Sebenarnya wujud Allah sudah nyata, bahkan suatu hakikat yang tidak perlu lagi diragukan persoalannya, tidak ada alasan mengingkarinya. Wujud Allah Taala sudah terang bagaikan terangnya matahari yang bersinar, juga sudah jelas sejelas-jelasnya bagaikan cahaya fajar di waktu pagi yang cerah. Semua yang ada di lingkungan alam semesta ini dapat menjadi bukti wujudnya Tuhan bahkan benda-benda yang terdapat di sekitar alam semesta dan unsur-unsurnya dapat pula membuktikan bahwa benda-benda itu pasti ada pencipta dan pengaturnya
Perhatikanlah alam cakrawala yang ada di atas kita yang di dalamnya terlihat pula matahari, bulan, bintang dan sebagainya, demikian pula bumi dengan semua isinya baik berupa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda padat, adanya hubungan yang erat dengan perimbangan yang pelik yang merapikan susunan di antara alam-alam yang beraneka warna serta yang menguatkan keadaan masing-masing. Semuanya merupakan tanda dan bukti wujudnya Allah swt. Selain menunjukkan adanya Zat Allah swt. juga membuktikan keesaan dan ke Maha Kuasaan-Nya menciptakannya. Kiranya tidak tergambar sama sekali dalam akal pikiran siapa pun bahwa benda-benda itu terjadi tanpa ada yang menciptakan sebagaimana juga halnya tidak mungkin tergambar bahwa sesuatu ciptaan tidak ada yang membuatnya.
Manakala akal memustahilkan ada kapal terbang melayang-layang di udara atau kapal selam menyelam di dasar lautan tanpa ada pembuatnya, akal akan menetapkan secara pasti mustahil alam semesta yang amat indah permai ini ada tanpa ada yang menciptakan serta mengatur segala urusannya. Sementara itu dapat kita kemukakan tiga macam teori yang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengemukakan sebab asal mula adanya alam semesta ini. Kiranya tidak mungkin ada teori lain di balik ketiga macam yang kami sebutkan di bawah ini.
Pertama. Alam semesta terjadi dari tidak ada kemudian ada dengan sendirinya.
Kedua. Ada suatu jauhar (sel) inti yang merupakan sumber dari segala sesuatu yang terdapat di alam semesta yang molek ini.
Ketiga. Ada yang mengadakan, yang menciptakan atau yang membuatnya.
Marilah kita mengupas persoalan ini dengan menguraikan teori di atas satu persatu.
Teori pertama jelas keliru dan salah jika ditilik secara sepintas dari asas atau pokoknya. Ingatlah bahwa suatu pengaruh (musabbab) pasti erat hubungannya dengan sebabnya, adanya suatu konklusi pasti erat pula hubungannya dengan premis atau landasan pemikirannya.
Apakah kiranya patut dalam gambaran akal pikiran kita, bahwa ada sesuatu pengaruh, tanpa ada sebab yang mempengaruhinya. Patutkah ada suatu hasil tanpa permulaan atau ada konklusi tanpa ada premis? Jadi timbulnya alam semesta dari tidak ada sama saja artinya dengan mengatakan adanya pengaruh tanpa sebab atau adanya hasil tanpa ada permulaan atau adanya konklusi tanpa ada premis. Jadi seolah-olah alam semesta ini ada sendiri dan muncul, lepas sama sekali dari adanya sebab, seperti pembuat.
Bahwa adanya benda-benda dari dirinya sendiri, lepas sama sekali dari sebab, adalah suatu hal yang amat mustahil baik dipandang dari segi akal atau kejadian yang lazim. Sebabnya ialah karena adanya benda-benda dari dirinya sendiri terlepas sama sekali dari sebab-sebabnya adalah memenangkan segi adanya dan mengalahkan segi tidak adanya, tanpa bukti yang dapat digunakan untuk memenangkannya padahal memenangkan dengan cara yang demikian ini adalah mustahil sekali.
Renungkanlah! Andai kata kita mengatakan bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya terlepas sama sekali dari sebab-sebabnya, maka ucapan semacam ini sama saja dengan mengatakan bahwa ketiadaan itulah yang merupakan sebab keberadaannya. Patutkah ini dalam pikiran kita. Itulah sebabnya, maka teori pertama di atas sangat keliru dan meleset, sebab selamanya tidak dapat dibuktikan bahwa ketiadaan menjadi sebab adanya alam. Tanpa adanya benda, tentu tidak mungkin dapat memberikannya. Inilah yang dimaksud oleh ayat Alquran yang berbunyi, “Merekakah yang diciptakan dari tiadanya sesuatu, ataukah mereka sendiri yang menciptakan? Atau merekalah yang menciptakan langit dan bumi? (Tidak), melainkan mereka tidak yakin dalam kepercayaannya." (Q.S. Ath-Thur:35-36)
Maksudnya apakah orang-orang itu diciptakan tanpa ada penciptanya? Artinya apakah mereka itu sendiri yang menciptakan diri mereka sendiri, sehingga tidak membutuhkan pihak lain yang menciptakan mereka? Hal ini jelas mustahil, tidak mungkin atau tidak masuk sama sekali dalam akal pikiran yang sehat.
