Dari empat disiplin Ilmu Keislaman Tradisional yang mapan yaitu ilmu fiqh ('ilm al-fiqh), ilmu kalam (`ilm al-kalam), ilmu tasawuf (`ilm al-tashawwuf) dan falsafah (al-falsafah atau al-hikmah),[1] fiqh adalah yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang Muslim akan agama mereka sehingga, karenanya, paling banyak membentuk bagian terpenting cara berpikir mereka. Kenyataan ini dapat dikembalikan kepada berbagai proses sejarah pertumbuhan masyarakat Muslim masa lalu, juga kepada sebagian dari inti semangat ajaran agama Islam sendiri.
Salah satu karakteristik historis agama Islam ialah kesuksesan yang cepat luar biasa dalam ekspansi militer dan politik.[2] Ada indikasi bahwa ekspansi militer ke luar Jazirah Arabia itu mula-mula dilakukan dalam keadaan terpaksa dan untuk tujuan pertahanan diri.[3] Tetapi dinamika gerakan perluasan itu kemudian seperti tidak dapat dikekang, dan dalam tempo amat singkat orang-orang Muslim menguasai sepenuhnya "daerah beradab" (Oikoumene, menurut sebutan orang-orang Yunani kuna), yang membentang dari Lautan Atlantik di barat sampai Gurun Gobi di timur. Sebuah kemaharajaan (empire) dunia telah lahir dengan keluasan wilayah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Disebabkan oleh ciri kekuasaan itu maka sejak dari semula, khususnya dikalangan kaum Sunni, agama Islam dengan erat terkait dengan kemapanan politik. Di antara sekian banyak implikasinya ialah bahwa para pemimpin Islam, baik yang berada pada lingkungan kekuasaan maupun yang menekuni bidang pemikiran, banyak sekali disibukkan oleh usaha-usaha mengatur masyarakat dan negara sebaik-baiknya. Ini mendorong kepada curahan perhatian yang luar biasa besar untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur dalam ajaran agama Islam yang berhubungan dengan masalah pengaturan masyarakat dan negara.
Pangkal Pertumbuhan Fiqh
Dari suatu segi, ilmu fiqh, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Jika "fiqh" dibatasi hanya kepada pengertiannya sebagai "hukum" seperti yang sekarang umum dipahami orang, maka akar "hukum" yang amat erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam salah satu peranan Nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah), khususnya selama periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara.[4]
Peranan Nabi sebagai pemutus perkara itu sendiri harus dipandang sebagai tak terpisahkan dari fungsi beliau sebagai utusan Tuhan. Seperti halnya dengan semua penganjur agama dan moralitas, Nabi Muhammad s.a.w. membawa ajaran dengan tujuan amat penting reformasi atau pembabaruan dan perbaikan (ishlah)[5] kehidupan masyarakat. Berada dalam inti reformasi itu ialah aspirasi keruhanian (sebagai pengimbang aspirasi keduniawian semata) yang populis (cita-cita keadilan dengan semangat kuat anti elitisme dan hirarki sosial) dan yang bersifat universal (berlaku untuk semua orang, di semua tempat dan waktu).
Tetapi peranan Nabi dengan tugas kerasulan (risalah) yang diembannya tidaklah hanya bersangkutan dengan hal-hal kemasyarakatan semata. Dalam kesanggupan menangkap dan memahami serta mengamalkan keseluruhan makna agama yang serba segi itu ialah sesungguhnya letak perbaikan dan peningkatan nilai kemanusiaan seseorang. Inilah kurang lebih yang dimaksudkan Nabi ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits yang amat terkenal bahwa jika Tuhan menghendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah ia menjadi faqih (orang yang paham) akan agamanya.[6] Demikian pula sebuah firman Ilahi yang tidak jauh maknanya dari hadits itu, yang menegaskan hendaknya dalam setiap masyarakat selalu ada kelompok orang yang melakukan tafaqquh (usaha memahami secara mendalam) tentang agamanya. Diharapkan agar para "Spesialis" ini dapat menjalankan peran sebagai sumber kekuatan moral (moral force) masyarakat.[7] Maka suatu masyarakat tumbuh menjadi masyarakat hukum (legal society), namun dasar strukturnya itu ialah hakikat suatu masyarakat akhlaq (ethical society).[8]
Berkenaan dengan prinsip ini al-Sayyid Sabiq, misalnya, mengatakan bahwa Allah mengutus Muhammad s.a.w. dengan kecenderungan suci yang lapang (al-hanifiyyat al-samhah). Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa "Agama yang paling disukai Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah." Kemudian kecenderungan suci yang lapang itu dilengkapi dengan tata cara hidup praktis yang serba meliputi (al-syari'at al-jami'ah). Namun dalam sifatnya yang menyeluruh itu masih dapat dikenali adanya dua hal yang berbeda: hal-hal parametris keagamaan yang tidak berubah-ubah, dan hal-hal dinamis, yang berubah menurut perubahan zaman dan tempat:
Adapun hal-hal yang tidak berubah karena perubahan zaman dan tempat, seperti simpul-simpul kepercayaan (al-'aqa'id) dan peribadatan (al-'ibadat), maka diberikan secara terinci (mufashshal) dengan rincian yang sempurna, serta dijelaskan dengan nas-nas yang serba meliputi. Karena itu tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Sedangkan hal-hal yang berubah dengan perubahan zaman dan tempat, seperti berbagai kemaslahatan sipil (al-mashalih al-madaniyyah) serta berbagai perkara politik dan perang, maka diberikan secara garis besar (mujmal) agar bersesuaian dengan kemaslahatan manusia di setiap masa, dan dengan ketentuan itu para pemegang wewenang (ulu al-amr, jamak dari wali al-amr, pemegang kekuasaan, yakni, pemerintah) dapat mencari petunjuk dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan.[9]
Maka ilmu fiqh dalam makna asalnya adalah ilmu yang berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan terinci (al-mufashshalat) dan ketentuan-ketentuan garis besar (al-mujmalat) dalam ajaran agama itu. Tentang hal-hal yang telah terinci, dengan sendirinya tidak banyak kesulitan. Tetapi tentang hal-hal yang bersifat garis besar, perbedaan penafsiran dan penjabarannya sering menjadi sumber kesulitan yang menimbulkan berbagai perbedaan pendapat antara para pemikir Muslim dalam fase perkembangan historis mereka yang paling formatif.
Masa-masa Perkembangan Formatif
Melalui masa-masa perkembangan formatifnya, ilmu fiqh memperoleh batasnya yang jelas. Sejalan dengan yang telah dikemukakan di atas, batasan itu kurang lebih adalah:
Fiqh ialah ilmu tentang masalah-masalah syara'iyah secara teoritis. Masalah-masalah fiqh itu berkenaan dengan perkara akhirat seperti hal-hal peribadatan (ibadat) atau berkenaan dengan perkara dunia yang terbagi menjadi munakahat (tentang pernikahan), mu'amalat (tentang berbagai transaksi dalam masyarakat) dan 'uqubat (tentang hukuman)...Demi terpeliharanya keadilan dan ketertiban antara sesama manusia serta menjaga mereka dari kehancuran maka diperlukanlah ketentuan-ketentuan yang diperkuat oleh syari'at berkenaan dengan perkara perkawinan, dan itulah bagian munakahat dari ilmu fiqh; kemudian berkenaan dengan perkara peradaban dalam bentuk gotong-royong dan kerjasama, dan itulah bagian mu'amalat dari ilmu fiqh; dan untuk memelihara perkara peradaban itu agar tetap pada garisnya ini diperlukan penyusunan hukum-hukum pembalasan, dan inilah bagian 'uqubat dari ilmu fiqh.[10]
Dari definisi dan penjelasan tentang hakikat ilmu fiqh itu nampak dengan jelas titik berat orientasi fiqh kepada masalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya, yang inti kerangka pengaturan itu ialah masalah-masalah hukum. Bahkan meskipun masalah-masalah ibadat juga termasuk ke dalam ilmu fiqh --justru merupakan yang pertama-tama dibahas-- namun cara pandang ilmu fiqh terhadap ibadat pun tetap bertitikberatkan orientasi hukum. Dalam hal ini terkenal pembagian hukum yang lima: wajib mandub, mubah, makruh dan haram. Disamping itu terdapat cara penilaian kepada sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau tidak.[11]
Telah dikemukakan bahwa situasi yang mendesak orang-orang Muslim untuk menjabarkan melalui penalaran unsur-unsur dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah pengaturan masyarakat ialah adanya kekuasaan politik yang sangat riil. Kekuasaan itu tidak saja secara geografis meliputi daerah oikoumene yang amat luas, tetapi juga secara demografis mencakup berbagai bangsa dan agama yang beraneka ragam. Desakan kepada penalaran itu kemudian juga kodifikasinya sesungguhnya sudah ada semenjak masa Dinasti Umawiyah (40-131 H [661-750 M].[12] Tetapi para penguasa Umawiyah di Damaskus itu agaknya kurang tanggap terhadap desakan itu. Namun masa Umawiyah telah sempat melahirkan usaha cukup penting ke arah penyusunan sistematik ilmu fiqh dan kodifikasinya, dalam konteks Syria dan sistem pemerintahan Umawi, khususnya oleh tokoh al-Awzd'i (wafat 155 H [774 M]). Dan baru pada masa dinasti Abbasiyah (131-415 H [750-974 M]) usaha penyusunan sistematik ilmu fiqh itu dan kodifikasinya berkembang menjadi seperti yang sebagian besar bertahan sampai sekarang.[13]
