Hal yang dicoba kemukakan di atas itu merupakan gambaran singkat pergumulan sulit orang-orang Muslim dalam usaha memberi keterangan teologis atas peristiwa-peristiwa dalam sejarah dini agamanya yang penuh anomali. (Untuk gambaran lebih lanjut, lihat catatan no.[7] di bawah). Pergumulan sulit itu membawa kepada logika "historisistik" (bersemangat historisisme, suatu pandangan bahwa sejarah dikuasai oleh hukum yang tak terelakkan) demikian: Apa pun yang terjadi dalam sejarah dunia Islam itu, ia menyangkut masyarakat yang semestinya bersifat teladan, sehingga tetap harus dilihat dalam kerangka "kebenaran umum" yang serba meliputi semua, betapapun berbagai kejadian itu saling bertentangan, bahkan menimbulkan pertumpahan darah. Dan "kebenaran umum" yang serba meliputi itu ialah yang bersangkutan dengan masalah akhlaq atau etika, yang dari sudut penglihatan itu setiap tindakan rinci dalam kejadian sejarah tersebut harus dinilai sebagai timbul dari dorongan berbuat kebaikan. Maka masuklah ke situ konsep ijtihad yang tanpa risiko itu, sebab jika keliru masih mendapat satu pahala, sedangkan jika tepat mendapat dua pahala.
Maka hal berikutnya ialah pertanyaan, sampai dimana etika itu benar-benar ada secara nyata pada semua pihak yang terlibat dan saling bertentangan tersebut, yang terdiri dari para sahabat Nabi dan generasi yang mengikuti jejak mereka sesudah itu?
Jawab atas pertanyaan itu, kalaupun menyangkut problema dalam berbagai fakta kesejarahannya di atas, dapat dibuat dengan bertitik tolak dari asumsi tertentu. Asumsi itu ialah bahwa kaum Salaf itu tentunya terdiri dari pribadi-pribadi yang sangat paham akan ajaran agama mereka, yaitu Islam (lebih tepatnya, al-islam, ajaran tentang sikap penuh pasrah kepada Tuhan), dan sangat bersungguh-sungguh melaksanakannya. (Dan jika tidak begitu, lalu siapa lagi selain mereka?! Atau bersediakah kita melihat bahwa mereka, jika bukannya Nabi sendiri, telah gagal?!).
Jika mereka paham benar agama mereka dan telah sungguh-sungguh melaksanakan al-islam --dan memang begitulah yang semestinya telah terjadi-- maka tindakan penuh pasrah kepada Tuhan itu tentu telah menjiwai keseluruhan tingkah laku mereka. Maka karena al-islam itu, tentunya yang ada di hadapan mereka dan yang menjadi tujuan tingkah laku mereka ialah perkenan Tuhan, sebagaimana digambarkan dalam firman yang telah dikutip tentang mereka itu di atas. Dan pandangan ini mencocoki gambaran yang diberikan Kitab Suci di tempat lain tentang mereka:
Dan hendaklah ada dari kamu sekalian ini suatu umat yang mengajak kepada keluhuran, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kejahatan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.[8]
Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan kepada sekalian manusia: (karena) kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagi pula kamu beriman kepada Allah.[9]
Terhadap ayat di atas, dan dalam kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, A. Yusuf Ali memberi komentar menarik berikut:
The logical conclusion to the evolution of religious history ia a non-sectarian, non-racial, non-doctrinal, universal religion, which Islam claims to be. For Islam ia just submission to the Will of God. This implies (1) Faith, (2) doing right, being an example to others to do right, and having the power to see that the right prevails, (3) eschewing wrong, being an example to others to eschew wrong, and having the power to see that wrong and injustices are defeated. Islam therefore lives, not for itself, but for mankind.[10]
(Kesimpulan logis bagi evolusi sejarah keagamaan ialah suatu agama yang non-sektarian, non-doktrinal, dan universal, yang diakui oleh Islam. Sebab Islam tidak lain ialah sikap pasrah kepada Kehendak Tuhan. Hal ini mengandung makna (1) keimanan, (2) berbuat kebenaran, untuk menjadi teladan bagi yang lain dalam berbuat kebenaran, dan mempunyai kemampuan untuk memperhatikan bahwa yang benar itu unggul, (3) menghindari kesalahan, untuk menjadi teladan bagi yang lain dalam menghindari kesalahan, dan mempunyai kemampuan untuk memperhatikan bahwa kesalahan dan kezaliman terkalahkan. Karena itu Islam tampil, bukannya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh umat manusia).