Selanjutnya mari kita tinjau teori kedua, teori ini lebih tersesat dan lebih keliru lagi jika dibandingkan dengan yang pertama, sebab jauhar (sel) tidak mungkin dapat menimbulkan susunan yang serapi ini, sebagaimana yang kita saksikan. Tidak pula dapat muncul kekuatan dan keindahan sebagaimana yang kita lihat. Coba bayangkan, apakah benda inti atau sel yang bagaimana pun juga keadaannya dapat menciptakan atau membedakan ciptaannya antara jenis lelaki dan perempuan, jantan dan betina, juga dapat mempertautkan antara kedua jenis itu dengan rukun seindah ini? Apakah patut sel itu yang membuat bumi ini dengan segala sesuatu yang ada di situ, baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda padat? Apakah sel itu dapat menggantungkan bumi kita ini di cakrawala, juga menjalankannya mengelilingi sumbunya yang sama sekali tidak pernah menggeser dari jalannya sekali pun hanya sekedar sehelai rambut, padahal sudah berjalan berjuta-juta tahun lamanya? Apakah sel itu pula menggerakkan jalannya bintang-bintang dan planet-planet yang sedemikian besar dan banyak dan perjalanannya sangat cepat, benar-benar mengherankan, tanpa pernah tabrakan sama sekali antara satu dengan yang lain? Patutkah kiranya dalam akal pikiran kita sel dapat mewujudkan atau membuat unsur-unsur lain yang merupakan sumber alam semesta? Patutkah sel itu yang mengatur demikian rapi dan cermat seluruh yang ada di jagat raya ini, menetap sampai suatu masa yang dikehendaki oleh Allah Taala dan masih sanggup menetap untuk selama-lamanya jika Allah Taala menghendakinya pula?
Coba renungkan! Patutkah semua yang tersebut di atas itu terjadi sendiri? Sebenarnya, spesifik, hal ihwal dan bentuk benda atom yang amat kecil sekalipun sudah sangat membingungkan akal pikiran dan menakjubkan para ilmuan, karena menilik susunannya yang demikian rapi dan indah. Pendek kata susunannya sangat ajaib, bahkan hubungan yang terjadi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya benar-benar membuat setiap orang yang menyaksikannya terpesona. Coba bayangkan hal itu! Apakah layak adanya susunan, rangkaian dan hubungan itu berlaku dengan kekuasaan sel sebagai benda mati?
Cobalah perhatikan ucapan para ilmuwan yang bergelut dalam studi atom, apa yang mereka katakan?
Tentang benda atom, para sarjana mengatakan, “Sesuatu benda itu tersusun dari beberapa buah atom dan atom ini tidak dapat dilihat sekali pun dengan menggunakan mikroskop yang terkuat. Untuk membayangkan betapa kecilnya atom ini, bolehlah kita membayangkan bahwa apabila kita menyusun secara rapi sekali atom demi atom, ditumpuk satu dengan lainnya, jika kita berhasil menyusun sebanyak seratus juta buah atom, panjangnya baru kira-kira sehelai benang sutera. Sebagai ilustrasi dapat kita kemukakan bahwa dalam setetes air laut terdapat lima puluh juta buah atom emas murni.
Atom tersusun dari unit, yang di sekitarnya berkeliling listrik yang bermuatan negatif yang disebut elektron. Pengelilingnya membentuk tata surya yang membulat. Antara setiap dua buah elektron terdapat ruang kosong mirip kekosongan ruang angkasa antara beberapa planet dengan matahari. Ini jika ditilik dari segi bentuk perkiraan jarak jauhnya. Timbangan dari unit terringan dapat mencapai 1850 kali timbangan elektron. Jika dua puluh ribu elektron disusun secara rapi antara satu dengan lainnya, maka panjang daerahnya adalah seperti panjang daerah atom itu. Dengan perkataan lain, bahwa perimbangan antara unit dengan atom itu adalah bagaikan kepala tongkat bila dibandingkan dengan sebuah rumah yang berukuran sedang.
Elektron itu berputar mengelilingi unit dalam suatu susunan yang menyerupai susunan planet di waktu mengelilingi matahari, hanya sajini lebih banyak pemberian pengaruhnya tetapi lebih sedikit penentuan batasnya daripada susunan falak-falak planet itu. Jika sekiranya suatu benda yang terdiri dari unit-unit atom itu disusun satu dengan lainnya, tanpa ada ruang kosong di antara unit dan elektron-elektron itu, maka timbangannya sama dengan sepotong uang dua ketip di sekitar 40 juta ton.
Adapun unit itu sendiri terdiri dari listrik yang bermuatan positif yang dinamakan proton. Jumlahnya sama dengan jumlah listrik yang bermuatan negatif yakni elektron yang berkeliling di sekitar unit itu sendiri.
Di luar proton itu terdapat pula listrik-listrik lain yang bermuatan netral, inilah yang disebut netron. Sekiranya kita dapat menguraikan ikatan ini yakni ikatan yang ada antara proton dan netron atau lebih jelas lagi, andai kata kita dapat menyediakan jalan untuk melenyapkan sebuah netron dari kumpulan netron-netron yang mengelilingi proton itu, jika kita dapat memecahkannya, pasti akan menimbulkan suatu kekuatan yang dahsyat sekali. Orang yang mula-mula memecahkan ini ialah Profesor Einstein. Kekuatan itu sama dengan himpunan dalam perempatan kecepatan sinar yang diperkirakan dengan sentimeter setiap detik, demikian peliknya susunan atom itu. Selanjutnya jika kita berpindah dari persoalan atom dan kita menengadahkan kepala ke atas sebentar untuk melihat matahari, maka kita mendapatkan suatu keajaiban yang lebih luar biasa lagi.
Resapkanlah apa yang dikemukakan oleh para sarjana kosmografi bahwa matahari adalah benda bulat berbentuk bola yang penuh berisi zat api yang jauh lebih dahsyat dan lebih dapat membakar dari semua api yang ada di bumi.
