Secara sepintas, penulis ingin membahas pemikiran Sayyid Quthub mengenai pandangan Jamaah Jihad Mesir yang beranjak dari konsep "Kejahiliahan Masyarakat" (Jauhiliyyatul-Mujtama'). Konsep ini merupakan salah satu juru bicara karya-karya Sayyid Quthub sejak tahun 1950-an, khususnya tafsir Fii Dzilaalil-Qur'an dan Ma'alimun fith-Thariq (Tanda-tanda di Perjalanan).
Melalui studi yang bertajuk Muhakamah an-Nizhaam as-Siyaasi al-Mishri (Mahkamah Perundang-undangan Politik Mesir) yang dipublikasikan dalam majalah rahasia Jamaah Jihad, Kalimah al-Haq (Kalimat Kebenaran), Jamaah Jihad menegaskan bahwa hukum dan kekuasaan dalam masyarakat Islam harus di tangan kaum muslimin tanpa diikuti oleh pihak lain. Dan masyarakat hanya dapat dikategorikan atas dua golongan, yaitu Hizbullah (yang diperintahkan untuk didirikan) dan Hizb Jama'atul-Muslimin. Selain dua golongan ini disebut Hizbusy-Syaithan yang dilarang didirikan.
Jamaah Jihad menolak ide demokrasi. Seperti diketahui, salah satu pandangan demokrasi menghendaki persamaan hak antar seluruh warga negara yang dinyatakan sebagai berikut. "Dasar persamaan antar warga diteguhkan dengan mengesampingkan pertimbangan agama dan ketakwaan." Sayyid Quthub tentu saja menolak pandangan ini. Ia mengatakan, "Islam tidak menyetujui konsep ini. Islam menolak persamaan hak antara kaum muslimin dan kaum kafirin. Penolakan tersebut didasarkan atas ayat Al-Qur'an, 'Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimana kamu mengambil keputusan?' (al-Qalam: 35-36). Rangkaian ayat ini membincangkan kaum kafir Quraisy dan tempat berpulangnya di akhirat!"
Sayyid Quthub melengkapi kajiannya tentang Jamaah Jihad, "...yang benar adalah bahwa persamaan hak terjadi antara orang-orang yang mempunyai kesamaan asal. Bila sekelompok orang memisahkan diri dari yang lain (semula beragama Islam, tetapi kemudian menjadi kafir), maka sia-sia belaka kita mengupayakan persamaan hak baginya. Kaum kafir tidak mempunyai hak wilayah, sehingga mereka harus membayar pajak kepala (jizyah) kepada negara Islam... dan keterangan lainnya sebagaimana telah dikenal oleh para fuqaha."
Dalam kritiknya terhadap sistem parlemen, Sayyid Quthub mengusulkan dibentuk majelis bangsa Mesir yang berperan secara tasyri'. Ketentuan ini didasarkan pada prinsip bahwa majelis tidak mempunyai hak tasyri', sebab negara Islam dituntut untuk menerapkan syariat Allah SWT sedangkan peran umat Islam hanya terbatas pada aspek penerapannya saja atau mengistinbathkan hukum. Menjawab pandangan bahwa parlemen berusaha menerapkan syariat Allah, Sayyid Quthub mengkritik syarat-syarat keanggotaan majelis dalam undang-undang Mesir yang tidak mengharuskan anggota beragama Islam.
Sayyid Quthub mempertanyakan, "Akal siapa yang dapat menerima keharusan berijtihad dan mengistinbathkan hukum dari Al-Qur'an dan As-Sunnah bagi kaum nonmuslim yang tidak mengetahui Al-Our'an dan As-Sunnah, tidak menguasai Bahasa Arab, tidak memahami motif syariat, ushul, ijma', dan fikih, tidak bersikap wara' dan adil, serta tidak memahami syarat-syarat berijtihad dan beristinbath yang ditetapkan para ulama salaf?"
Pada bagian lain tulisannya, ia mencatat, "Undang-undang Mesir berusaha keras memperlebar kesenjangan nasional dan mendorongnya terus di atas kesenjangan Islam, padahal tidak terdapat kesenjangan Islam di wilayah-wilayah. Justru negara membuat berhala yang disembah dan mengutamakan orang Mesir meski kafir dan fasik daripada orang non-Mesir meski bertakwa, saleh, berilmu, dan mampu (profesional)."
Mengenai kritik terhadap partai-partai Mesir, Sayyid Quthub menyebut Partai Wafd sebagai partai yang mempunyai "sejarah hitam" dalam memusuhi Islam, sebagaimana orang-orang Kristen pun mempunyai andil dalam mengipas-ngipasi keadaan. Jabatan sekretaris umum Partai Wafd selalu diperuntukkan bagi kelompok Kristen.
Dalam beberapa edisi majalah Kalimatul-Haq, redakturnya mengkritik Umar at-Tilmisani (mantan mursyid 'aam/pembimbing umum al-Ikhwan al-Muslimun) dengan keras, disebabkan Umar pernah menyatakan, "Organisasi ini (al-Ikhwan) merupakan jamaah internasional muslim dan nonmuslim. Hubungan kami dengan Baba Syanudat, tokoh Qibthi (yang menurut pandangan sang redaktur telah memusuhi Islam, --peny.), berada pada puncak kecintaan."