Karena hakikat dasarnya yang non-sektarian, non-rasial, non-doktrinal dan bersifat universal, maka pada dasarnya pula agama Islam adalah agama etika atau akhlaq, dan para penganutnya yang sejati adalah orang-orang etis atau akhlaqi, yaitu orang-orang yang berbudi pekerti luhur. Ini sejalan dengan penegasan Nabi sendiri, bahwa beliau diutus Allah hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi.[11]
Keinsafan orang-orang Muslim klasik akan gambaran diri mereka yang diberikan oleh Kitab Suci, yang dalam gambaran diri itu sesungguhnya terkandung makna kualitas normatif, yang harus diwujudkan, dan perintah, telah mendorong mereka untuk berjuang membentuk sejarah dunia yang sejalan dengan ukuran-ukuran moral yang tertinggi dan yang terbaik, yang terbuka untuk umat manusia. Usaha itu dijanjikan akan mendapat pahala yang besar, berupa kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat nanti, namun juga dengan risiko besar untuk salah dan keliru. Tetapi kesalahan dan kekeliruan menjadi tidak relevan dalam kaitannya dengan tekad dan semangat Ketuhanan (rabbaniyyah, ribbiyyah)[12] , dan harus dilihat sebagai segi kemanusiaan perjuangan itu. Maka sejarah Islam pun memperoleh keutuhannya dan maknanya yang khas dari adanya pandangan hidup dan perjuangan tersebut, yaitu pandangan hidup dan perjuangan untuk pasrah kepada Kehendak Tuhan. Sebab pasrah kepada Kehendak Tuhan (al-islam) itu antara lain berarti menerima tanggungjawab pribadi untuk ukuran-ukuran tingkah laku yang dipandang sebagai memiliki keabsahan Ilahi, yakni, diridlai-Nya. Rasa tanggung jawab pribadi karena semangat Ketuhanan dan taqwa itulah yang antara lain dicontohkan dengan baik oleh 'Umar, ketika ia sebagai Khalifah harus memikul sekarung gandum untuk dibawa kepada seorang janda dan anaknya yang kelaparan di luar Madinah, karena ia melihat apa yang menimpa mereka itu sebagai berada di atas pundaknya selaku pemimpin dan penguasa.
Maka agama yang mengajarkan al-islam ini adalah agama yang mengacu kepada sikap keruhanian seorang individu, jauh di lubuk hatinya, ke arah kemauan dan niat yang baik, tulus dan sejati, sebagaimana hal itu telah menjadi ajaran para nabi, yang dekat sebelum Nabi Muhammad ialah Nabi-nabi 'Isa al-Masih, Musa, dan Ibrahim. Tetapi ketika al-islam yang pada intinya bersifat pribadi itu memancar keluar dalam bentuk tindakan-tindakan, dan ketika tindakan-tindakan dari banyak pribadi Muslim itu terkait, saling menopang, dan kemudian menyatu, maka al-islam pun melandasi terbentuknya suatu kolektiva spiritual (ummah, umat), dengan ciri-ciri yang khas sebagai pancaran cita-citanya yang khas. Maka sampai batas ini al-islam mendorong lahirnya pola-pola ikatan kemasyarakatan, dan itu intinya ialah hukum. Inilah Islam historis --yaitu al-islam yang telah mewujud-nyata sebagai pengalaman bersama banyak individu dalam dimensi waktu dan ruang tertentu yang bisa diidentifikasi-- suatu bentuk kesatuan kemasyarakatan manusia beriman yang disebut umat, dengan kesadaran berhukum dan berperaturan bersama sebagai intinya.
Karena itu salah satu karakteristik kuat umat ini ialah kesadaran hukumnya yang tinggi. Kesadaran hukum itu merupakan kelanjutan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para pemegang kewenangan atau otoritas (ulu al-amr, wali al-amr).[13] Dengan perkataan lain, kesadaran hukum itu tumbuh akibat adanya rasa iman yang melandasi orientasi etis dalam hidup sehari-hari. Maka konsep tentang hukum dalam Islam tidaklah seluruhnya sama dengan konsep di Barat, misalnya, yang merupakan kelanjutan konsep hukum zaman Romawi kuna. Hukum dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari segi-segi akhlaq atau etika. Sehingga pengertian syari'ah yang kemudian digunakan sebagai istilah teknis untuk sistem hukum Islam itu mengandung hal-hal seperti ajaran kebersihan (thaharah) dan masalah-masalah peribadatan, yang dalam sistem Barat (Romawi) tidak termasuk hukum. Pada prinsipnya, syari'at mencakup setiap kebutuhan manusia, baik pribadi maupun sosial, sejak dari lahir sampai mati, yang panggilannya tertuju kepada setiap nurani yang lembut karena rasa kebenaran dan keadilan. Karena perkataan syari'ah itu sendiri pada asalnya adalah berarti "jalan setapak menuju oase" di tengah padang pasir, yang dalam Kitab Suci dijadikan metafor atau kiasan untuk jalan menuju harapan, kehidupan, dan kebenaran, yang berakhir dengan ridla Allah s.w.t.