Matahari lebih besar daripada bumi, lebih dari sejuta kali, jauhnya dari kita diperkirakan kira-kira 92.500.000 mil. Sekalipun demikian keadaan matahari itu, ia tidak lain hanya sebuah bintang saja dan bukan termasuk dalam golongan bintang yang terbesar. Ada suatu persoalan yang musykil tetapi amat menakjubkan yaitu pemecahan terakhir yang dilakukan akal pikiran para ahli falak dan sarjana-sarjana perbintangan.
Sebagaimana diketahui dari ilmu pembentukan lapisan bumi terdapat sebuah uraian yang menyatakan bahwa matahari secara terus-menerus tetap memancarkan ukuran atau kadar panasnya, selama berjuta-juta tahun. Jika panas yang diberikan adalah hasil dari pembakaran, maka apakah sebabnya matahari tidak pernah kehabisan bahan bakar padahal sudah dipakai sejak berjuta-juta tahun yang lampau? Dengan keterangan ini jelas rasanya bahwa jalan pembakaran yang berlangsung pada matahari itu tidaklah sebagaimana yang lazim kita ketahui, sebab andai kata proses pembakaran itu seperti yang ada di bumi, maka untuk menerangi jagat ini hanya cukup untuk digunakan selama 6000 tahun saja, setelah itu pasti akan habis daya panasnya.
Mengenai manfaat yang diberikan oleh matahari kepada kita semua, dapat kita ketahui bahwa matahari bukan hanya sebagai sumber cahaya dan api saja, tetapi matahari juga merupakan sumber dari susunan tata surya dan sumber kehidupan kita. Bukankah matahari yang menguapkan air lautan kemudian mengangkatnya ke atas dan berubah menjadi awan dan selanjutnya berubah menjadi hujan dan turun di atas permukaan bumi. Kemudian timbul saluran air sungai besar dan kecil yang dapat mengairi sawah ladang kita, lalu menumbuhkan tanam-tanaman. Selain itu matahari juga meniupkan angin, menyebabkan timbulnya gelombang lautan dan menjadikan udara menjadi bersih. Ia pula yang menggerakkan kapal dan perahu di tengah samudra besar, bahkan ia pula yang menjalankan kendaraan-kendaraan, memutar mesin-mesin letup dan lain-lain lagi. Betul bahwa mesin-mesin itu dijalankan oleh arang batu, tetapi bukankah arang batu itu berasal dari panas cahaya yang terpendam sejak bertahun-tahun yang lampau. Setelah lama tersimpan baru dapat diambil manfaatnya oleh manusia di kemudian hari.
Ringkasnya, andaikata tidak ada matahari, pasti tidak akan ada kehidupan bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Binatang-binatang menjadi bersemangat karena panas matahari, burung-burung pun bersiul setelah tampak sinarnya, mengucapkan tasbih serta memahasucikan Zat Yang Maha Menciptakannya. Juga karena panas dan sinar matahari itu pula tanam-tanaman tumbuh, pohon-pohon menjadi kian hari kian bertambah besar, bunga-bunga pun muncul, buah-buahan pun menjadi masak, dan banyak lagi realita lain yang ditimbulkan.
Kita semua berutang budi pada matahari, karena kita terpaksa menggantungkan hasil makan dan minum kita semua kepadanya. Itulah sebab adanya kita di atas permukaan bumi ini.
Jika kita sekalian sudah puas melihat keindahan dan kedahsyatan matahari, maka mari kini kita melihat ke benda lain. Kita akan menemukan bahwa sedekat-dekat bintang yang ada di samping bumi kita ini setelah matahari sama dengan 260.000 kali jauh matahari dari kita.
Ini dianggap sebagai bintang yang tersuram cahayanya kalau ditilik dari galaksi Bimasakti yang oleh orang-orang kuno disebutkan dengan nama “Jalan penanaman”. Bahkan tata surya yang terdiri dari berbagai bintang yang merupakan tata surya kita ini hanya dianggap sebagai sebuah atom kecil saja, jika dibandingkan dengan gugusan Bimasakti itu, sebab isi kandungannya sebanyak seratus juta bintang yang terpencar dan tersebar luas seolah-olah bagaikan suatu bidang yang luas secara nisbi.
Pengarang buku Ilmu Falak Umum yang bernama Herbert Spenser Jones berkata, “Cahaya memakan waktu selama seratus ribu tahun untuk dapat sampai antara kedua tepi gugusan bintang-bintang Bimasakti. Sebagaimana dimaklumi bahwa cahaya berjalan dengan kecepatan 176.000 mil per detik atau 300.000 kilometer. Berdasarkan uraian ini, maka ketentuan cahaya setahun sama dengan sepuluh bilyun kilometer. Padahal apa yang dikenal dengan nama gugusan bintang-bintang Bimasakti yang sudah mencapai ukuran sebagaimana diuraikan di atas, akal pikiran manusia sudah pasti tidak akan meraihnya, kiranya tidak lain hanyalah salah satu dari sekian banyak susunan yang ada di alam cakrawala yang sama sekali tidak dapat dihitung.”