Pada masa peralihan dari dinasti Umawiyah ke dinasti Abbasiyah itu hidup seorang sarjana fiqh yang terkenal, Abu Hanifah (79-148 H [699-767 M]). Aliran pikiran (madzhab, school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan Irak dan suasana pemerintahan Abbasiyah. Tetapi dari masa dinasti Abbasiyah itu yang paling formatif bagi pertumbuhan ilmu fiqh, seperti juga bagi pertumbuhan ilmu-ilmu yang lain, ialah masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H [786-809 M]). Pada masa pemerintahannya itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah yang hebat, Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim (113-182 H [732-798 M]). Harun al-Rasyid meminta kepada Abu Yusuf untuk menulis baginya buku tentang al-kharaj (semacam sistem perpajakan) menurut hukum Islam (fiqh). Abu Yusuf memenuhinya, tetapi buku yang ditulisnya dengan nama Kitab al-Kharaj itu menjadi lebih dari sekedar membahas soal perpajakan, melainkan telah menjelma menjadi usaha penyusunan sistematik dan kodifikasi ilmu fiqh yang banyak ditiru atau dicontoh oleh ahli-ahli yang datang kemudian. Lebih jauh lagi, menyerupai jejak pemikiran al-Awza'i dari Syria di masa Umawiyah tersebut di atas, Abu Yusuf dalam Kitdb al-Kharaj menyajikan kembali sistem hukum yang dipraktekkan di zaman Umawiyah, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan (64-85 H [685-705 M]), yang dalam memerintah berusaha meneladani praktek Khalifah 'Umar ibn al-Khaththab.[14] Oleh karena itu Kitab al-Kharaj banyak mengisahkan kembali kebijaksanaan Khalifah 'Umar, yang agaknya juga dikagumi oleh Harun al-Rasyid sendiri. (Dalam pengantar untuk karyanya itu, Abu Yusuf dengan tegas dan tandas menasehati dan memperingatkan Harun al-Rasyid untuk menjalankan amanat pemerintahannya dengan adil, seperti yang telah dilakukan oleh 'Umar).[15]
Hampir semasa dengan Abu Hanifah di Irak (Kufah), tampil pula Anas ibn Malik (715-795) di Hijaz (Madinah). Aliran pikiran Abu Hanifah (madzhab Hanafi) banyak menggunakan analogi (qiyas) dan pertimbangan kebaikan umum (istishlah) dan tumbuh dalam lingkungan pemerintah pusat, sama halnya dengan aliran pikiran al-Awza'i di Syria (Damaskus) sebelumnya. Berbeda dengan keduanya itu, aliran pikiran Anas ibn Malik (madzhab Maliki) terbentuk oleh suasana lingkungan Hijaz, khususnya Madinah, yang sangat memperhatikan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya.
Anas ibn Malik mempunyai seorang murid, yaitu Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (wafat 204 H [820 M]. Al-Syafi'i meneruskan tema aliran pikiran gurunya dan mengembangkannya dengan membangun teori yang ketat untuk menguji kebenaran sebuah laporan tentang sunnah, terutama tentang hadits yang diriwayatkan langsung dari Nabi. Tetapi al-Syafi'i juga menerima tema aliran pikiran Hanafi yang dipelajari dari al-Syaibani (wafat 186 H [805 M]), yaitu penggunaan analogi, dan mengembangkannya menjadi sebuah teori yang sistematika dan universal tentang metode memahami hukum.
Dengan demikian maka al-Syafi'i berjasa meletakkan dasar-dasar teoritis tentang dua hal, yaitu, pertama, Sunnah, khususnya yang dalam bentuk Hadits, sebagai sumber memahami hukum Islam setelah al-Qur'an, dan, kedua, analogi atau qiyas sebagai metode rasional memahami dan mengembangkan hukum itu. Sementara itu, konsensus atau ijma' yang ada dalam masyarakat, yang kebanyakan bersumber atau menjelma menjadi sejenis kebiasaan yang berlaku umum (al-'urf), juga diterima oleh al-Syafi'i, meskipun ia tidak pernah membangun teorinya yang tuntas. Dengan begitu pangkal tolak ilmu fiqh (ushul al-fiqh), berkat al-Syafi'i, ada empat, yaitu Kitab Suci, Sunnah Nabi, ijma' dan qiyas.
Hadits sebagai Sunnah
Kitab Suci al-Qur'an telah dibukukan dalam sebuah buku terjilid (mushhaf) sejak masa khalifah Abu Bakr (atas saran 'Umar) dan diseragamkan oleh 'Utsman untuk seluruh Dunia Islam berdasarkan mushhaf peninggalan pendahulunya itu. Dalam hal ini Hadits berbeda dari al-Qur'an, karena kodifikasinya yang metodologis (dengan otentifikasi menurut teori al-Syafi'i) baru dimulai sekitar setengah abad setelah al-Syafi'i sendiri. Pelopor kodifikasi metodologi itu ialah al-Bukhari (wafat 256 H [870 M]), kemudian disusul oleh Muslim (wafat 261 H [875 M]), Ibn Majah (wafat 273 H [886 M]), Abu Dawud (wafat 275 H [888 M]), al-Turmudzi (wafat 279 H [892 M]) dan, akhirnya, al-Nasa'i (wafat 308 H [916 M]). Mereka ini kemudian menghasilkan kodifikasi metodologis Hadits yang selanjutnya dianggap bahan referensi utama di bidang hadits, dan secara keseluruhannya dikenal sebagai al-Kutub al-Sittah (Buku yang Enam).
Masa yang cukup panjang, yang ditempuh oleh proses pembukuan hadits sehingga menghasilkan dokumentasi yang dianggap final itu --berbeda halnya dengan masalah al-Qur'an-- adalah disebabkan adanya semacam kontroversi mengenai pembukuan hadits ini hampir sejak dari masa Nabi sendiri. Al-Syaikh Muhammad al-Hudlari Bek dalam bukunya yang terkenal, Tarikh al-Tasyri al-Islami (Sejarah Penetapan Hukum Syari'at Islam) menyebutkan adanya delapan kasus tindakan menghambat pencatatan hadits, lima di antaranya dihubungkan dengan 'Umar, dan tiga lainnya dengan masing-masing Abu Bakr, 'Ali, dan 'Abdullah ibn Mas'ud, yang dihubungkan dengan Abu Bakr dituturkan demikian:
"Bahwa (abu Bakr) al-Shiddiq mengumpulkan orang banyak setelah wafat Nabi mereka, kemudian berkata, "Kamu semuanya menceritakan banyak hadits dari Rasulullah s.a.w. yang kamu perselisihkan. Padahal manusia sesudahmu lebih banyak lagi perselisihan mereka. Maka janganlah kamu sekalian menceritakan (hadits) sesuatu apa pun dari Rasulullah. Dan jika ada orang bertanya kepada kamu, maka katakanlah, 'Antara kami dan kamu ada Kitab Allah, karena itu halalkanlah yang dihalalkannya dan haramkanlah yang diharamkannya.'"[16]
Selain itu, al-Hudlari Bek juga menuturkan adanya lima kasus yang mendorong periwayatan hadits, tiga diantaranya dikaitkan dengan 'Umar dan dua lainnya masing-masing dengan Abu Bakr dan 'Utsman. Yang dikaitkan dengan Abu Bakr dituturkan demikian:
" ... Seorang wanita tua datang kepada Abu Bakr meminta keputusan mengenai waris. Maka dijawabnya, "Tidak kudapati sesuatu apa pun untukmu dalam Kitab Allah, dan tidak kuketahui bahwa Rasulullah s.a.w. menyebutkan sesuatu apa pun untukmu." Kemudian dia (Abu Bakr) bertanya kepada orang banyak, maka berdirilah al-Mughirah dan berkata, "Aku dengar Rasulullah s.a.w. memberinya seperenam." Lalu Abu Bakr bertanya, "Adakah seseorang bersamamu?" Maka Muhammad ibn Maslamah memberi kesaksian tentang hal yang serupa, kemudian Abu Bakr r.a. pun melaksanakannya.[17]
Sedangkan yang terkait dengan 'Umar dituturkan demikian:
" ... Diriwayatkan bahwa 'Umar berkata kepada Ubay, dan dia ini telah meriwayatkan sebuah hadits untuknya, "Engkau harus memberikan bukti atas yang kau katakan itu!" Kemudian Umar keluar, ternyata ada sekelompok orang dari golongan Anshar, maka disampaikanlah kepada mereka ini. Mereka menyahut,"Kami benar telah mendengar hal itu dari Rasulullah s.a.w." Maka kata 'Umar, "Adapun sesungguhnya aku tidaklah hendak menuduhmu, tetapi aku ingin menjadi mantap."[18]
Oleh karena itu sesungguhnya sejak masa amat dini pertumbuhan umat Islam telah ada catatan-catatan pribadi tentang hadits meskipun belum sistematis. Disebutkan bahwa Khalifah Abu Bakr sendiri mempunyai koleksi sekitar 400 hadits, dan 'Umar sendiri pernah terpikir untuk membuat rencana besar untuk mengumpulkan semua hadits, sekurang-kurangnya dalam hafalan, yang sering dia bacakan di Masjid Agung Kufah di masa kekhalifahannya. 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash juga dilaporkan mengumpulkan banyak hadits atas persetujuan Rasulullah sendiri, dan dituliskan dalam sebuah buku yang diberi nama al-Shahifat al-Shadiqah. Buku ini sempat beredar selama dua abad, kemudian sebagiannya dihimpun dalam Musnad Ibn Hanbal.[19]
Sebelum adanya al-Kutub al-Sittah sebenarnya juga telah ada berbagai koleksi Hadits yang cukup sistematik, meskipun tanpa metode otentifikasi al-Syafi'i. Selain Musnad Ibn Hanbal yang telah disebutkan itu, yang paling terkenal dari banyak koleksi itu ialah al-Muwaththa' oleh Malik ibn Anas dari Madinah.
