Pembinaan karakter siswa di madrasah berarti berbagai upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka pembentukan karakter siswa. Istilah yang identik dengan pembinaan adalah pembentukan atau pembangunan. Terkait dengan madrasah, sekarang lagi digalakkan pembentukan kultur madrasah. Salah satu kultur yang dipilih madrasah adalah kultur karakter mulia. Dari sinilah muncul istilah pembentukan kultur akhlak mulia di madrasah.
Pengalaman Nabi Muhammad membangun masyarakat Arab hingga menjadi manusia yang berakhlak mulia (masyarakat madani) memakan waktu yang cukup panjang. Pembentukan ini dimulai dari membangun aqidah mereka selama kurang lebih tiga belas tahun, yakni ketika Nabi masih berdomisili di Makkah. Selanjutnya selama kurang lebih sepuluh tahun Nabi melanjutkan pembentukan akhlak mereka dengan mengajarkan syariah (hukum Islam) untuk membekali ibadah dan muamalah mereka sehari-hari. Dengan modal aqidah dan syariah serta didukung dengan keteladanan sikap dan perilaku Nabi, masyarakat madani (yang berakhlak mulia) berhasil dibangun Nabi yang kemudian terus berlanjut pada masa-masa selanjutnya sepeninggal Nabi. Michele Borba juga menawarkan pola atau model untuk pembudayaan akhlak mulia. Michele Borba menggunakan istilah membangun kecerdasan moral. Menulis sebuah buku dengan judul Building Moral Intelligence: The Seven Essential Vitues That Kids to Do The Right Thing, 2001 (Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi, 2008). Kecerdasan moral, menurut Michele Borba, adalah kemampuan seseorang untuk memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga ia bersikap benar dan terhormat. adalah sifat-sifat utama yang dapat mengantarkan seseorang menjadi baik hati, berkarakter kuat, dan menjadi warga Negara yang baik.
Pembinaan karakter sebenarnya dimulai dari keluarga. Apabila seorang anak mendapatkan pembinaan karakter yang intens akan membuat dirinya memiliki karakter yang positif dan yang akan berkembang dan mengakar dalam dirinya. Namun, dalam kenyataannya banyak orang tua yang lebih mementingkan kecerdasan otak daripada pembinaan karakter. Menurut Goleman dalam Williams dan Megawangi bahwa banyak orang tua yang mengalami kegagalan dalam mendidik karakter anak-anaknya yang mungkin disebabkan karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Meskipun demikian, hal ini masih dapat diperbaiki dengan memberikan pembinaan karakter di sekolah. Pembinaan karakter di madrasah sangat diperlukan dalam mengembangkan karakter positif sehingga peserta didik dapat bersikap dan bertungkah laku sesuai dengan norma-norma, etika dan kesusilaan yang ada dalam masyarakat. Melalui pembinaan karakter di madrasah, peserta didik dibina, dibentuk, diarahkan dan dibimbing untuk memiliki karakter yang baik sehingga dirinya dapat menunjukkan sikap atau perilaku yang baik ketika berkomunikasi dengan orang lain dan hidup dalam suatu komunitas.
Karakter seseorang terbentuk dimulai sejak dini melalui genetika. Meskipun demikian karakter tersebut dapat mengalami perubahan ketika dirinya berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulannya. Lingkungan yang menunjukkan perilaku yang negatif akan membentuk dan mengubah karakternya menjadi negatif pula. Meskipun demikian, karakter bukanlah sesuatu yang sifatnya menetap dan tidak dapat diubah. Hal ini dikarenakan karakter akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan seseorang. Apabila dalam perkembangannya, karakter yang negatif tidak mendapatkan pembinaan dan pendidikan, maka akan terbentuk karakter yang negatif tersebut dan dapat mengakar dalam diri seseorang, sehingga sangat sukar untuk mengubahnya. Meskipun demikian, perubahan tersebut tetap memiliki peluang, ketika seseorang memiliki kesadaran dan keinginan untuk mengalami perubahan atau membuka dirinya, menerima pembinaan dan adanya usaha positif yang dilakukannya.
Menurut Chrisiana bahwa pembinaan karakter mengajarkan seseorang suatu kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantunya untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara serta membantunya untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pembinaan karakter akan menumbuhkan sikap tanggungjawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Melalui pembinaan karakter akan terbentuk suatu sikap dan tingkahlaku positif dan membuat peserta didik dapat hidup harmonis dengan lingkuannya. Karakter yang baik akan menjadikan peserta didik memiliki tanggung jawab dalam belajar dan menujukkan sikap peduli terhadap dirinya dan orang disekitarnya yang ditunjukkan melalui keseriusannya dalam belajar. Keadaan yang demikian akan membuatnya mengalami keberhasilan dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari.
1. Metode Pembinaan Karakter Siswa
Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak disimpulkannya menjadi tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuknan kebajikan utama (karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang dapat membentuk manusia berkualitas di manapun dan kapanpun. Meskipun sasaran buku ini adalah anak-anak, namun bukan berarti tidak berlaku untuk orang dewasa, termasuk para siswa di SD hingga SMA. Dengan kata lain tujuh kebajikan yang ditawarkan oleh Michele Borba ini berlaku untuk siapa pun dalam rangka membangun kecerdasan moralnya.
Dalam salah satu bukunya Howard Kirschenbaum, menguraikan 100 cara untuk bias meningkatkan nilai dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah yang biasa dikelompokkan ke dalam lima metode, yaitu:
a. Inculcating values and morality (penanaman nilai-nilai dan moralitas);
b. Modeling values and morality (pemodelan nilai-nilai dan moralitas);
c. Facilitating values and morality (memfasilitasi nilai-nilai dan moralitas);
d. Skills for value development and moral literacy (ketrampilan untuk pengembangan nilai dan literasi moral; dan
e. Developing a values education program (mengembangkan program pendidikan nilai). Dari pendapat Kirschenbaum ini maka guru pendidikan agama termasuk para guru yang lain bersama-sama dengan sekolah perlu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pembinaan karakter siswa melalui pemaksimalan peran pendidikan agama. Guru agama bersama-sama guru-guru yang lain perlu merancang pembelajaran agama di kelas dan di luar kelas yang dapat memfasilitasi siswa agar dapat membiasakan karakter atau akhlak mulia.