Maka dalam Islam orang tetap diharapkan agar tidak luput dalam melihat kaitan antara hukum dan akhlaq atau etika. Bahkan diharapkan agar mereka tidak luput untuk melihat keunggulan segi-segi akhlaqi atas segi-segi bukum, sebab pada dasarnya akhlaq mendasari hukum,. dan hukum ditegakkan di atas landasan akhlaq. Sangat ilustratif untuk pandangan ini ialah sebuah penuturan dalam hadits tentang dua orang yang bersengketa dan datang menghadap kepada Nabi untuk memohon keputusan hukum:
Ummu Salamah r.a menuturkan: "Dan orang lelaki yang sedang bersengketa datang menghadap Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan masalah pembagian waris yang telah lewat waktunya dan pada mereka tidak terdapat lagi bukti. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda kepada keduanya itu, 'Kamu bertengkar dan menghadapku, sedangkan aku tidak lain adalah seorang manusia, dan boleh jadi salah seorang dari kamu lebih lancar mengemukakan argumennya dari yang lain. Dan aku tidak bisa tidak akan memberi keputusan hukum antara kamu sesuai dengan apa yang kudengar (dari kamu), maka jika telah kuputuskan untuk seorang dari kamu agar ia berhak atas sebagian dari hak saudaranya, hendaknya ia jangan mengambilnya. Aku hanyalah hendak menyingkirkan seberkas api neraka yang akan dibawanya sebagai beban di tengkuknya pada hari kiamat.' Maka kedua orang lelaki itu pun menangis, dan masing-masing dari keduanya berkata kepada yang lain, 'Hakku (atas harta waris itu) kuberikan kepada saudaraku.' Maka Rasulullah pun bersabda kepada mereka, 'Jika kamu berdua telah mengatakan begitu, maka pergilah, dan berbagilah antara kamu berdua (atas harta waris itu), kemudian hendaknya kamu berdua sama-sama melepaskan hak (atas harta itu), lalu undilah antara kamu berdua, lalu hendaknya masing-masing dari kamu menghalalkan (merelakan) saudaranya (menguasai harta itu)."[14]
Menurut Muhibb al-Din al-Khathib kedua orang itu sampai sekarang tidak diketahui nama mereka, karena mereka dari kalangan orang kebanyakan di antara para sahabat Nabi, tidak termasuk yang terkenal. Tetapi kejadian itu justru melukiskan, betapa pada masyarakat zaman Nabi itu, di bawah bimbingan beliau, sangat diwarnai oleh semangat etis yang kuat, yang membuat mereka lebih mendahulukan perbuatan baik dan kemurahan hati daripada mempertahankan hak hukumnya yang sah. Kejadian serupa itu cukup banyak di kalangan para sahabat Nabi, sampai ke masa-masa sesudah Nabi sendiri telah tidak lagi bersama mereka. Al-Qur'an sendiri banyak mengajarkan semangat serupa, yaitu semangat mendahulukan kemurahan hati dan kebajikan daripada menuntut dan mempertahankan hak sendiri yang sah:
Jika kamu memperlihatkan suatu kebajikan (melakukan secara terbuka) ataupun merahasiakannya (melakukannya secara tertutup), atau menutupi suatu kesalahan (memaafkannya), maka sesungguhnya Allah itu Maha Pemaaf dan Maha Kuasa (untuk membuat penilaian ).[15]
Dan mereka (orang-orang yang beriman) itu ialah yang apabila menjadi sasaran kejahatan (orang lain), mereka membela diri.
Balasan bagi suatu kejahatan ialah kejahatan yang setimpal. Tetapi barangsiapa memberi maaf dan berdamai, maka pahalanya adalah atas tanggungan Allah. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada mereka yang zalim.
Tetapi orang yang membela diri setelah dijahati, maka atas mereka itu tidak ada jalan (untuk disalahkan).
Melainkan jalan (untuk disalahkan) adalah tertuju kepada mereka yang berbuat jahat kepada sesama manusia, dan tanpa alasan kebenaran membuat pelanggaran di muka bumi. Mereka itulah yang mendapatkan siksa yang pedih.
