-->
thumbnail

BUKAN KEMEWAHAN YANG MEMBUAT SEKOLAH JADI UNGGULAN

Posted by Yushan on Thursday, April 14, 2016


Definisi sekolah unggul yang mewah, luks, sarana (hardware) yang lengkap dalam beberapa tahun kedepan akan ditinggalkan masyarakat. Sekolah yang lebih mementingkan hardware tersebut menyesatkan indikasi sekolah unggulan karena dari sekolah seperti itu belum tentu menghasilkan lulusan yang optimal dan unggulan.

"Sekolah unggulan ialah sebuah sistem dimana seluruh komponen pendidikannya terintegrasi, utamanya guru," ucap Prof. Dr. Yaumil Agoes Achir anggota Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma (YPP Adik Irma). Dia memaksudkan terintegrasinya sistem ialah guru, kurikulum, sarana, dan murid-muridnya saling mendukung.

Ketrampilan, kepandaian, dan penguasaan materi oleh guru adalah kunci sekolah unggul. "Guru juga tidak boleh diperas, pengembangan karir serta materinya harus diperhatikan pengelola sekolah," ucapnya. Dia mengatakan kesejahteraan guru sangat penting untuk meningkatkan mutu pendidikan. Semakin guru sejahtera akan lebih tinggi konsentrasinya kependidikan dan murid.

Selain itu ada lagi syarat yang diajukan Yaumil mengenai sekolah unggulan yaitu kurikulum. "Jangan hanya bergantung kepada kurikulum nasional, harus ada penambahan jam serta materi pada beberapa pelajaran yang penting," tuturnya.

YPP Adik Irma sendiri memberi penekanan kepada pelajaran matematika, fisika, humaniora (budi pekerti), kemampuan berbahasa, dan komputer. "Penekanan pada lima poin tersebut menjadikan kurikulum nasional lebih unggul," ujarnya.

Sedangkan konsekuensi yang harus dihadapi anak dengan adanya beberapa penekanan pelajaran tersebut jam pulang anak akan lebih panjang. Yaumil mengatakan mungkin anak harus pulang sekolah jam 15.30 atau 16.00.

"Jangan khawatir anak akan jenuh karena terlalu lama disekolah. Di luar negeri sendiri anak pulang sekolah sore hari itu sudah biasa," tegasnya. Biasanya kejenuhan anak disekolah justru karena faktor gurunya karena guru tidak mampu menampilkan materi secara menarik. (KPM/Warta Kota 260400)

11:19:00 PM
thumbnail

MENYOAL PENDIDIKAN UNTUK SI MISKIN

Posted by Yushan on

Tahun ajaran baru sudah tiba. Pada setiap tahun ajaran baru, dapat kita saksikan pemandangan menarik; penerimaan siswa baru dari tingkat TK-SLTA, juga mereka yang berebut kursi di bangku perguruan tinggi. Bagi kalangan menengah ke atas, tidak terlalu menjadi masalah bagaimana mereka bisa melanjutkan pendidikan. Dengan NEM yang mereka miliki serta dana yang tersedia, mereka dengan mudah dapat meraih kursi di sekolah yang diidamkan.

Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan les privat, bimbingan tes dan berbagai kursus untuk meraih NEM tinggi. Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti mengalami kesulitan. Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis mereka tidak mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk melanjutkan ke sekolah bermutu, mereka tidak akan pernah bisa masuk dengan persyaratan yang rumit serta biaya yang mahal.

Sebagai pendidik, dan orang tua, kita merasakan betapa akses ke dunia pendidikan tidak diperoleh semua kalangan. Orang kecil terutama, selalu termarginalisasi oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Mereka tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan memperoleh pendidikan yang layak, mereka juga dengan mudah diperlakukan tidak adil oleh mereka yang menguasai pangsa pasar. Sekolah-sekolah zaman sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk sekolah. Fungsi sekolah yang di masa lalu mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis yang subur.

Hak
Banyak sekolah didirikan semata-mata untuk mengeruk uang dan keuntungan. Dengan NEM yang rendah dan biaya yang sangat sedikit, masihkah ada peluang untuk memperoleh pendidikan? Kisah-kisah semacam ini menjadi menarik, ketika mereka mengatakan telah mendatangi sekolah-sekolah untuk mendaftarkan diri tetapi ditolak karena tidak ada biaya. Ironis memang.

Wali Kota Semarang H Sukawi Sutarip dalam sebuah dialog dengan LSM dan wartawan pernah menyesalkan iklan ’’Ayo Sekolah’’ di televisi yang mendorong anak-anak bersekolah, tetapi begitu tiba di sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara kita menggariskan semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak.

Ketiadaan memperoleh kesempatan sekolah merupakan pengingkaran dari tujuan pendidikan sendiri, yang mencakup: Pertama, pendidikan bertujuan membentuk manusia seutuhnya yakni manusia Pancasilais sejati. Kedua, pendidikan berlangsung seumur hidup di dalam dan di luar sekolah.

Ketiga, pendidikan berdasarkan pada faktor ekologi, yakni kondisi masyarakat yang sedang membangun dengan kondisi sosial budaya serta alam Indonesia. Keempat, berdasarkan pandangan psikologis belajar modern, anak didik diakui sebagai suatu organisme yang sedang berkembang, yang berkemampuan, beraktivitas dan berinteraksi, baik dengan masyarakat maupun dengan lingkungan.
Kelima, hasil pendidikan diharapkan, kelak anak didik menjadi manusia atau warga masyarakat yang terampil bekerja, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya kini dan di masa mendatang. (Oemar Hamalik, 1980). Oleh karena itu, kesempatan memperoleh pendidikan merupakan hak setiap warga negara.

Sekalipun banyak pihak menyadari -- juga termasuk pengelola pendidikan -- perlunya pendidikan bagi kaum miskin, tetapi jangankan bisa sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah payah. Apalagi biaya sekolah kian hari kian mahal. Idealnya biaya pendidikan tidak dibebankan kepada orang tua, tetapi subsidi dari negara.

Namun apa lacur? Pada zaman mantan Presiden Gus Dur, yang dikenal sebagai seorang populis dan humanis dan di masa lalu memberikan perhatian besar kepada dunia pendidikan, anggaran pendidikan dalam APBN 2001 justru amat kecil.

Munculnya keprihatinan semacam itu tidak terjadi sekarang saja. Paulo Freire, ahli pendidikan Amerika Latin yang menulis buku berjudul Pedagogy of the Oppressed (1972), dengan lantang dan tegas mengkritik pendidikan. Menurut Freire, praksis pendidikan dalam kenyataannya tidak lain sebagai proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga.

Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan justru semakin dilegitimasi kehadirannya lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai objek pendidikan, instruksional, dan antidialog.

Penjinakan
Secara tajam, Freire mengatakan sekolah tidak lebih sebagai penjinakan. Dengan begitu rupa, murid dipaksa pasrah, nrimo. Murid digiring dalam ketaatan bisu. Mereka harus diam, atau tidak semestinya tahu realitas diri dan dunianya sebagai tertindas. Sebab kesadaran diri akan membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal yang selama ini diidamkan oleh segelintir elite sosial politis.