Masih ada yang tertinggal yang perlu kita maklumi yakni bahwa sedekat-dekat tata surya yang mendampingi tata surya kita ini jauhnya tujuh ratus ribu tahun cahaya. Kini setelah kita mengetahui dan memahami uraian di atas, mari kita renungkan kemudian bertanya, “Apakah mungkin diterima akal bahwa semua keadaan semacam susunan tata surya dan lain-lain itu timbul hanya dari sel atau dengan jalan proses yang ditumbuhkan oleh sel belaka? Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa sel itu permulaan adanya alam semesta, yang sedemikian itu sungguh-sungguh tidak dapat tergambar oleh akal yang sehat, tidak pula cocok dengan ilmu pengetahuan yang hakiki dan agaknya tidak seorang pun yang akan mengatakannya melainkan jika ia telah kehilangan ciri khas yang membedakan antara manusia dengan yang bukan manusia. Manusia semacam ini rasanya sudah tidak dapat menemukan kebenaran dan tidak pula dapat membedakan sesuatu dari yang lainnya.”
Seorang filosof bangsa Jerman, bernama Edward Harenman wakil dari Syopenhor berkata dalam bukunya yang bernama Aliran Darwin, “Sebenarnya pendapat yang menetapkan ketidaksengajaan dalam alam semesta ini yang dianut oleh pengikut Darwinisme adalah suatu pendapat yang sama sekali tidak dapat dibuktikan. Itu hanyalah disebabkan karena adanya angan-angan salah yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam penyelidikan ilmu pengetahuan.”
Profesor Von Bayer dari Jerman dalam bukunya yang berjudul Kedangkalan Aliran Darwin mengatakan, “Apabila golongan Darwinisme melancarkan suara sekeras-kerasnya bahwa memang tidak ada kesengajaan dalam pembuatan atau penciptaan alam semesta ini, atau dengan kata lain bahwa alam ini terjadi hanya karena suatu proses kebetulan belaka yang semata-mata terpimpin oleh kedaruratan yang buta, maka saya berkeyakinan bahwa salah satu kewajiban saya ialah saya harus menyatakan di sini apa yang telah menjadi keyakinan dan kepercayaan saya dalam persoalan ini. Keyakinan saya itu adalah sebagai kebalikan sama sekali dari yang tersebut di atas. Saya berpendapat bahwa semua kedaruratan inilah justru yang membuktikan bahwa di sana ada berbagai tujuan yang luhur dan besar."
Imam Muhammad Farid Wajdi, rahimahullah, setelah menguraikan ini, di akhir katanya menyebutkan, “Jika sekiranya kita dapat merasa puas dengan beratus-ratus puncak ilmu pengetahuan dan filsafat mengenai pendapat tidak adanya unsur kesengajaan dalam penciptaan alam semesta dan jagat raya ini, maka tentulah kita tidak diharuskan untuk mengikuti yang itu lebih dari apa yang sudah jelas tertera dalam nas-nas agama (dalil naqal).” Oleh sebab itu, manakala sudah tetap bahwa penciptaan alam semesta ini memang karena adanya kesengajaan, maka tetap pulalah perihal adanya Tuhan yang mengatur dan bijaksana dari jalan yang sama-sama dapat dirasakan.”
Dengan demikian tidak ada jalan lain untuk membantah atau mengingkarinya dan ini tepat sekali dengan apa yang difirmankan oleh Allah Taala, “Apakah dalam Zat Allah masih ada keragu-raguan, yaitu Tuhan Maha Pencipta langit dan bumi?" (Q.S. Ibrahim:10)
Kini kita kembali kepada perbincangan mengenai tiga macam teori di muka. Jika yang pertama dan yang kedua sudah dapat diyakinkan ketidakbenarannya, sebab memang nyata-nyata keluar dari areal yang dapat diterima oleh akal pikiran serta cara penyelidikan dan ilmu pengetahuan, maka tidak ada lain yang dapat digunakan sebagai pegangan kecuali teori yang ketiga. Adapun isi dari teori ini ialah bahwa jagat raya yang maujud ini pasti ada penciptanya dan pengaturnya. Inilah yang pasti sesuai dengan akal pikiran serta cara penelitian yang sehat. Pendapat semacam itu pula yang menyebabkan Socrates mempercayai serta beriman kepada Allah, juga yang dapat menundukkan Aristophanes yang mengingkari adanya tuhan. Keduanya pernah mengadakan suatu polemik yang kami kutip sebagai berikut:
Socrates: Adakah orang-orang yang mengherankan Tuan karena kepandaian mereka atau karena keindahan karyanya?
Aristophanes: Ya ada, seperti dalam hal sajak atau puisi saya sangat kagum kepada syair-syair cerita dari Homero, dalam bidang lukisan kepada Zoxes dan dalam hal pembuatan patung kepada Polextic.
Socrates: Pencipta-pencipta manakah yang kiranya patut lebih dikagumi, apakah pencipta gambar-gambar yang tidak dapat memberi akal dan kehidupan ataukah pencipta makhluk yang mampu memberinya akal pikiran serta kehidupan?
Aristophanes: Tentu saja patut lebih dikagumi pencipta makhluk yang dapat merasakan kenikmatan dan memiliki akal pikiran serta kehidupan. Tetapi itu terjadi sebagai hasil dari kebetulan belaka!
Socrates: Apakah kiranya patut dianggap sebagai hal yang kebetulan, jika sekiranya anggota-anggota tubuh ini digunakan untuk maksud dan tujuan tertentu. Misalnya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, lidah untuk merasakan. Lihat pula seperti mata ini di sekitarnya terdapat berbagai penjagaan, karena sangat sensitif dan sangat lemah. Oleh karena itu di waktu tidur pasti tertutup atau di waktu ada keperluan, dilindungi pula dengan bulu mata dan alis di atasnya. Demikian pula telinga, di dalamnya diberi suatu alat penerima yang dapat menampung segenap macam suara dan masih banyak lagi contoh yang lain. Cobalah tuan pikirkan, patutkah itu semua terjadi sebagai hasil dari kebetulan? Selain itu dapat pula dikemukakan adanya kecondongan dalam hati untuk mempunyai keturunan, begitu pula perasaan iba dan kasih sayang yang ada di dalam kalbu setiap ibu terhadap anaknya, padahal suatu hal yang amat jarang sekali bahwa seorang ayah atau ibu dapat menerima balasan atau keuntungan dari anaknya. Sementara itu bagaimana hal-ihwal seorang bayi yang dengan sendirinya lalu dapat memperoleh pengertian untuk menyusu dan cara menyusunya, sebentar setelah ia dilahirkan. Apakah menurut pendapat Tuan hal itu semua terlaksana hanya sebagai hasil yang didapat secara kebetulan?
