Berikut ini dikemukakan beberapa paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan antara lain :
a. Paradigma rasionalistik dan positivistik
Agak aneh bahwa produk ilmu (khususnya ilmu sosial) keislaman dapat menggunakan metode rasionalistik dan positivistik. Terapan kedua aliran filsafat metodologi tersebut ( terutama aliran positivisme) tentu bukan pada sisi ontologiknya tetapi pada sisi epistemologik yang diintegrasikan dengan weltanschauung Islami. Bila diterapkan pada studi keislaman, rasionalisme dan positivisme -- yang menganilis fakta manurut hukum kausalitas -- hanya digunakan pada analisis deskriptif. Pemaknaan yang bercorak religius dilakukan sebelum analisis deskriptif dan pada penarikan konklusi. Jadi, nilai-nilai Islam diterapkan pada kedua metode tersebut di atas pada sebelum dan sesudah deskripsi. Sebelum analisis deskriptif pertama kali diberikan uraian menyangkut weltanschauung Islami, yakni tauhid sebagai pandangan dunia Islam. Dan, setelah analisis deskriptif diberi pemaknaan-pemaknaan yang bermuatan nilai-nilai Islam.Menjadikan tauhid sebagai orientasi keilmuan juga digunakan Hassan Hanafi (dari Mesir)12 dan Murtadha Mutahhari (dari Iran). Menurut Mutahhari, tauhid harus dijadikan landasan pijak, orientasi dan tujuan keilmuan.
b. Paradigma Fenomenologis
Kalau dalam faradigma rasionalistik dan positivistik, analisis deskriptif tidak diberikan pemaknaan nilai, maka dalam fenomenologi pemaknaan dapat diberikan pada setiap analisis yang dilakukan. Nilai-nilai (dalam hal ini nilai-nilai Islami) dapat dieksplikasikan dalam analsis ilmiah yang dilakukan. Denga demikian produk ilmiah menjadi tidak netral tetapi sudah memihak pada nilai-nilai yang dianut oleh ilmuan yang bersangkutan. Dalam epistomologi fenomenologi trasendental, subyek (manusia) “mencair” dengan obyek (realitas) yang diamati, sehingga ada intervensi subyek ke dalam obyek. Ini memberi peluang bagi nilai-nilai yang dianut oleh subyek berpengaruh ke dalam obyek yang diteliti. Hal tersebut dicapai melalui kesadaran trasendental berperan memaknai dunia yang diamati. Wild menjelaskan bahwa : “Hanya kesadaran trasendentallah yang dapat menangkap makna dunia kehidupan”. Pandangan Husserl lebih lanjut dikemukakan oleh Natanson bahwa:
“berbicara tentang dunia sebagai sebuah struktur yang “konstitusi” berarti menunjukkan statusnya sebagai produk kesadaran intensional. Isi dunia kemudia dipahami sebagai makna-makna yang berkorelasi dengan tindakan noetik Pengaturan yang mendasari kesemuanya itu adalah struktur noetik yang murni”.
Kutipan diatas menunjukkan bahwa fenomenologi trasendental memandang dunia kehidupan (Lebenswelt) sebagai dunia makna-makna.Tindakan noetik adalah tindakan subyek yang “mencair” dengan obyek, sehingga pandangan dunia subyek akan berpengaruh terhadap obyek.
Bagi kaum fenomenolog, bagaimanapun orang ingin netral dalam produk ilmiahnya, tetapi perlu diketahui bahwa dalam kegiatan ilmiah orang mempunyai kepentingan, mengejar yang obyektif bebas nilai itu menurut metodologi ilmiah fenomenologi adalah ilusi. Suatu penyelidikan ilmiah, bagaimanapun terkait dengan nilai, karena pengenalan seseorang selalu bersifat “persfektif”, bagaimanapun dan dari manapun ia mengenal apa yang ia kenal. Dalam kaitan ini, Ismail Faruqi juga menjelaskan:
Ilmuwan sosial memperlakukan fakta dengan membiarkan fakta itu berbicara sendiri, tetapi klaim ini sia-sia. Tidak mungkin lahir persepsi tentang fakta yang teoritis tanpa pemahaman corak dan hubungan aksiologis (pertimbangan nilai) pada fakta itu.