Kita pun merasakan 32 tahun pendidikan berjalan sebagai realitas pembungkaman anak didik. Kesadaran kritis mereka dinafikan untuk status quo penguasa yang tidak mau dikritik dan kekuasaannya diganggu. Jangankan orang miskin dapat bersekolah secara memadai, untuk mengenal realitas kemiskinan mereka sendiri saja hampir tidak memungkinkan.

Harus diakui, kritik tajam Freire itu mengilhami banyak orang tentang perlunya mengubah paradigma pandang mengenai pendidikan. Pertanyaan mendasar perlu diajukan, bagaimana mengelola pendidikan seperti diidamkan oleh Freire.

Sekarang saja, sistem pendidikan yang ada masih kaku, sentralistis, serta dibelenggu oleh kurikulum dan penyeragaman. Fatalnya, pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi dan penyeragaman.

Pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi kaum berkuasa karena sekolah memang dijadikan salah satu tempat untuk pembungkaman kritik. Tragisnya, sekolah berubah menjadi representasi kaum elite politis terutama selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Sekolah menjadi kesempatan pembungkaman kesadaran yang bertolak belakang dari cita-cita para pejuang kemerdekaan.

Di pihak lain, sejalan dengan kritik dan pemikiran Freire, sekolah lebih menjadi legitimasi sekelompok elite sosial politik lewat sistem pendidikan yang manipulatif serta menutup jalan terjadinya kreativitas. Karenanya, tidaklah mungkin terjadi perkembangan dan perubahan, kalau orang sudah kehilangan kesadaran (awareness).

Kegelisahan
Sampai saat ini potret muram dunia pendidikan menjadi kegelisahan banyak orang, pendidikan dengan amat mudah diperalat untuk melayani kepentingan masyarakat elitis semata. Pendidikan lebih sebagai tempat yang menyediakan tenaga kerja untuk sekelompok kecil masyarakat, dan bukan sebagai agen dan pelaku perubahan dalam kehidupan masyarakat. Tengok saja sekolah-sekolah kaya di kota-kota besar pada musim pendaftaran siswa baru seperti sekarang ini, hanya kelas menengah ke ataslah yang bisa masuk. Dengan biaya yang mahal, persyaratan yang rumit -- pendidikan bagi kaum miskin tidak pernah terwujud.

Padahal, dalam konteks ini, pendidikan bukan pertama-tama melayani masyarakat, melainkan membantu kelahiran manusia-manusia dewasa dan matang sehingga kelak dengan bebas dan sadar membantu masyarakatnya. Kita masuk dalam suatu fenomena globalisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dengan tiba-tiba kita memasuki budaya instan. Pola yang tertanam dalam masyarakat akan lapangan kerja dengan persyaratan tertentu, jabatan dengan gelar tertentu "merayu" model pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan 'kebutuhan' pasar.

Tidaklah mengherankan, kalau sekolah elite yang menghasilkan lulusan pintar, jurusan elite yang terbuka luas peluang masuk ke dunia kerja kebanjiran murid. Celakanya, banyak orang dan bahkan pendidik menganggap sekolah hanya sekadar untuk memperoleh pekerjaan, nilai tinggi, prestasi terlepas cara mengupayakannya.

Pentingnya linking dan delinking dan link and match yang digembar-gemborkan Wardiman Djojonegoro, mendikbud era Soeharto, menjadi alat legitimasi mereka yang secara sosial, ekonomi, dan intelektual saja yang bisa mengakses dunia pendidikan bermutu.

Gagasan itu menekankan anak didik harus mempunyai persambungan dengan lingkungan hidupnya, baik itu sosial, alam maupun kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, pendidikan membuat orang bisa mengenali kelebihan dan kekurangan pada dirinya dan lingkungannya.

Kemampuan itulah yang membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan. Anak didik adalah manusia, karenanya harus diperlakukan dengan hati-hati. Ia mengingatkan bahwa manusia adalah unfertiges Wesen, makhluk yang tidak siap.

Kodrat manusia lain dibanding binatang. Seekor anak ayam hanya membutuhkan beberapa saat untuk mematuk makanannya, tetapi seorang bayi membutuhkan waktu bertahun-tahun ’’hanya’’ untuk belajar makan. Tampak jelas, tanpa bantuan orang lain manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam dataran itu, manusia tidak cukup hanya dilatih -- melainkan harus dididik. Dengan pendidikan, ia akan berubah secara mental dan emosional.

Ketidakmampuan mengadaptasi diri dengan masyarakat dan lingkungan merupakan kegagalan pendidikan. Lihat saja, anggota DPR yang diangkat oleh rakyat melalui pemilu kehilangan sense of crisis dengan mengedepankan kekuasaan ketimbang memikirkan nasib rakyat yang menderita karena krisis ekonomi.

Di tengah beragam keprihatinan akan situasi bangsa dewasa ini, bagaimanapun pendidikan untuk si miskin patut memperoleh perhatian secara seksama dan serius. Jika tidak, mereka akan dengan mudah diperalat kaum berkuasa untuk kepentingannya sendiri. Pendidikan yang tidak merata juga menyebabkan tidak meratanya akses untuk menikmati kue pembangunan, informasi dan tegasnya reformasi menuju demokratisasi tidak segera terwujud. Indikasi ke arah itu amat jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang terdidik yang mampu menjadi penggerak. Dalam bahasa yang sederhana tidak ditemukan orang yang sudah menep (baca = mengendap) untuk membawa perubahan di negeri ini.

Dalam tahun ajaran baru semacam pengelola pendidikan, yayasan dan pemerintah mesti memberikan perhatian kepada kaum miskin. Ketiadaan akses memperoleh pendidikan justru akan memperuncing kesenjangan sosial yang sampai kapan pun akan mengundang kerawanan sosial bagi kehidupan bersama.

* Penulis, Oleh: Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang. (Suara Pembaruan 270701)

10:16:00 PM
thumbnail

PENDIDIKAN BERPIHAK PADA "THE UPPER CLASS"?

Posted by Yushan on

PENDIDIKAN BERPIHAK PADA "THE UPPER CLASS"?

Berkenaan dengan politik etis, Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang amat kolonialistik mengatakan, pendidikan akan membuat orang turut serta dalam kehidupan orang yang mendidik. Karena itu, pendidikan itu perlu. Cuma perlu dibatasi pada the upper class, karena hanya ingin memperkecil jarak antara mereka dengan kita yang berkuasa. Malah dalam semangat, kata Hurgronje, mereka tidak akan mengikatkan diri dengan massa. Karena itu, kita harus mempersatukan diri kita dengan orang-orang Indonesia dari the upper class.

Makna substansial dari paparan itu tergambar jelas dalam ideologi Le desir d'etre esemble yang dianyam dalam bungkusan politik etis dan secara sadar dijalankan kolonial Belanda. Pendidikan itu diciptakan untuk membuat anak didik melekat pada struktur atau sistem yang ada bukan untuk mengubah atau memperbaiki struktur itu. Sayangnya ajakan "keberhasilan" ini hanya sampai di puncak piramida sosial, tidak sampai ke lapisan menengah dan bawah.