Aristophanes: Tentunya bukan karena kebetulan. Yah, saya baru mengerti sekarang dengan secara pasti bahwa di sana memang ada petunjuk akan adanya penciptaan. Tetapi yang pasti ialah bahwa yang menciptakan itu tentu bersifat sangat agung sekali, yang mencintai akan adanya segala yang hidup. Namun masih ada yang membingungkan otak saya mengapa kita semua tidak dapat melihat yang menciptakan itu?
Socrates: Kalau begitu kita sudah menemukan titik yang sama yaitu mengakui adanya pencipta yang agung dan mencintai kehidupan di alam semesta ini. Tentang persoalan mengapa kita tidak dapat melihat pencipta itu, maka saya ingin mendapat jawaban Tuan, apakah Tuan merasa mempunyai nyawa, sebab kalau Tuan tidak bernyawa, tentunya Tuan sudah mati. Punyakah atau tidak?
Aristophanes: Ya, tentu saja saya punya. Mengapa?
Socrates: Jika demikian sudah mudah pemecahannya. Mengapa Tuan sendiri tidak dapat melihat nyawa yang menguasai diri Tuan sendiri. Jadi kalau Tuan tidak pernah melihat nyawa Tuan, apakah ini berarti kita boleh mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang timbul dari diri Tuan itu adalah semata-mata disebabkan karena secara kebetulan semua tanpa ada pemikiran sebelumnya?
Sampai di sini selesailah percakapan kedua orang ahli filsafat itu, yang sungguh-sungguh berfaedah untuk diresapkan dan direnungkan dalam-dalam. Maha Benar Allah swt. yang berfirman, “Dan setengah daripada tanda-tanda (ayat-ayat) mengenai adanya Allah ialah malam dan siang, serta matahari dan bulan. Janganlah kamu semua bersujud kepada matahari atau kepada bulan. Tetapi bersujudlah kepada Allah yang Maha Menciptakan semuanya itu, jika kamu semua benar-benar menyembah-Nya.” (Q.S. Fushshilat:37)
Perhatikanlah alam cakrawala yang ada di atas kita yang di dalamnya terlihat pula matahari, bulan, bintang dan sebagainya, demikian pula bumi dengan semua isinya baik berupa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda padat, adanya hubungan yang erat dengan perimbangan yang pelik yang merapikan susunan di antara alam-alam yang beraneka warna serta yang menguatkan keadaan masing-masing. Semuanya merupakan tanda dan bukti wujudnya Allah swt. Selain menunjukkan adanya Zat Allah swt. juga membuktikan keesaan dan ke Maha Kuasaan-Nya menciptakannya. Kiranya tidak tergambar sama sekali dalam akal pikiran siapa pun bahwa benda-benda itu terjadi tanpa ada yang menciptakan sebagaimana juga halnya tidak mungkin tergambar bahwa sesuatu ciptaan tidak ada yang membuatnya.
Manakala akal memustahilkan ada kapal terbang melayang-layang di udara atau kapal selam menyelam di dasar lautan tanpa ada pembuatnya, akal akan menetapkan secara pasti mustahil alam semesta yang amat indah permai ini ada tanpa ada yang menciptakan serta mengatur segala urusannya. Sementara itu dapat kita kemukakan tiga macam teori yang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengemukakan sebab asal mula adanya alam semesta ini. Kiranya tidak mungkin ada teori lain di balik ketiga macam yang kami sebutkan di bawah ini.
Pertama. Alam semesta terjadi dari tidak ada kemudian ada dengan sendirinya.
Kedua. Ada suatu jauhar (sel) inti yang merupakan sumber dari segala sesuatu yang terdapat di alam semesta yang molek ini.
Ketiga. Ada yang mengadakan, yang menciptakan atau yang membuatnya.
Marilah kita mengupas persoalan ini dengan menguraikan teori di atas satu persatu.
Teori pertama jelas keliru dan salah jika ditilik secara sepintas dari asas atau pokoknya. Ingatlah bahwa suatu pengaruh (musabbab) pasti erat hubungannya dengan sebabnya, adanya suatu konklusi pasti erat pula hubungannya dengan premis atau landasan pemikirannya.
Apakah kiranya patut dalam gambaran akal pikiran kita, bahwa ada sesuatu pengaruh, tanpa ada sebab yang mempengaruhinya. Patutkah ada suatu hasil tanpa permulaan atau ada konklusi tanpa ada premis? Jadi timbulnya alam semesta dari tidak ada sama saja artinya dengan mengatakan adanya pengaruh tanpa sebab atau adanya hasil tanpa ada permulaan atau adanya konklusi tanpa ada premis. Jadi seolah-olah alam semesta ini ada sendiri dan muncul, lepas sama sekali dari adanya sebab, seperti pembuat.
