah   suatu   ibadat   yang   berdimensi  kerahasiaan  atau keprivatan (privacy) yang amat  kuat.  Dari  situ  juga  dapat ditarik  pengertian  bahwa puasa adalah yang pertama dan utama merupakan  sarana   pendidikan   tanggungjawab   pribadi.   Ia bertujuan  mendidik  agar kita mendalami keinsyafan akan Allah yang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat  dan tempat.
     Atas dasar keinsyafan itu hendaknya kita tidak menjalani hidup
ini dengan santai, enteng dan remeh,  melainkan  dengan  penuh kesungguhan  dan  keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat akan  kita  pertanggungjawabkan  kepada  Khaliq  kita   secara pribadi.    Tentang    betapa   dimensi   pribadi   (personal) tanggungjawab kita dalam Pengadilan Tuhan di Hari Akhirat itu, Kitab  Suci  al-Qur'an  memberi  gambaran  amat  kuat  sebagai berikut:
Wahai sekalian umat manusia! Bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu, dan waspadalah terhadap hari ketika seorang orang tua tidak dapat menolong anaknya, dan tidak pula seorang anak dapat menolong orang tuanya sedikitpun jua. Sesungguhnya janji Allah itu benar (pasti terjadi), maka janganlah sampai kehidupan duniawi (kehidupan rendah) memperdayamu sekalian, dan jangan pula tentang (wajib patuh kepada) Allah itu kamu sekalian sampai terpedaya oleh apapun yang dapat memperdaya. [15]
Waspadalah kamu sekalian terhadap hari ketika tidak seorang pun dapat membantu orang lain, dan ketika perantaraan tidak dapat diterima, dan tidak pula tebusan bakal diambil, dan mereka semuanya tidak akan dibela. [l6]
Ini semuanya sudah tentu  sejajar  dengan  berbagai  penegasan dalam  Islam  bahwa  manusia  dihargai  dalam  pandangan Allah menurut amal perbuatannya berdasarkan taqwanya,  suatu  ajaran tentang   orientasi  prestasi  yang  tegas,  dalam  pengertian pandangan bahwa penghargaan kepada seseorang didasarkan kepada apa   yang   dapat   diperbuat  dan  dicapai  oleh  seseorang. Sebaliknya Islam melawan orientasi prestise,  yaitu  pandangan yang    mendasarkan    penghargaan   kepada   seseorang   atas pertimbangan segi-segi  askriptif  seperti  faktor  keturunan, daerah,  warna  kulit,  bahasa  dll.  Orientasi seperti faktor keturunan,  daerah,  warna  kulit,  bahasa,   dll.   Orientasi prestasi  berdasarkan  kerja  ini  kemudian  dikukuhkan dengan ajaran tentang tanggung jawab yang bersifat mutlak pribadi  di Akhirat kelak.

PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN
Sebegitu  jauh  kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab pribadi.  Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri mengisyaratkan  adanya  aspek  sosial  dalam  perwujudan  pada kehidupan  nyata  di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang  sama,  yang sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab  itu  tidak  bisa dipisahkan,  sehingga  tiadanya  salah satu dari keduanya akan mengakibatkan peniadaan yang lain.
Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan  bahwa  salah satu  hikmah  ibadah  puasa  ialah  penanaman rasa solidaritas sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan  bahwa ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya,  terutama  perbuatan  baik  dalam   bentuk tindakan  menolong  meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu zakat, sedekah, infaq, dll.
Dari sudut  pandangan  itulah  kita  harus  melihat  kewajiban membayar  zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang akhir bulan suci itu.  Seperti  diketahui,  fithrah  merupakan konsep  kesucian  asal  pribadi  manusia, yang memandang bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci  bersih.  Karena itu  zakat  fitrah  merupakan  kewajiban  pribadi  berdasarkan kesucian  asalnya,  namun  memiliki  konsekuensi  sosial  yang sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap zakat atau  "sedekah"  (shadagah,  secara  etimologis  berarti "tindakan  kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan bagi golongan fakir-miskin  serta  mereka  yang  berada  dalam kesulitan  hidup  seperti  al-riqab  (mereka yang terbelenggu, yakni, para budak; dalam istilah modern dapat  berarti  mereka yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun (mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang yang  terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan beban  hidup  mereka.  Sasaran  zakat  yang  lain  pun   masih berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan umum atau sosial, seperti  sasaran  amil  atau  panitia  zakat sendiri,  kaum  mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan Allah),   kepentingan    masyarakat    dalam    artian    yang seluas-luasnya.
Sebenarnya  dimensi  sosial  dari hikmah puasa ini sudah dapat
ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab  Suci, yaitu  taqwa.  Dalam  memberi penjelasan tentang taqwa sebagai tujuan puasa  itu,  Syeikh  Muhammad  'Abduh  menunjuk  adanya kenyataan  bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan  utama "membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam  urusan  hidup mereka  di  dunia  ini.  Ini sejalan dengan kepercayaan mereka bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani. Cara  pandang  kaum  musyrik  itu  merupakan konseknensi faham mereka  tentang  Tuhan  sebagai  yang  harus  didekati  dengan sesajen,   berupa   makanan  atau  lainnya  (termasuk  manusia sendiri) yang "disajikan" kepada  Tuhan.  Altar  di  kuil-knil bangsa  Inka  di  banyak  bagian  Amerika  Selatan, umpamanya, menunjukkan adanya praktek  "ibadat"  mendekati  Tuhan  dengan sesajen    berupa   korban   manusia.   Demikian   pula   pada bangsa-bangsa  lain,  praktek  serupa  juga   tercatat   dalam sejarah,   seperti  pada  bangsa-bangsa  Mesir  kuna,  Romawi, Yunani, India, dll.
