Buku-buku Sayyid Quthub dan Syekh Sa'id Hawwa mencoba memandang persoalan hubungan sosial muslim-nonmuslim dari perspektif dan logika yang berbeda dengan dua penulis yang telah dibahas sebelumnya. Sayyid Quthub merumuskan pandangan berdasarkan komentarnya terhadap ayat berikut.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keaduan tunduk." (at-Taubah: 29)
Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas sebagai berikut. "Sesungguhnya ayat ini dan berikutnya merupakan bentuk umum, baik redaksi maupun arti yang dikehendaki. Maksudnya untuk seluruh Ahli Kitab di semenanjung Arab dan wilayah lain di dunia. Hal tersebut merupakan hukum-hukum final, meliputi pertimbangan-pertimbangan esensial mengenai kaidah-kaidah yang melandasi hubungan-hubungan sebelumnya antara masyarakat Islam dan Ahli Kitab, khususnya orang-orang Kristen ... Pertimbangan yang amat jelas mengenai hukum-hukum baru ini adalah perintah untuk memerangi Ahli Kitab yang menyeleweng dari agama Allah sampai mereka mengeluarkan pajak kepala (jizyah) dengan tunduk dan patuh É Perjanjian dan seluruh hubungan dengan mereka tidak dapat dilaksanakan kecuali didasarkan pada prinsip ini. Dinyatakan bahwa ahlu dzimmah memiliki hak-hak dalam masa perjanjian serta dilaksanakannya perdamaian antara mereka dengan orang-orang Islam. Bila mereka hendak memeluk Islam secara teologis, maka peluklah. Dengan demikian mereka termasuk kelompok kaum muslimin."
Sayyid Quthub menambahkan, "Mereka tidak benci untuk memeluk Islam secara teologis sebab prinsip Islam dengan tegas menyatakan "tidak ada paksaan dalam beragama." Akan tetapi, mereka tidak meninggalkan agamanya kecuali jika mereka mengeluarkan pajak kepala dan tegak di antara mereka agama masyarakat muslim yang menjanjikan prinsip ini."1
Mengomentari ayat tentang pengangkatan pemimpin ("Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali..."), Sayyid Quthub tidak menyetujui tesis yang menyatakan bahwa yang dilarang diangkat sebagai pemimpin adalah orang nonmuslim yang sewenang-wenang terhadap Islam dan golongan yang memerangi Islam saja. Ia mengajukan tesisnya bahwa yang dilarang diangkat sebagai pemimpin oleh kaum muslimin adalah seluruh pemeluk Yahudi dan Nasrani di mana saja dan kapan saja. "Di belahan bumi mana pun sampai Hari Kiamat kelak," tegas pemikir-ideolog ini.
Ia menggarisbawahi, "Sesungguhnya Al-Qur'an mendidik individu muslim agar mereka murni memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta akidah dan kelompok Islam. Selain itu, Kitab Suci terakhir dan paripurna ini juga mengharuskan pemisahan diri secara total dari barisan yang tidak sejalan dengan prinsip ini, serta seluruh barisan yang tidak menegakkan panji-panji Allah, tidak mengikuti kepemimpinan Rasulullah saw., dan tidak bergabung dalam kelompok yang mewakili hizbullah (tentara Allah).2
Ia menegaskan bahwa loyalitas yang dilarang adalah saling menolong dan memadu janji setia dengan Yahudi dan Nasrani. "Mereka berkedok sebagai orang-orang Islam dalam perkaranya, lalu mereka beranggapan bahwa sikap seperti itu diperbolehkan bagi mereka berdasarkan apa yang terjadi dari kompleksitas penanganan hal-hal yang baik bagi umum," papar Sayyid Quthub.
Ia berkomentar, "Orang Islam dituntut bertoleransi terhadap Ahlu Kitab, tetapi dilarang memberikan loyalitas kepada mereka dalam konotasi saling menolong dan memadu janji setia bersama mereka ... Tidak layak bagi seorang muslim untuk mengganjal muslim lain yang berupaya memisahkan hubungan secara total dengan semua orang yang memilih jalan selain Islam."
Sayyid Quthub mengingatkan untuk tidak mencampuradukkan antara seruan Islam agar pemeluknya bersikap toleran dalam bermuamalah dengan Ahli Kitab serta bersikap baik kepada mereka dalam masyarakat Islam yang hidup damai bersama ahlu dzimmah, dengan loyalitas yang tidak boleh dilakukan seorang muslim kecuali kepada Allah, Rasul, dan kelompok Islam.