Bahwa adanya benda-benda dari dirinya sendiri, lepas sama sekali dari sebab, adalah suatu hal yang amat mustahil baik dipandang dari segi akal atau kejadian yang lazim. Sebabnya ialah karena adanya benda-benda dari dirinya sendiri terlepas sama sekali dari sebab-sebabnya adalah memenangkan segi adanya dan mengalahkan segi tidak adanya, tanpa bukti yang dapat digunakan untuk memenangkannya padahal memenangkan dengan cara yang demikian ini adalah mustahil sekali.
Renungkanlah! Andai kata kita mengatakan bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya terlepas sama sekali dari sebab-sebabnya, maka ucapan semacam ini sama saja dengan mengatakan bahwa ketiadaan itulah yang merupakan sebab keberadaannya. Patutkah ini dalam pikiran kita. Itulah sebabnya, maka teori pertama di atas sangat keliru dan meleset, sebab selamanya tidak dapat dibuktikan bahwa ketiadaan menjadi sebab adanya alam. Tanpa adanya benda, tentu tidak mungkin dapat memberikannya. Inilah yang dimaksud oleh ayat Alquran yang berbunyi, “Merekakah yang diciptakan dari tiadanya sesuatu, ataukah mereka sendiri yang menciptakan? Atau merekalah yang menciptakan langit dan bumi? (Tidak), melainkan mereka tidak yakin dalam kepercayaannya." (Q.S. Ath-Thur:35-36)
Maksudnya apakah orang-orang itu diciptakan tanpa ada penciptanya? Artinya apakah mereka itu sendiri yang menciptakan diri mereka sendiri, sehingga tidak membutuhkan pihak lain yang menciptakan mereka? Hal ini jelas mustahil, tidak mungkin atau tidak masuk sama sekali dalam akal pikiran yang sehat.
Selanjutnya mari kita tinjau teori kedua, teori ini lebih tersesat dan lebih keliru lagi jika dibandingkan dengan yang pertama, sebab jauhar (sel) tidak mungkin dapat menimbulkan susunan yang serapi ini, sebagaimana yang kita saksikan. Tidak pula dapat muncul kekuatan dan keindahan sebagaimana yang kita lihat. Coba bayangkan, apakah benda inti atau sel yang bagaimana pun juga keadaannya dapat menciptakan atau membedakan ciptaannya antara jenis lelaki dan perempuan, jantan dan betina, juga dapat mempertautkan antara kedua jenis itu dengan rukun seindah ini? Apakah patut sel itu yang membuat bumi ini dengan segala sesuatu yang ada di situ, baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda padat? Apakah sel itu dapat menggantungkan bumi kita ini di cakrawala, juga menjalankannya mengelilingi sumbunya yang sama sekali tidak pernah menggeser dari jalannya sekali pun hanya sekedar sehelai rambut, padahal sudah berjalan berjuta-juta tahun lamanya? Apakah sel itu pula menggerakkan jalannya bintang-bintang dan planet-planet yang sedemikian besar dan banyak dan perjalanannya sangat cepat, benar-benar mengherankan, tanpa pernah tabrakan sama sekali antara satu dengan yang lain? Patutkah kiranya dalam akal pikiran kita sel dapat mewujudkan atau membuat unsur-unsur lain yang merupakan sumber alam semesta? Patutkah sel itu yang mengatur demikian rapi dan cermat seluruh yang ada di jagat raya ini, menetap sampai suatu masa yang dikehendaki oleh Allah Taala dan masih sanggup menetap untuk selama-lamanya jika Allah Taala menghendakinya pula?
Coba renungkan! Patutkah semua yang tersebut di atas itu terjadi sendiri? Sebenarnya, spesifik, hal ihwal dan bentuk benda atom yang amat kecil sekalipun sudah sangat membingungkan akal pikiran dan menakjubkan para ilmuan, karena menilik susunannya yang demikian rapi dan indah. Pendek kata susunannya sangat ajaib, bahkan hubungan yang terjadi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya benar-benar membuat setiap orang yang menyaksikannya terpesona. Coba bayangkan hal itu! Apakah layak adanya susunan, rangkaian dan hubungan itu berlaku dengan kekuasaan sel sebagai benda mati?
Cobalah perhatikan ucapan para ilmuwan yang bergelut dalam studi atom, apa yang mereka katakan?
Tentang benda atom, para sarjana mengatakan, “Sesuatu benda itu tersusun dari beberapa buah atom dan atom ini tidak dapat dilihat sekali pun dengan menggunakan mikroskop yang terkuat. Untuk membayangkan betapa kecilnya atom ini, bolehlah kita membayangkan bahwa apabila kita menyusun secara rapi sekali atom demi atom, ditumpuk satu dengan lainnya, jika kita berhasil menyusun sebanyak seratus juta buah atom, panjangnya baru kira-kira sehelai benang sutera. Sebagai ilustrasi dapat kita kemukakan bahwa dalam setetes air laut terdapat lima puluh juta buah atom emas murni.
Atom tersusun dari unit, yang di sekitarnya berkeliling listrik yang bermuatan negatif yang disebut elektron. Pengelilingnya membentuk tata surya yang membulat. Antara setiap dua buah elektron terdapat ruang kosong mirip kekosongan ruang angkasa antara beberapa planet dengan matahari. Ini jika ditilik dari segi bentuk perkiraan jarak jauhnya. Timbangan dari unit terringan dapat mencapai 1850 kali timbangan elektron. Jika dua puluh ribu elektron disusun secara rapi antara satu dengan lainnya, maka panjang daerahnya adalah seperti panjang daerah atom itu. Dengan perkataan lain, bahwa perimbangan antara unit dengan atom itu adalah bagaikan kepala tongkat bila dibandingkan dengan sebuah rumah yang berukuran sedang.