Pikiran Hurgronje itu pada dasarnya adalah pikiran yang anti-pendidikan, karena sebetulnya Belanda telah menumbuhkan penjara, yakni penjara untuk menjadi pelayan politik kolonial Belanda yang repressive dan ingin tetap pada status quo. Hal ini didasarkan pada, pertama, yang mengenyam pendidikan terbatas pada the upper class yang secara lahiriah bersifat repressive dan diskriminatif terhadap mereka yang berasal dari lapisan menengah dan bawah. Kedua, karena mata pelajaran yang diberikan adalah yang pada dasarnya diciptakan untuk menjadi pelayan pemerintah kolonial Belanda.
Mengacu paparan itu, kita mendapat hikmah, pendidikan di zaman Belanda pada dasarnya bersifat repressive dan diskriminatif. Fakta historis ini amat membekas dalam pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Bila kita mencermati kurikulum yang berlaku, misalnya pada pendidikan tinggi, sukar bagi kita untuk menghindar bahwa kita sedang dipaksa berpihak menjadi bagian dari the upper class yang cinta pada status quo. Sebagai contoh kita dapat menyimak kurikulum Fakultas Hukum. Kurikulumnya berpihak kepada the upper class, dan diarahkan untuk melindungi sistem perekonomian. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), misalnya, lebih berurusan dengan perlindungan terhadap pedagang. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) cenderung membela perusahaan multinasional. Aspek-aspek yang mengenai hak asasi manusia yang dekat dengan the lower class hampir tidak pernah tersentuh. Pendidikan kita tidak liberal, tetapi justru suatu pendidikan yang antiliberal. Pendidikan kita cenderung berpihak memperkuat sistem yang ada yang notabene tidak memihak mayoritas rakyat miskin yang ada di struktur bawah. Kenyataan seperti inilah yang membuat Ivan Illick dan Paulo Freire mengkritik tajam dunia pendidikan di negara berkembang yang menurut dia tidak membawa perubahan apa-apa. Kritik Ivan Illick dan Paulo Freire adalah kritik terhadap kita semua, bahwa kita harus mempertanyakan kembali pendidikan itu untuk apa? Suatu sikap tegas dengan berpihak yang pasti adalah mutlak. Pendidikan bukan hanya fungsional membuka mata kita akan kemiskinan dan ketidakadilan, tetapi justru harus mampu mengurangi kemiskinan dan memperkecil ketidakadilan. Jika kita menggunakan pendidikan sebagai paspor untuk melekatkan diri pada struktur atas, maka secara sadar kita sedang melestarikan adanya jurang ketidakadilan antara upper class dengan middle class and the lower class.

Politik pendidikan

Bila kita membaca UUD 1945, kita akan tahu, setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran yang penyelenggaraannya diatur undang-undang tersendiri. Cita-cita luhur dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengatakan "Mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", masih merupakan kata-kata kosong. Kita masih jauh dari pemenuhan kebutuhan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat. Kalau pembangunan dikatakan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, maka akibat logisnya adalah semakin melebarnya jurang antara si terdidik dengan si tidak terdidik. Pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi mencerdaskan orang yang sudah cerdas. Orang-orang yang sudah cerdas adalah kelompok the upper class yang kaya dan terdidik serta memiliki akses ke pendidikan. Mereka inilah yang sebenarnya sangat menikmati pendidikan.

Jelas sekali, fenomena empirik di atas merupakan suatu ketidakadilan yang melanda dunia pendidikan kita. Ketidakadilan itu dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, pemerintah seolah tidak merasa bahwa pendidikan ini penting. Kalaupun dianggap penting, maka itu sebatas retorika. Tidak ada konsistensi dalam kebijakan pendidikan. Pendidikan selalu dijadikan tempat membuat eksperimen, peserta didik diperlakukan sebagai obyek.

Kedua, karena itu anggaran pendidikan tidak pernah ditambah. Bahkan cenderung sangat kecil. Bidang pendidikan adalah kehidupan yang miskin. Ketiga, karena pemerintah terlalu menempatkan pembangunan politik dan ekonomi di atas segala-galanya dan dalam konteks ini pendidikan mestinya diciptakan untuk menunjang laju pembangunan itu sendiri.

Pendidikan merupakan penunjang suksesnya pembangunan. Dalam tautan makna yang demikian, maka peran yang dianut adalah peranan pendidikan sebagai service station. Hal ini sama dengan yang dikatakan Johan Galtung mengenai politics of growth dalam dunia pendidikan, ketika dia mencoba mempertentangkan dengan pendidikan yang lebih berorientasi kepada pemerataan pendidikan (politics of equality).

Kondisi obyektif itu didukung pemerintah Orde Baru (Orba) yang tertuang dalam kebijakan pembangunan pada setiap Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Yang mengutamakan politics of growth sesuai laju pembangunan. Politik pendidikan yang bersifat perluasan kesempatan, baru akan diadakan setelah pembangunan relatif berhasil. Namun, kapan pembangunan berhasil dan berjalan dengan politics of equality bisa dimulai? Kini bangsa kita sedang mengalami krisis ekonomi amat parah. Bidang pembangunan pendidikan memperoleh support dana APBN sebesar 3,83 persen dari total APBN 2001, terendah di dunia setelah Bostwana.

Selain itu, yang mengundang pertanyaan, pendidikan di Indonesia adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Mestinya yang paling bertanggung jawab di bidang pendidikan adalah pemerintah, baru kemudian keluarga dan masyarakat. Bila kita kaitkan hal itu dengan hak asasi manusia, maka dapat dikatakan, pendidikan masih tetap bersifat diskriminatif dan repressive. Apalagi bila tanggung jawab utama terletak pada keluarga. Karena sesungguhnya yang akan mampu sekolah adalah mereka yang berasal dari keluarga yang kaya dan terdidik. Kondisi obyektif ini merupakan pembenaran bahwa pendidikan berpihak kepada the upper class.

Mengacu pada paparan itu dapat disimpulkan, aktualisasi hak-hak asasi manusia dalam pendidikan masih amat jauh. Masih banyak warga negara yang belum menerima pelayanan pendidikan bermutu. Pendidikan sekarang kelihatannya kurang manusiawi, dan itu adalah kejahatan (crime). Kapan kita perang melawan kejahatan itu?

Oleh: Umbu Tagela
* Penulis adalah pengajar di UKSW Salatiga, Jawa Tengah. (Kompas 040701)

8:11:00 PM
thumbnail

SEKOLAH UNGGULAN VERSI OTONOMI PENDIDIKAN

Posted by Yushan on

Dewasa ini sering kita dengar istilah "sekolah unggulan" atau "sekolah plus". Predikat tersebut ada yang datangnya tiba-tiba (karena kepentingan birokrat pendidikan) dan ada pula yang muncul karena penilaian masyarakat. Di era otonomi pendidikan seperti sekarang, ada sebuah gagasan yang ingin saya tawarkan kepada pembaca, yaitu tentang sekolah unggulan versi otonomi pendidikan. Artinya, sekolah unggulan tersebut tetaplah sebagaimana sekolah-sekolah yang lain. Hanya saja, pada sisi tertentu mempunyai keunggulan. Begitu pula sekolah unggulan lainnya, mempunyai suatu keunggulan di bidang tertentu. Saya berpendapat bahwa tidak mungkin sekolah unggulan akan unggul segalanya. 