Ia tidak memberikan batasan mengenai bagaimana gambaran masyarakat Islam yang bertoleransi dan memberikan hak-hak tertentu kepada Ahli Kitab, tetapi di sisi lain memisahkan diri dari mereka. Bila dilihat dari pengertian yang dimaksud oleh ungkapan-ungkapannya, hampir tidak ada ruang bagi kerja sama dan saling memahami antara kaum muslimin dan Ahli Kitab, baik yang tunduk ataupun yang oposan, meskipun mereka tetap konsisten membayar pajak kepala. Berdasarkan pernyataan Sayyid Quthub, pembaca dapat melihat betapa berbedanya pemikiran tokoh ini dengan Hasan al-Banna dan kontinuitas pemikirannya yang dielaborasi oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dan Syekh Yusuf Qardhawi.
Persoalannya adalah jika pembicaraan tentang persamaan hak, kerja sama, atau bahkan kecintaan orang Islam terhadap nonmuslim tidak mengacu pada pemikiran Sayyid Quthub, maka pelaksanaan hubungan sosial muslim-nonmuslim akan dibayangi keragu-raguan besar. Ini karena tidak ada tempat bagi hubungan positif apapun antara muslim dan nonmuslim dalam konsep "pemisahan total"-nya Sayyid Quthub.
Kesimpulan penulis tampaknya dikuatkan oleh pernyataan Sayyid Quthub sendiri. "Bentuk pemisahan ini pada dasarnya tidaklah final, tidak pula benar-benar kaku antara kaum muslimin di Madinah dan sebagian Ahli Kitab... Pada waktu itu masih terdapat hubungan loyalitas dan janji setia, hubungan ekonomi, kerja sama, hubungan tetangga, dan persahabatan... Akan tetapi, hubungan tersebut akhirnya membuka peluang bagi Yahudi untuk memainkan strategi liciknya terhadap Islam dan pemeluknya... Maka turunlah ayat untuk meneguhkan kesadaran di kalangan kaum muslimin dalam masalah ini guna mewujudkan pendekatan baru Al-Qur'an tentang realitas kehidupan dan menumbuhkan dalam hati umat Islam kemauan untuk berpisah secara total dengan kaum yang tidak berafiliasi dengan kelompok Islam (hlm. 910).
Setelah menguraikan pandangan Sayyid Quthub, marilah kita simak pemikiran Syekh Sa'id Hawwa tentang pandangan Islam mengenai kaum nonmuslim. Ia menggagas pemikiran tersebut dalam bukunya, al-Madkhal ila Da'watil-Ikhwan il-Muslimun, sebagai berikut. "Perbincangan para fuqaha mengenai keberadaan nonmuslim berbelit-belit antara yang terlalu mempersulit dan terlampau mempermudah. Di satu sisi, mereka melarang Ahlu dzimmah bekerja dalam tugas-tugas kenegaraan, namun di sisi lain sebagian fuqaha membolehkan Ahlu dzimmah berpartisipasi hingga level kementerian. Secara prinsipil, kita memposisikan diri untuk bekerja sama dengan nonmuslim sejalan dengan pernyataan minimal para fuqaha. Berdasarkan pandangan itu, kita mengajak nonmuslim di berbagai belahan bumi untuk mengadakan transaksi kerja, dan mereka harus mengakui bahwa penguasaan berada pada Islam dan kaum muslimin. Mereka mempunyai hak dalam kementerian negara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan jumlah mereka. Mereka berhak mendirikan sekolah-sekolah khusus dan diperbolehkan memasuki sekolah-sekolah umum. Mereka mempunyai hak dalam peradilan dan boleh menggunakan jasa peradilan sesuai hukum yang diyakini. Hak-hak tanggungan sosial mereka dilindungi dan kegiatan keagamaannya dijaga."
Syekh Sa'id Hawwa menambahkan, "Mengenai pajak kepala, mereka berhak memilih antara membayarnya dan dengan itu terbebas dari tugas pengabdian secara paksa atau terlibat dalam tugas tersebut." Ia juga mengatakan, "Ungkapan yang digunakan selama berabad-abad terhadap Ahlu Dzimmah adalah bagi mereka kebaikan yang ada pada kita dan bagi mereka pula keburukan yang menimpa kita bila mereka tetap konsisten bersama kita. Hal itulah yang meneguhkan hubungan kita dengan seluruh warga negara nonmuslim di atas bumi Islam."