Tetapi memang harus diakui bahwa mengenai persoalan Hadits ini, disebabkan oleh masalah proses pembukuannya yang sedikit-banyak problematik itu, terdapat beberapa hal kontroversial sejak dari semula. Seorang tokoh pembaharu Islam di abad moderen dari Mesir, Rasyid Ridla, misalnya, menganut pandangan bahwa penulisan Hadits memang pada mulanya dibenarkan (oleh Nabi atau para khalifah pertama), tetapi kemudian dilarang.[20] Sebabnya ialah, menurut teori Rasyid Ridla, Nabi tidak memaksudkan Hadits-hadits itu sebagai sumber hukum yang abadi atau pun sebagai bagian dari agama.[21] Karena itu kemudian Nabi melarang menuliskan Hadits, yang larangan itu, menurut Rasyid Ridla ditaati oleh para sahabatnya, khususnya para khalifah empat yang pertama. Bahkan mereka ini katanya, dengan keras menentang penulisan itu. Para Tabi'un (orang-orang Muslim dari generasi sesudah para sahabat Nabi) tidak menemukan rekaman tertulis (shahifah) dari para sahabat, dan mereka itu mencatat Hadits hanya jika ada permintaan dari penguasa seperti khalifah.[22] Karena itu menurut Rasyid Ridla berbagai Hadits yang mengisyaratkan persetujuan atau apalagi anjuran menuliskan Hadits adalah lemah dan dikemukakan hanya untuk tujuan tertentu saja.[23] Teori Rasyid Ridla ini dibantah oleh Muhammad Musthafa al-A'dhami (M. M. Azmi) dengan data-data dan analisa yang lebih lengkap.[24] Tetapi Rasyid Ridla hanya salah satu dari banyak sarjana yang mempersoalkan kedudukan Hadits.[25]
Telah disebutkan bahwa al-Syafi'i adalah sarjana yang paling besar jasanya dalam meletakkan teori tentang kritik dan otentifikasi catatan Hadits. Jalan pikiran al-Syafi'i kemudian diikuti oleh para pemikir di bidang fiqh yang datang kemudian, khususnya Ahmad ibn Hanbal (wafat 234 H [855 M]). Sebagai pengembangan lebih lanjut teori al-Syafi'i, aliran pikiran Hanbali mempunyai ciri kuat sangat menekankan pentingnya Hadits yang dipilih secara seksama. Tetapi, tanpa menolak metode analogi atau qiyas, aliran Hanbali cenderung mengutamakan Hadits, biarpun lemah, atas analogi, biarpun kuat, Mazhab Hanbali mempunyai teori tersendiri tentang analogi. Sebagaimana dijabarkan oleh salah seorang tokohnya yang terbesar, Ibn Taimiyyah (wafat 728 H [1318 M7).[26]
Metode ijma' pun mengandung persoalan. Sekurang-kurangnya Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa ijma' hanyalah yang terjadi di zaman salaf, yaitu zaman Nabi sendiri, para sahabat dan para tabi'un.[27]
Istilah ushul al-fiqh, selain digunakan untuk menunjuk Kitab Suci, Sunnah Nabi, Ijma' dan Qiyas sebagai sumber-sumber pokok pemahaman hukum dalam Islam, juga digunakan untuk menunjuk kepada metode pemahaman hukum itu seperti dikembangkan oleh al-Syafi'i. Ushul al-fiqh dalam pengertian ini dapat dipandang sebagai sejenis filsafat hukum Islam karena sifatnya yang teoretis. Ia membentuk bagian dinamis dari keseluruhan ilmu fiqh, dan dibangun di atas dasar prinsip rasionalitas dan logika tertentu. Karena pentingnya ushul al-fiqh ini, maka di sini dikemukakan beberapa rumus terpenting berkenaan dengan hukum dalam Islam:Segala perkara tergantung kepada maksudnya.
1. Segala perkara tergantung kepada maksudnya.
2. Yang diketahui dengan pasti tidak dapat hilang dengan keraguan.
3. Pada dasarnya sesuatu yang telah ada harus dianggap tetap ada.
4. Pada dasarnya faktor aksidental adalah tidak ada.
5. Sesuatu yang mapan dalam suatu zaman harus dinilai sebagai tetap ada kecuali jika ada petunjuk yang menyalahi prinsip itu.
6. Kesulitan membolehkan keringanan.
7. Segala sesuatu bisa menyempit, meluas, dan sebaliknya.
8. Keadaan darurat membolehkan hal-hal terlarang.
9. Keadaan darurat harus diukur menurut sekadarnya.
10. Sesuatu yang dibolehkan karena suatu alasan menjadi batal jika alasan itu hilang.
11. Jika dua keburukan dihadapi, maka harus dihindari yang lebih besar bahayanya dengan menempuh yang lebih kecil bahayanya.
12. Menghindari keburukan lebih utama daripada mencari kebaikan.
13. Pembuktian berdasar adat sama dengan pembuktian berdasar nas.
14. Adat dapat dijadikan sumber hukum.
15. Sesuatu yang tidak didapat semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya.
16. Ada-tidaknya hukum tergantung kepada illat (alasan)-nya.[28]
Telah disebutkan pada bagian permulaan bahwa ilmu fiqh adalah cabang disiplin keilmuan tradisional Islam yang paling banyak mempengaruhi cara pandang orang-orang Muslim dan pemahaman mereka kepada agama mereka. Karena itu literatur dalam ilmu fiqh adalah yang paling kaya dan paling canggih.
Disebabkan oleh kuatnya orientasi fiqh itu maka masyarakat Islam dimana saja mempunyai ciri orientasi hukum yang amat kuat. Kesadaran akan hak dan kewajiban menjadi tulang punggung pendidikan Islam tradisional, dan itu pada urutannya tercermin dalam kuatnya kepastian hukum dan aturan di kalangan orang-orang Muslim. Disebutkan bahwa salah satu yang menarik pada agama Islam sehingga orang-orang Muslim dalam pergaulan sehari-hari (mu'amalat) sangat mementingkan kepastian hukum, sehingga terdapat keteraturan dan predictability. Ini khususnya penting di kalangan masyarakat perdagangan.[29]
Selanjutnya, beberapa unsur cita-cita pokok Islam berkenaan dengan kemasyarakatan juga lebih nampak pada ilmu fiqh. Prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) tampil kuat sekali dalam ilmu fiqh, dalam bentuk penegasan atas persamaan setiap orang di hadapan hukum. Maka terkait dengan itu juga prinsip keadilan. Hal ini berbeda, misalnya, dengan ilmu tasawuf, khususnya yang berbentuk gerakan tarekat atau sufisme populer, yang sering memperkenalkan susunan sosial yang hirarkis, dengan otoritas keruhanian pimpinan yang menegaskan. Ilmu fiqh juga mempunyai kelebihan atas ilmu kalam, apalagi falsafah, dalam hal bahwa orientasi alamiahnya (praxis) sangat ditekankan. Sementara kalam dan falsafah sangat teoretis, malah spekulatif. Karena itu banyak gerakan reformasi sosial dalam Islam yang bertitik tolak dari doktrin-doktrin fiqh.
Tetapi, disebabkan oleh wataknya sendiri, ilmu fiqh menunjukkan kekurangan, yaitu titik beratnya yang terlalu banyak kepada segi-segi lahiriah. Di bidang keagamaan, eksoterisisme ini lebih-lebih merisaukan, sehingga muncul kritik-kritik, khususnya dari kaum Sufi. Tapi orientasi kedalaman (esoterisisme) kaum Sufi juga sering merisaukan, karena tidak jarang terjerembab ke dalam intuisisme pribadi yang sangat subyektif. Maka agaknya benarlah al-Ghazali yang hendak menyatukan itu semua dalam suatu disiplin ilmu keagamaan yang menyeluruh dan padu.