     Hal  itu  tentu  berbeda  dengan  ajaran  agama  Tawhid   yang mengajarkan  manusia  untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya (Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama  ini  diajarkan bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik, yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada sesama  manusia  dalam  masyarakat:  "Maka  barangsiapa  ingin berjumpa  dengan  Tuhannya,  hendaknyalah ia berbuat baik, dan janganlah   dalam   berbakti   kepada    Tuhannya    itu    ia memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17]
Berkaitan  dengan  ini,  Islam  memang mengenal ajaran tentang ibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah  itu,  korban (qurban)  adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun pendekatan itu terjadi bukan karena materi  korban  itu  dalam arti  sebagai  sesajen,  melainkan karena taqwa yang ada dalam jiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah  korban  itu  tercermin dalam  kegunaan  nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan meringankan beban anggota masyarakat  yang  kurang  beruntung: "Tidaklah  bakal  sampai  kepada  Allah daging korban itu, dan tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah taqwa dari kamu." [18]
Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan kepada Allah bukanlah penderitaan  lapar  dan  dahaga  itu  an sich,  melainkan  rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuh prihatin  itu.  Dengan   perkatauan   lain,   Tuhan   tidaklah memerlukan  puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah  untuk kebaikan  diri  kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang lebih luas.
Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari amal  saleh,  tali  hubungan  dengan  Allah  (habl min Allah - "hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan  dari  hubungan dengan  sesama  manusia  (habl min al-nas -"hablum minannas"), taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn al-khuluq   atau   al-akhlaq  al  karimah).  Ini  antara  lain ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan budi pekerti luhur." [19]
Ibadah puasa selama sebulan  itu  diakhiri  dengan  Hari  Raya
Lebaran  atau  Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang menggambarkan tentang saat  kembalinya  fitrah  atau  kesucian asal  manusia  setelah  hilang karena dosa selama setahun, dan setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa.  Dalam  praktek yang  melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi dari Lebaran itu ialah sikap-sikap  dan  perilaku  kemanusiaan yang  setulus-tulusnya  dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan pembayaran zakat fitrah yang dibagikan  kepada  fakir  miskin, diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan besar pada shalat Id, kemudian  dikembangkan  dalam  kebiasaan terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat, keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas aspek  sosial  dari  hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah  kepada  kita  itu maka  pada  hari  Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai Hadits  mengarahkan  agar  pada hari Lebaran tidak seorang pun tertinggal dalam bergembira dan berbahagia,  tanpa  berlebihan dan melewati batas.
Karena  itu  zakat  fitrah  sebenarnya  lebih banyak merupakan
peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota  masyarakat untuk  berbagi  kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung, yang terdiri dari para fakir  miskin.  Dari  segi  jumlah  dan jenis  materialnya  sendiri,  zakat  fitrah  mungkin  tidaklah begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban  yang  telah disinggung  di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah maknanya  sebagai  lambang   solidaritas   sosial   dan   rasa perikemanusiaan.  Dengan  perkataan  lain, zakat fitrah adalah lambang  tanggung-jawab  kemasyarakatan  kita  yang  merupakansalah  satu  hasil  pendidikan  ibadah  puasa,  dan  yang kita menifestasikan secara spontan.
Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus  diberi substansi  lebih  lanjut  dan  lebih besar dalam seluruh aspek hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta  usaha mewujudkan  masyarakat  yang  sebaik-baiknya,  yang berintikan nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna  firman  Allah berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:
Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu sekalian bersyukur. [20]
"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin"  (semoga  kita  semua  tergolong mereka yang  kembali  ke fitrah kita --dan yang menang—atas nafsu-egoisme kita).

CATATAN KAKI
 1. Syeikh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu, 2 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), Jil. 1, hh. 233-4.
 2. QS. al-Baqarah/2:183
3. QS. Maryam/19:26.
4. al-Jurjawi, h 227
5. Lihat, Ibid, h.h. 232-3
6. QS. al-Nisa'/4:163-6.
7. Lihat al-Jurjawi, h. 228. Hadits dengan makna yang sama juga dikutip oleh al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thaba'thabati dalam Al Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 21 jilid (Beirut: Mu'assat al-A'lami, 1403/1983), jil. 2, h 25. Al- Thaba'thabati juga memberikan uraian dengan nada dan makna yang sama dengan al-Jawzi dan al-Jurjawi.
8. Abu 'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, Zad al-Ma'ad fi Huda Khayr al-Ibad, 4 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, 1392/1973), Jil. I, h 154.
9. QS. al-Hadid/57:4.
10. QS. al-Baqarah/2 :183.
11. QS. Qaf/50:16.
12. QS. al-Anfal/8:24.
13. al-Jurjawi, h 212.
14. QS. al-Mujadalah/58:7
15. QS. Luqman/31:33.
16. QS. al-Baqarah/2:48 dan 123).
17. QS. al-Kahf718:110.
18. QS. al-Hajj/22:37.
19. Hadits shahih, riwayat al-Tarmidzi dan al-Hakim  (Lihat Bulugh al-maram, Hadits No. 1561)
20. QS. al-Baqarah/2:185
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
11:15:00 PM