"Sesungguhnya umat Islam tidak akan meninggalkan agamanya. Sejarah dan realitas menyaksikan bahwa pada gilirannya nonmuslim diberi hak memilih, yaitu meninggalkan negara Islam atau mengadakan transaksi bersama kaum muslimin di atas asas keadilan. Jika mereka menghendaki pilihan yang ketiga, yakni agar kaum muslimin meninggalkan agamanya, maka hal ini tertolak," tegas Syekh Sa'id Hawwa.
Ulama ini pun menyatakan, "Semua orang hendaklah mengetahui bahwa Islam harus menegakkan hukum. Karenanya, hendaklah mereka bergegas dari sekarang untuk meneliti redaksi transaksi dengan kaum muslimin. Semua pihak mempunyai peluang untuk mengajukan keinginannya sebelum datang waktu ketika transaksi harus dibuat oleh satu pihak. Yang jelas, kebijakan ini tidak dimaksudkan kecuali demi kebaikan bersama" (hlm. 282-283).
Pada bagian lain, Syekh Sa'id Hawwa mencantumkan apa yang dinamakan Daftar Latihan Moral bagi anggota al-Ikhwan al-Muslimun. Dalam daftar tersebut dirumuskan beberapa prinsip yang salah satunya adalah merendahkan diri (tawadhu') terhadap sesama mukmin dan merasa bangga di hadapan orang-orang kafir. Ia menjelaskan bagaimana merealisasikan rasa bangga tersebut, yakni dengan cara memupuk sikap lebih unggul melalui upaya-upaya pendekatan terhadap mereka atau berinteraksi dengan mereka dalam kemaslahatan, serta memiliki strategi yang matang (hlm. 346).
Tidak dibutuhkan usaha keras untuk membuktikan bahwa pendapat Syekh Sa'id Hawwa berangkat dari ketidaksenangannya terhadap nonmuslim. Ia menerima mereka dengan sinis, bekerja sama dengan mereka di atas prinsip arogansi, dan memandang dengan kaca mata yang menang di atas yang kalah. Berdasarkan analisis ini, terlihat adanya dua perspektif tentang persamaan hak warga negara.
Catatan Kaki
1 Fiidzilaalil-Qur'an, jilid 3, hlm. 1620
2 Ibid., jilid 2, hlm 907
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keaduan tunduk." (at-Taubah: 29)
Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas sebagai berikut. "Sesungguhnya ayat ini dan berikutnya merupakan bentuk umum, baik redaksi maupun arti yang dikehendaki. Maksudnya untuk seluruh Ahli Kitab di semenanjung Arab dan wilayah lain di dunia. Hal tersebut merupakan hukum-hukum final, meliputi pertimbangan-pertimbangan esensial mengenai kaidah-kaidah yang melandasi hubungan-hubungan sebelumnya antara masyarakat Islam dan Ahli Kitab, khususnya orang-orang Kristen ... Pertimbangan yang amat jelas mengenai hukum-hukum baru ini adalah perintah untuk memerangi Ahli Kitab yang menyeleweng dari agama Allah sampai mereka mengeluarkan pajak kepala (jizyah) dengan tunduk dan patuh É Perjanjian dan seluruh hubungan dengan mereka tidak dapat dilaksanakan kecuali didasarkan pada prinsip ini. Dinyatakan bahwa ahlu dzimmah memiliki hak-hak dalam masa perjanjian serta dilaksanakannya perdamaian antara mereka dengan orang-orang Islam. Bila mereka hendak memeluk Islam secara teologis, maka peluklah. Dengan demikian mereka termasuk kelompok kaum muslimin."
Sayyid Quthub menambahkan, "Mereka tidak benci untuk memeluk Islam secara teologis sebab prinsip Islam dengan tegas menyatakan "tidak ada paksaan dalam beragama." Akan tetapi, mereka tidak meninggalkan agamanya kecuali jika mereka mengeluarkan pajak kepala dan tegak di antara mereka agama masyarakat muslim yang menjanjikan prinsip ini."1
Mengomentari ayat tentang pengangkatan pemimpin ("Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali..."), Sayyid Quthub tidak menyetujui tesis yang menyatakan bahwa yang dilarang diangkat sebagai pemimpin adalah orang nonmuslim yang sewenang-wenang terhadap Islam dan golongan yang memerangi Islam saja. Ia mengajukan tesisnya bahwa yang dilarang diangkat sebagai pemimpin oleh kaum muslimin adalah seluruh pemeluk Yahudi dan Nasrani di mana saja dan kapan saja. "Di belahan bumi mana pun sampai Hari Kiamat kelak," tegas pemikir-ideolog ini.