CATATAN
1 Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional itu masing-masing dapat diidentifikasikan sebagai berikut: ilmu fiqh merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoteris (lahiriah) agama, yaitu terutama aspek hukum dari amalan keagamaan. Para ahli fiqh juga disebut ahl al-dhawahir (kelompok eksoteris). Ilmu tasawuf memperhatikan segi-segi esoteris (kedalaman, kebatinan), dan para ahli tasawuf disebut ahl al-bawathin (kelompok esoteris). Ilmu kalam menggarap segi-segi rasional, namun tetap lebih mengutamakan wahyu, sedangkan falsafah menggarap segi-segi spekulatif dengan kecenderungan kuat kepada metode interprestasi metaforis kepada teks-teks suci. Dari keempatnya itu falsafah adalah yang paling kontroversial, disebabkan persandarannya kepada filsafat Yunani yang amat jauh. Namun ada bagian dari filsafat yang diterima hampir universal di kalangan orang-orang Muslim, yaitu logika formal (silogisme) Aristoteles, yang dalam peradaban Islam dikenal dengan ilmu mantiq (lengkapnya, 'ilm al-manthiq al-aristhi). Al-Ghazali pun, yang terkenal telah berusaha merubuhkan falsafah, menaruh kepercayaan besar kepada ilmu mantiq ini.
2 Seperti halnya dengan Nabi Musa a.s. dan beberapa Nabi yang lain, Nabi Muhammad dikenal dalam sosiologi agama sebagai "nabi bersenjata" (armed prophet). Tapi jauh melampaui "prestasi" Nabi Musa a.s., Nabi Muhammad s.a.w. berhasil merampungkan hal-hal yang berlipatganda lebih besar dari yang dirampungkan oleh Nabi Musa dan generasi berikutnya sampai Nabi Daud a.s. Ketika Rasulullah wafat, praktis seluruh Jazirah Arabia telah tunduk kepada Madinah, dan hanya selang beberapa tahun saja sesudah itu wilayah kekuasaan politik Islam meluas sampai meliputi daerah inti peradaban manusia saat itu.
3 Salah satu yang mendorong orang-orang Muslim itu keluar Jazirah Arabia dan mengadakan bcrbagai ekspedisi militer ialah karena berita-berita yang telah beredar saat-saat terakhir hidup Nabi bahwa orang-orang Byzantium yang telah merasa terancam oleh munculnya gerakan Islam itu telah menyiapkan pasukan yang sangat besar di perbatasan utara untuk menghancurkan masyarakat Islam. Bahkan sebelum wafatnya, Rasulullah s.a.w. telah sempat mengirim ekspedisi militer ke sana. Ekspedisi yang dikirim Nabi itu kemudian ditafsirkan sebagai semacam wasiat yang harus dilaksanakan, dan itulah permulaan sekalian ekspedisi dan ekspansi militer yang terjadi selanjutnya.
4 Kedudukan Nabi sebagai hakim pemutus perkara ini antara lain dikukuhkan dalam sebuah firman, Q., s. al-Nisa'/4:65, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka berhakim kepadamu berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan antara mereka, kemudian mereka tidak menemui kekerabatan dalam diri mereka atas keputusan yang telah kau ambil, dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya." Firman ini dan lain-lainnya juga sering menjadi acuan sebagai penegasan kewajiban mengikuti Nabi melalui Sunnah yang ditinggalkan beliau.
5 Ini bisa dipahami dari firman Allah, Q. s. Hud/11:88, yang menuturkan Nabi Syu'aib dalam pernyataannya kepada kaumnya; "Aku hanyalah menghendaki perbaikan (ishlah, reformasi) sedapatdapatku."
6 Hadits yang terkenal mengatakan, "Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia dibuat paham (fiqh) dalam agama."
7 Q. s. al-Tawbah/9:122," Maka hendaknyalah pada setiap golongan dari mereka (orang-orang yang beriman) itu ada sekelompok orang yang tidak ikut (berperang) untuk mendalami agama (tafaqquh), dan untuk dapat memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka itu telah kembali (dari perang) agar mereka semuanya waspada." Dan waspada dalam hal ini, seperti taqwa, mengandung arti menjunjung tinggi moralitas.
8 Sebuah Hadits yang terkenal bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti luhur."
9 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kuwait: Dar al-Bayan, 1388 H/ 1968 M), j. 1, h. 13.
10 Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah (Beirut: Mathba'at Syiarku, 1388 H/1968 M, cetakan kelima), h. 15
11 Lihat catatan 1 di atas.
12 Di antara para khalifah Umawiyah yang terkenal sangat saleh ialah 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz yang salah satu usahanya ialah mendamaikan pertikaian keagamaan antara kaum Sunni dan kaum Syi'i. Disebut-sebut bahwa yang sesungguhnya untuk pertama kali mendorong pembukuan Hadits, misalnya, adalah Khalifah ini, yang telah memerintahkan usaha itu kepada antara lain al-Zuhrf. Lihat M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), h. 18.
13 Ketidakpuasan umum kepada ketidakacuhan orang-orang Umawi dalam soal-soal keagamaan telah ikut mendorong meletus dan berhasilnya Revolusi Abbasiyah yang didukung oleh para agamawan itu. Meskipun dalam banyak hal, seperti sikap memihak kepada golongan Sunni, kaum Abbasiyah tak berbeda dari kaum Umawiyah, tapi yang tersebut terdahulu itu menunjukkan minat yang lebih besar kepada hal-hal khusus keagamaan. Ini menciptakan suasana yang baik untuk pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya ilmu fiqh.
14 Mungkin karena rasa pertentangan yang laten kepada para pengikut 'Ali (kaum Syi'ah), kaum Umawiyah di Damaskus banyak menaruh simpati kepada 'Umar ibn al-Khaththab, dan mengaku bahwa dalam menjalankan beberapa segi pemerintahannya mereka meneruskan tradisi yang ditinggalkan oleh Khalifah Rasul yang kedua itu.
15 Kutipan dari Kitab al-Kharaj akan memberi gambaran yang jelas tentang nuktah ini:
"... Sesungguhnya Amir al-Mu'minin --semoga Allah Ta'ala meneguhkannya-- telah meminta kepadaku untuk menulis sebuah buku yang komprehensif dan meminta agar aku menjelaskan untuknya hal-hal yang ia tanyakan kepadaku dari perkara yang hendak ia amalkan, serta agar aku menafsirkan dan menjabarkannya. Maka benar-benar telah aku jelaskan hal itu semua dan kujabarkan.
Wahai Amir al-Mu'minin, sesungguhnya Allah --segala puji bagi-Nya-- telah meletakkan di atas suatu perkara yang besar pahalanya adalah sebesar-besar pahala, dan siksanya adalah sebesar-besar siksa. Allah telah meletakkan padamu urusan umat ini, maka engkau diwaktu pagi maupun petang membangun untuk orang banyak yang Allah telah menitipkan mereka itu kepadamu, mempercayakan mereka kepadamu, menguji kamu dengan mereka itu, dan menyerahkan kepadamu urusan mereka itu. Dan suatu bangunan tetap saja --jika didasarkan kepada selain taqwa-- akan dirusakkan Allah dari sendi-sendinya kemudian merobohkannya menimpa orang yang membangunnya sendiri dan orang lain yang membantunya. Maka janganlah sekali-sekali menyia-nyiakan urusan umat dan rakyat yang telah dibebankan Allah kepadamu ini, sebab kekuatan berbuat itu terjadi hanya seizin Allah ..." Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim, Kitab al-Kharaj (Kairo: al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1382 H, h. 3).
16 Al-Syaikh Muhammad al-Hudlarf Bek, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387 H/1967 mO, h. 90-91.
17 Ibid., h. 93.
18 Ibid., h. 93-94.
19 Majallat Kulliyyat al-Dirasat al-Islamiyyah (Baghdad: Mathb'at al Irsyad) NO. 2, 1388 H/1968 M, h. 119-120.
20 Azami, Early Hadith, h. 24, mengutip dari Rasyid Ridla, Review on Early Compilation, al-Manar, x, 767.
21 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.
22 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.
23 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 765-6.
24 Lihat Azami, h. 25, dan bab III untuk pembahasan ini.
25 Kritik terhadap pembukuan Hadits juga dilakukan oleh antara lain Chirargh 'Ali dari anak benua India, juga oleh para orientalis seperti Joseph Schacht yang banyak mengundang reaksi dari para sarjana Muslim disebabkan baik metodologi maupun kesimpulannya yang terlalu jauh.
26 Lihat antara lain Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Qiyas fi al-Syar' al-Islami (Kairo: Mathba'at al-Salafiyyah, 1346 H).
27 Lihat Ibn Taimiyyah, al-Muntaqa min Mintaj al-I'tidal (ringkasan. Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah yang dibuat oleh al-Dzahabi) (Kairo: Mathb'at al-Salafiyyah, 1374 H), h. 66-7.
28 Lihat Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah, h. 16-18.
29 Banyak buku tentang ushul al-fiqh ditulis para ahli, antara lain yang amat praktis oleh Abd al-Hamid Hakim, Mabadi' Awwaliyyah (Padang-Panjang). Juga bisa disebut karya yang lebih teoritis oleh 'Abd al-Wahhab al-Khallaf, 'Ilm Ushu al-Fiqh (Kuwait: al-Dar al-Kuwaitiyyah, 1388 H/1968 M). Tentu saja dari masa klasik ialah karya al-Syafi'i, al-Risalah (lih. terjemah Indonesianya).