Namun sungguh, barangsiapa bersikap sabar dan bersedia memberi maaf, maka itulah keteguhan hati dalam segala perkara (kebenaran).[16]
Berkenaan dengan ayat-ayat suci yang difirmankan dalam kaitannya dengan ajaran musyawarah, yang termaktub dalam surah al-Syura (musyarawah) itu, baik sekali kami kemukakan di sini komentar panjang dari A. Yusuf Ali dalam tafsirnya yang amat terkenal:
... Ada empat situasi yang mungkin timbul: seseorang boleh jadi berdiri tegak melawan penindas (1) demi haknya sendiri yang diinjak-injak, atau (2) demi hak orang-orang lain dalam kalangan keluarga sendiri, atau (3) suatu masyarakat juga boleh jadi berdiri tegak demi hak-hak kolektif mereka, atau (4) demi hak orang-orang lain. No. 2, 3, dan 4 dianggap sangat berkebajikan untuk semua, meskipun sedikit orang yang berani dan bersemangat untuk bangkit menuju ke nilai yang begitu tingginya. No. 1 terutama rawan terhadap penyalahgunaan, mengingat sifat manusia yang mementingkan diri sendiri. No. 2, 3, dan 4 juga dapat disalahgunakan oleh mereka yang berpura-pura bermotifkan kebaikan umum padahal mereka hanya melayani kepentingan pribadi atau pandangan sempit mereka sendiri; karena itu disebutlah nilai-nilai dalam empat ayat berikutnya .
... Jika Anda mempertahankan hak, baik atas dasar kepentingan pribadi ataupun umum, mungkin hal itu terjadi lewat proses hukum, atau melalui tindakan mempertahankan diri sepanjang hal itu diizinkan oleh hukum. Tetapi dalam keadaan apa pun Anda tidak boleh mencari balasan yang lebih besar daripada kejahatan yang Anda derita. Paling jauh yang Anda bisa lakukan ialah meminta balasan setimpal, yaitu, kerugian setimpal dengan kerugian yang ditimpakan orang kepada Anda. Ini pun dapat memuaskan untuk menekan jiwa Anda yang cenderung untuk melakukan balas dendam. Tetapi cara yang ideal bukanlah dengan memuaskan kehausan Anda untuk membalasdendam, melainkan dengan mengikuti jalan yang lebih baik menuju kepada pendidikan kembali si penjahat kepada Anda itu atau rekonsiliasi kepadanya .
...Anda dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya kejahatan, dengan cara fisik atau moral; dan cara moral yang paling baik ialah dengan mengubah kebencian menjadi persahabatan lewat sikap memaafkan dan cinta. Dalam hal ini, balasan atau ganjarannya (jika kita harus menggunakan istilah-istilah serupa itu), adalah agung secara tak terbatas, karena hal itu berarti memperoleh ridla Tuhan.[17]
Begitulah kutipan firman-firman Ilahi dan komentarnya oleh seorang penafsir yang ahli dan kompeten. Semoga hal itu cukup memberi gambaran tentang ide mengenai masyarakat Salaf sebagai masyarakat etika, lebih daripada masyarakat hukum saja, yaitu masyarakat yang harus dipandang dan diasumsikan sebagai yang telah benar-benar paham akan ajaran Kitab Suci dan telah dengan sungguh-sungguh melaksanakannya.
CATATAN
8 Q., s. Alu 'Imran/3:104.
9 Q., s. Alu 'Imran/3:110.
10 A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Text, Translation and Commentary (Jeddah: Dar al-Qiblah, tanpa tahun), h. 151, catatan 434.
11 Sebuah hadits Nabi yang sangat terkenal, "Sesungguhnya aku diutus hanyalah agar aku menyempurnakan berbagai keluhuran budi."
12 Ini adalah dua istilah dalam Kitab Suci untuk semangat Ketuhanan, yaitu semangat mencapai ridla Tuhan dalam wujud pola hidup penuh kesalehan dan penuh dedikasi kepada cita-cita mewujudkan kehidupan bermoral, sebagaimana terdapat dalam Q., s. Alu 'Imran/3:79 dan 146.
13 Dalam Kitab Suci ada perintah agar kita taat kepada para pemegang kewenangan atau kekuasaan: "Wahai sekalian orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah, dan taat pulalah kepada Rasul dan kepada para pemegang kekuasaan (ula al-amr, jamak dari wali al-amr) dari antara kamu ..." (Q., s. al-Nisa /4:59).