Sementara itu, Darmiyati Zuchdi menekankan pada empat hal dalam rangka penanaman nilai yang bermuara pada terbentuknya karakter (akhlak) mulia, yaitu inkulkasi nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan akademik dan social. Darmiyati menambahkan, untuk ketercapaian program pendidikan nilai atau pembinaan karakter perlu diikuti oleh adanya evaluasi nilai. Evaluasi harus dilakukan secara akurat dengan pengamatan yang relatif lama dan secara terus-menerut. Dengan memadukan berbagai metode dan strategi seperti tersebut dalam pembelajaran pendidikan agama di sekolah, maka karakter siswa dapat dibina dan diupayakan sehingga siswa menjadi berkarakter seperti yang diharapkan.
Dalam penggunaan metode yang berdasarkan dari pembinaan akhlak menurut Imam Al Ghazali yang mengemukakan tentang metode pendidikan akhlak, yaitu dengan “memberi contoh atau keteladanan, pembiasaan,dan nasihat atau anjuran dalam rangka membina kepribadian anak sesuai dengan ajaran Islam”. Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur dan berkembang sehingga merupakan proses menuju kesempurnaan akhlak.
Metode pendidikan akhlak melalui contoh atau keteladanan ini dapat dijumpai pada kepribadian Rasulullah Saw, sebagaimana firman Allah dalam QS. surat al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi:
Terjemahnya
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dari ayat tersebut tampak bahwa dalam diri Rasulullah tercermin pribadi yang baik dan utama, dimana bila dicontoh maka akan membawa keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Sementara metode pembiasaan tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan jiwa manusia. Karena pembiasaan itu akan membentuk sikap dan perilaku tertentu, yang lambat laun sikapdan perilaku tersebut akan bertambah kuat. Yang pada akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk menjadi bagian dari kepribadiannya. Sedangkan metode nasehat merupakan cara mendidik yang mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis. Oleh karena itu nasehat yang baik serta mengandung pelajaran dan petunjuk sungguh sangat efektif digunakan dalam interaksi pendidikan. Nasehat tersebut jika disampaikan secara baik dan benar, akan sangat besar pengaruhnya pada perkembangan psikologi anak. Metode sangat penting dalam proses pembinaan akhlak, karena dalam proses pembinaan akhlak yang dibentuk adalah hati, maka dalam penggunaan metode juga harus tepat agar tujuan dari pembinaan karakter ini tepat sasaran.
2. Strategi Pembinaan Karakter Siswa
Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dan juga menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa. Strategi pembelajaran merupakan hal yang perlu di perhatikan oleh guru dalam proses pembelajaran. Paling tidak ada 3 jenis strategi yang berkaitan dengan pembelajaran, yakni a. strategi pengorganisasian pembelajaran, b. strategi penyampaian pembelajaran, dan c. strategi pengelolaan pembelajaran.
Salah satu cara mengembangkan nilai yang ada pada siswa adalah dengan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan langsung, sehingga diharapkan dapat menemukan konsep atau prinsip moral yang positif. Keterlibatan siswa merupakan faktor penting, karena moralitas tidak dapat dijadikan secara langsung dengan ceramah.
Pelaksanaan pembelajaran yang telah dikembangkan ini didasarkan pada desain model pembelajaran yang telah disusun. Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah ini, terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Adapun pendekatan dan strategi yang digunakan dalam pelaksanaan pengajaran di kelas, yaitu menggunakan model Analisis nilai, Klarifikasi nilai dan Ibrah.
Dalam pendekatan ini, siswa dibina kesadaran emosional nilainya melalui cara yang kritis rasional dengan klarifikasi dan menguji kebenaran, kebaikan, keadilan, dan lain-lain dalam kehidupan atau pengalamannya sehari-hari. Target nilai karakter inilah yang akan menuntun proses atau kegiatan belajar mengajar serta penentuan pilihan stimulus. Wujud pengarahan menuju target tersebut, dilakukan guru melalui berbagai upaya dan di antaranya ialah melalui pertanyaan nilai. Dan ini melahirkan tuntutan lain lagi bagi setiap guru dalam mengajarkan nilai kejujuran ialah keharusan mahir dalam bertanya (keterampilan bertanya).
Untuk pembinaan disiplin dan kemandirian siswa sebagai refleksi dari penanaman nilai kejujuran adalah: Belajar dan bekerja secara teratur, tertib, dan bertanggung jawab. Mematuhi ketentuan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Menghindari diri dari tindakan dan perbuatan yang bersifat plinplan atau tidak konsekuen. Taat terhadap orang tua, guru dan tata tertib sekolah. Tidak terlambat dan mengerjakan tugas sekolah tepat pada waktunya. Selain itu, kompetensi guru. Hubungannya dengan ini, tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya.
Dari faktor tersebut yang paling berpengaruh terhadap kualitas sikap ilmiah dan perilaku siswa adalah faktor guru. Karena, gurulah yang paling berkuasa mengelola dan menciptakan kondisi kelas sebagai wahana tumbuh dan berkembangnya sikap berpikir ilmiah, kritis dan perilaku siswa. Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan kemampuan sikap ilmiah dan perilaku siswa untuk jujur, disiplin dan mandiri, diperlukan kajian yang menggagas inovasi model pembelajaran berupa strategi belajar dan mengajar.
Dengan mengembangkan strategi pembelajaran yang efektif dengan menyertakan penanaman nilai karakter kejujuran merupakan kemampuan sikap ilmiah dan perilaku yang baik dapat dimiliki siswa secara optimal. Jika harapan ini dapat terwujud dalam setiap pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas dan di luar kelas, setidaknya akan menjadi konstribusi yang berarti bagi masyarakat, bahkan bangsa dan negara yang sedang dilanda masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berkarakter jujur dalam berperilaku, disiplin dalam beraktifitas dan mandiri dalam bekerja.
Model yang akan menjadi pelengkap dari pengembangan strategi penanaman nilai karakter kejujuran pembelajaran adalah:
Pertama, klarifikasi nilai yang dikembangkan oleh Djahiri. Model ini memiliki keunggulan pada pencapaian target hasil belajar siswa yang dapat dimiliki. Model Klarifikasi nilai ini juga memperhatikan aspek keterampilan proses.
Kedua, model Analisis Nilai untuk pengembangan selanjutnya, karena model tersebut memiliki keunggulan yang mampu merangsang siswa untuk melakukan analisis nilai moral.
