Tahun ajaran baru sudah tiba. Pada setiap tahun ajaran baru, dapat kita saksikan pemandangan menarik; penerimaan siswa baru dari tingkat TK-SLTA, juga mereka yang berebut kursi di bangku perguruan tinggi. Bagi kalangan menengah ke atas, tidak terlalu menjadi masalah bagaimana mereka bisa melanjutkan pendidikan. Dengan NEM yang mereka miliki serta dana yang tersedia, mereka dengan mudah dapat meraih kursi di sekolah yang diidamkan.
Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan les privat, bimbingan tes dan berbagai kursus untuk meraih NEM tinggi. Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti mengalami kesulitan. Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis mereka tidak mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk melanjutkan ke sekolah bermutu, mereka tidak akan pernah bisa masuk dengan persyaratan yang rumit serta biaya yang mahal.
Sebagai pendidik, dan orang tua, kita merasakan betapa akses ke dunia pendidikan tidak diperoleh semua kalangan. Orang kecil terutama, selalu termarginalisasi oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Mereka tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan memperoleh pendidikan yang layak, mereka juga dengan mudah diperlakukan tidak adil oleh mereka yang menguasai pangsa pasar. Sekolah-sekolah zaman sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk sekolah. Fungsi sekolah yang di masa lalu mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis yang subur.
Hak
Banyak sekolah didirikan semata-mata untuk mengeruk uang dan keuntungan. Dengan NEM yang rendah dan biaya yang sangat sedikit, masihkah ada peluang untuk memperoleh pendidikan? Kisah-kisah semacam ini menjadi menarik, ketika mereka mengatakan telah mendatangi sekolah-sekolah untuk mendaftarkan diri tetapi ditolak karena tidak ada biaya. Ironis memang.
Wali Kota Semarang H Sukawi Sutarip dalam sebuah dialog dengan LSM dan wartawan pernah menyesalkan iklan ’’Ayo Sekolah’’ di televisi yang mendorong anak-anak bersekolah, tetapi begitu tiba di sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara kita menggariskan semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak.
Ketiadaan memperoleh kesempatan sekolah merupakan pengingkaran dari tujuan pendidikan sendiri, yang mencakup: Pertama, pendidikan bertujuan membentuk manusia seutuhnya yakni manusia Pancasilais sejati. Kedua, pendidikan berlangsung seumur hidup di dalam dan di luar sekolah.
Ketiga, pendidikan berdasarkan pada faktor ekologi, yakni kondisi masyarakat yang sedang membangun dengan kondisi sosial budaya serta alam Indonesia. Keempat, berdasarkan pandangan psikologis belajar modern, anak didik diakui sebagai suatu organisme yang sedang berkembang, yang berkemampuan, beraktivitas dan berinteraksi, baik dengan masyarakat maupun dengan lingkungan.
Kelima, hasil pendidikan diharapkan, kelak anak didik menjadi manusia atau warga masyarakat yang terampil bekerja, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya kini dan di masa mendatang. (Oemar Hamalik, 1980). Oleh karena itu, kesempatan memperoleh pendidikan merupakan hak setiap warga negara.
Sekalipun banyak pihak menyadari -- juga termasuk pengelola pendidikan -- perlunya pendidikan bagi kaum miskin, tetapi jangankan bisa sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah payah. Apalagi biaya sekolah kian hari kian mahal. Idealnya biaya pendidikan tidak dibebankan kepada orang tua, tetapi subsidi dari negara.
Namun apa lacur? Pada zaman mantan Presiden Gus Dur, yang dikenal sebagai seorang populis dan humanis dan di masa lalu memberikan perhatian besar kepada dunia pendidikan, anggaran pendidikan dalam APBN 2001 justru amat kecil.
Munculnya keprihatinan semacam itu tidak terjadi sekarang saja. Paulo Freire, ahli pendidikan Amerika Latin yang menulis buku berjudul Pedagogy of the Oppressed (1972), dengan lantang dan tegas mengkritik pendidikan. Menurut Freire, praksis pendidikan dalam kenyataannya tidak lain sebagai proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga.
Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan justru semakin dilegitimasi kehadirannya lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai objek pendidikan, instruksional, dan antidialog.
Penjinakan
Secara tajam, Freire mengatakan sekolah tidak lebih sebagai penjinakan. Dengan begitu rupa, murid dipaksa pasrah, nrimo. Murid digiring dalam ketaatan bisu. Mereka harus diam, atau tidak semestinya tahu realitas diri dan dunianya sebagai tertindas. Sebab kesadaran diri akan membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal yang selama ini diidamkan oleh segelintir elite sosial politis.
Kita pun merasakan 32 tahun pendidikan berjalan sebagai realitas pembungkaman anak didik. Kesadaran kritis mereka dinafikan untuk status quo penguasa yang tidak mau dikritik dan kekuasaannya diganggu. Jangankan orang miskin dapat bersekolah secara memadai, untuk mengenal realitas kemiskinan mereka sendiri saja hampir tidak memungkinkan.
Harus diakui, kritik tajam Freire itu mengilhami banyak orang tentang perlunya mengubah paradigma pandang mengenai pendidikan. Pertanyaan mendasar perlu diajukan, bagaimana mengelola pendidikan seperti diidamkan oleh Freire.