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam proses analisis ilmiah deskriftif. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diorientasikan pada weltanschauuung (pandangan hidup), mendudukkan weltanschauuung pada strata tertinggi, yakni fakta, pengamatan dan pemaknaan semuanya diwarnai oleh weltanschauuung Islami.
c. Paradigma Konsultatif
Paradigma ini digunakan dalam penalaran induktif. Metode induktif berangkat dari kenyataan-kenyataan empirik. Tetapi temuan ilmiah berdasarkan fakta empirik itu tidak berperan untuk menghakimi al-Qur’an dan Sunnah. Dalam penalaran induktif, ayat-ayat Al-Qur’an berperan mempertajam konseptualisasi, memperdalam pemaknaan dan memperkokoh proposisi yang disajikan. Disini ayat Al-Qur’an berperan untuk tempat mengkonsultasikan temuan-temuan empirik yang diperoleh. Peranan Al-Qur’an sebagai tempat berkonsultasi, berarti tetap menempatkan Al-Qur’an pada starta yang tertinggi.
Masalah yang timbul dalam paradigma ini adalah bagaimana bila konklusi dari temuan ilmiah empirik tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah ?
Meskipun dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan fakta ilmiah, tetapi tetap saja ilmu pengetahuan adalah produk manusia yang bisa keliru. Untuk mengatasi masalah ini ditempuh beberapa alternatif.
1. Melakukan recek atas fakta empirik untuk rekonstruksi fakta
2. Melakukan reinterprestasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sepanjang tidak bertentangan dengan ruh Al-Qur’an.
3. Melakukan falsifikasi atas temuan ilmiah.
Pertanyaan yang timbul adalah, apakah cara ketiga (3) di atas masih disebut ilmiah ? Seorang muslim mempunyai sikap bahwa keimanan kepada al-Qur’an sebagai kebijakan tertinggi dari Allah, sedangkan manusia adalah makhluk yang lemah belum mampu menangkap makna yang ada dalam pada ayat al-Qur’an itu. Karena itu, falsifikasi atas temuan ilmiah harus dilakukan bila bertentangan dengan prinsip ilmiah, karena dalam ilmu pengetahuan ada yang disebut valid by authority ( sah karena otoritas). Bila yang menemukan suatu teori adalah pakar (yang memiliki otoritas) dibidang itu, maka kita sering menerima begitu saja teorinya itu tanpa kritik.
Dengan keimanan kepada Allah, Pakar segala Pakar, maka kita menerima begitu saja Sabda Pakar segala Pakar itu dan memfalsifikasikan pendapat yang bertentangan dengannya.
a. Paradigma rasionalistik dan positivistik
Agak aneh bahwa produk ilmu (khususnya ilmu sosial) keislaman dapat menggunakan metode rasionalistik dan positivistik. Terapan kedua aliran filsafat metodologi tersebut ( terutama aliran positivisme) tentu bukan pada sisi ontologiknya tetapi pada sisi epistemologik yang diintegrasikan dengan weltanschauung Islami. Bila diterapkan pada studi keislaman, rasionalisme dan positivisme -- yang menganilis fakta manurut hukum kausalitas -- hanya digunakan pada analisis deskriptif. Pemaknaan yang bercorak religius dilakukan sebelum analisis deskriptif dan pada penarikan konklusi. Jadi, nilai-nilai Islam diterapkan pada kedua metode tersebut di atas pada sebelum dan sesudah deskripsi. Sebelum analisis deskriptif pertama kali diberikan uraian menyangkut weltanschauung Islami, yakni tauhid sebagai pandangan dunia Islam. Dan, setelah analisis deskriptif diberi pemaknaan-pemaknaan yang bermuatan nilai-nilai Islam.Menjadikan tauhid sebagai orientasi keilmuan juga digunakan Hassan Hanafi (dari Mesir)12 dan Murtadha Mutahhari (dari Iran). Menurut Mutahhari, tauhid harus dijadikan landasan pijak, orientasi dan tujuan keilmuan.
b. Paradigma Fenomenologis
Kalau dalam faradigma rasionalistik dan positivistik, analisis deskriptif tidak diberikan pemaknaan nilai, maka dalam fenomenologi pemaknaan dapat diberikan pada setiap analisis yang dilakukan. Nilai-nilai (dalam hal ini nilai-nilai Islami) dapat dieksplikasikan dalam analsis ilmiah yang dilakukan. Denga demikian produk ilmiah menjadi tidak netral tetapi sudah memihak pada nilai-nilai yang dianut oleh ilmuan yang bersangkutan. Dalam epistomologi fenomenologi trasendental, subyek (manusia) “mencair” dengan obyek (realitas) yang diamati, sehingga ada intervensi subyek ke dalam obyek. Ini memberi peluang bagi nilai-nilai yang dianut oleh subyek berpengaruh ke dalam obyek yang diteliti. Hal tersebut dicapai melalui kesadaran trasendental berperan memaknai dunia yang diamati. Wild menjelaskan bahwa : “Hanya kesadaran trasendentallah yang dapat menangkap makna dunia kehidupan”. Pandangan Husserl lebih lanjut dikemukakan oleh Natanson bahwa:
“berbicara tentang dunia sebagai sebuah struktur yang “konstitusi” berarti menunjukkan statusnya sebagai produk kesadaran intensional. Isi dunia kemudia dipahami sebagai makna-makna yang berkorelasi dengan tindakan noetik Pengaturan yang mendasari kesemuanya itu adalah struktur noetik yang murni”.