Ketiga, model pembelajaran ‘ibrah. Keunggulan model ini pada upaya pembinaan nilai karakter kejujuran yang bersumber dari agama Islam. Model ini sudah sangat lazim digunakan pada tradisi pendidikan Islam untuk menanamkan nilai keimanan melalui objek materi pembahasan termasuk berupa ciptaan-ciptaan Allah.
Dari pengembangan beberapa model tersebut sebagai bahan penyempurnaan pada strategi pembelajaran di sekolah, secara konseptual merupakan perpaduan antara model teoritik dari model pembelajaran Analisis Nilai, Klarifikasi Nilai dan ‘Ibrah. Di mana orientasi model sebagai pola penanaman nilai karakter kejujuran dalam membina disiplin dan kemandirian ini menekankan perlunya keterampilan proses pada pencapaian tujuan target nilai dan sikap (akhlak) yang harus dikembangkan kepada siswa.
Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Di antara prinsip-prinsip yang dapat diadopsi dalam membuat perencanaan pembelajaran (merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian dalam silabus, RPP, dan bahan ajar), melaksanakan proses pembelajaran, dan evaluasi adalah prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang selama ini telah diperkenalkan kepada guru. Prinsip-prinsip tersebut secara singkat dijelaskan berikut ini.
a. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstrukstivisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa orang menyusun atau membangun pemahaman mereka dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan mereka. Seorang guru perlu mempelajari budaya, pengalaman hidup dan pengetahuan, kemudian menyusun pengalaman belajar yang memberi siswa kesempatan baru untuk memperdalam pengetahuan tersebut. pemahaman konsep yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar autentik dan bermakna yang mana guru mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk mendorong aktivitas berpikirnya. Pembelajaran hendaknya dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Pembelajaran dirancang dalam bentuk siswa bekerja, praktik mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan gagasan, dan sebagainya.
Tugas guru dalam pembelajaran konstruktivis adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan:
1) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,
2) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri,
3) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
b. Bertanya (Questioning)
Penggunaan pertanyaan untuk menuntun berpikir siswa lebih baik daripada sekedar memberi siswa informasi untuk memperdalam pemahaman siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang fenomena, belajar bagaimana menyusun pertanyaan yang dapat diuji, dan belajar untuk saling bertanya tentang bukti, interpretasi, dan penjelasan. Pertanyaan digunakan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
1) Menggali informasi, baik teknis maupun akademi
2) Mengecek pemahaman siswa
3) Membangkitkan respon siswa
4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
5) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
6) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa
c. Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, yang diawali dengan pengamatan dari pertanyaan yang muncul. Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut didapat melalui siklus menyusun dugaan, menyusun hipotesis, mengembangkan cara pengujian hipotesis, membuat pengamatan lebih jauh, dan menyusun teori serta konsep yang berdasar pada data dan pengetahuan. Di dalam pembelajaran berdasarkan inkuiri, siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis saat mereka berdiskusi dan menganalisis bukti, mengevaluasi ide dan proposisi, merefleksi validitas data, memproses, membuat kesimpulan. Kemudian menentukan bagaimana mempresentasikan dan menjelaskan penemuannya, dan menghubungkan ide-ide atau teori untuk mendapatkan konsep.
Adapun Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut:
1) merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)
2) Mengamati atau melakukan observasi
3) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain
4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar adalah sekelompok siswa yang terikat dalam kegiatan belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk bicara dan berbagi ide, mendengarkan ide siswa lain dengan cermat, dan bekerjasama untuk membangun pengetahuan dengan teman di dalam kelompoknya. Konsep ini didasarkan pada ide bahwa belajar secara bersama lebih baik daripada belajar secara individual.
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu. Semua pihak mau saling mendengarkan.
Praktik masyarakat belajar terwujud dalam:
1) Pembentukan kelompok kecil
2) Pembentukan kelompok besar
3) Mendatangkan ‘ahli’ ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, petani, polisi, dan lainnya)
4) Bekerja dengan kelas sederajat
5) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
6) Bekerja dengan masyarakat
e. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang memerlukan siswa untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemonstrasikan apa yang akan dikerjakan siswa. Pada saat pembelajaran, sering guru memodelkan bagaimana agar siswa belajar. Guru menunjukkan bagaimana melakukan sesuatu untuk mempelajari sesuatu yang baru. Guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Contoh praktek pemodelan di kelas:
1) Guru olahraga memberi contoh berenang gaya kupu-kupu di hadapan siswa.
2) Guru PKn (Pendidikan Kwarganegaraan) mendatangkan seorang veteran kemerdekaan ke kelas, lalu siswa diminta bertanya jawab dengan tokoh tersebut.
3) Guru Geografi menunjukkan peta jadi yang dapat digunakan sebagai contoh siswa dalam merancang peta daerahnya.
4) Guru Biologi mendemonstrasikan penggunaan thermometer suhu badan.
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi memungkinkan cara berpikir tentang apa yang telah siswa pelajari dan untuk membantu siswa menggambarkan makna personal siswa sendiri. Di dalam refleksi, siswa menelaah suatu kejadian, kegiatan, dan pengalaman serta berpikir tentang apa yang siswa pelajari, bagaimana merasakan, dan bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru tersebut. Refleksi dapat ditulis di dalam jurnal, bisa terjadi melalui diskusi, atau merupakan kegiatan kreatif seperti menulis puisi atau membuat karya seni.
Realisasi refleksi dapat diterapkan, misalnya pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Hal ini dapat berupa:
1) Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh siswa hari ini
2) Catatan atau jurnal di buku siswa
3) Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari ini
4) Diskusi
5) Hasil karya
g. Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah/terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau mengekspresikan pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan sekolah. Berbagai simulasi tersebut semestinya dapat mengekspresikan prestasi (performance) yang ditemui di dalam praktek dunia nyata seperti tempat kerja. Penilaian autentik seharusnya dapat menjelaskan bagaimana siswa menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari satu solusi yang benar. Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian.