Islam, Doktrin dan Peradaban
oleh Dr. Nurcholish Madjid
Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh (Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan) (3/3)
Salah satu karakteristik historis agama Islam ialah kesuksesan yang cepat luar biasa dalam ekspansi militer dan politik.[2] Ada indikasi bahwa ekspansi militer ke luar Jazirah Arabia itu mula-mula dilakukan dalam keadaan terpaksa dan untuk tujuan pertahanan diri.[3] Tetapi dinamika gerakan perluasan itu kemudian seperti tidak dapat dikekang, dan dalam tempo amat singkat orang-orang Muslim menguasai sepenuhnya "daerah beradab" (Oikoumene, menurut sebutan orang-orang Yunani kuna), yang membentang dari Lautan Atlantik di barat sampai Gurun Gobi di timur. Sebuah kemaharajaan (empire) dunia telah lahir dengan keluasan wilayah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Disebabkan oleh ciri kekuasaan itu maka sejak dari semula, khususnya dikalangan kaum Sunni, agama Islam dengan erat terkait dengan kemapanan politik. Di antara sekian banyak implikasinya ialah bahwa para pemimpin Islam, baik yang berada pada lingkungan kekuasaan maupun yang menekuni bidang pemikiran, banyak sekali disibukkan oleh usaha-usaha mengatur masyarakat dan negara sebaik-baiknya. Ini mendorong kepada curahan perhatian yang luar biasa besar untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur dalam ajaran agama Islam yang berhubungan dengan masalah pengaturan masyarakat dan negara.
Pangkal Pertumbuhan Fiqh
Dari suatu segi, ilmu fiqh, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Jika "fiqh" dibatasi hanya kepada pengertiannya sebagai "hukum" seperti yang sekarang umum dipahami orang, maka akar "hukum" yang amat erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam salah satu peranan Nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah), khususnya selama periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara.[4]
Peranan Nabi sebagai pemutus perkara itu sendiri harus dipandang sebagai tak terpisahkan dari fungsi beliau sebagai utusan Tuhan. Seperti halnya dengan semua penganjur agama dan moralitas, Nabi Muhammad s.a.w. membawa ajaran dengan tujuan amat penting reformasi atau pembabaruan dan perbaikan (ishlah)[5] kehidupan masyarakat. Berada dalam inti reformasi itu ialah aspirasi keruhanian (sebagai pengimbang aspirasi keduniawian semata) yang populis (cita-cita keadilan dengan semangat kuat anti elitisme dan hirarki sosial) dan yang bersifat universal (berlaku untuk semua orang, di semua tempat dan waktu).
Tetapi peranan Nabi dengan tugas kerasulan (risalah) yang diembannya tidaklah hanya bersangkutan dengan hal-hal kemasyarakatan semata. Dalam kesanggupan menangkap dan memahami serta mengamalkan keseluruhan makna agama yang serba segi itu ialah sesungguhnya letak perbaikan dan peningkatan nilai kemanusiaan seseorang. Inilah kurang lebih yang dimaksudkan Nabi ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits yang amat terkenal bahwa jika Tuhan menghendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah ia menjadi faqih (orang yang paham) akan agamanya.[6] Demikian pula sebuah firman Ilahi yang tidak jauh maknanya dari hadits itu, yang menegaskan hendaknya dalam setiap masyarakat selalu ada kelompok orang yang melakukan tafaqquh (usaha memahami secara mendalam) tentang agamanya. Diharapkan agar para "Spesialis" ini dapat menjalankan peran sebagai sumber kekuatan moral (moral force) masyarakat.[7] Maka suatu masyarakat tumbuh menjadi masyarakat hukum (legal society), namun dasar strukturnya itu ialah hakikat suatu masyarakat akhlaq (ethical society).[8]
Berkenaan dengan prinsip ini al-Sayyid Sabiq, misalnya, mengatakan bahwa Allah mengutus Muhammad s.a.w. dengan kecenderungan suci yang lapang (al-hanifiyyat al-samhah). Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa "Agama yang paling disukai Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah." Kemudian kecenderungan suci yang lapang itu dilengkapi dengan tata cara hidup praktis yang serba meliputi (al-syari'at al-jami'ah). Namun dalam sifatnya yang menyeluruh itu masih dapat dikenali adanya dua hal yang berbeda: hal-hal parametris keagamaan yang tidak berubah-ubah, dan hal-hal dinamis, yang berubah menurut perubahan zaman dan tempat:
Adapun hal-hal yang tidak berubah karena perubahan zaman dan tempat, seperti simpul-simpul kepercayaan (al-'aqa'id) dan peribadatan (al-'ibadat), maka diberikan secara terinci (mufashshal) dengan rincian yang sempurna, serta dijelaskan dengan nas-nas yang serba meliputi. Karena itu tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Sedangkan hal-hal yang berubah dengan perubahan zaman dan tempat, seperti berbagai kemaslahatan sipil (al-mashalih al-madaniyyah) serta berbagai perkara politik dan perang, maka diberikan secara garis besar (mujmal) agar bersesuaian dengan kemaslahatan manusia di setiap masa, dan dengan ketentuan itu para pemegang wewenang (ulu al-amr, jamak dari wali al-amr, pemegang kekuasaan, yakni, pemerintah) dapat mencari petunjuk dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan.[9]
Maka ilmu fiqh dalam makna asalnya adalah ilmu yang berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan terinci (al-mufashshalat) dan ketentuan-ketentuan garis besar (al-mujmalat) dalam ajaran agama itu. Tentang hal-hal yang telah terinci, dengan sendirinya tidak banyak kesulitan. Tetapi tentang hal-hal yang bersifat garis besar, perbedaan penafsiran dan penjabarannya sering menjadi sumber kesulitan yang menimbulkan berbagai perbedaan pendapat antara para pemikir Muslim dalam fase perkembangan historis mereka yang paling formatif.
Masa-masa Perkembangan Formatif
Melalui masa-masa perkembangan formatifnya, ilmu fiqh memperoleh batasnya yang jelas. Sejalan dengan yang telah dikemukakan di atas, batasan itu kurang lebih adalah:
Fiqh ialah ilmu tentang masalah-masalah syara'iyah secara teoritis. Masalah-masalah fiqh itu berkenaan dengan perkara akhirat seperti hal-hal peribadatan (ibadat) atau berkenaan dengan perkara dunia yang terbagi menjadi munakahat (tentang pernikahan), mu'amalat (tentang berbagai transaksi dalam masyarakat) dan 'uqubat (tentang hukuman)...Demi terpeliharanya keadilan dan ketertiban antara sesama manusia serta menjaga mereka dari kehancuran maka diperlukanlah ketentuan-ketentuan yang diperkuat oleh syari'at berkenaan dengan perkara perkawinan, dan itulah bagian munakahat dari ilmu fiqh; kemudian berkenaan dengan perkara peradaban dalam bentuk gotong-royong dan kerjasama, dan itulah bagian mu'amalat dari ilmu fiqh; dan untuk memelihara perkara peradaban itu agar tetap pada garisnya ini diperlukan penyusunan hukum-hukum pembalasan, dan inilah bagian 'uqubat dari ilmu fiqh.[10]
Dari definisi dan penjelasan tentang hakikat ilmu fiqh itu nampak dengan jelas titik berat orientasi fiqh kepada masalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya, yang inti kerangka pengaturan itu ialah masalah-masalah hukum. Bahkan meskipun masalah-masalah ibadat juga termasuk ke dalam ilmu fiqh --justru merupakan yang pertama-tama dibahas-- namun cara pandang ilmu fiqh terhadap ibadat pun tetap bertitikberatkan orientasi hukum. Dalam hal ini terkenal pembagian hukum yang lima: wajib mandub, mubah, makruh dan haram. Disamping itu terdapat cara penilaian kepada sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau tidak.[11]
Telah dikemukakan bahwa situasi yang mendesak orang-orang Muslim untuk menjabarkan melalui penalaran unsur-unsur dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah pengaturan masyarakat ialah adanya kekuasaan politik yang sangat riil. Kekuasaan itu tidak saja secara geografis meliputi daerah oikoumene yang amat luas, tetapi juga secara demografis mencakup berbagai bangsa dan agama yang beraneka ragam. Desakan kepada penalaran itu kemudian juga kodifikasinya sesungguhnya sudah ada semenjak masa Dinasti Umawiyah (40-131 H [661-750 M].[12] Tetapi para penguasa Umawiyah di Damaskus itu agaknya kurang tanggap terhadap desakan itu. Namun masa Umawiyah telah sempat melahirkan usaha cukup penting ke arah penyusunan sistematik ilmu fiqh dan kodifikasinya, dalam konteks Syria dan sistem pemerintahan Umawi, khususnya oleh tokoh al-Awzd'i (wafat 155 H [774 M]). Dan baru pada masa dinasti Abbasiyah (131-415 H [750-974 M]) usaha penyusunan sistematik ilmu fiqh itu dan kodifikasinya berkembang menjadi seperti yang sebagian besar bertahan sampai sekarang.[13]