Suatu sekolah unggulan yang mendambakan untuk menjadi unggul segalanya akan menjadi sekolah yang "tidak sehat". Mengapa? Karena mereka telah memaksakan diri untuk menjadi unggul, padahal dalam hal tertentu tidak mungkin mengungguli sekolah yang lain. Yang perlu dilakukan adalah memetakan keunggulan masing-masing sekolah dan mengembangkan sekolah tersebut secara khusus kepada keunggulannya. Sebab, hanya sekolah yang mampu menekuni keunggulannya yang akan bisa eksis di era otonomi pendidikan. Mengapa? Karena sekolah tersebut benar-benar berupaya untuk menjadi unggul di sisi tertentu tanpa melupakan sisi lainnya. Misalnya, sebuah sekolah di lingkungan pantai, maka sekolah itu setidaknya unggul dalam hal pemberdayaan pantai dan segala sesuatu yang berhubungan dengan laut, termasuk teknologi yang dapat dikembangkan di daerah pantai. Begitu pula untuk daerah pegunungan, maka suatu sekolah haruslah memiliki keunggulan sesuai dengan letak geografis dan sosial budaya masyarakatnya.

Di sini tampak jelas bahwa otonomi pendidikan telah memberikan peluang dan tantangan yang optimal bagi berkembangnya sekolah-sekolah unggulan. Artinya, setiap sekolah dapat saja mengembangkan diri, sehingga menjadi unggul dalam hal tertentu.

Konsep semacam ini mungkin agak berbeda dengan konsep umum yang sekarang sedang menjamur, yaitu bahwa sekolah unggulan haruslah unggul segala-galanya. Saya berpandangan bahwa sekolah unggulan menurut manajemen berbasis sekolah (MBA) adalah sekolah yang unggul dalam tiga hal; yaitu (1) pelaksanaan pembelajarannya, (2) transparansi manajemennya, dan (3) partisipasi masyarakatnya.

Jika di suatu kecamatan ada dua atau tiga sekolah yang memiliki keunggulan pada tiga komponen tersebut, apakah mereka tidak berhak memperoleh predikat unggulan? Rasanya sangat tidak logis apabila keunggulan suatu sekolah hanya diukur dari sisi administratif. Harus ada pandangan yang komprehensif mengenai profil suatu sekolah. Bahkan, untuk sekolah yang hanya memiliki satu keunggulan saja (misalnya, partisipasi masyarakatnya), maka sekolah tersebut sudah bisa disebut unggulan, yaitu unggulan di bidang partisipasi masyarakat. Begitu pula sekolah yang hanya unggul transparansi manajemennya atau pembelajaran aktifnya. Tingginya otonomi sekolah telah mendorong suatu sekolah untuk dapat mengembangkan dirinya sesusai dengan potensi yang ada. Ketika saya mengadakan penelitian di daerah uji coba MBS di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, ada banyak sekolah yang memiliki keunggulan di bidang tertentu, tetapi masih kurang di bidang yang lain. Misalnya, untuk partisipasi masyarakat, maka Sekolah Dasar (SD) Mlaten II dan SD Sumbergirang II memiliki keunggulan tersendiri dibanding SD yang lain. Untuk pembelajaran aktif dan menyenangkan bisa ditemui di SD Kebonagung. Begitu seterusnya. * * * Keunggulan yang tidak merata semacam itu sebenarnya memberikan nilai tersendiri bagi suatu sekolah. Bagi sekolah yang belum unggul di bidang pembelajaran aktif misalnya, dapat mengadakan studi banding di sekolah yang sudah unggul di bidang tersebut. Begitu seterusnya. Namun yang pasti, setiap sekolah harus mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya, sehingga benar-benar ada yang dapat diunggulkan. Penyeragaman sesuatu pada semua sekolah harus mulai ditinggalkan. Artinya, tuntutan agar sekolah yang satu sama persis dengan sekolah yang lain di era otonomi pendidikan ini, hendaknya dibuang jauh-jauh. Sebab, "virus keseragaman" inilah yang terjadi di era Orde Baru, sehingga membentuk anak-anak kita menjadi "pengekor" kelas wahid. Sekarang sekolah harus benar-benar otonom, dalam arti memiliki kewenangan yang besar untuk menentukan programnya. Bersama Dewan Sekolah, maka kepala sekolah dan guru harus dapat menentukan visi dan misi, sesuai dengan keadaan lingkungannya. Jika realitas semacam ini terwujud, maka keunggulan yang dimiliki masing-masing sekolah akan menjadi pemicu untuk berkompetisi secara sehat. Selain itu, secara sportif kita akan mengakui kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri. Dari aspek pendidikan, sekolah unggulan versi ini justru akan merekatkan hubungan antarsekolah, bukan sebaliknya. Di era otonomi pendidikan ini, perbedaan hendaknya dihargai, termasuk perbedaan dalam hal sekolah unggulan.

Penulis
* Achmad Sapari, pengawas TK/SD/SDLB di Probolinggo dan mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Malang (Kompas 130701

8:08:00 PM
thumbnail

MENYOROT KOMITE REFORMASI PENDIDIKAN

Posted by Yushan on


Dunia persekolahan atau lembaga-lembaga pendidikan formal adalah institusi yang paling lamban (too slow) dan selalu terlambat (too late) memberikan respons terhadap arus deras perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Hal ini kembali terbukti saat kita membaca berita dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) lewat SK Mendiknas No.016/P/2001 tertanggal 21 Februari 2001 (Kompas, 7/3/2001, hlm.9). 

Bayangkan, sudah sekitar tiga tahun arus reformasi bergulir, baru sekarang dibentuk KRP. Dan kalau kita membaca berita tentang perlunya perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional, kuat dugaan bahwa KRP ini dibentuk justru atas permintaan Bank Dunia yang bersedia mendanainya (Kompas, 14/2/2001, hlm.9). Jadi, mungkin benar pertanyaan retorik dalam judul tulisan Mayling Oey-Gardiner: Adakah yang Peduli Mutu Pendidikan? (Tempo, 24 Desember 2000, hlm.58). 

Pemerintah agaknya tak terlalu peduli, kecuali bila soal-soal ini kemudian menjadi prasyarat pencairan bantuan dari Bank Dunia atau IMF dan lembaga donor lainnya.

Sambil mengelus dada dan menyeka air mata yang terkuras habis selama empat dekade terakhir (sejak 1959), kita mungkin hanya dapat berkata untuk kesekian ribu kalinya, better late than never. Lalu dengan harapan yang telah ribuan kali dikecewakan, kita perlu memberikan berbagai masukan kepada segenap anggota KRP yang terhormat agar hasil kerja mereka yang (dalam jangka pendek) diharapkan selesai akhir tahun ini, dapat terlihat adanya paradigm repentance, pertobatan paradigma. 

KRP kita harapkan dapat menjadi faktor pemicu agar birokrasi pendidikan di pusat dan di daerah mengalami metanoia dan menindaklanjuti proses otonomi pendidikan sampai bermuara ke otonomi sekolah dengan terutama menunjukkan kemauan untuk belajar bersama-sama dengan masyarakat. Arogansi birokrasi dalam sistem pendidikan sentralistis yang dipolitisir selama ini harus berubah dengan lebih memperhatikan secara saksama aspirasi masyarakat yang sedang berubah dengan segala kompleksitasnya. 