Elektron itu berputar mengelilingi unit dalam suatu susunan yang menyerupai susunan planet di waktu mengelilingi matahari, hanya sajini lebih banyak pemberian pengaruhnya tetapi lebih sedikit penentuan batasnya daripada susunan falak-falak planet itu. Jika sekiranya suatu benda yang terdiri dari unit-unit atom itu disusun satu dengan lainnya, tanpa ada ruang kosong di antara unit dan elektron-elektron itu, maka timbangannya sama dengan sepotong uang dua ketip di sekitar 40 juta ton.
Adapun unit itu sendiri terdiri dari listrik yang bermuatan positif yang dinamakan proton. Jumlahnya sama dengan jumlah listrik yang bermuatan negatif yakni elektron yang berkeliling di sekitar unit itu sendiri.
Di luar proton itu terdapat pula listrik-listrik lain yang bermuatan netral, inilah yang disebut netron. Sekiranya kita dapat menguraikan ikatan ini yakni ikatan yang ada antara proton dan netron atau lebih jelas lagi, andai kata kita dapat menyediakan jalan untuk melenyapkan sebuah netron dari kumpulan netron-netron yang mengelilingi proton itu, jika kita dapat memecahkannya, pasti akan menimbulkan suatu kekuatan yang dahsyat sekali. Orang yang mula-mula memecahkan ini ialah Profesor Einstein. Kekuatan itu sama dengan himpunan dalam perempatan kecepatan sinar yang diperkirakan dengan sentimeter setiap detik, demikian peliknya susunan atom itu. Selanjutnya jika kita berpindah dari persoalan atom dan kita menengadahkan kepala ke atas sebentar untuk melihat matahari, maka kita mendapatkan suatu keajaiban yang lebih luar biasa lagi.
Resapkanlah apa yang dikemukakan oleh para sarjana kosmografi bahwa matahari adalah benda bulat berbentuk bola yang penuh berisi zat api yang jauh lebih dahsyat dan lebih dapat membakar dari semua api yang ada di bumi.
Matahari lebih besar daripada bumi, lebih dari sejuta kali, jauhnya dari kita diperkirakan kira-kira 92.500.000 mil. Sekalipun demikian keadaan matahari itu, ia tidak lain hanya sebuah bintang saja dan bukan termasuk dalam golongan bintang yang terbesar. Ada suatu persoalan yang musykil tetapi amat menakjubkan yaitu pemecahan terakhir yang dilakukan akal pikiran para ahli falak dan sarjana-sarjana perbintangan.
Sebagaimana diketahui dari ilmu pembentukan lapisan bumi terdapat sebuah uraian yang menyatakan bahwa matahari secara terus-menerus tetap memancarkan ukuran atau kadar panasnya, selama berjuta-juta tahun. Jika panas yang diberikan adalah hasil dari pembakaran, maka apakah sebabnya matahari tidak pernah kehabisan bahan bakar padahal sudah dipakai sejak berjuta-juta tahun yang lampau? Dengan keterangan ini jelas rasanya bahwa jalan pembakaran yang berlangsung pada matahari itu tidaklah sebagaimana yang lazim kita ketahui, sebab andai kata proses pembakaran itu seperti yang ada di bumi, maka untuk menerangi jagat ini hanya cukup untuk digunakan selama 6000 tahun saja, setelah itu pasti akan habis daya panasnya.
Mengenai manfaat yang diberikan oleh matahari kepada kita semua, dapat kita ketahui bahwa matahari bukan hanya sebagai sumber cahaya dan api saja, tetapi matahari juga merupakan sumber dari susunan tata surya dan sumber kehidupan kita. Bukankah matahari yang menguapkan air lautan kemudian mengangkatnya ke atas dan berubah menjadi awan dan selanjutnya berubah menjadi hujan dan turun di atas permukaan bumi. Kemudian timbul saluran air sungai besar dan kecil yang dapat mengairi sawah ladang kita, lalu menumbuhkan tanam-tanaman. Selain itu matahari juga meniupkan angin, menyebabkan timbulnya gelombang lautan dan menjadikan udara menjadi bersih. Ia pula yang menggerakkan kapal dan perahu di tengah samudra besar, bahkan ia pula yang menjalankan kendaraan-kendaraan, memutar mesin-mesin letup dan lain-lain lagi. Betul bahwa mesin-mesin itu dijalankan oleh arang batu, tetapi bukankah arang batu itu berasal dari panas cahaya yang terpendam sejak bertahun-tahun yang lampau. Setelah lama tersimpan baru dapat diambil manfaatnya oleh manusia di kemudian hari.
Ringkasnya, andaikata tidak ada matahari, pasti tidak akan ada kehidupan bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Binatang-binatang menjadi bersemangat karena panas matahari, burung-burung pun bersiul setelah tampak sinarnya, mengucapkan tasbih serta memahasucikan Zat Yang Maha Menciptakannya. Juga karena panas dan sinar matahari itu pula tanam-tanaman tumbuh, pohon-pohon menjadi kian hari kian bertambah besar, bunga-bunga pun muncul, buah-buahan pun menjadi masak, dan banyak lagi realita lain yang ditimbulkan.
Kita semua berutang budi pada matahari, karena kita terpaksa menggantungkan hasil makan dan minum kita semua kepadanya. Itulah sebab adanya kita di atas permukaan bumi ini.
Jika kita sekalian sudah puas melihat keindahan dan kedahsyatan matahari, maka mari kini kita melihat ke benda lain. Kita akan menemukan bahwa sedekat-dekat bintang yang ada di samping bumi kita ini setelah matahari sama dengan 260.000 kali jauh matahari dari kita.