5. Tujuan Pembinaan Karakter Siswa
Pembinaan karakter bertujuan agar peserta didik memiliki sikap tidak pemarah, pemaaf, dan memiliki kesabaran. Al-Hasyimi menyatakan bahwa pemarah merupakan sikap tercela yang muncul dalam diri seseorang akibat dorongan amarah dan nafsu. Islam menganjurkan umatnya untuk tidak menjadi seorang pemarah, melainkan bersikap lemah lembut. Sifat lemah lembut merupakan kebalikan dari sifat pemarah. Sifat pemarah bukannya membawa seseorang disenangi oleh banyak orang, melainkan menjadikan dirinya dibenci, dicemooh dan dihindari. Sifat pemarah tidaklah menguntungkan melainkan merugikan diri sendiri. Sifat pemarah yang berlebihan akan membuat seseorang tidak dapat dikendalikan oleh akal dan keberagamaannya, sehingga dirinya tidak memiliki pertimbangan yang matang dan dapat menyebabkan dirinya mengambil keputusan yang salah.
Pembinaan karakter bagi peserta didik sangat penting. Melalui pembinaan karakter membuat peserta didik memiliki sifat tidak mudah marah. Hal ini yang dapat mengurangi peristiwa tawuran yang akhir-akhir ini sering terjadi dalam lingkungan peserta didik. Tawuran terjadi pada awalnya karena persoalan yang kecil seperti ejekan atau humoran, namun menjadi persoalan yang besar dengan melibatkan dua kelompok yang besar. Dampak tawuran bukan hanya terjadi bagi pelaku namun juga bagi warga yang melintasi wilayah terjadinya tawuran. Tawuran terjadi karena peserta didik memiliki sifat pemarah yang berlebihan dan tidak memiliki pengendalian, pengambilan keputusan yang salah dan anggapan dalam lingkungannya sebagai suatu bentuk keberanian. Dengan pembinaan karakter atau akhlak, peserta didik diarahkan dan dibimbing untuk memiliki pengendalian diri, tidak mudah marah, memiliki kesabaran dan pemaaf.
Menurut imam Al-Ghozali dalam Al-Hasyimi bahwa kelemah lembutan merupakan tunduknya potensi kemarahan terhadap bimbingan akal. Sikap lemah lembut dalam diri manusia dapat dimulai dengan melatih diri menahan amarah. Di dalam amarah terkandung sikap menantang dan tidak adanya kesabaran. Di dalam kelemahlembutan adanya unsur kesabaran. Kesabaran merupakan sikap tidak berdaya menghadapi kondisi yang menimpa dan tidak disertai dengan sikap menantang.
Rasulullah Saw menghiasi dirinya dengan kelemah lembutan, tidak mudah marah, memiliki kesabaran dan seorang pemaaf. Dirinya justru meminta perlindungan dari Allah SWT dari keinginan untuk marah dan dendam. Menahan amarah dan memaafkan orang lain merupakan dua unsur yang sama penting dan harus ada dalam diri umat Islam.
Pembinaan karakter dilakukan di sekolah juga bertujuan agar peserta didik memiliki kejujuran sehingga dirinya dapat dipercaya oleh banyak orang. Menurut Khalid bahwa sebelum Muhammad diutus menjadi nabi dan rasul, dirinya dikenal oleh banyak orang sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya, sehingga dirinya oleh masyarakat dijuluki sebagai “Ash-Shadiqul Amin”. Mungkin saja karena kejujuran Nabi Muhammad Saw, mendapatkan anugerah dan dipercaya menjadi seorang nabi dan rasul untuk memberitakan ajaran Allah SWT.
Dalam kehidupan di sekolah peserta didik dituntut untuk memilki kejujuran. Kejujuran itu juga meliputi kejujuran dalam kompetensinya. Dalam arti, ketika adanya ujian sebagai bentuk tes dari kompetensi yang dimilikinya setelah menerima pelajaran dirinya tidak menyontek atau meminta bantuan teman. Dirinya percaya terhadap kemampuannya dan tidak melakukan kemunafikan dengan bersikap tidak jujur. Kejujuran akan membuat dirinya dapat dipercaya oleh banyak orang. Apabila dirinya tidak jujur dalam ujian atau tugas-tugas pelajaran lainnya, maka perolehan nilai yang tinggi dan tidak disertai dengan kompetensi yang nyata, membuat orang tidak percaya kepada dirinya.
Kejujuran dalam perkataan sebagai wujud dari tanggungjawabnya dan membuat peserta didik dapat dipercaya. Orang tua akan memberikan kepercayaan kepada anaknya apabila anaknya dapat dipercaya dengan menujukkan kejujuran dan sikap tanggung jawab. Orang tua memberikan dan menitipkan uang pembayaran biaya sekolah kepada anaknya, dikarenakan ananya tersebut benar-benar membayarkan uang tersebut sesuai dengan tugas yang diberikan dengan dibuktikan melalui kwitansi pembayaran. Sikap anak tersebut menujukkan kejujuran dan tanggung jawabnya terhadap tugas yang diberikan oleh orang tua.
Orang yang tidak jujur maka akan menjadikannya memiliki kebiasaan berbohong. Orang yang seperti ini apabila kebohongan dirinya diketahui oleh orang lain akan membuat dirinya tidak mendapatkan kepercayaan. Kejujuran sangat penting sebagai salah satu akhlak mulia.