Kutipan diatas menunjukkan bahwa fenomenologi trasendental memandang dunia kehidupan (Lebenswelt) sebagai dunia makna-makna.Tindakan noetik adalah tindakan subyek yang “mencair” dengan obyek, sehingga pandangan dunia subyek akan berpengaruh terhadap obyek.
Bagi kaum fenomenolog, bagaimanapun orang ingin netral dalam produk ilmiahnya, tetapi perlu diketahui bahwa dalam kegiatan ilmiah orang mempunyai kepentingan, mengejar yang obyektif bebas nilai itu menurut metodologi ilmiah fenomenologi adalah ilusi. Suatu penyelidikan ilmiah, bagaimanapun terkait dengan nilai, karena pengenalan seseorang selalu bersifat “persfektif”, bagaimanapun dan dari manapun ia mengenal apa yang ia kenal. Dalam kaitan ini, Ismail Faruqi juga menjelaskan:
Ilmuwan sosial memperlakukan fakta dengan membiarkan fakta itu berbicara sendiri, tetapi klaim ini sia-sia. Tidak mungkin lahir persepsi tentang fakta yang teoritis tanpa pemahaman corak dan hubungan aksiologis (pertimbangan nilai) pada fakta itu.
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam proses analisis ilmiah deskriftif. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diorientasikan pada weltanschauuung (pandangan hidup), mendudukkan weltanschauuung pada strata tertinggi, yakni fakta, pengamatan dan pemaknaan semuanya diwarnai oleh weltanschauuung Islami.
c. Paradigma Konsultatif
Paradigma ini digunakan dalam penalaran induktif. Metode induktif berangkat dari kenyataan-kenyataan empirik. Tetapi temuan ilmiah berdasarkan fakta empirik itu tidak berperan untuk menghakimi al-Qur’an dan Sunnah. Dalam penalaran induktif, ayat-ayat Al-Qur’an berperan mempertajam konseptualisasi, memperdalam pemaknaan dan memperkokoh proposisi yang disajikan. Disini ayat Al-Qur’an berperan untuk tempat mengkonsultasikan temuan-temuan empirik yang diperoleh. Peranan Al-Qur’an sebagai tempat berkonsultasi, berarti tetap menempatkan Al-Qur’an pada starta yang tertinggi.
Masalah yang timbul dalam paradigma ini adalah bagaimana bila konklusi dari temuan ilmiah empirik tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah ?
Meskipun dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan fakta ilmiah, tetapi tetap saja ilmu pengetahuan adalah produk manusia yang bisa keliru. Untuk mengatasi masalah ini ditempuh beberapa alternatif.
1. Melakukan recek atas fakta empirik untuk rekonstruksi fakta
2. Melakukan reinterprestasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sepanjang tidak bertentangan dengan ruh Al-Qur’an.
3. Melakukan falsifikasi atas temuan ilmiah.
Pertanyaan yang timbul adalah, apakah cara ketiga (3) di atas masih disebut ilmiah ? Seorang muslim mempunyai sikap bahwa keimanan kepada al-Qur’an sebagai kebijakan tertinggi dari Allah, sedangkan manusia adalah makhluk yang lemah belum mampu menangkap makna yang ada dalam pada ayat al-Qur’an itu. Karena itu, falsifikasi atas temuan ilmiah harus dilakukan bila bertentangan dengan prinsip ilmiah, karena dalam ilmu pengetahuan ada yang disebut valid by authority ( sah karena otoritas). Bila yang menemukan suatu teori adalah pakar (yang memiliki otoritas) dibidang itu, maka kita sering menerima begitu saja teorinya itu tanpa kritik.
Dengan keimanan kepada Allah, Pakar segala Pakar, maka kita menerima begitu saja Sabda Pakar segala Pakar itu dan memfalsifikasikan pendapat yang bertentangan dengannya.