Pada masa peralihan dari dinasti Umawiyah ke dinasti Abbasiyah itu hidup seorang sarjana fiqh yang terkenal, Abu Hanifah (79-148 H [699-767 M]). Aliran pikiran (madzhab, school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan Irak dan suasana pemerintahan Abbasiyah. Tetapi dari masa dinasti Abbasiyah itu yang paling formatif bagi pertumbuhan ilmu fiqh, seperti juga bagi pertumbuhan ilmu-ilmu yang lain, ialah masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H [786-809 M]). Pada masa pemerintahannya itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah yang hebat, Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim (113-182 H [732-798 M]). Harun al-Rasyid meminta kepada Abu Yusuf untuk menulis baginya buku tentang al-kharaj (semacam sistem perpajakan) menurut hukum Islam (fiqh). Abu Yusuf memenuhinya, tetapi buku yang ditulisnya dengan nama Kitab al-Kharaj itu menjadi lebih dari sekedar membahas soal perpajakan, melainkan telah menjelma menjadi usaha penyusunan sistematik dan kodifikasi ilmu fiqh yang banyak ditiru atau dicontoh oleh ahli-ahli yang datang kemudian. Lebih jauh lagi, menyerupai jejak pemikiran al-Awza'i dari Syria di masa Umawiyah tersebut di atas, Abu Yusuf dalam Kitdb al-Kharaj menyajikan kembali sistem hukum yang dipraktekkan di zaman Umawiyah, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan (64-85 H [685-705 M]), yang dalam memerintah berusaha meneladani praktek Khalifah 'Umar ibn al-Khaththab.[14] Oleh karena itu Kitab al-Kharaj banyak mengisahkan kembali kebijaksanaan Khalifah 'Umar, yang agaknya juga dikagumi oleh Harun al-Rasyid sendiri. (Dalam pengantar untuk karyanya itu, Abu Yusuf dengan tegas dan tandas menasehati dan memperingatkan Harun al-Rasyid untuk menjalankan amanat pemerintahannya dengan adil, seperti yang telah dilakukan oleh 'Umar).[15]
Hampir semasa dengan Abu Hanifah di Irak (Kufah), tampil pula Anas ibn Malik (715-795) di Hijaz (Madinah). Aliran pikiran Abu Hanifah (madzhab Hanafi) banyak menggunakan analogi (qiyas) dan pertimbangan kebaikan umum (istishlah) dan tumbuh dalam lingkungan pemerintah pusat, sama halnya dengan aliran pikiran al-Awza'i di Syria (Damaskus) sebelumnya. Berbeda dengan keduanya itu, aliran pikiran Anas ibn Malik (madzhab Maliki) terbentuk oleh suasana lingkungan Hijaz, khususnya Madinah, yang sangat memperhatikan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya.
Anas ibn Malik mempunyai seorang murid, yaitu Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (wafat 204 H [820 M]. Al-Syafi'i meneruskan tema aliran pikiran gurunya dan mengembangkannya dengan membangun teori yang ketat untuk menguji kebenaran sebuah laporan tentang sunnah, terutama tentang hadits yang diriwayatkan langsung dari Nabi. Tetapi al-Syafi'i juga menerima tema aliran pikiran Hanafi yang dipelajari dari al-Syaibani (wafat 186 H [805 M]), yaitu penggunaan analogi, dan mengembangkannya menjadi sebuah teori yang sistematika dan universal tentang metode memahami hukum.
Dengan demikian maka al-Syafi'i berjasa meletakkan dasar-dasar teoritis tentang dua hal, yaitu, pertama, Sunnah, khususnya yang dalam bentuk Hadits, sebagai sumber memahami hukum Islam setelah al-Qur'an, dan, kedua, analogi atau qiyas sebagai metode rasional memahami dan mengembangkan hukum itu. Sementara itu, konsensus atau ijma' yang ada dalam masyarakat, yang kebanyakan bersumber atau menjelma menjadi sejenis kebiasaan yang berlaku umum (al-'urf), juga diterima oleh al-Syafi'i, meskipun ia tidak pernah membangun teorinya yang tuntas. Dengan begitu pangkal tolak ilmu fiqh (ushul al-fiqh), berkat al-Syafi'i, ada empat, yaitu Kitab Suci, Sunnah Nabi, ijma' dan qiyas.
Hadits sebagai Sunnah
Kitab Suci al-Qur'an telah dibukukan dalam sebuah buku terjilid (mushhaf) sejak masa khalifah Abu Bakr (atas saran 'Umar) dan diseragamkan oleh 'Utsman untuk seluruh Dunia Islam berdasarkan mushhaf peninggalan pendahulunya itu. Dalam hal ini Hadits berbeda dari al-Qur'an, karena kodifikasinya yang metodologis (dengan otentifikasi menurut teori al-Syafi'i) baru dimulai sekitar setengah abad setelah al-Syafi'i sendiri. Pelopor kodifikasi metodologi itu ialah al-Bukhari (wafat 256 H [870 M]), kemudian disusul oleh Muslim (wafat 261 H [875 M]), Ibn Majah (wafat 273 H [886 M]), Abu Dawud (wafat 275 H [888 M]), al-Turmudzi (wafat 279 H [892 M]) dan, akhirnya, al-Nasa'i (wafat 308 H [916 M]). Mereka ini kemudian menghasilkan kodifikasi metodologis Hadits yang selanjutnya dianggap bahan referensi utama di bidang hadits, dan secara keseluruhannya dikenal sebagai al-Kutub al-Sittah (Buku yang Enam).
Masa yang cukup panjang, yang ditempuh oleh proses pembukuan hadits sehingga menghasilkan dokumentasi yang dianggap final itu --berbeda halnya dengan masalah al-Qur'an-- adalah disebabkan adanya semacam kontroversi mengenai pembukuan hadits ini hampir sejak dari masa Nabi sendiri. Al-Syaikh Muhammad al-Hudlari Bek dalam bukunya yang terkenal, Tarikh al-Tasyri al-Islami (Sejarah Penetapan Hukum Syari'at Islam) menyebutkan adanya delapan kasus tindakan menghambat pencatatan hadits, lima di antaranya dihubungkan dengan 'Umar, dan tiga lainnya dengan masing-masing Abu Bakr, 'Ali, dan 'Abdullah ibn Mas'ud, yang dihubungkan dengan Abu Bakr dituturkan demikian:
"Bahwa (abu Bakr) al-Shiddiq mengumpulkan orang banyak setelah wafat Nabi mereka, kemudian berkata, "Kamu semuanya menceritakan banyak hadits dari Rasulullah s.a.w. yang kamu perselisihkan. Padahal manusia sesudahmu lebih banyak lagi perselisihan mereka. Maka janganlah kamu sekalian menceritakan (hadits) sesuatu apa pun dari Rasulullah. Dan jika ada orang bertanya kepada kamu, maka katakanlah, 'Antara kami dan kamu ada Kitab Allah, karena itu halalkanlah yang dihalalkannya dan haramkanlah yang diharamkannya.'"[16]
Selain itu, al-Hudlari Bek juga menuturkan adanya lima kasus yang mendorong periwayatan hadits, tiga diantaranya dikaitkan dengan 'Umar dan dua lainnya masing-masing dengan Abu Bakr dan 'Utsman. Yang dikaitkan dengan Abu Bakr dituturkan demikian:
" ... Seorang wanita tua datang kepada Abu Bakr meminta keputusan mengenai waris. Maka dijawabnya, "Tidak kudapati sesuatu apa pun untukmu dalam Kitab Allah, dan tidak kuketahui bahwa Rasulullah s.a.w. menyebutkan sesuatu apa pun untukmu." Kemudian dia (Abu Bakr) bertanya kepada orang banyak, maka berdirilah al-Mughirah dan berkata, "Aku dengar Rasulullah s.a.w. memberinya seperenam." Lalu Abu Bakr bertanya, "Adakah seseorang bersamamu?" Maka Muhammad ibn Maslamah memberi kesaksian tentang hal yang serupa, kemudian Abu Bakr r.a. pun melaksanakannya.[17]
Sedangkan yang terkait dengan 'Umar dituturkan demikian:
" ... Diriwayatkan bahwa 'Umar berkata kepada Ubay, dan dia ini telah meriwayatkan sebuah hadits untuknya, "Engkau harus memberikan bukti atas yang kau katakan itu!" Kemudian Umar keluar, ternyata ada sekelompok orang dari golongan Anshar, maka disampaikanlah kepada mereka ini. Mereka menyahut,"Kami benar telah mendengar hal itu dari Rasulullah s.a.w." Maka kata 'Umar, "Adapun sesungguhnya aku tidaklah hendak menuduhmu, tetapi aku ingin menjadi mantap."[18]
Oleh karena itu sesungguhnya sejak masa amat dini pertumbuhan umat Islam telah ada catatan-catatan pribadi tentang hadits meskipun belum sistematis. Disebutkan bahwa Khalifah Abu Bakr sendiri mempunyai koleksi sekitar 400 hadits, dan 'Umar sendiri pernah terpikir untuk membuat rencana besar untuk mengumpulkan semua hadits, sekurang-kurangnya dalam hafalan, yang sering dia bacakan di Masjid Agung Kufah di masa kekhalifahannya. 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash juga dilaporkan mengumpulkan banyak hadits atas persetujuan Rasulullah sendiri, dan dituliskan dalam sebuah buku yang diberi nama al-Shahifat al-Shadiqah. Buku ini sempat beredar selama dua abad, kemudian sebagiannya dihimpun dalam Musnad Ibn Hanbal.[19]
Sebelum adanya al-Kutub al-Sittah sebenarnya juga telah ada berbagai koleksi Hadits yang cukup sistematik, meskipun tanpa metode otentifikasi al-Syafi'i. Selain Musnad Ibn Hanbal yang telah disebutkan itu, yang paling terkenal dari banyak koleksi itu ialah al-Muwaththa' oleh Malik ibn Anas dari Madinah.