Sekarang saja, sistem pendidikan yang ada masih kaku, sentralistis, serta dibelenggu oleh kurikulum dan penyeragaman. Fatalnya, pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi dan penyeragaman.
Pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi kaum berkuasa karena sekolah memang dijadikan salah satu tempat untuk pembungkaman kritik. Tragisnya, sekolah berubah menjadi representasi kaum elite politis terutama selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Sekolah menjadi kesempatan pembungkaman kesadaran yang bertolak belakang dari cita-cita para pejuang kemerdekaan.
Di pihak lain, sejalan dengan kritik dan pemikiran Freire, sekolah lebih menjadi legitimasi sekelompok elite sosial politik lewat sistem pendidikan yang manipulatif serta menutup jalan terjadinya kreativitas. Karenanya, tidaklah mungkin terjadi perkembangan dan perubahan, kalau orang sudah kehilangan kesadaran (awareness).
Kegelisahan
Sampai saat ini potret muram dunia pendidikan menjadi kegelisahan banyak orang, pendidikan dengan amat mudah diperalat untuk melayani kepentingan masyarakat elitis semata. Pendidikan lebih sebagai tempat yang menyediakan tenaga kerja untuk sekelompok kecil masyarakat, dan bukan sebagai agen dan pelaku perubahan dalam kehidupan masyarakat. Tengok saja sekolah-sekolah kaya di kota-kota besar pada musim pendaftaran siswa baru seperti sekarang ini, hanya kelas menengah ke ataslah yang bisa masuk. Dengan biaya yang mahal, persyaratan yang rumit -- pendidikan bagi kaum miskin tidak pernah terwujud.
Padahal, dalam konteks ini, pendidikan bukan pertama-tama melayani masyarakat, melainkan membantu kelahiran manusia-manusia dewasa dan matang sehingga kelak dengan bebas dan sadar membantu masyarakatnya. Kita masuk dalam suatu fenomena globalisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dengan tiba-tiba kita memasuki budaya instan. Pola yang tertanam dalam masyarakat akan lapangan kerja dengan persyaratan tertentu, jabatan dengan gelar tertentu "merayu" model pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan 'kebutuhan' pasar.
Tidaklah mengherankan, kalau sekolah elite yang menghasilkan lulusan pintar, jurusan elite yang terbuka luas peluang masuk ke dunia kerja kebanjiran murid. Celakanya, banyak orang dan bahkan pendidik menganggap sekolah hanya sekadar untuk memperoleh pekerjaan, nilai tinggi, prestasi terlepas cara mengupayakannya.
Pentingnya linking dan delinking dan link and match yang digembar-gemborkan Wardiman Djojonegoro, mendikbud era Soeharto, menjadi alat legitimasi mereka yang secara sosial, ekonomi, dan intelektual saja yang bisa mengakses dunia pendidikan bermutu.
Gagasan itu menekankan anak didik harus mempunyai persambungan dengan lingkungan hidupnya, baik itu sosial, alam maupun kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, pendidikan membuat orang bisa mengenali kelebihan dan kekurangan pada dirinya dan lingkungannya.
Kemampuan itulah yang membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan. Anak didik adalah manusia, karenanya harus diperlakukan dengan hati-hati. Ia mengingatkan bahwa manusia adalah unfertiges Wesen, makhluk yang tidak siap.
Kodrat manusia lain dibanding binatang. Seekor anak ayam hanya membutuhkan beberapa saat untuk mematuk makanannya, tetapi seorang bayi membutuhkan waktu bertahun-tahun ’’hanya’’ untuk belajar makan. Tampak jelas, tanpa bantuan orang lain manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam dataran itu, manusia tidak cukup hanya dilatih -- melainkan harus dididik. Dengan pendidikan, ia akan berubah secara mental dan emosional.
Ketidakmampuan mengadaptasi diri dengan masyarakat dan lingkungan merupakan kegagalan pendidikan. Lihat saja, anggota DPR yang diangkat oleh rakyat melalui pemilu kehilangan sense of crisis dengan mengedepankan kekuasaan ketimbang memikirkan nasib rakyat yang menderita karena krisis ekonomi.
Di tengah beragam keprihatinan akan situasi bangsa dewasa ini, bagaimanapun pendidikan untuk si miskin patut memperoleh perhatian secara seksama dan serius. Jika tidak, mereka akan dengan mudah diperalat kaum berkuasa untuk kepentingannya sendiri. Pendidikan yang tidak merata juga menyebabkan tidak meratanya akses untuk menikmati kue pembangunan, informasi dan tegasnya reformasi menuju demokratisasi tidak segera terwujud. Indikasi ke arah itu amat jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang terdidik yang mampu menjadi penggerak. Dalam bahasa yang sederhana tidak ditemukan orang yang sudah menep (baca = mengendap) untuk membawa perubahan di negeri ini.
Dalam tahun ajaran baru semacam pengelola pendidikan, yayasan dan pemerintah mesti memberikan perhatian kepada kaum miskin. Ketiadaan akses memperoleh pendidikan justru akan memperuncing kesenjangan sosial yang sampai kapan pun akan mengundang kerawanan sosial bagi kehidupan bersama.
* Penulis, Oleh: Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang. (Suara Pembaruan 270701)