Disiplin dan tanggung jawab terhadap pengerjaan tugas-tugas pembelajaran seringkali menjadi persolan bagi peserta didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya peserta didik-peserta didik tertentu apabila dirinya kurang atau tidak menyukai pelajaran tertentu menujukkan sikap kurang disiplin dan bertanggungjawab, yaitu malas masuk kelas, terlambat hadir di kelas, malas mengerjakan tugas dan cenderuung menyontek temannya. Sikap yang demikian dapat membuat peserta didik bersikap tidak jujur. Hal ini yang dapat berdampak pada ketidak percayaan guru terhadap dirinya bahkan orang-orang yang ada di lingkungannya. Karakter atau akhlak mulia harus ditanamkan dan dibentuk dalam diri peserta didik. Dengan karakter positif atau akhlak mulia membuat dirinya memilki kemampuan sosial yang baik, sehingga membuat dirinya dapat menciptakan hubungan yang harmonis. Keadaan yang demikian akan membawa peserta didik dapat dipercaya oleh orang lain dan mengalami keberhasilan baik dalam sekolah maupun kehidupan sehari-hari. Karakter yang baik akan membuat peserta didik bersikap dan bertingkahlaku sesuai dengan norma-norma atau etika agama dan yang berlaku di dalam masyarakat. Karakter yang baik membuat dirinya disenangi oleh banyak orang, hidupnya menjadi berkah, dan berdampak yang positif bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pembinaan karakter membantu peserta didik untuk dapat memiliki dan menjaga karakter positif atau akhlak mulia dalam dirinya
Pengalaman Nabi Muhammad membangun masyarakat Arab hingga menjadi manusia yang berakhlak mulia (masyarakat madani) memakan waktu yang cukup panjang. Pembentukan ini dimulai dari membangun aqidah mereka selama kurang lebih tiga belas tahun, yakni ketika Nabi masih berdomisili di Makkah. Selanjutnya selama kurang lebih sepuluh tahun Nabi melanjutkan pembentukan akhlak mereka dengan mengajarkan syariah (hukum Islam) untuk membekali ibadah dan muamalah mereka sehari-hari. Dengan modal aqidah dan syariah serta didukung dengan keteladanan sikap dan perilaku Nabi, masyarakat madani (yang berakhlak mulia) berhasil dibangun Nabi yang kemudian terus berlanjut pada masa-masa selanjutnya sepeninggal Nabi. Michele Borba juga menawarkan pola atau model untuk pembudayaan akhlak mulia. Michele Borba menggunakan istilah membangun kecerdasan moral. Menulis sebuah buku dengan judul Building Moral Intelligence: The Seven Essential Vitues That Kids to Do The Right Thing, 2001 (Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi, 2008). Kecerdasan moral, menurut Michele Borba, adalah kemampuan seseorang untuk memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga ia bersikap benar dan terhormat. adalah sifat-sifat utama yang dapat mengantarkan seseorang menjadi baik hati, berkarakter kuat, dan menjadi warga Negara yang baik.
Pembinaan karakter sebenarnya dimulai dari keluarga. Apabila seorang anak mendapatkan pembinaan karakter yang intens akan membuat dirinya memiliki karakter yang positif dan yang akan berkembang dan mengakar dalam dirinya. Namun, dalam kenyataannya banyak orang tua yang lebih mementingkan kecerdasan otak daripada pembinaan karakter. Menurut Goleman dalam Williams dan Megawangi bahwa banyak orang tua yang mengalami kegagalan dalam mendidik karakter anak-anaknya yang mungkin disebabkan karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Meskipun demikian, hal ini masih dapat diperbaiki dengan memberikan pembinaan karakter di sekolah. Pembinaan karakter di madrasah sangat diperlukan dalam mengembangkan karakter positif sehingga peserta didik dapat bersikap dan bertungkah laku sesuai dengan norma-norma, etika dan kesusilaan yang ada dalam masyarakat. Melalui pembinaan karakter di madrasah, peserta didik dibina, dibentuk, diarahkan dan dibimbing untuk memiliki karakter yang baik sehingga dirinya dapat menunjukkan sikap atau perilaku yang baik ketika berkomunikasi dengan orang lain dan hidup dalam suatu komunitas.
Karakter seseorang terbentuk dimulai sejak dini melalui genetika. Meskipun demikian karakter tersebut dapat mengalami perubahan ketika dirinya berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulannya. Lingkungan yang menunjukkan perilaku yang negatif akan membentuk dan mengubah karakternya menjadi negatif pula. Meskipun demikian, karakter bukanlah sesuatu yang sifatnya menetap dan tidak dapat diubah. Hal ini dikarenakan karakter akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan seseorang. Apabila dalam perkembangannya, karakter yang negatif tidak mendapatkan pembinaan dan pendidikan, maka akan terbentuk karakter yang negatif tersebut dan dapat mengakar dalam diri seseorang, sehingga sangat sukar untuk mengubahnya. Meskipun demikian, perubahan tersebut tetap memiliki peluang, ketika seseorang memiliki kesadaran dan keinginan untuk mengalami perubahan atau membuka dirinya, menerima pembinaan dan adanya usaha positif yang dilakukannya.
Menurut Chrisiana bahwa pembinaan karakter mengajarkan seseorang suatu kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantunya untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara serta membantunya untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pembinaan karakter akan menumbuhkan sikap tanggungjawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Melalui pembinaan karakter akan terbentuk suatu sikap dan tingkahlaku positif dan membuat peserta didik dapat hidup harmonis dengan lingkuannya. Karakter yang baik akan menjadikan peserta didik memiliki tanggung jawab dalam belajar dan menujukkan sikap peduli terhadap dirinya dan orang disekitarnya yang ditunjukkan melalui keseriusannya dalam belajar. Keadaan yang demikian akan membuatnya mengalami keberhasilan dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari.
1. Metode Pembinaan Karakter Siswa
Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak disimpulkannya menjadi tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuknan kebajikan utama (karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang dapat membentuk manusia berkualitas di manapun dan kapanpun. Meskipun sasaran buku ini adalah anak-anak, namun bukan berarti tidak berlaku untuk orang dewasa, termasuk para siswa di SD hingga SMA. Dengan kata lain tujuh kebajikan yang ditawarkan oleh Michele Borba ini berlaku untuk siapa pun dalam rangka membangun kecerdasan moralnya.
Dalam salah satu bukunya Howard Kirschenbaum, menguraikan 100 cara untuk bias meningkatkan nilai dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah yang biasa dikelompokkan ke dalam lima metode, yaitu:
a. Inculcating values and morality (penanaman nilai-nilai dan moralitas);
b. Modeling values and morality (pemodelan nilai-nilai dan moralitas);
c. Facilitating values and morality (memfasilitasi nilai-nilai dan moralitas);
d. Skills for value development and moral literacy (ketrampilan untuk pengembangan nilai dan literasi moral; dan
e. Developing a values education program (mengembangkan program pendidikan nilai). Dari pendapat Kirschenbaum ini maka guru pendidikan agama termasuk para guru yang lain bersama-sama dengan sekolah perlu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pembinaan karakter siswa melalui pemaksimalan peran pendidikan agama. Guru agama bersama-sama guru-guru yang lain perlu merancang pembelajaran agama di kelas dan di luar kelas yang dapat memfasilitasi siswa agar dapat membiasakan karakter atau akhlak mulia.