Sang redaktur menanggapi pernyataan itu dengan tulisan bertajuk "Cukup Bagimu Saja Wahai Ustadz at-Tilmasani." Ia menulis, "Cukup bagimu saja, sungguh hewan buas telah menyeruduk. Cukup bagimu saja, sungguh persoalan telah keluar dari wilayah rasio ke wilayah irasional. Allah berfirman, 'Englau tidak mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya....' (al-Mujaadilah: 22).
Melalui studi yang bertajuk Muhakamah an-Nizhaam as-Siyaasi al-Mishri (Mahkamah Perundang-undangan Politik Mesir) yang dipublikasikan dalam majalah rahasia Jamaah Jihad, Kalimah al-Haq (Kalimat Kebenaran), Jamaah Jihad menegaskan bahwa hukum dan kekuasaan dalam masyarakat Islam harus di tangan kaum muslimin tanpa diikuti oleh pihak lain. Dan masyarakat hanya dapat dikategorikan atas dua golongan, yaitu Hizbullah (yang diperintahkan untuk didirikan) dan Hizb Jama'atul-Muslimin. Selain dua golongan ini disebut Hizbusy-Syaithan yang dilarang didirikan.
Jamaah Jihad menolak ide demokrasi. Seperti diketahui, salah satu pandangan demokrasi menghendaki persamaan hak antar seluruh warga negara yang dinyatakan sebagai berikut. "Dasar persamaan antar warga diteguhkan dengan mengesampingkan pertimbangan agama dan ketakwaan." Sayyid Quthub tentu saja menolak pandangan ini. Ia mengatakan, "Islam tidak menyetujui konsep ini. Islam menolak persamaan hak antara kaum muslimin dan kaum kafirin. Penolakan tersebut didasarkan atas ayat Al-Qur'an, 'Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimana kamu mengambil keputusan?' (al-Qalam: 35-36). Rangkaian ayat ini membincangkan kaum kafir Quraisy dan tempat berpulangnya di akhirat!"
Sayyid Quthub melengkapi kajiannya tentang Jamaah Jihad, "...yang benar adalah bahwa persamaan hak terjadi antara orang-orang yang mempunyai kesamaan asal. Bila sekelompok orang memisahkan diri dari yang lain (semula beragama Islam, tetapi kemudian menjadi kafir), maka sia-sia belaka kita mengupayakan persamaan hak baginya. Kaum kafir tidak mempunyai hak wilayah, sehingga mereka harus membayar pajak kepala (jizyah) kepada negara Islam... dan keterangan lainnya sebagaimana telah dikenal oleh para fuqaha."
Dalam kritiknya terhadap sistem parlemen, Sayyid Quthub mengusulkan dibentuk majelis bangsa Mesir yang berperan secara tasyri'. Ketentuan ini didasarkan pada prinsip bahwa majelis tidak mempunyai hak tasyri', sebab negara Islam dituntut untuk menerapkan syariat Allah SWT sedangkan peran umat Islam hanya terbatas pada aspek penerapannya saja atau mengistinbathkan hukum. Menjawab pandangan bahwa parlemen berusaha menerapkan syariat Allah, Sayyid Quthub mengkritik syarat-syarat keanggotaan majelis dalam undang-undang Mesir yang tidak mengharuskan anggota beragama Islam.
Sayyid Quthub mempertanyakan, "Akal siapa yang dapat menerima keharusan berijtihad dan mengistinbathkan hukum dari Al-Qur'an dan As-Sunnah bagi kaum nonmuslim yang tidak mengetahui Al-Our'an dan As-Sunnah, tidak menguasai Bahasa Arab, tidak memahami motif syariat, ushul, ijma', dan fikih, tidak bersikap wara' dan adil, serta tidak memahami syarat-syarat berijtihad dan beristinbath yang ditetapkan para ulama salaf?"
Pada bagian lain tulisannya, ia mencatat, "Undang-undang Mesir berusaha keras memperlebar kesenjangan nasional dan mendorongnya terus di atas kesenjangan Islam, padahal tidak terdapat kesenjangan Islam di wilayah-wilayah. Justru negara membuat berhala yang disembah dan mengutamakan orang Mesir meski kafir dan fasik daripada orang non-Mesir meski bertakwa, saleh, berilmu, dan mampu (profesional)."
Mengenai kritik terhadap partai-partai Mesir, Sayyid Quthub menyebut Partai Wafd sebagai partai yang mempunyai "sejarah hitam" dalam memusuhi Islam, sebagaimana orang-orang Kristen pun mempunyai andil dalam mengipas-ngipasi keadaan. Jabatan sekretaris umum Partai Wafd selalu diperuntukkan bagi kelompok Kristen.
Dalam beberapa edisi majalah Kalimatul-Haq, redakturnya mengkritik Umar at-Tilmisani (mantan mursyid 'aam/pembimbing umum al-Ikhwan al-Muslimun) dengan keras, disebabkan Umar pernah menyatakan, "Organisasi ini (al-Ikhwan) merupakan jamaah internasional muslim dan nonmuslim. Hubungan kami dengan Baba Syanudat, tokoh Qibthi (yang menurut pandangan sang redaktur telah memusuhi Islam, --peny.), berada pada puncak kecintaan."
Sang redaktur menanggapi pernyataan itu dengan tulisan bertajuk "Cukup Bagimu Saja Wahai Ustadz at-Tilmasani." Ia menulis, "Cukup bagimu saja, sungguh hewan buas telah menyeruduk. Cukup bagimu saja, sungguh persoalan telah keluar dari wilayah rasio ke wilayah irasional. Allah berfirman, 'Englau tidak mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya....' (al-Mujaadilah: 22).