Penyederhanaan berbagai persoalan hanya akan membuat KRP "sukses" mengerjakan tugas jangka pendeknya (memperbaiki UUSPN, yakni UU No.2/1989), namun akan gagal membuat pendidikan terselenggara secara relatif otonom pada tingkat sekolah dan universitas di daerah.

Jelas sangat diharapkan bahwa paradigma pendidikan yang "baru" itu benar-benar berorientasi ke masa depan. Mochtar Buchori, yang entah mengapa tidak termasuk dalam daftar nama 12 orang anggota KRP, menyebutnya sebagai Pendidikan Antisipatoris (Kanisius, 2001). Dalam bahasa yang agak berbeda Winarno Surakhmad mengatakan, "Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana kita bisa mengembangkan suatu pendidikan yang bernafaskan desentralisasi dan sekaligus berdimensi global, sesuai dengan tuntutan masa depan itu" (Kompas, 9/3/2001,hlm 9). 

Dan kalau kita coba merangkum ide-ide dasar dari wacana pendidikan yang berkembang akhir-akhir ini, maka setidak ada benang merah harapan masyarakat luas bahwa arah atau visi pendidikan adalah menuju sistem pendidikan yang utamanya bersifat indijines (indigenous), kontekstual, otonom, demokratis, dan berwawasan global. 

Sistem pendidikan yang baru nanti, setelah diuji coba selama 15-20 tahun, kiranya mampu memanusiawikan kaum muda dan masyarakat luas agar menjadi pembelajar-pembelajar mandiri dan kreatif, yang mampu membentuk jati diri kulturalnya sebagai masyarakat Indonesia Baru yang berperadaban dan yang memandang segala perbedaan (SARA) sebagai aset nasional yang paling berharga.

Kalau harapan-harapan yang dikemukakan di atas dapat disepakati sebagai harapan dan visi bersama, atau sekurang-kurangnya harapan sebagian besar anggota komunitas pendidikan yang menaruh perhatian serius terhadap masalah-masalah kelangsungan hidup bangsa ini, maka pertanyaannya adalah apakah susunan keanggotaan KRP yang dibentuk Mendiknas itu memperbesar harapan atau justru sebaliknya? 

Artinya, apakah komposisi anggota KRP mewakili berbagai komponen bangsa yang dianggap kompeten dan arif dalam memahami persoalan-persoalan dasar dalam dunia pendidikan di negeri ini?

Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa sedikitnya ada tiga pertanyaan yang muncul dalam masyarakat sehubungan dengan komposisi keanggotaan KRP tersebut. Pertama, mengapa tokoh-tokoh pendidikan yang dikenal luas seperti Mochtar Buchori, Conny Semiawan, Pater Drost, Arief Rahman, dan Sindhunata, tidak termasuk didalamnya? 

Apakah ada perbedaan pandangan yang membuat tokoh-tokoh tersebut harus berada di "pinggiran" ataukah hanya sekadar karena jumlah anggota KRP dibatasi secara ketat dengan dalih yang lain bisa memberikan masukan? Atau lebih mendasar lagi, bagaimana proses pemilihan anggota KRP itu? Apakah dilakukan secara demokratis dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota komunitas pendidikan yang ada atau dipaksakan mengikuti kehendak birokrat pendidikan di tingkat pusat? Tidakkah untuk membentuk komite yang sangat penting itu diperlukan semacam fit and proper test dalam batas-batas tertentu seperti dalam proses pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai oleh Yusuf Syakir berdasarkan Keppres No.242/M/2000?

Kedua, mengapa seluruh anggota KRP adalah akademisi dan praktisi di persekolahan formal, yang ditandai dengan atribut akademis setingkat master, doktor dan profesor? Apakah masalah pendidikan masih dipahami sebagai masalah yang hanya dipahami oleh kaum akademisi dan praktisi di lembaga-lembaga pendidikan formal yang masa depannya sedang digugat, baik di Jerman maupun di Perancis (seperti sering dikutip Sindhunata dalam kata pengantar beberapa buku terbitan Kanisius belakangan ini)? Bagaimana dengan tokoh-tokoh pendidikan luar sekolah yang sekalipun tidak memiliki atribut akademis tetapi banyak berkiprah dalam proses pendidikan dalam arti yang luas (informal, formal, nonformal)?

Ketiga, mengapa kaum muda dibawah usia 40 tahun yang sangat kritis dalam menyikapi soal-soal pendidikan seperti Darmaningtyas dan Khoe Yao Tung tidak dilibatkan? Tidakkah kaum muda lebih progresif dan "memahami" dinamika perubahan zaman di bandingkan angkatan yang telah terbelenggu oleh paradigma-paradigma lama karena telah terbiasa hidup dalam suasana sistem pendidikan yang sentralistis?

Menyoal komposisi anggota KRP terutama relevan dalam kaitannya dengan harapan adanya paradigma baru dalam memetakan maslah-masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, meminjam konsep para pakar di bidang studi "paradigma shifts" (Khun, Smith, Harmon, Ferguson, Barker, dsb), paradigma yang sungguh-sungguh baru dapat lebih diharapkan dari: 

pertama, orang muda yang relatif belum berpengalaman tetapi memiliki idealisme yang jelas; 

kedua, orang berpengalaman yang beralih bidang pengabdiannya (an older person shifting field); 

ketiga, orang-orang yang tidak berpikir konvensional (the maverick); 

dan terakhir, para pelaksana di lapangan yang amatir (tinkerers). 

Dalam konteks KRP, mereka yang "sangat berpengalaman" di bidang pendidikan pada masa lalu, kecuali yang benar-benar diyakini tidak berpikir konvensional, justru tidak dapat diharapkan untuk melahirkan paradigma baru. Sama seperti pesimisme sebagian anggota masyarakat yang sinis mendengarkan kampanye paradigma baru Partai Golkar dan belakangan menuntut pembubaran parpol warisan Orde Baru itu.

Dalam seminar "Reformasi Pendidikan Nasional" yang diselenggarakan KRP Depdiknas di Yogyakarta, 16 Maret 2001, disebutkan antara lain, "Meski seminar ini banyak dihadiri pakar pendidikan, namun ide-ide yang muncul tampaknya belum banyak memunculkan pandangan yang berbeda dari anggota KRP" (Kompas, 17/3/2001, hlm.9). 

Ini merupakan pencerminan awal bahwa harapan akan munculnya paradigma baru dari para pakar yang "berpengalaman" memang sulit diharapkan. Akankah hasil kerja KRP kelak akan kembali menghasilkan airmata (seperti judul sebuah tulisan Sindhunata di majalah Basis)?

Oleh: Andrias Harefa
12:06:00 AM
thumbnail

DOSA ORBA TERHADAP PELAJAR

Posted by Yushan on Wednesday, April 13, 2016

Setelah 3 tahun Indonesia tanpa kemimpinan diktator Jendral Soeharto, melalui penggulingan massa, disponsori mahasiswa yang menuntut reformasi, ternyata masih banyak kendala menuju masyarakat Indonesia yang demokratik. Gerakan mahasiswa saat iitu ternyata tidak kompak, sehingga GAGAL meruntuhkan tiang-tiang penyangga kediktatoran rejim Orde Baru. Gerakan mahasiswa ter-ilusi dengan jatuhnya Jendral Soeharto dan mengira Indonesia sudah mencapai tahap demokratik, padahal kenyataan yang terjadi: kekuatan penyangga dari " bangunan usang' rejim Orde Baru berhasil melakukan konsolidasi kekuatannya dan siap untuk memukul mundur kekuatan-kekuatan yang selama ini konsisten dengan perjuangan untuk demokratisasi. Apa saja tiang Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun di atas lumuran darah rakyat Indonesia ?

