Masalah yang muncul kini adalah apakah Islamisasi Ilmu pengetahuan itu mungkin dilakukan dengan tetap tegak di atas prinsip-prinsip ilmiah.
Berikut ini dikemukakan beberapa proporsi tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola sesuai dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia.”Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena disekitarnya. Sebagai produk pikiran maka corak ilmu yang dihasikan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar disekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
4. Dalam pandangan Islam, realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni : Empiris sensual, empiris rasional, empiris etik dan empiris transenden.
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan digagaskan oleh sejumlah cendekiawan muslim misalnya: Ismail al-Faruqi, Naquib Alatas dan sebagainya. Lahirnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini didasarkan pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan produk modern dewasa ini tidak berhasil mengantar manusia pada cita ilmu itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena ilmu dilepaskan dari akar “Ilahy” dan dikosongkan dari pertimbangan nilai.
Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang dalam realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu ada ciptaan Tuhan. Pandangan akan adanya hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler, tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut adalah ciptaan Allah. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tetapi mempunyai “maksud” dan “tujuan”. Maksud dan tujuan itu sesuai dengan maksud dan tujuan itu sesuai dengan maksud dan tujuan Tuhan menciptakannya. Dalam pandangan filasafat Perennialisme maksud alam semesta secara trasendenal berada dalam “idea” Ilahy, secara immanen maksud itu juga diendapkan Tuhan di alam semesta. Dalam al-Quran surah Ali Imran 191 dijelaskan :
Artinya: Ya Tuhan Kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan sia-sia.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dialam ini tidak ada sesuatu yang diciptakan Allah dengan batil, melainkan mengandung yang al-haq (kebenaran). Dalam al-haq itu mengandung hikmah-hikmah, yang bila diketahui (melalui penyelidikan ilmiah) akan memberikan manfaat bagi kemajuan manusia.
Dalam ayat lain (surah al-Anbiya’ 16), dijelaskan :
Artinya : Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan main-main
Dengan demikian, alam semesta ini mempunyai tujuan yang luhur.Keluhuran alam ini akan lebih nyata dirasakan manusia bila dikelola manusia yang luhur. Karena itu, Allah pun menyatakan bahwa bumi ini hanya diwariskan kepada hambaNya yang shaleh, sebagaimana daam surah al-Anbiya’ 105:
Artinya : Sesungguhnya bumi ini hanyalah diwariskan kepada hambaKu yang shaleh
Bila orang yang anarki yang mengelola alam ini akan menyelewengkan maksud alam yang sesungguhnya, sehingga alam akan kembali merusak manusia. Keluruhan “maksud” alam dimanifestasikan dalam tabiatnya yang selalu bertasbih kepada Allah (Q.S. al-Hasyr 24):
Artinya : Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan dibumi dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa alam semesta membawa misi yang suci dalam keberadaannya. Dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa langit dan bumi ini pernah ditawarkan oleh Allah amanah untuk diemban, tetapi ditolak (Q.S. al-Azab 72). Paling tidak dari sini dapat dipahami bahwa alam semesta ini bukanlah benda mati secara mutlak, karena ia dapat memberikan reaksi atas perlakuan terhadapnya. Dengan demikian, dalam Pandangan Islam, alam ini tidak netral melainkan secara hakiki membawa maksud dan missi yang mulia. Bila manusia memanfaatkan secara semena-mena, alam ini akan memberikan rekasi yang bisa mencelakakan manusia. Agar alam memberikan kemanfaatan kepada manusia, maka “maksud” Tuhan dan tujuan manusia yang luhur diintegrasikan.
Manusia sebagai khalifah Allah, dalam pandangan Islam tidak identik dengan manusia dalam konsep humanisme Barat yang menempatkan manusia sebagai tuan di atas segalanya dan dapat berbuat menurut kehendaknya sendiri. Sebagai khalifah Allah dalam pandangan Islam, kehendak manusia diselaraskan denga kehendak Allah, baik kehendak Allah yang berwujud qualiyah (dalam kitab suci/al-Qur’an) maupun kehendak Allah yang terwujud di alam semesta, kauniyah (berupa hukum alam/Sunnatullah). Islam menempatkan manusia sebagai makhluk tertinggi, tetapi harus pula mengakui ada yang lebih tinggi dari manusia, dan ada kehendak/kekuasaan yang tertinggi dari kehendak dan kekuasaan manusia, yaitu kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Menyelaraskan kehendak manusia dengan kehendak Allah (sebagaimana yang telah termanifestasi dalam KalamNya dan di dalam Sunnatullah) merupakan sikap seorang mukmin, sehingga seorang mukmin tidak akan menghendaki sesuatu kecuali yang sejalan dengan kehendak Allah itu. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah (surah al-Insan 30) :
Artinya : Dan mereka (orang mukmin tidak menghendaki sesuatu kecuali apa yang dikehendaki Allah.
Ayat tersebut kami tidak ditempatkan dalam konsep “Jabar” sebagaimana yang diyakini oleh kaum Jabariyah, bahwa kehendak manusia didominasi oleh kehendak Allah sehingga manusia tidak lagi berdaya apa-apa. Ayat tersebut kami tempatkan sebagai sikap pilihan hidup orang mukmin yang memilih suatu komitmen untuk berkehendak sesuai dengan kehendal Allah, karena ayat tersebut tidak berbicara untuk semua manusia, melainkan berbicara tentang sikap seorang mukmin.