14 Hadits diriwayatkan oleh Ahmad (ibn Hanbal) dalam kitab Musnad-nya oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya, dikutip oleh Muhibb al-Din al-Khathib dalam kata penutup untuk kitab.al-Muntaqa min Minhaj al-I'tidal (ringkasan Minhaj al-Sunnah oleh Ibn Taymiyyah) oleh Abu 'Abdullah Muhammad ibn 'Utsman al-Dzahabi (Damaskus: Maktabat Dar al-Bayan, 1374 H), h. 574.
15 Q., s. al-Nisa'/4:149.
16 Q., s. al-Syura/42:39-43.
17 A. Yusuf Ali, hh. 1317-8, catatan 4580-4581.
ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Maka hal berikutnya ialah pertanyaan, sampai dimana etika itu benar-benar ada secara nyata pada semua pihak yang terlibat dan saling bertentangan tersebut, yang terdiri dari para sahabat Nabi dan generasi yang mengikuti jejak mereka sesudah itu?
Jawab atas pertanyaan itu, kalaupun menyangkut problema dalam berbagai fakta kesejarahannya di atas, dapat dibuat dengan bertitik tolak dari asumsi tertentu. Asumsi itu ialah bahwa kaum Salaf itu tentunya terdiri dari pribadi-pribadi yang sangat paham akan ajaran agama mereka, yaitu Islam (lebih tepatnya, al-islam, ajaran tentang sikap penuh pasrah kepada Tuhan), dan sangat bersungguh-sungguh melaksanakannya. (Dan jika tidak begitu, lalu siapa lagi selain mereka?! Atau bersediakah kita melihat bahwa mereka, jika bukannya Nabi sendiri, telah gagal?!).
Jika mereka paham benar agama mereka dan telah sungguh-sungguh melaksanakan al-islam --dan memang begitulah yang semestinya telah terjadi-- maka tindakan penuh pasrah kepada Tuhan itu tentu telah menjiwai keseluruhan tingkah laku mereka. Maka karena al-islam itu, tentunya yang ada di hadapan mereka dan yang menjadi tujuan tingkah laku mereka ialah perkenan Tuhan, sebagaimana digambarkan dalam firman yang telah dikutip tentang mereka itu di atas. Dan pandangan ini mencocoki gambaran yang diberikan Kitab Suci di tempat lain tentang mereka:
Dan hendaklah ada dari kamu sekalian ini suatu umat yang mengajak kepada keluhuran, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kejahatan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.[8]
Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan kepada sekalian manusia: (karena) kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagi pula kamu beriman kepada Allah.[9]
Terhadap ayat di atas, dan dalam kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, A. Yusuf Ali memberi komentar menarik berikut:
The logical conclusion to the evolution of religious history ia a non-sectarian, non-racial, non-doctrinal, universal religion, which Islam claims to be. For Islam ia just submission to the Will of God. This implies (1) Faith, (2) doing right, being an example to others to do right, and having the power to see that the right prevails, (3) eschewing wrong, being an example to others to eschew wrong, and having the power to see that wrong and injustices are defeated. Islam therefore lives, not for itself, but for mankind.[10]
(Kesimpulan logis bagi evolusi sejarah keagamaan ialah suatu agama yang non-sektarian, non-doktrinal, dan universal, yang diakui oleh Islam. Sebab Islam tidak lain ialah sikap pasrah kepada Kehendak Tuhan. Hal ini mengandung makna (1) keimanan, (2) berbuat kebenaran, untuk menjadi teladan bagi yang lain dalam berbuat kebenaran, dan mempunyai kemampuan untuk memperhatikan bahwa yang benar itu unggul, (3) menghindari kesalahan, untuk menjadi teladan bagi yang lain dalam menghindari kesalahan, dan mempunyai kemampuan untuk memperhatikan bahwa kesalahan dan kezaliman terkalahkan. Karena itu Islam tampil, bukannya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh umat manusia).