Pertama, Partai Golkar, alat untuk melegitimasi setiap kebijakan yang telah terbukti merugikan rakyat dan bahkan menggadaikan nasib kita generasi muda Indonesia yang saat ini masih duduk di bangku sekolah , menjadi buram masa depannya. Masih ingat kawan-kawan akan utang yang selama ini di tanggung oleh rakyat indonesia? Semua karena partai Golkar sebagai partai yang berkuasa melegitimasi kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru yang mengandalkan hutang luar negeri, dan terbukti gagal. Utang-utang itu dipakai untuk proyek-proyek ambisius yang tidak masuk akan untuk tingkat kemampuan ekonomi kita, tapi dipaksakan agar memberikan gambaran bahwa Indonesia telah menjadi negara modern. Mimpi-mimpi yang ditabur oleh rejim Orde Baru sehingga kesadaran kita terbius oleh ' kepastian akan nasib dan masa depan anak muda Indonesia'.

Kedua, militer atau tentara. Demi terciptanya kestabilan politik serta keamanan yang di perlukan untuk menunjangan kestabilan ekonomi makan militer Indonesia siap sedia menumpas setiap perlawanan rakyat menentang kediktaktoranOrde Baru. Ingat pembantaian Tanjung PRiok, DOM di Aceh dan Papua, Marsinah, Udin, Penculikan aktivis pro-demokrasi, Penculikan seniman rakyat Wiji Thukul sampai tragedi pembantaian 65-66 yang konon mencapai jutaan jiwa. Bagaimana kita mau berani menghadapi masa depan Indonesia Baru dengan kepala tegak, sedangkan masa lalu kita berlumuran darah dan para pelaku kejahatan tersebut masih bebas berkeliaran, serta lembaga-lembaga pelaku kejahatan kemanusiaan masih memainkan peran yang dominan saat ini. Ditambah masih adanya pembagian komando teritorial (Kodam, Korem, Kodim, Koramil, Babinsa) yang memungkinkan militer melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap rakyat sipil. Dwifungsi TNI/Polri memberi peluang bagi militer untuk berfungsi ganda, yaitu fungsi pertahanan keamanan dan fungsi politik. Dari sini mungkin kira akan gampang, terus kenapa Dwifungsi harus di cabut? Bahayanya mempertahankan Dwifungsi adalah: karena militer mendominasi kekuatan politik sipil di parlemen dan masuk kedalam kehidupan rakyat sipil, maka tentara yang seharusnya menjaga pertahanan dan keamanan bangsa dari serangan luar negeri malah mengurusi unjuk rasa buruk pabrik, atau sengketa tanah rakyat, atau malah mengurus perizinan usaha di pasar-pasar tradisional alias mengutip pungutan gelap dana malah mungkin membangun imperium-imperium bisnis. Keuntungan dari bisnis yang dikelola militer digunakan untuk membiayai operasi-operasi militer seperti menculik aktivis pro-demokrasi (Herman Hendrawan, Petrus Bima, Anugerah, Suyat, DLL) yang sampai saat ini entah berantah keberadaannya. Bahkan bisa juga untuk membiayai organisasi-organisasi sipil untuk menghadang gerakan demokratik. Ini semua karena dominaso militer selama 32 tahun berkuasa memang memungkinkan untuk menghimpun dana yang cukup besar tersebut.

Ketiga, Soehartois. Disini dimaknai sebagai birokrat/pejabat dan konglomerat yang diuntungkan selama rejim orde baru berkuasa yang melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Masih ingatkah kawan-kawan kasus penggelapan dana-dana pendidikan/beasiswa, atau kasus birokrasi sekolah yang selalu mengutip uang ini-itu yang tidak jelas untuk keperluan apa, sehingga banyak kawan-kawan yang kualitas kehidupannya buruk terancam putus sekolah. Kaum Soehartois seperti ini harus di lenyapkan, karena hanyalah parasit dalam masyarakat Indonesia yang demokratik.
DOSA-DOSA Orde Baru terhadap perlajar Indonesia :

1. Pengekangan terhadap kebebasan berorganisasi/berserikat, dengan hanya membangun satu organisasi induk di sekolah (OSIS) dan beberapa organ/kegiatan ekstra kurikuler di bawahnya.
2. Pemberangusan terhadap kebebasan berpikir dan nilai-nilai ilmiah demokratik.
3. Mewariskan budaya fasis-militeris, ketentuan untuk baris berbaris/upacara bendera tanpa adanya kebebasan untuk memilih, penyeragaman berpikir dan bersikap dengan suatu keharusan tunduk pada otoritas yang "ditakuti".
4. Pola pembangunan ekonomi yang salah kaprah mengakibatkan pelajar merasa tertekan oleh lingkungan, menciptakan ruang-ruang yang tidak ramah sehingga pelajar merasa asing dengan lingkungan sekitar, dan akhirnya banyak yang terjebak dalam bentuk konflik horizontal : tawuran antara sesama pelajar.
5. Buruknya sarana dan prasarana belajar sehingga mempengaruhi kualitas pendidikan. Ini akibat minimnya anggaran pendidikan, sementara anggaran hankam selalu jadi prioritas.

Kekuatan-kekuatan penyangga Orde Baru saat ini masih ada di sekeliling kita, bahkan telah berhasil membangun kembali kekuatannya. Buktinya, fraksi Golkar berani muncul terang-terangan di parlemen untuk menyerang pemerintahan Gus Dur, didukung pula oleh fraksi TNI/Porli dan reformis-reformis gadungan di MPR/DPR. Di daerah-daerah Partai Golkar menguasai lebih dari 60% bupati/walikota, dan masih adanya struktur komando teritorial militer jelas sangat berbahaya seiring dengan berlakunya otonomi daerah. Akankah kita berkorban dengan sia-sia cinta-cita Indonesia yang demokratik?? Akankah kita percayakan kekuatan-kekuatan Orde Baru memimpin kembali, kepemimpinan yang telah cacat sejarah dan penuh dosa-dosa terhadap rakyat Indonesia??

Ada beberapa pokok yang dapat dan harus dilakukan kawan-kawan pelajar, untuk mencegah bangkitanya kembali kekuatan Orde Baru : Pertama: bentuk kelompok-kelompok diskusi di sekolah, diskusikan masalah aktual yang dihadapi oleh kawan-kawan pelajar, bentuklah organisasi pelajar yang memperjuangkan kepentingan kawan-kawan, dan bergabung dalam serikat pelajar untuk menyatukan gerak langkah perjuangan pelajar. Karena hanya dengan organisasilah, pelajar yang tercerai-berai dapat menjadi satu. Kedua, terlibat aktif dalam aksi-aksi politik terhadap penolakan kekuatan orde baru. Bisa berupa aksi massa pelajar, mendistribusikan selebaran, diskusi-diskusi, membuat tulisan atau jurnal yang berisi gagasan serta pendangan kawan-kawan.