Berikut ini dikemukakan beberapa proporsi tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola sesuai dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia.”Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena disekitarnya. Sebagai produk pikiran maka corak ilmu yang dihasikan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar disekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
4. Dalam pandangan Islam, realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni : Empiris sensual, empiris rasional, empiris etik dan empiris transenden.
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan digagaskan oleh sejumlah cendekiawan muslim misalnya: Ismail al-Faruqi, Naquib Alatas dan sebagainya. Lahirnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini didasarkan pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan produk modern dewasa ini tidak berhasil mengantar manusia pada cita ilmu itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena ilmu dilepaskan dari akar “Ilahy” dan dikosongkan dari pertimbangan nilai.
Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang dalam realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu ada ciptaan Tuhan. Pandangan akan adanya hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler, tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut adalah ciptaan Allah. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tetapi mempunyai “maksud” dan “tujuan”. Maksud dan tujuan itu sesuai dengan maksud dan tujuan itu sesuai dengan maksud dan tujuan Tuhan menciptakannya. Dalam pandangan filasafat Perennialisme maksud alam semesta secara trasendenal berada dalam “idea” Ilahy, secara immanen maksud itu juga diendapkan Tuhan di alam semesta. Dalam al-Quran surah Ali Imran 191 dijelaskan :
Artinya: Ya Tuhan Kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan sia-sia.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dialam ini tidak ada sesuatu yang diciptakan Allah dengan batil, melainkan mengandung yang al-haq (kebenaran). Dalam al-haq itu mengandung hikmah-hikmah, yang bila diketahui (melalui penyelidikan ilmiah) akan memberikan manfaat bagi kemajuan manusia.
Dalam ayat lain (surah al-Anbiya’ 16), dijelaskan :
Artinya : Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan main-main
Dengan demikian, alam semesta ini mempunyai tujuan yang luhur.Keluhuran alam ini akan lebih nyata dirasakan manusia bila dikelola manusia yang luhur. Karena itu, Allah pun menyatakan bahwa bumi ini hanya diwariskan kepada hambaNya yang shaleh, sebagaimana daam surah al-Anbiya’ 105:
Artinya : Sesungguhnya bumi ini hanyalah diwariskan kepada hambaKu yang shaleh
Bila orang yang anarki yang mengelola alam ini akan menyelewengkan maksud alam yang sesungguhnya, sehingga alam akan kembali merusak manusia. Keluruhan “maksud” alam dimanifestasikan dalam tabiatnya yang selalu bertasbih kepada Allah (Q.S. al-Hasyr 24):
Artinya : Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan dibumi dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa alam semesta membawa misi yang suci dalam keberadaannya. Dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa langit dan bumi ini pernah ditawarkan oleh Allah amanah untuk diemban, tetapi ditolak (Q.S. al-Azab 72). Paling tidak dari sini dapat dipahami bahwa alam semesta ini bukanlah benda mati secara mutlak, karena ia dapat memberikan reaksi atas perlakuan terhadapnya. Dengan demikian, dalam Pandangan Islam, alam ini tidak netral melainkan secara hakiki membawa maksud dan missi yang mulia. Bila manusia memanfaatkan secara semena-mena, alam ini akan memberikan rekasi yang bisa mencelakakan manusia. Agar alam memberikan kemanfaatan kepada manusia, maka “maksud” Tuhan dan tujuan manusia yang luhur diintegrasikan.
Manusia sebagai khalifah Allah, dalam pandangan Islam tidak identik dengan manusia dalam konsep humanisme Barat yang menempatkan manusia sebagai tuan di atas segalanya dan dapat berbuat menurut kehendaknya sendiri. Sebagai khalifah Allah dalam pandangan Islam, kehendak manusia diselaraskan denga kehendak Allah, baik kehendak Allah yang berwujud qualiyah (dalam kitab suci/al-Qur’an) maupun kehendak Allah yang terwujud di alam semesta, kauniyah (berupa hukum alam/Sunnatullah). Islam menempatkan manusia sebagai makhluk tertinggi, tetapi harus pula mengakui ada yang lebih tinggi dari manusia, dan ada kehendak/kekuasaan yang tertinggi dari kehendak dan kekuasaan manusia, yaitu kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Menyelaraskan kehendak manusia dengan kehendak Allah (sebagaimana yang telah termanifestasi dalam KalamNya dan di dalam Sunnatullah) merupakan sikap seorang mukmin, sehingga seorang mukmin tidak akan menghendaki sesuatu kecuali yang sejalan dengan kehendak Allah itu. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah (surah al-Insan 30) :
Artinya : Dan mereka (orang mukmin tidak menghendaki sesuatu kecuali apa yang dikehendaki Allah.
Ayat tersebut kami tidak ditempatkan dalam konsep “Jabar” sebagaimana yang diyakini oleh kaum Jabariyah, bahwa kehendak manusia didominasi oleh kehendak Allah sehingga manusia tidak lagi berdaya apa-apa. Ayat tersebut kami tempatkan sebagai sikap pilihan hidup orang mukmin yang memilih suatu komitmen untuk berkehendak sesuai dengan kehendal Allah, karena ayat tersebut tidak berbicara untuk semua manusia, melainkan berbicara tentang sikap seorang mukmin.