Karena hakikat dasarnya yang non-sektarian, non-rasial, non-doktrinal dan bersifat universal, maka pada dasarnya pula agama Islam adalah agama etika atau akhlaq, dan para penganutnya yang sejati adalah orang-orang etis atau akhlaqi, yaitu orang-orang yang berbudi pekerti luhur. Ini sejalan dengan penegasan Nabi sendiri, bahwa beliau diutus Allah hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi.[11]
Keinsafan orang-orang Muslim klasik akan gambaran diri mereka yang diberikan oleh Kitab Suci, yang dalam gambaran diri itu sesungguhnya terkandung makna kualitas normatif, yang harus diwujudkan, dan perintah, telah mendorong mereka untuk berjuang membentuk sejarah dunia yang sejalan dengan ukuran-ukuran moral yang tertinggi dan yang terbaik, yang terbuka untuk umat manusia. Usaha itu dijanjikan akan mendapat pahala yang besar, berupa kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat nanti, namun juga dengan risiko besar untuk salah dan keliru. Tetapi kesalahan dan kekeliruan menjadi tidak relevan dalam kaitannya dengan tekad dan semangat Ketuhanan (rabbaniyyah, ribbiyyah)[12] , dan harus dilihat sebagai segi kemanusiaan perjuangan itu. Maka sejarah Islam pun memperoleh keutuhannya dan maknanya yang khas dari adanya pandangan hidup dan perjuangan tersebut, yaitu pandangan hidup dan perjuangan untuk pasrah kepada Kehendak Tuhan. Sebab pasrah kepada Kehendak Tuhan (al-islam) itu antara lain berarti menerima tanggungjawab pribadi untuk ukuran-ukuran tingkah laku yang dipandang sebagai memiliki keabsahan Ilahi, yakni, diridlai-Nya. Rasa tanggung jawab pribadi karena semangat Ketuhanan dan taqwa itulah yang antara lain dicontohkan dengan baik oleh 'Umar, ketika ia sebagai Khalifah harus memikul sekarung gandum untuk dibawa kepada seorang janda dan anaknya yang kelaparan di luar Madinah, karena ia melihat apa yang menimpa mereka itu sebagai berada di atas pundaknya selaku pemimpin dan penguasa.
Maka agama yang mengajarkan al-islam ini adalah agama yang mengacu kepada sikap keruhanian seorang individu, jauh di lubuk hatinya, ke arah kemauan dan niat yang baik, tulus dan sejati, sebagaimana hal itu telah menjadi ajaran para nabi, yang dekat sebelum Nabi Muhammad ialah Nabi-nabi 'Isa al-Masih, Musa, dan Ibrahim. Tetapi ketika al-islam yang pada intinya bersifat pribadi itu memancar keluar dalam bentuk tindakan-tindakan, dan ketika tindakan-tindakan dari banyak pribadi Muslim itu terkait, saling menopang, dan kemudian menyatu, maka al-islam pun melandasi terbentuknya suatu kolektiva spiritual (ummah, umat), dengan ciri-ciri yang khas sebagai pancaran cita-citanya yang khas. Maka sampai batas ini al-islam mendorong lahirnya pola-pola ikatan kemasyarakatan, dan itu intinya ialah hukum. Inilah Islam historis --yaitu al-islam yang telah mewujud-nyata sebagai pengalaman bersama banyak individu dalam dimensi waktu dan ruang tertentu yang bisa diidentifikasi-- suatu bentuk kesatuan kemasyarakatan manusia beriman yang disebut umat, dengan kesadaran berhukum dan berperaturan bersama sebagai intinya.
Karena itu salah satu karakteristik kuat umat ini ialah kesadaran hukumnya yang tinggi. Kesadaran hukum itu merupakan kelanjutan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para pemegang kewenangan atau otoritas (ulu al-amr, wali al-amr).[13] Dengan perkataan lain, kesadaran hukum itu tumbuh akibat adanya rasa iman yang melandasi orientasi etis dalam hidup sehari-hari. Maka konsep tentang hukum dalam Islam tidaklah seluruhnya sama dengan konsep di Barat, misalnya, yang merupakan kelanjutan konsep hukum zaman Romawi kuna. Hukum dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari segi-segi akhlaq atau etika. Sehingga pengertian syari'ah yang kemudian digunakan sebagai istilah teknis untuk sistem hukum Islam itu mengandung hal-hal seperti ajaran kebersihan (thaharah) dan masalah-masalah peribadatan, yang dalam sistem Barat (Romawi) tidak termasuk hukum. Pada prinsipnya, syari'at mencakup setiap kebutuhan manusia, baik pribadi maupun sosial, sejak dari lahir sampai mati, yang panggilannya tertuju kepada setiap nurani yang lembut karena rasa kebenaran dan keadilan. Karena perkataan syari'ah itu sendiri pada asalnya adalah berarti "jalan setapak menuju oase" di tengah padang pasir, yang dalam Kitab Suci dijadikan metafor atau kiasan untuk jalan menuju harapan, kehidupan, dan kebenaran, yang berakhir dengan ridla Allah s.w.t.