Ia menggarisbawahi, "Sesungguhnya Al-Qur'an mendidik individu muslim agar mereka murni memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta akidah dan kelompok Islam. Selain itu, Kitab Suci terakhir dan paripurna ini juga mengharuskan pemisahan diri secara total dari barisan yang tidak sejalan dengan prinsip ini, serta seluruh barisan yang tidak menegakkan panji-panji Allah, tidak mengikuti kepemimpinan Rasulullah saw., dan tidak bergabung dalam kelompok yang mewakili hizbullah (tentara Allah).2
Ia menegaskan bahwa loyalitas yang dilarang adalah saling menolong dan memadu janji setia dengan Yahudi dan Nasrani. "Mereka berkedok sebagai orang-orang Islam dalam perkaranya, lalu mereka beranggapan bahwa sikap seperti itu diperbolehkan bagi mereka berdasarkan apa yang terjadi dari kompleksitas penanganan hal-hal yang baik bagi umum," papar Sayyid Quthub.
Ia berkomentar, "Orang Islam dituntut bertoleransi terhadap Ahlu Kitab, tetapi dilarang memberikan loyalitas kepada mereka dalam konotasi saling menolong dan memadu janji setia bersama mereka ... Tidak layak bagi seorang muslim untuk mengganjal muslim lain yang berupaya memisahkan hubungan secara total dengan semua orang yang memilih jalan selain Islam."
Sayyid Quthub mengingatkan untuk tidak mencampuradukkan antara seruan Islam agar pemeluknya bersikap toleran dalam bermuamalah dengan Ahli Kitab serta bersikap baik kepada mereka dalam masyarakat Islam yang hidup damai bersama ahlu dzimmah, dengan loyalitas yang tidak boleh dilakukan seorang muslim kecuali kepada Allah, Rasul, dan kelompok Islam.
Ia tidak memberikan batasan mengenai bagaimana gambaran masyarakat Islam yang bertoleransi dan memberikan hak-hak tertentu kepada Ahli Kitab, tetapi di sisi lain memisahkan diri dari mereka. Bila dilihat dari pengertian yang dimaksud oleh ungkapan-ungkapannya, hampir tidak ada ruang bagi kerja sama dan saling memahami antara kaum muslimin dan Ahli Kitab, baik yang tunduk ataupun yang oposan, meskipun mereka tetap konsisten membayar pajak kepala. Berdasarkan pernyataan Sayyid Quthub, pembaca dapat melihat betapa berbedanya pemikiran tokoh ini dengan Hasan al-Banna dan kontinuitas pemikirannya yang dielaborasi oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dan Syekh Yusuf Qardhawi.
Persoalannya adalah jika pembicaraan tentang persamaan hak, kerja sama, atau bahkan kecintaan orang Islam terhadap nonmuslim tidak mengacu pada pemikiran Sayyid Quthub, maka pelaksanaan hubungan sosial muslim-nonmuslim akan dibayangi keragu-raguan besar. Ini karena tidak ada tempat bagi hubungan positif apapun antara muslim dan nonmuslim dalam konsep "pemisahan total"-nya Sayyid Quthub.
Kesimpulan penulis tampaknya dikuatkan oleh pernyataan Sayyid Quthub sendiri. "Bentuk pemisahan ini pada dasarnya tidaklah final, tidak pula benar-benar kaku antara kaum muslimin di Madinah dan sebagian Ahli Kitab... Pada waktu itu masih terdapat hubungan loyalitas dan janji setia, hubungan ekonomi, kerja sama, hubungan tetangga, dan persahabatan... Akan tetapi, hubungan tersebut akhirnya membuka peluang bagi Yahudi untuk memainkan strategi liciknya terhadap Islam dan pemeluknya... Maka turunlah ayat untuk meneguhkan kesadaran di kalangan kaum muslimin dalam masalah ini guna mewujudkan pendekatan baru Al-Qur'an tentang realitas kehidupan dan menumbuhkan dalam hati umat Islam kemauan untuk berpisah secara total dengan kaum yang tidak berafiliasi dengan kelompok Islam (hlm. 910).