TOLAK PENCABUTAN SUBSIDI PENDIDIKAN MURAH UNTUK RAKYAT, SITA ASET SUHARTO UNTUK SUBSIDI PENDIDIKAN ADILI PARTAI GOLKAR ATAS KEJAHATAN ORDE BARU, CABUT DWIFUNGSI TNI DENGAN PEMBUBARAN KODAM, KOREM, KODIM, KORAMIL, BABINSA!
Bahan diambil dari Media Pelajar Untuk Pembebasan keluaran FPP (Front Pembebasan Pelajar) edisi Februari
10:23:00 PM
thumbnail

BELAJAR KAPAN SAJA DI KAMPUS MAYA

Posted by Yushan on Tuesday, April 12, 2016

Pepatah belajar di mana saja dan kapan saja tampaknya benar-benar menjadi kenyataan sekarang. Untuk belajar pun kini tak perlu repot-repot datang ke kampus untuk berinteraksi dengan dosen atau teman lainnya. Anda cukup duduk di depan komputer yang terhubung dengan jaringan internet. Dari situ anda sudah cukup bisa berbangga diri menjadi seorang mahasiswa. Anda pun tak perlu ikut unjuk rasa jika merasa tak cocok dengan pelajaran yang diberikan.
Sejak maraknya teknologi informasi seperti internet, belajar pun dilakukan dari depan layar monitor. Banyak lembaga dan perguruan tinggi, terutama di luar negeri, yang menawarkan program belajar jarak jauh (long distance learning). Beragam ilmu pengetahuan ditawarkan untuk menarik minat peserta. Belajar dengan cara seperti ini tentu si mahasiswa tak perlu memasuki ruang kelas. Cukup duduk manis di depan internet, baik di rumah maupun di kantor.
Salah satu lembaga yang menawarkan belajar jarak jauh ini adalah The Cornel Cooperative Extension Satellite Network (CCESN), yang membuka program belajar jarak jauh sejak 1996. Pusat kendali peralatan telekomunikasi "kampus maya" ini berpusat di Ithaca, Amerika Serikat, dengan 46 "kampus maya" yang dimilikinya. Satu kampus hadir di Jenewa, yang sengaja dijinkan oleh CCESN untuk membuka program belajar mereka.
Tak hanya CCESN yang menawarkan program serupa. PurpleTrain.com pun menawarkan program belajarnya yang mereka sebut e-learning. PurpleTrain.com merupakan provider yang menawarkan one-stop service pada bidang bisnis dan pendidikan teknologi informasi.
PurpleTrain.com membidik kelas menengah secara individual maupun kelompok, serta karyawan perusahaan, untuk menjadi mahasiswanya. "Kami menghadirkan nilai yang tinggi dalam kualitas dan solusi pendidikan online," kata Jolyn Chua, manajer pemasaran dan public relations lembaga yang bermarkas di Singapura ini. Tak kurang dari 300 buah kursus secara online, yang meliputi pendidikan setara diploma dalam bidang bisnis dan program teknologi informasi, disediakan.
Kampus maya dari Singapura ini 100 persen dimiliki oleh Informatics Holdings Limited sebagai penyelenggara pelatihan serta dan pendidikan terbesar yang terdaftar di bursa saham Singapura. "Hingga kini pemakai kami mencapai 40 ribu orang," kata Jolyn. Fasilitas terbaru yang diberikan PurpleTrain.com berupa fasiltas chatting dan diskusi langsung antaranggota. Layanan ini sebagai bentuk pembaharuan yang akan dicanangkan pada 30 Mei 2001 mendatang. Perusahaan pemilik PurpleTrain.com ini berdiri sejak 1983. Kini lembaga pendiikannya telah berkembang di 245 pusat pendidikan yang tersebar di 27 negara di belahan dunia.
Perbaikan layanan berupa fasilitas berlajar, materi pelajaran, dan layanan bimbingan lainnya menjadi salah satu daya tarik yang ditawarkan. Direktur Cornel Cooperative Extension Gary Goff membenarkan pemberian layanan itu sebagai nilai jual mereka. "Dengan daya jangkau kita yang luas pemberian layanan terbaik bagi peserta adalah sesuatu yang wajar," kata Gary.
CCESN juga menggunakan satellite videoconferencing yang dapat diakses secara bersama pada beberapa saluran yang telah terdaftar dalam lembaga mereka. Cara itu diyakini Gary bisa menekan ongkos lebih murah tanpa mengurangi kualitas pendidikan mereka. "Dengan begitu standart yang kita tetapkan sama pada semua mahasiswa," katanya. Untuk mengatasi kesulitan mahasiswa lembaga ini juga menyediakan layanan konseling pendidikan.
Untuk memperluas jaringan dan meningkatkan kualitas yang dimiliki, PurpelTrain.com menjalin kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi lainnya. Andrews University (AS), Curtin University of Technology (Australia), Ottawa University (AS), Oxford Brooks University (Inggris), Thames Valley University (Inggris), dan University of London merupakan mitra PurpleTrain.com mengembangkan dirinya.
Belajar melalui internet tampaknya memberikan kemudahan dan fleksibilitas bagi mahasiswa. Seperti yang ditawarkan oleh Global University Alliance dalam Gua.com. Mahasiswa diberi jadwal pelajaran yang sesuai dengan kesukaaan dan waktu yang mereka miliki. Dengan begitu mahasiswa yang sibuk pun bisa mengatur sendiri jadwal belajarnya. Tak aneh mahasiswa bisa belajar lebih cepat karena tidak terikat dengan jadwal seperti dalam kampus non-maya. (arif firmansyah)
©PDAT 2000
8:56:00 PM
thumbnail

MEMAHAMI KEBANGKITAN GERAKAN ISLAM KAMPUS

Posted by Yushan on

Geliat kehidupan kampus ditandai dengan menguatnya kembali gerakan mahasiswa yang berhaluan Islam. Fenomena ini dapat dibaca jelas dengan tampilnya generasi baru Islam, paling tidak yang terefleksikan dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan kelompok-kelompok dakwah kampus (halaqah) yang banyak mengambil peran dalam berbagai momentum dan dinamika kampus.
Berbeda dari tampilan beberapa organisasi kemahasiswaan Islam lain yang sudah ada sebelumnya, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), maupun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), kehadiran KAMMI seakan-akan mewakili sebuah spirit "Islam baru" yang mencerminkan "totalitas" dan "kesungguhan", baik dalam tujuan perjuangannya maupun dari segi perilaku politik sosialnya. Pendek kata, KAMMI terlihat betul-betul ingin merefleksikan sebuah potret generasi muda Islam yang ideal, sebagai generasi yang sholeh, menjunjung tinggi moralitas Islam dalam berbagai aspek kehidupan (kaffah).
Lazimnya, mereka tumbuh dan berkembang pesat di berbagai kampus yang berlatarbelakang negeri dan umum (bukan di perguruan tinggi berlabelkan agama, seperti IAIN maupun STAIN). Lebih spesifik lagi, biasanya perkembangannya sangat pesat di fakultas-fakultas eksakta, bidang keilmuan pasti, seperti MIPA, kimia, fisika, matematika dan lain sebagainya. Meski di fakultas-fakultas sosial juga ada, tetapi persentasenya jauh lebih kecil dibanding perkembangannya di fakultas eksakta.
Meski organisasi ini masih terhitung belia, tepatnya berusia 10 tahun, tetapi daya resonansi dan popularitasnya cukup mengagumkan. Bahkan, belakangan, karena kuatnya ruh Islam yang dipegangnya, organisasi baru ini mampu menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi kalangan mahasiswa di kampus-kampus besar.