Sementara itu, Darmiyati Zuchdi menekankan pada empat hal dalam rangka penanaman nilai yang bermuara pada terbentuknya karakter (akhlak) mulia, yaitu inkulkasi nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan akademik dan social. Darmiyati menambahkan, untuk ketercapaian program pendidikan nilai atau pembinaan karakter perlu diikuti oleh adanya evaluasi nilai. Evaluasi harus dilakukan secara akurat dengan pengamatan yang relatif lama dan secara terus-menerut. Dengan memadukan berbagai metode dan strategi seperti tersebut dalam pembelajaran pendidikan agama di sekolah, maka karakter siswa dapat dibina dan diupayakan sehingga siswa menjadi berkarakter seperti yang diharapkan.
Dalam penggunaan metode yang berdasarkan dari pembinaan akhlak menurut Imam Al Ghazali yang mengemukakan tentang metode pendidikan akhlak, yaitu dengan “memberi contoh atau keteladanan, pembiasaan,dan nasihat atau anjuran dalam rangka membina kepribadian anak sesuai dengan ajaran Islam”. Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur dan berkembang sehingga merupakan proses menuju kesempurnaan akhlak.
Metode pendidikan akhlak melalui contoh atau keteladanan ini dapat dijumpai pada kepribadian Rasulullah Saw, sebagaimana firman Allah dalam QS. surat al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi:
Terjemahnya
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dari ayat tersebut tampak bahwa dalam diri Rasulullah tercermin pribadi yang baik dan utama, dimana bila dicontoh maka akan membawa keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Sementara metode pembiasaan tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan jiwa manusia. Karena pembiasaan itu akan membentuk sikap dan perilaku tertentu, yang lambat laun sikapdan perilaku tersebut akan bertambah kuat. Yang pada akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk menjadi bagian dari kepribadiannya. Sedangkan metode nasehat merupakan cara mendidik yang mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis. Oleh karena itu nasehat yang baik serta mengandung pelajaran dan petunjuk sungguh sangat efektif digunakan dalam interaksi pendidikan. Nasehat tersebut jika disampaikan secara baik dan benar, akan sangat besar pengaruhnya pada perkembangan psikologi anak. Metode sangat penting dalam proses pembinaan akhlak, karena dalam proses pembinaan akhlak yang dibentuk adalah hati, maka dalam penggunaan metode juga harus tepat agar tujuan dari pembinaan karakter ini tepat sasaran.
2. Strategi Pembinaan Karakter Siswa
Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dan juga menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa. Strategi pembelajaran merupakan hal yang perlu di perhatikan oleh guru dalam proses pembelajaran. Paling tidak ada 3 jenis strategi yang berkaitan dengan pembelajaran, yakni a. strategi pengorganisasian pembelajaran, b. strategi penyampaian pembelajaran, dan c. strategi pengelolaan pembelajaran.
Salah satu cara mengembangkan nilai yang ada pada siswa adalah dengan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan langsung, sehingga diharapkan dapat menemukan konsep atau prinsip moral yang positif. Keterlibatan siswa merupakan faktor penting, karena moralitas tidak dapat dijadikan secara langsung dengan ceramah.
Pelaksanaan pembelajaran yang telah dikembangkan ini didasarkan pada desain model pembelajaran yang telah disusun. Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah ini, terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Adapun pendekatan dan strategi yang digunakan dalam pelaksanaan pengajaran di kelas, yaitu menggunakan model Analisis nilai, Klarifikasi nilai dan Ibrah.
Dalam pendekatan ini, siswa dibina kesadaran emosional nilainya melalui cara yang kritis rasional dengan klarifikasi dan menguji kebenaran, kebaikan, keadilan, dan lain-lain dalam kehidupan atau pengalamannya sehari-hari. Target nilai karakter inilah yang akan menuntun proses atau kegiatan belajar mengajar serta penentuan pilihan stimulus. Wujud pengarahan menuju target tersebut, dilakukan guru melalui berbagai upaya dan di antaranya ialah melalui pertanyaan nilai. Dan ini melahirkan tuntutan lain lagi bagi setiap guru dalam mengajarkan nilai kejujuran ialah keharusan mahir dalam bertanya (keterampilan bertanya).
Untuk pembinaan disiplin dan kemandirian siswa sebagai refleksi dari penanaman nilai kejujuran adalah: Belajar dan bekerja secara teratur, tertib, dan bertanggung jawab. Mematuhi ketentuan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Menghindari diri dari tindakan dan perbuatan yang bersifat plinplan atau tidak konsekuen. Taat terhadap orang tua, guru dan tata tertib sekolah. Tidak terlambat dan mengerjakan tugas sekolah tepat pada waktunya. Selain itu, kompetensi guru. Hubungannya dengan ini, tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya.
Dari faktor tersebut yang paling berpengaruh terhadap kualitas sikap ilmiah dan perilaku siswa adalah faktor guru. Karena, gurulah yang paling berkuasa mengelola dan menciptakan kondisi kelas sebagai wahana tumbuh dan berkembangnya sikap berpikir ilmiah, kritis dan perilaku siswa. Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan kemampuan sikap ilmiah dan perilaku siswa untuk jujur, disiplin dan mandiri, diperlukan kajian yang menggagas inovasi model pembelajaran berupa strategi belajar dan mengajar.
Dengan mengembangkan strategi pembelajaran yang efektif dengan menyertakan penanaman nilai karakter kejujuran merupakan kemampuan sikap ilmiah dan perilaku yang baik dapat dimiliki siswa secara optimal. Jika harapan ini dapat terwujud dalam setiap pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas dan di luar kelas, setidaknya akan menjadi konstribusi yang berarti bagi masyarakat, bahkan bangsa dan negara yang sedang dilanda masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berkarakter jujur dalam berperilaku, disiplin dalam beraktifitas dan mandiri dalam bekerja.
Model yang akan menjadi pelengkap dari pengembangan strategi penanaman nilai karakter kejujuran pembelajaran adalah:
Pertama, klarifikasi nilai yang dikembangkan oleh Djahiri. Model ini memiliki keunggulan pada pencapaian target hasil belajar siswa yang dapat dimiliki. Model Klarifikasi nilai ini juga memperhatikan aspek keterampilan proses.
Kedua, model Analisis Nilai untuk pengembangan selanjutnya, karena model tersebut memiliki keunggulan yang mampu merangsang siswa untuk melakukan analisis nilai moral.
Ketiga, model pembelajaran ‘ibrah. Keunggulan model ini pada upaya pembinaan nilai karakter kejujuran yang bersumber dari agama Islam. Model ini sudah sangat lazim digunakan pada tradisi pendidikan Islam untuk menanamkan nilai keimanan melalui objek materi pembahasan termasuk berupa ciptaan-ciptaan Allah.