Setelah menguraikan pandangan Sayyid Quthub, marilah kita simak pemikiran Syekh Sa'id Hawwa tentang pandangan Islam mengenai kaum nonmuslim. Ia menggagas pemikiran tersebut dalam bukunya, al-Madkhal ila Da'watil-Ikhwan il-Muslimun, sebagai berikut. "Perbincangan para fuqaha mengenai keberadaan nonmuslim berbelit-belit antara yang terlalu mempersulit dan terlampau mempermudah. Di satu sisi, mereka melarang Ahlu dzimmah bekerja dalam tugas-tugas kenegaraan, namun di sisi lain sebagian fuqaha membolehkan Ahlu dzimmah berpartisipasi hingga level kementerian. Secara prinsipil, kita memposisikan diri untuk bekerja sama dengan nonmuslim sejalan dengan pernyataan minimal para fuqaha. Berdasarkan pandangan itu, kita mengajak nonmuslim di berbagai belahan bumi untuk mengadakan transaksi kerja, dan mereka harus mengakui bahwa penguasaan berada pada Islam dan kaum muslimin. Mereka mempunyai hak dalam kementerian negara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan jumlah mereka. Mereka berhak mendirikan sekolah-sekolah khusus dan diperbolehkan memasuki sekolah-sekolah umum. Mereka mempunyai hak dalam peradilan dan boleh menggunakan jasa peradilan sesuai hukum yang diyakini. Hak-hak tanggungan sosial mereka dilindungi dan kegiatan keagamaannya dijaga."
Syekh Sa'id Hawwa menambahkan, "Mengenai pajak kepala, mereka berhak memilih antara membayarnya dan dengan itu terbebas dari tugas pengabdian secara paksa atau terlibat dalam tugas tersebut." Ia juga mengatakan, "Ungkapan yang digunakan selama berabad-abad terhadap Ahlu Dzimmah adalah bagi mereka kebaikan yang ada pada kita dan bagi mereka pula keburukan yang menimpa kita bila mereka tetap konsisten bersama kita. Hal itulah yang meneguhkan hubungan kita dengan seluruh warga negara nonmuslim di atas bumi Islam."
"Sesungguhnya umat Islam tidak akan meninggalkan agamanya. Sejarah dan realitas menyaksikan bahwa pada gilirannya nonmuslim diberi hak memilih, yaitu meninggalkan negara Islam atau mengadakan transaksi bersama kaum muslimin di atas asas keadilan. Jika mereka menghendaki pilihan yang ketiga, yakni agar kaum muslimin meninggalkan agamanya, maka hal ini tertolak," tegas Syekh Sa'id Hawwa.
Ulama ini pun menyatakan, "Semua orang hendaklah mengetahui bahwa Islam harus menegakkan hukum. Karenanya, hendaklah mereka bergegas dari sekarang untuk meneliti redaksi transaksi dengan kaum muslimin. Semua pihak mempunyai peluang untuk mengajukan keinginannya sebelum datang waktu ketika transaksi harus dibuat oleh satu pihak. Yang jelas, kebijakan ini tidak dimaksudkan kecuali demi kebaikan bersama" (hlm. 282-283).
Pada bagian lain, Syekh Sa'id Hawwa mencantumkan apa yang dinamakan Daftar Latihan Moral bagi anggota al-Ikhwan al-Muslimun. Dalam daftar tersebut dirumuskan beberapa prinsip yang salah satunya adalah merendahkan diri (tawadhu') terhadap sesama mukmin dan merasa bangga di hadapan orang-orang kafir. Ia menjelaskan bagaimana merealisasikan rasa bangga tersebut, yakni dengan cara memupuk sikap lebih unggul melalui upaya-upaya pendekatan terhadap mereka atau berinteraksi dengan mereka dalam kemaslahatan, serta memiliki strategi yang matang (hlm. 346).
Tidak dibutuhkan usaha keras untuk membuktikan bahwa pendapat Syekh Sa'id Hawwa berangkat dari ketidaksenangannya terhadap nonmuslim. Ia menerima mereka dengan sinis, bekerja sama dengan mereka di atas prinsip arogansi, dan memandang dengan kaca mata yang menang di atas yang kalah. Berdasarkan analisis ini, terlihat adanya dua perspektif tentang persamaan hak warga negara.
Catatan Kaki
1 Fiidzilaalil-Qur'an, jilid 3, hlm. 1620
2 Ibid., jilid 2, hlm 907