Maka dalam Islam orang tetap diharapkan agar tidak luput dalam melihat kaitan antara hukum dan akhlaq atau etika. Bahkan diharapkan agar mereka tidak luput untuk melihat keunggulan segi-segi akhlaqi atas segi-segi bukum, sebab pada dasarnya akhlaq mendasari hukum,. dan hukum ditegakkan di atas landasan akhlaq. Sangat ilustratif untuk pandangan ini ialah sebuah penuturan dalam hadits tentang dua orang yang bersengketa dan datang menghadap kepada Nabi untuk memohon keputusan hukum:
Ummu Salamah r.a menuturkan: "Dan orang lelaki yang sedang bersengketa datang menghadap Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan masalah pembagian waris yang telah lewat waktunya dan pada mereka tidak terdapat lagi bukti. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda kepada keduanya itu, 'Kamu bertengkar dan menghadapku, sedangkan aku tidak lain adalah seorang manusia, dan boleh jadi salah seorang dari kamu lebih lancar mengemukakan argumennya dari yang lain. Dan aku tidak bisa tidak akan memberi keputusan hukum antara kamu sesuai dengan apa yang kudengar (dari kamu), maka jika telah kuputuskan untuk seorang dari kamu agar ia berhak atas sebagian dari hak saudaranya, hendaknya ia jangan mengambilnya. Aku hanyalah hendak menyingkirkan seberkas api neraka yang akan dibawanya sebagai beban di tengkuknya pada hari kiamat.' Maka kedua orang lelaki itu pun menangis, dan masing-masing dari keduanya berkata kepada yang lain, 'Hakku (atas harta waris itu) kuberikan kepada saudaraku.' Maka Rasulullah pun bersabda kepada mereka, 'Jika kamu berdua telah mengatakan begitu, maka pergilah, dan berbagilah antara kamu berdua (atas harta waris itu), kemudian hendaknya kamu berdua sama-sama melepaskan hak (atas harta itu), lalu undilah antara kamu berdua, lalu hendaknya masing-masing dari kamu menghalalkan (merelakan) saudaranya (menguasai harta itu)."[14]
Menurut Muhibb al-Din al-Khathib kedua orang itu sampai sekarang tidak diketahui nama mereka, karena mereka dari kalangan orang kebanyakan di antara para sahabat Nabi, tidak termasuk yang terkenal. Tetapi kejadian itu justru melukiskan, betapa pada masyarakat zaman Nabi itu, di bawah bimbingan beliau, sangat diwarnai oleh semangat etis yang kuat, yang membuat mereka lebih mendahulukan perbuatan baik dan kemurahan hati daripada mempertahankan hak hukumnya yang sah. Kejadian serupa itu cukup banyak di kalangan para sahabat Nabi, sampai ke masa-masa sesudah Nabi sendiri telah tidak lagi bersama mereka. Al-Qur'an sendiri banyak mengajarkan semangat serupa, yaitu semangat mendahulukan kemurahan hati dan kebajikan daripada menuntut dan mempertahankan hak sendiri yang sah:
Jika kamu memperlihatkan suatu kebajikan (melakukan secara terbuka) ataupun merahasiakannya (melakukannya secara tertutup), atau menutupi suatu kesalahan (memaafkannya), maka sesungguhnya Allah itu Maha Pemaaf dan Maha Kuasa (untuk membuat penilaian ).[15]
Dan mereka (orang-orang yang beriman) itu ialah yang apabila menjadi sasaran kejahatan (orang lain), mereka membela diri.
Balasan bagi suatu kejahatan ialah kejahatan yang setimpal. Tetapi barangsiapa memberi maaf dan berdamai, maka pahalanya adalah atas tanggungan Allah. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada mereka yang zalim.
Tetapi orang yang membela diri setelah dijahati, maka atas mereka itu tidak ada jalan (untuk disalahkan).
Melainkan jalan (untuk disalahkan) adalah tertuju kepada mereka yang berbuat jahat kepada sesama manusia, dan tanpa alasan kebenaran membuat pelanggaran di muka bumi. Mereka itulah yang mendapatkan siksa yang pedih.