Tetapi memang harus diakui bahwa mengenai persoalan Hadits ini, disebabkan oleh masalah proses pembukuannya yang sedikit-banyak problematik itu, terdapat beberapa hal kontroversial sejak dari semula. Seorang tokoh pembaharu Islam di abad moderen dari Mesir, Rasyid Ridla, misalnya, menganut pandangan bahwa penulisan Hadits memang pada mulanya dibenarkan (oleh Nabi atau para khalifah pertama), tetapi kemudian dilarang.[20] Sebabnya ialah, menurut teori Rasyid Ridla, Nabi tidak memaksudkan Hadits-hadits itu sebagai sumber hukum yang abadi atau pun sebagai bagian dari agama.[21] Karena itu kemudian Nabi melarang menuliskan Hadits, yang larangan itu, menurut Rasyid Ridla ditaati oleh para sahabatnya, khususnya para khalifah empat yang pertama. Bahkan mereka ini katanya, dengan keras menentang penulisan itu. Para Tabi'un (orang-orang Muslim dari generasi sesudah para sahabat Nabi) tidak menemukan rekaman tertulis (shahifah) dari para sahabat, dan mereka itu mencatat Hadits hanya jika ada permintaan dari penguasa seperti khalifah.[22] Karena itu menurut Rasyid Ridla berbagai Hadits yang mengisyaratkan persetujuan atau apalagi anjuran menuliskan Hadits adalah lemah dan dikemukakan hanya untuk tujuan tertentu saja.[23] Teori Rasyid Ridla ini dibantah oleh Muhammad Musthafa al-A'dhami (M. M. Azmi) dengan data-data dan analisa yang lebih lengkap.[24] Tetapi Rasyid Ridla hanya salah satu dari banyak sarjana yang mempersoalkan kedudukan Hadits.[25]
Telah disebutkan bahwa al-Syafi'i adalah sarjana yang paling besar jasanya dalam meletakkan teori tentang kritik dan otentifikasi catatan Hadits. Jalan pikiran al-Syafi'i kemudian diikuti oleh para pemikir di bidang fiqh yang datang kemudian, khususnya Ahmad ibn Hanbal (wafat 234 H [855 M]). Sebagai pengembangan lebih lanjut teori al-Syafi'i, aliran pikiran Hanbali mempunyai ciri kuat sangat menekankan pentingnya Hadits yang dipilih secara seksama. Tetapi, tanpa menolak metode analogi atau qiyas, aliran Hanbali cenderung mengutamakan Hadits, biarpun lemah, atas analogi, biarpun kuat, Mazhab Hanbali mempunyai teori tersendiri tentang analogi. Sebagaimana dijabarkan oleh salah seorang tokohnya yang terbesar, Ibn Taimiyyah (wafat 728 H [1318 M7).[26]
Metode ijma' pun mengandung persoalan. Sekurang-kurangnya Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa ijma' hanyalah yang terjadi di zaman salaf, yaitu zaman Nabi sendiri, para sahabat dan para tabi'un.[27]
Istilah ushul al-fiqh, selain digunakan untuk menunjuk Kitab Suci, Sunnah Nabi, Ijma' dan Qiyas sebagai sumber-sumber pokok pemahaman hukum dalam Islam, juga digunakan untuk menunjuk kepada metode pemahaman hukum itu seperti dikembangkan oleh al-Syafi'i. Ushul al-fiqh dalam pengertian ini dapat dipandang sebagai sejenis filsafat hukum Islam karena sifatnya yang teoretis. Ia membentuk bagian dinamis dari keseluruhan ilmu fiqh, dan dibangun di atas dasar prinsip rasionalitas dan logika tertentu. Karena pentingnya ushul al-fiqh ini, maka di sini dikemukakan beberapa rumus terpenting berkenaan dengan hukum dalam Islam:Segala perkara tergantung kepada maksudnya.
1. Segala perkara tergantung kepada maksudnya.
2. Yang diketahui dengan pasti tidak dapat hilang dengan keraguan.
3. Pada dasarnya sesuatu yang telah ada harus dianggap tetap ada.
4. Pada dasarnya faktor aksidental adalah tidak ada.
5. Sesuatu yang mapan dalam suatu zaman harus dinilai sebagai tetap ada kecuali jika ada petunjuk yang menyalahi prinsip itu.
6. Kesulitan membolehkan keringanan.
7. Segala sesuatu bisa menyempit, meluas, dan sebaliknya.
8. Keadaan darurat membolehkan hal-hal terlarang.
9. Keadaan darurat harus diukur menurut sekadarnya.
10. Sesuatu yang dibolehkan karena suatu alasan menjadi batal jika alasan itu hilang.
11. Jika dua keburukan dihadapi, maka harus dihindari yang lebih besar bahayanya dengan menempuh yang lebih kecil bahayanya.
12. Menghindari keburukan lebih utama daripada mencari kebaikan.
13. Pembuktian berdasar adat sama dengan pembuktian berdasar nas.
14. Adat dapat dijadikan sumber hukum.
15. Sesuatu yang tidak didapat semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya.
16. Ada-tidaknya hukum tergantung kepada illat (alasan)-nya.[28]
Telah disebutkan pada bagian permulaan bahwa ilmu fiqh adalah cabang disiplin keilmuan tradisional Islam yang paling banyak mempengaruhi cara pandang orang-orang Muslim dan pemahaman mereka kepada agama mereka. Karena itu literatur dalam ilmu fiqh adalah yang paling kaya dan paling canggih.
Disebabkan oleh kuatnya orientasi fiqh itu maka masyarakat Islam dimana saja mempunyai ciri orientasi hukum yang amat kuat. Kesadaran akan hak dan kewajiban menjadi tulang punggung pendidikan Islam tradisional, dan itu pada urutannya tercermin dalam kuatnya kepastian hukum dan aturan di kalangan orang-orang Muslim. Disebutkan bahwa salah satu yang menarik pada agama Islam sehingga orang-orang Muslim dalam pergaulan sehari-hari (mu'amalat) sangat mementingkan kepastian hukum, sehingga terdapat keteraturan dan predictability. Ini khususnya penting di kalangan masyarakat perdagangan.[29]
Selanjutnya, beberapa unsur cita-cita pokok Islam berkenaan dengan kemasyarakatan juga lebih nampak pada ilmu fiqh. Prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) tampil kuat sekali dalam ilmu fiqh, dalam bentuk penegasan atas persamaan setiap orang di hadapan hukum. Maka terkait dengan itu juga prinsip keadilan. Hal ini berbeda, misalnya, dengan ilmu tasawuf, khususnya yang berbentuk gerakan tarekat atau sufisme populer, yang sering memperkenalkan susunan sosial yang hirarkis, dengan otoritas keruhanian pimpinan yang menegaskan. Ilmu fiqh juga mempunyai kelebihan atas ilmu kalam, apalagi falsafah, dalam hal bahwa orientasi alamiahnya (praxis) sangat ditekankan. Sementara kalam dan falsafah sangat teoretis, malah spekulatif. Karena itu banyak gerakan reformasi sosial dalam Islam yang bertitik tolak dari doktrin-doktrin fiqh.
Tetapi, disebabkan oleh wataknya sendiri, ilmu fiqh menunjukkan kekurangan, yaitu titik beratnya yang terlalu banyak kepada segi-segi lahiriah. Di bidang keagamaan, eksoterisisme ini lebih-lebih merisaukan, sehingga muncul kritik-kritik, khususnya dari kaum Sufi. Tapi orientasi kedalaman (esoterisisme) kaum Sufi juga sering merisaukan, karena tidak jarang terjerembab ke dalam intuisisme pribadi yang sangat subyektif. Maka agaknya benarlah al-Ghazali yang hendak menyatukan itu semua dalam suatu disiplin ilmu keagamaan yang menyeluruh dan padu.