Efek Modernisasi
Harus diakui, arus modernisasi yang berjalan kuat dan pesat, membuat dinamika kemahasiswaan berjalan sangat dinamis dengan tingkat kebebasan berpikir yang sangat tinggi. Melalui disiplin keilmuan yang diterimanya serta jaringan pergaulan dan informasi yang mampu diaksesnya, menjadikan mahasiswa hidup dalam dunia kebebasan yang sangat lebar. Modernisasi telah benar-benar menggeser dan meruntuhkan segala pranata yang sudah mapan, termasuk pranata moral keagamaan dan sosial.
Seorang ilmuan muslim Mesir kenamaan Hassan Hanafi, mensinyalir bahwa modernisasi mampu menyuguhkan sejuta opsi dalam satu hal kecil yang sangat terbatas sekalipun. Di sana tersedia sejumlah standar dan ukuran-ukuran. Siapa pun bebas menggunakan ukuran dan standar tersebut, bahkan juga berganti-ganti dari satu standar ke standar yang lain. Kebebasan menggunakan standar inilah yang kemudian meruntuhkan segala bangunan pranata sosial-keagamaan yang sudah mapan.
Lihatlah bagaimana generasi muda kampus melakukan seks bebas, obat-obatan terlarang, dan larut dalam tuntutan-tuntutan gaya hidup modern lainnya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berlatarbelakang masyarakat desa dengan kultur yang sangat bertolak belakang. Alfin Tofler menyebut gejala ini dengan cultural shock, sebuah keterkejutan budaya yang tanpa disadari menyeretnya ke dalam arus kebudayaan baru yang tidak dikenal sebelumnya.
Modernisasi memang benar-benar menjadi satu persoalan tersendiri dalam kultur masyarakat praindustri, seperti Indonesia. Di dalamnya terjadi aneka kontradiksi yang berjalan dalam satu irama perubahan pada dimensi kultural dan kesadaran manusia. Dalam jeratan kultur seperti inilah, lanjut Hassan Hanafi, setiap orang berkecenderungan kembali kepada nilai-nilai primordialnya atau membangun mekanisme defensif dengan mengusung sebuah nilai-nilai fundamental yang sangat asasi. Biasanya, alternatif pengimbang terhadap modernisasi dipilihlah nilai-nilai keagamaan.
Tesis yang diajukan oleh Hanafi adalah semakin deras arus modernisasi mengguncang sendi-sendi kultural sebuah masyarakat, maka kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai primordialnya juga semakin kuat. Ini yang ditemukan Hanafi tentang perkembangan fundamentalisme kristen di zaman pencerahan Eropa, atau munculnya gerakan Islam puritan di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk berkembangnya gerakan Islam radikal di Pakistan, Mesir dan Turki, khususnya di zaman Kemal Attaturk.
Tampaknya, sinyalemen Hanafi tidak terlalu berlebihan untuk digunakan dalam meneropong fenomena perkembangan menguatnya gerakan Islam di berbagai kampus umum di Indonesia. Setidaknya, ada dua indikasi yang menguatkannya.
Pertama, gerakan Islam kampus ini berkembang di kota-kota besar dengan tingkat modernisasi yang cukup tinggi. Sebaliknya, di kota-kota yang derajat modernisasinya sangat kecil, kehadiran mereka sulit untuk diterima. Artinya, fenomena itu menjadi kekhasan masyarakat perkotaan.
Kedua, sebagai bentuk kecenderungannya yang sangat kuat terhadap ornamen-ornamen keagamaan (Islam), nuansa puritanismenya ditonjolkan jauh lebih kental sehingga kontras dengan khazanah-khazanah lokal. Ini menjadi ciri yang paling tampak dari gerakan-gerakan Islam puritan. Biasanya mereka kesulitan membangun titik konvergensi antara tuntutan formalisme keagamaan dengan realitas aktual kebudayaan lokal yang sedang berkembang.
Mengapa modernisme, pada dimensinya yang lain, mendorong orang untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental atau primordialismenya? Seorang ilmuan Donald Smith menengarai ada tiga sebab.
Pertama, modernisme dapat menyebabkan pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur eklesiastikal. Modernisme dapat menyebabkan ruang sosial pecah, tanpa terhubung antara satu dengan yang lain. Misalnya politik terpisah dari agama, ekonomi dijauhkan dari prinsip-prinsip keadilan dan lain sebagainya.
Kedua, ekspansi politik merambah ke dalam semua segmen sosial dalam menjalankan semua fungsinya, sehingga agama kehilangan peran sosialnya.
Ketiga, terjadi transvaluasi kultur politik yang lebih mengutamakan pentingnya nilai-nilai yang rasional, pragmatis, profan dan non-transendental. Ketiga hal ini, lanjut Smith terjadi secara universal di semua lapisan masyarakat modern.

Agenda yang Belum Tuntas
Begitu kuatnya pengaruh modernisme yang mampu meruntuhkan segala bangunan sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, maka dalam dunia Islam timbul polemik yang cukup serius, apakah modernisme sesuai dengan agama atau malah bertolak belakang.
Kelompok yang memahaminya bertolak belakang dari doktrin agama mengambil sikap resistensi dan konfrontasi, sehingga disebut sebagai kelompok fundamentalis. Ini muncul di beberapa negara seperti Iran, Sudan dan lain-lain. Mereka membangun sebuah antitesa dengan menampilkan Islam sebagai kekuatan tandingan. Di sini kesadaran keagamaan tidak semata-mata dipahami sebagai cara dan pola hidup, tetapi juga dipahami alternatif sistem yang harus diperlawankan dengan sistem mana pun juga.
Sementara kelompok yang menyetujui modernitas mengambil sikap afirmatif-kompromistik dan menganggapnya sebagai bagian dari dimensi doktrinal keagamaan. Sederhananya, menurut kelompok ini, bukankah agama sendiri menganjurkan kemajuan.

Bagaimana sebetulnya pengaruh modernitas terhadap bangunan keagamaan?
Seorang cendekiawan muslim Indonesia Prof Dr Nurcholish Madjid mengatakan bahwa esensi modernisasi sebenarnya adalah rasionalisasi. Sebuah upaya penempatan formula-formula teologis kedalam bingkai ilmiah-teoritis. Dengan demikian, dalam konteks keagamaan, modernisme diperlawankan dengan dogmatisme. Karena dogmatisme sudah pasti irrasional. Itulah sebabnya, mengapa sang cendekiawan selalu mengkampanyekan keharusan modernisasi terhadap bangunan keagamaan sejak tahun 70-an.
Tetapi rasionalisasi terhadap segala bangunan keagamaan, terutama pada anasir teo-ritualistiknya, mengakibatkan hilangnya dimensi spiritualitas agama yang menyebabkan perilaku dan praktik keagamaan itu sendiri menjadi kering dan gersang.

oleh Aminullah Yunus
Ketua Umum Badko HMI Jateng-DIY
8:04:00 PM