Dari pengembangan beberapa model tersebut sebagai bahan penyempurnaan pada strategi pembelajaran di sekolah, secara konseptual merupakan perpaduan antara model teoritik dari model pembelajaran Analisis Nilai, Klarifikasi Nilai dan ‘Ibrah. Di mana orientasi model sebagai pola penanaman nilai karakter kejujuran dalam membina disiplin dan kemandirian ini menekankan perlunya keterampilan proses pada pencapaian tujuan target nilai dan sikap (akhlak) yang harus dikembangkan kepada siswa.
Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Di antara prinsip-prinsip yang dapat diadopsi dalam membuat perencanaan pembelajaran (merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian dalam silabus, RPP, dan bahan ajar), melaksanakan proses pembelajaran, dan evaluasi adalah prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang selama ini telah diperkenalkan kepada guru. Prinsip-prinsip tersebut secara singkat dijelaskan berikut ini.
a. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstrukstivisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa orang menyusun atau membangun pemahaman mereka dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan mereka. Seorang guru perlu mempelajari budaya, pengalaman hidup dan pengetahuan, kemudian menyusun pengalaman belajar yang memberi siswa kesempatan baru untuk memperdalam pengetahuan tersebut. pemahaman konsep yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar autentik dan bermakna yang mana guru mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk mendorong aktivitas berpikirnya. Pembelajaran hendaknya dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Pembelajaran dirancang dalam bentuk siswa bekerja, praktik mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan gagasan, dan sebagainya.
Tugas guru dalam pembelajaran konstruktivis adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan:
1) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,
2) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri,
3) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
b. Bertanya (Questioning)
Penggunaan pertanyaan untuk menuntun berpikir siswa lebih baik daripada sekedar memberi siswa informasi untuk memperdalam pemahaman siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang fenomena, belajar bagaimana menyusun pertanyaan yang dapat diuji, dan belajar untuk saling bertanya tentang bukti, interpretasi, dan penjelasan. Pertanyaan digunakan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
1) Menggali informasi, baik teknis maupun akademi
2) Mengecek pemahaman siswa
3) Membangkitkan respon siswa
4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
5) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
6) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa
c. Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, yang diawali dengan pengamatan dari pertanyaan yang muncul. Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut didapat melalui siklus menyusun dugaan, menyusun hipotesis, mengembangkan cara pengujian hipotesis, membuat pengamatan lebih jauh, dan menyusun teori serta konsep yang berdasar pada data dan pengetahuan. Di dalam pembelajaran berdasarkan inkuiri, siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis saat mereka berdiskusi dan menganalisis bukti, mengevaluasi ide dan proposisi, merefleksi validitas data, memproses, membuat kesimpulan. Kemudian menentukan bagaimana mempresentasikan dan menjelaskan penemuannya, dan menghubungkan ide-ide atau teori untuk mendapatkan konsep.
Adapun Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut:
1) merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)
2) Mengamati atau melakukan observasi
3) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain
4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar adalah sekelompok siswa yang terikat dalam kegiatan belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk bicara dan berbagi ide, mendengarkan ide siswa lain dengan cermat, dan bekerjasama untuk membangun pengetahuan dengan teman di dalam kelompoknya. Konsep ini didasarkan pada ide bahwa belajar secara bersama lebih baik daripada belajar secara individual.
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu. Semua pihak mau saling mendengarkan.
Praktik masyarakat belajar terwujud dalam:
1) Pembentukan kelompok kecil
2) Pembentukan kelompok besar
3) Mendatangkan ‘ahli’ ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, petani, polisi, dan lainnya)
4) Bekerja dengan kelas sederajat
5) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
6) Bekerja dengan masyarakat
e. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang memerlukan siswa untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemonstrasikan apa yang akan dikerjakan siswa. Pada saat pembelajaran, sering guru memodelkan bagaimana agar siswa belajar. Guru menunjukkan bagaimana melakukan sesuatu untuk mempelajari sesuatu yang baru. Guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Contoh praktek pemodelan di kelas:
1) Guru olahraga memberi contoh berenang gaya kupu-kupu di hadapan siswa.
2) Guru PKn (Pendidikan Kwarganegaraan) mendatangkan seorang veteran kemerdekaan ke kelas, lalu siswa diminta bertanya jawab dengan tokoh tersebut.
3) Guru Geografi menunjukkan peta jadi yang dapat digunakan sebagai contoh siswa dalam merancang peta daerahnya.
4) Guru Biologi mendemonstrasikan penggunaan thermometer suhu badan.
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi memungkinkan cara berpikir tentang apa yang telah siswa pelajari dan untuk membantu siswa menggambarkan makna personal siswa sendiri. Di dalam refleksi, siswa menelaah suatu kejadian, kegiatan, dan pengalaman serta berpikir tentang apa yang siswa pelajari, bagaimana merasakan, dan bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru tersebut. Refleksi dapat ditulis di dalam jurnal, bisa terjadi melalui diskusi, atau merupakan kegiatan kreatif seperti menulis puisi atau membuat karya seni.
Realisasi refleksi dapat diterapkan, misalnya pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Hal ini dapat berupa:
1) Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh siswa hari ini
2) Catatan atau jurnal di buku siswa
3) Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari ini
4) Diskusi
5) Hasil karya
g. Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah/terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau mengekspresikan pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan sekolah. Berbagai simulasi tersebut semestinya dapat mengekspresikan prestasi (performance) yang ditemui di dalam praktek dunia nyata seperti tempat kerja. Penilaian autentik seharusnya dapat menjelaskan bagaimana siswa menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari satu solusi yang benar. Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian.
5. Tujuan Pembinaan Karakter Siswa
Pembinaan karakter bertujuan agar peserta didik memiliki sikap tidak pemarah, pemaaf, dan memiliki kesabaran. Al-Hasyimi menyatakan bahwa pemarah merupakan sikap tercela yang muncul dalam diri seseorang akibat dorongan amarah dan nafsu. Islam menganjurkan umatnya untuk tidak menjadi seorang pemarah, melainkan bersikap lemah lembut. Sifat lemah lembut merupakan kebalikan dari sifat pemarah. Sifat pemarah bukannya membawa seseorang disenangi oleh banyak orang, melainkan menjadikan dirinya dibenci, dicemooh dan dihindari. Sifat pemarah tidaklah menguntungkan melainkan merugikan diri sendiri. Sifat pemarah yang berlebihan akan membuat seseorang tidak dapat dikendalikan oleh akal dan keberagamaannya, sehingga dirinya tidak memiliki pertimbangan yang matang dan dapat menyebabkan dirinya mengambil keputusan yang salah.