CATATAN
1 Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional itu masing-masing dapat diidentifikasikan sebagai berikut: ilmu fiqh merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoteris (lahiriah) agama, yaitu terutama aspek hukum dari amalan keagamaan. Para ahli fiqh juga disebut ahl al-dhawahir (kelompok eksoteris). Ilmu tasawuf memperhatikan segi-segi esoteris (kedalaman, kebatinan), dan para ahli tasawuf disebut ahl al-bawathin (kelompok esoteris). Ilmu kalam menggarap segi-segi rasional, namun tetap lebih mengutamakan wahyu, sedangkan falsafah menggarap segi-segi spekulatif dengan kecenderungan kuat kepada metode interprestasi metaforis kepada teks-teks suci. Dari keempatnya itu falsafah adalah yang paling kontroversial, disebabkan persandarannya kepada filsafat Yunani yang amat jauh. Namun ada bagian dari filsafat yang diterima hampir universal di kalangan orang-orang Muslim, yaitu logika formal (silogisme) Aristoteles, yang dalam peradaban Islam dikenal dengan ilmu mantiq (lengkapnya, 'ilm al-manthiq al-aristhi). Al-Ghazali pun, yang terkenal telah berusaha merubuhkan falsafah, menaruh kepercayaan besar kepada ilmu mantiq ini.
2 Seperti halnya dengan Nabi Musa a.s. dan beberapa Nabi yang lain, Nabi Muhammad dikenal dalam sosiologi agama sebagai "nabi bersenjata" (armed prophet). Tapi jauh melampaui "prestasi" Nabi Musa a.s., Nabi Muhammad s.a.w. berhasil merampungkan hal-hal yang berlipatganda lebih besar dari yang dirampungkan oleh Nabi Musa dan generasi berikutnya sampai Nabi Daud a.s. Ketika Rasulullah wafat, praktis seluruh Jazirah Arabia telah tunduk kepada Madinah, dan hanya selang beberapa tahun saja sesudah itu wilayah kekuasaan politik Islam meluas sampai meliputi daerah inti peradaban manusia saat itu.
3 Salah satu yang mendorong orang-orang Muslim itu keluar Jazirah Arabia dan mengadakan bcrbagai ekspedisi militer ialah karena berita-berita yang telah beredar saat-saat terakhir hidup Nabi bahwa orang-orang Byzantium yang telah merasa terancam oleh munculnya gerakan Islam itu telah menyiapkan pasukan yang sangat besar di perbatasan utara untuk menghancurkan masyarakat Islam. Bahkan sebelum wafatnya, Rasulullah s.a.w. telah sempat mengirim ekspedisi militer ke sana. Ekspedisi yang dikirim Nabi itu kemudian ditafsirkan sebagai semacam wasiat yang harus dilaksanakan, dan itulah permulaan sekalian ekspedisi dan ekspansi militer yang terjadi selanjutnya.
4 Kedudukan Nabi sebagai hakim pemutus perkara ini antara lain dikukuhkan dalam sebuah firman, Q., s. al-Nisa'/4:65, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka berhakim kepadamu berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan antara mereka, kemudian mereka tidak menemui kekerabatan dalam diri mereka atas keputusan yang telah kau ambil, dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya." Firman ini dan lain-lainnya juga sering menjadi acuan sebagai penegasan kewajiban mengikuti Nabi melalui Sunnah yang ditinggalkan beliau.
5 Ini bisa dipahami dari firman Allah, Q. s. Hud/11:88, yang menuturkan Nabi Syu'aib dalam pernyataannya kepada kaumnya; "Aku hanyalah menghendaki perbaikan (ishlah, reformasi) sedapatdapatku."
6 Hadits yang terkenal mengatakan, "Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia dibuat paham (fiqh) dalam agama."
7 Q. s. al-Tawbah/9:122," Maka hendaknyalah pada setiap golongan dari mereka (orang-orang yang beriman) itu ada sekelompok orang yang tidak ikut (berperang) untuk mendalami agama (tafaqquh), dan untuk dapat memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka itu telah kembali (dari perang) agar mereka semuanya waspada." Dan waspada dalam hal ini, seperti taqwa, mengandung arti menjunjung tinggi moralitas.
8 Sebuah Hadits yang terkenal bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti luhur."
9 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kuwait: Dar al-Bayan, 1388 H/ 1968 M), j. 1, h. 13.
10 Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah (Beirut: Mathba'at Syiarku, 1388 H/1968 M, cetakan kelima), h. 15
11 Lihat catatan 1 di atas.
12 Di antara para khalifah Umawiyah yang terkenal sangat saleh ialah 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz yang salah satu usahanya ialah mendamaikan pertikaian keagamaan antara kaum Sunni dan kaum Syi'i. Disebut-sebut bahwa yang sesungguhnya untuk pertama kali mendorong pembukuan Hadits, misalnya, adalah Khalifah ini, yang telah memerintahkan usaha itu kepada antara lain al-Zuhrf. Lihat M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), h. 18.
13 Ketidakpuasan umum kepada ketidakacuhan orang-orang Umawi dalam soal-soal keagamaan telah ikut mendorong meletus dan berhasilnya Revolusi Abbasiyah yang didukung oleh para agamawan itu. Meskipun dalam banyak hal, seperti sikap memihak kepada golongan Sunni, kaum Abbasiyah tak berbeda dari kaum Umawiyah, tapi yang tersebut terdahulu itu menunjukkan minat yang lebih besar kepada hal-hal khusus keagamaan. Ini menciptakan suasana yang baik untuk pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya ilmu fiqh.
14 Mungkin karena rasa pertentangan yang laten kepada para pengikut 'Ali (kaum Syi'ah), kaum Umawiyah di Damaskus banyak menaruh simpati kepada 'Umar ibn al-Khaththab, dan mengaku bahwa dalam menjalankan beberapa segi pemerintahannya mereka meneruskan tradisi yang ditinggalkan oleh Khalifah Rasul yang kedua itu.
15 Kutipan dari Kitab al-Kharaj akan memberi gambaran yang jelas tentang nuktah ini:
"... Sesungguhnya Amir al-Mu'minin --semoga Allah Ta'ala meneguhkannya-- telah meminta kepadaku untuk menulis sebuah buku yang komprehensif dan meminta agar aku menjelaskan untuknya hal-hal yang ia tanyakan kepadaku dari perkara yang hendak ia amalkan, serta agar aku menafsirkan dan menjabarkannya. Maka benar-benar telah aku jelaskan hal itu semua dan kujabarkan.
Wahai Amir al-Mu'minin, sesungguhnya Allah --segala puji bagi-Nya-- telah meletakkan di atas suatu perkara yang besar pahalanya adalah sebesar-besar pahala, dan siksanya adalah sebesar-besar siksa. Allah telah meletakkan padamu urusan umat ini, maka engkau diwaktu pagi maupun petang membangun untuk orang banyak yang Allah telah menitipkan mereka itu kepadamu, mempercayakan mereka kepadamu, menguji kamu dengan mereka itu, dan menyerahkan kepadamu urusan mereka itu. Dan suatu bangunan tetap saja --jika didasarkan kepada selain taqwa-- akan dirusakkan Allah dari sendi-sendinya kemudian merobohkannya menimpa orang yang membangunnya sendiri dan orang lain yang membantunya. Maka janganlah sekali-sekali menyia-nyiakan urusan umat dan rakyat yang telah dibebankan Allah kepadamu ini, sebab kekuatan berbuat itu terjadi hanya seizin Allah ..." Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim, Kitab al-Kharaj (Kairo: al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1382 H, h. 3).
16 Al-Syaikh Muhammad al-Hudlarf Bek, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387 H/1967 mO, h. 90-91.
17 Ibid., h. 93.
18 Ibid., h. 93-94.
19 Majallat Kulliyyat al-Dirasat al-Islamiyyah (Baghdad: Mathb'at al Irsyad) NO. 2, 1388 H/1968 M, h. 119-120.
20 Azami, Early Hadith, h. 24, mengutip dari Rasyid Ridla, Review on Early Compilation, al-Manar, x, 767.
21 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.
22 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.
23 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 765-6.
24 Lihat Azami, h. 25, dan bab III untuk pembahasan ini.
25 Kritik terhadap pembukuan Hadits juga dilakukan oleh antara lain Chirargh 'Ali dari anak benua India, juga oleh para orientalis seperti Joseph Schacht yang banyak mengundang reaksi dari para sarjana Muslim disebabkan baik metodologi maupun kesimpulannya yang terlalu jauh.
26 Lihat antara lain Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Qiyas fi al-Syar' al-Islami (Kairo: Mathba'at al-Salafiyyah, 1346 H).
27 Lihat Ibn Taimiyyah, al-Muntaqa min Mintaj al-I'tidal (ringkasan. Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah yang dibuat oleh al-Dzahabi) (Kairo: Mathb'at al-Salafiyyah, 1374 H), h. 66-7.
28 Lihat Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah, h. 16-18.
29 Banyak buku tentang ushul al-fiqh ditulis para ahli, antara lain yang amat praktis oleh Abd al-Hamid Hakim, Mabadi' Awwaliyyah (Padang-Panjang). Juga bisa disebut karya yang lebih teoritis oleh 'Abd al-Wahhab al-Khallaf, 'Ilm Ushu al-Fiqh (Kuwait: al-Dar al-Kuwaitiyyah, 1388 H/1968 M). Tentu saja dari masa klasik ialah karya al-Syafi'i, al-Risalah (lih. terjemah Indonesianya).
Islam, Doktrin dan Peradaban
oleh Dr. Nurcholish Madjid
Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh (Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan) (3/3)