Namun sungguh, barangsiapa bersikap sabar dan bersedia memberi maaf, maka itulah keteguhan hati dalam segala perkara (kebenaran).[16]
Berkenaan dengan ayat-ayat suci yang difirmankan dalam kaitannya dengan ajaran musyawarah, yang termaktub dalam surah al-Syura (musyarawah) itu, baik sekali kami kemukakan di sini komentar panjang dari A. Yusuf Ali dalam tafsirnya yang amat terkenal:
... Ada empat situasi yang mungkin timbul: seseorang boleh jadi berdiri tegak melawan penindas (1) demi haknya sendiri yang diinjak-injak, atau (2) demi hak orang-orang lain dalam kalangan keluarga sendiri, atau (3) suatu masyarakat juga boleh jadi berdiri tegak demi hak-hak kolektif mereka, atau (4) demi hak orang-orang lain. No. 2, 3, dan 4 dianggap sangat berkebajikan untuk semua, meskipun sedikit orang yang berani dan bersemangat untuk bangkit menuju ke nilai yang begitu tingginya. No. 1 terutama rawan terhadap penyalahgunaan, mengingat sifat manusia yang mementingkan diri sendiri. No. 2, 3, dan 4 juga dapat disalahgunakan oleh mereka yang berpura-pura bermotifkan kebaikan umum padahal mereka hanya melayani kepentingan pribadi atau pandangan sempit mereka sendiri; karena itu disebutlah nilai-nilai dalam empat ayat berikutnya .
... Jika Anda mempertahankan hak, baik atas dasar kepentingan pribadi ataupun umum, mungkin hal itu terjadi lewat proses hukum, atau melalui tindakan mempertahankan diri sepanjang hal itu diizinkan oleh hukum. Tetapi dalam keadaan apa pun Anda tidak boleh mencari balasan yang lebih besar daripada kejahatan yang Anda derita. Paling jauh yang Anda bisa lakukan ialah meminta balasan setimpal, yaitu, kerugian setimpal dengan kerugian yang ditimpakan orang kepada Anda. Ini pun dapat memuaskan untuk menekan jiwa Anda yang cenderung untuk melakukan balas dendam. Tetapi cara yang ideal bukanlah dengan memuaskan kehausan Anda untuk membalasdendam, melainkan dengan mengikuti jalan yang lebih baik menuju kepada pendidikan kembali si penjahat kepada Anda itu atau rekonsiliasi kepadanya .
...Anda dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya kejahatan, dengan cara fisik atau moral; dan cara moral yang paling baik ialah dengan mengubah kebencian menjadi persahabatan lewat sikap memaafkan dan cinta. Dalam hal ini, balasan atau ganjarannya (jika kita harus menggunakan istilah-istilah serupa itu), adalah agung secara tak terbatas, karena hal itu berarti memperoleh ridla Tuhan.[17]
Begitulah kutipan firman-firman Ilahi dan komentarnya oleh seorang penafsir yang ahli dan kompeten. Semoga hal itu cukup memberi gambaran tentang ide mengenai masyarakat Salaf sebagai masyarakat etika, lebih daripada masyarakat hukum saja, yaitu masyarakat yang harus dipandang dan diasumsikan sebagai yang telah benar-benar paham akan ajaran Kitab Suci dan telah dengan sungguh-sungguh melaksanakannya.
CATATAN
8 Q., s. Alu 'Imran/3:104.
9 Q., s. Alu 'Imran/3:110.
10 A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Text, Translation and Commentary (Jeddah: Dar al-Qiblah, tanpa tahun), h. 151, catatan 434.
11 Sebuah hadits Nabi yang sangat terkenal, "Sesungguhnya aku diutus hanyalah agar aku menyempurnakan berbagai keluhuran budi."
12 Ini adalah dua istilah dalam Kitab Suci untuk semangat Ketuhanan, yaitu semangat mencapai ridla Tuhan dalam wujud pola hidup penuh kesalehan dan penuh dedikasi kepada cita-cita mewujudkan kehidupan bermoral, sebagaimana terdapat dalam Q., s. Alu 'Imran/3:79 dan 146.
13 Dalam Kitab Suci ada perintah agar kita taat kepada para pemegang kewenangan atau kekuasaan: "Wahai sekalian orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah, dan taat pulalah kepada Rasul dan kepada para pemegang kekuasaan (ula al-amr, jamak dari wali al-amr) dari antara kamu ..." (Q., s. al-Nisa /4:59).
14 Hadits diriwayatkan oleh Ahmad (ibn Hanbal) dalam kitab Musnad-nya oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya, dikutip oleh Muhibb al-Din al-Khathib dalam kata penutup untuk kitab.al-Muntaqa min Minhaj al-I'tidal (ringkasan Minhaj al-Sunnah oleh Ibn Taymiyyah) oleh Abu 'Abdullah Muhammad ibn 'Utsman al-Dzahabi (Damaskus: Maktabat Dar al-Bayan, 1374 H), h. 574.
15 Q., s. al-Nisa'/4:149.
16 Q., s. al-Syura/42:39-43.
17 A. Yusuf Ali, hh. 1317-8, catatan 4580-4581.
ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174