Pembinaan karakter bagi peserta didik sangat penting. Melalui pembinaan karakter membuat peserta didik memiliki sifat tidak mudah marah. Hal ini yang dapat mengurangi peristiwa tawuran yang akhir-akhir ini sering terjadi dalam lingkungan peserta didik. Tawuran terjadi pada awalnya karena persoalan yang kecil seperti ejekan atau humoran, namun menjadi persoalan yang besar dengan melibatkan dua kelompok yang besar. Dampak tawuran bukan hanya terjadi bagi pelaku namun juga bagi warga yang melintasi wilayah terjadinya tawuran. Tawuran terjadi karena peserta didik memiliki sifat pemarah yang berlebihan dan tidak memiliki pengendalian, pengambilan keputusan yang salah dan anggapan dalam lingkungannya sebagai suatu bentuk keberanian. Dengan pembinaan karakter atau akhlak, peserta didik diarahkan dan dibimbing untuk memiliki pengendalian diri, tidak mudah marah, memiliki kesabaran dan pemaaf.
Menurut imam Al-Ghozali dalam Al-Hasyimi bahwa kelemah lembutan merupakan tunduknya potensi kemarahan terhadap bimbingan akal. Sikap lemah lembut dalam diri manusia dapat dimulai dengan melatih diri menahan amarah. Di dalam amarah terkandung sikap menantang dan tidak adanya kesabaran. Di dalam kelemahlembutan adanya unsur kesabaran. Kesabaran merupakan sikap tidak berdaya menghadapi kondisi yang menimpa dan tidak disertai dengan sikap menantang.
Rasulullah Saw menghiasi dirinya dengan kelemah lembutan, tidak mudah marah, memiliki kesabaran dan seorang pemaaf. Dirinya justru meminta perlindungan dari Allah SWT dari keinginan untuk marah dan dendam. Menahan amarah dan memaafkan orang lain merupakan dua unsur yang sama penting dan harus ada dalam diri umat Islam.
Pembinaan karakter dilakukan di sekolah juga bertujuan agar peserta didik memiliki kejujuran sehingga dirinya dapat dipercaya oleh banyak orang. Menurut Khalid bahwa sebelum Muhammad diutus menjadi nabi dan rasul, dirinya dikenal oleh banyak orang sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya, sehingga dirinya oleh masyarakat dijuluki sebagai “Ash-Shadiqul Amin”. Mungkin saja karena kejujuran Nabi Muhammad Saw, mendapatkan anugerah dan dipercaya menjadi seorang nabi dan rasul untuk memberitakan ajaran Allah SWT.
Dalam kehidupan di sekolah peserta didik dituntut untuk memilki kejujuran. Kejujuran itu juga meliputi kejujuran dalam kompetensinya. Dalam arti, ketika adanya ujian sebagai bentuk tes dari kompetensi yang dimilikinya setelah menerima pelajaran dirinya tidak menyontek atau meminta bantuan teman. Dirinya percaya terhadap kemampuannya dan tidak melakukan kemunafikan dengan bersikap tidak jujur. Kejujuran akan membuat dirinya dapat dipercaya oleh banyak orang. Apabila dirinya tidak jujur dalam ujian atau tugas-tugas pelajaran lainnya, maka perolehan nilai yang tinggi dan tidak disertai dengan kompetensi yang nyata, membuat orang tidak percaya kepada dirinya.
Kejujuran dalam perkataan sebagai wujud dari tanggungjawabnya dan membuat peserta didik dapat dipercaya. Orang tua akan memberikan kepercayaan kepada anaknya apabila anaknya dapat dipercaya dengan menujukkan kejujuran dan sikap tanggung jawab. Orang tua memberikan dan menitipkan uang pembayaran biaya sekolah kepada anaknya, dikarenakan ananya tersebut benar-benar membayarkan uang tersebut sesuai dengan tugas yang diberikan dengan dibuktikan melalui kwitansi pembayaran. Sikap anak tersebut menujukkan kejujuran dan tanggung jawabnya terhadap tugas yang diberikan oleh orang tua.
Orang yang tidak jujur maka akan menjadikannya memiliki kebiasaan berbohong. Orang yang seperti ini apabila kebohongan dirinya diketahui oleh orang lain akan membuat dirinya tidak mendapatkan kepercayaan. Kejujuran sangat penting sebagai salah satu akhlak mulia.
Disiplin dan tanggung jawab terhadap pengerjaan tugas-tugas pembelajaran seringkali menjadi persolan bagi peserta didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya peserta didik-peserta didik tertentu apabila dirinya kurang atau tidak menyukai pelajaran tertentu menujukkan sikap kurang disiplin dan bertanggungjawab, yaitu malas masuk kelas, terlambat hadir di kelas, malas mengerjakan tugas dan cenderuung menyontek temannya. Sikap yang demikian dapat membuat peserta didik bersikap tidak jujur. Hal ini yang dapat berdampak pada ketidak percayaan guru terhadap dirinya bahkan orang-orang yang ada di lingkungannya. Karakter atau akhlak mulia harus ditanamkan dan dibentuk dalam diri peserta didik. Dengan karakter positif atau akhlak mulia membuat dirinya memilki kemampuan sosial yang baik, sehingga membuat dirinya dapat menciptakan hubungan yang harmonis. Keadaan yang demikian akan membawa peserta didik dapat dipercaya oleh orang lain dan mengalami keberhasilan baik dalam sekolah maupun kehidupan sehari-hari. Karakter yang baik akan membuat peserta didik bersikap dan bertingkahlaku sesuai dengan norma-norma atau etika agama dan yang berlaku di dalam masyarakat. Karakter yang baik membuat dirinya disenangi oleh banyak orang, hidupnya menjadi berkah, dan berdampak yang positif bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pembinaan karakter membantu peserta didik untuk dapat memiliki dan menjaga karakter positif atau akhlak mulia dalam dirinya