Ini dianggap sebagai bintang yang tersuram cahayanya kalau ditilik dari galaksi Bimasakti yang oleh orang-orang kuno disebutkan dengan nama “Jalan penanaman”. Bahkan tata surya yang terdiri dari berbagai bintang yang merupakan tata surya kita ini hanya dianggap sebagai sebuah atom kecil saja, jika dibandingkan dengan gugusan Bimasakti itu, sebab isi kandungannya sebanyak seratus juta bintang yang terpencar dan tersebar luas seolah-olah bagaikan suatu bidang yang luas secara nisbi.
Pengarang buku Ilmu Falak Umum yang bernama Herbert Spenser Jones berkata, “Cahaya memakan waktu selama seratus ribu tahun untuk dapat sampai antara kedua tepi gugusan bintang-bintang Bimasakti. Sebagaimana dimaklumi bahwa cahaya berjalan dengan kecepatan 176.000 mil per detik atau 300.000 kilometer. Berdasarkan uraian ini, maka ketentuan cahaya setahun sama dengan sepuluh bilyun kilometer. Padahal apa yang dikenal dengan nama gugusan bintang-bintang Bimasakti yang sudah mencapai ukuran sebagaimana diuraikan di atas, akal pikiran manusia sudah pasti tidak akan meraihnya, kiranya tidak lain hanyalah salah satu dari sekian banyak susunan yang ada di alam cakrawala yang sama sekali tidak dapat dihitung.”
Masih ada yang tertinggal yang perlu kita maklumi yakni bahwa sedekat-dekat tata surya yang mendampingi tata surya kita ini jauhnya tujuh ratus ribu tahun cahaya. Kini setelah kita mengetahui dan memahami uraian di atas, mari kita renungkan kemudian bertanya, “Apakah mungkin diterima akal bahwa semua keadaan semacam susunan tata surya dan lain-lain itu timbul hanya dari sel atau dengan jalan proses yang ditumbuhkan oleh sel belaka? Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa sel itu permulaan adanya alam semesta, yang sedemikian itu sungguh-sungguh tidak dapat tergambar oleh akal yang sehat, tidak pula cocok dengan ilmu pengetahuan yang hakiki dan agaknya tidak seorang pun yang akan mengatakannya melainkan jika ia telah kehilangan ciri khas yang membedakan antara manusia dengan yang bukan manusia. Manusia semacam ini rasanya sudah tidak dapat menemukan kebenaran dan tidak pula dapat membedakan sesuatu dari yang lainnya.”
Seorang filosof bangsa Jerman, bernama Edward Harenman wakil dari Syopenhor berkata dalam bukunya yang bernama Aliran Darwin, “Sebenarnya pendapat yang menetapkan ketidaksengajaan dalam alam semesta ini yang dianut oleh pengikut Darwinisme adalah suatu pendapat yang sama sekali tidak dapat dibuktikan. Itu hanyalah disebabkan karena adanya angan-angan salah yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam penyelidikan ilmu pengetahuan.”
Profesor Von Bayer dari Jerman dalam bukunya yang berjudul Kedangkalan Aliran Darwin mengatakan, “Apabila golongan Darwinisme melancarkan suara sekeras-kerasnya bahwa memang tidak ada kesengajaan dalam pembuatan atau penciptaan alam semesta ini, atau dengan kata lain bahwa alam ini terjadi hanya karena suatu proses kebetulan belaka yang semata-mata terpimpin oleh kedaruratan yang buta, maka saya berkeyakinan bahwa salah satu kewajiban saya ialah saya harus menyatakan di sini apa yang telah menjadi keyakinan dan kepercayaan saya dalam persoalan ini. Keyakinan saya itu adalah sebagai kebalikan sama sekali dari yang tersebut di atas. Saya berpendapat bahwa semua kedaruratan inilah justru yang membuktikan bahwa di sana ada berbagai tujuan yang luhur dan besar."
Imam Muhammad Farid Wajdi, rahimahullah, setelah menguraikan ini, di akhir katanya menyebutkan, “Jika sekiranya kita dapat merasa puas dengan beratus-ratus puncak ilmu pengetahuan dan filsafat mengenai pendapat tidak adanya unsur kesengajaan dalam penciptaan alam semesta dan jagat raya ini, maka tentulah kita tidak diharuskan untuk mengikuti yang itu lebih dari apa yang sudah jelas tertera dalam nas-nas agama (dalil naqal).” Oleh sebab itu, manakala sudah tetap bahwa penciptaan alam semesta ini memang karena adanya kesengajaan, maka tetap pulalah perihal adanya Tuhan yang mengatur dan bijaksana dari jalan yang sama-sama dapat dirasakan.”
Dengan demikian tidak ada jalan lain untuk membantah atau mengingkarinya dan ini tepat sekali dengan apa yang difirmankan oleh Allah Taala, “Apakah dalam Zat Allah masih ada keragu-raguan, yaitu Tuhan Maha Pencipta langit dan bumi?" (Q.S. Ibrahim:10)
Kini kita kembali kepada perbincangan mengenai tiga macam teori di muka. Jika yang pertama dan yang kedua sudah dapat diyakinkan ketidakbenarannya, sebab memang nyata-nyata keluar dari areal yang dapat diterima oleh akal pikiran serta cara penyelidikan dan ilmu pengetahuan, maka tidak ada lain yang dapat digunakan sebagai pegangan kecuali teori yang ketiga. Adapun isi dari teori ini ialah bahwa jagat raya yang maujud ini pasti ada penciptanya dan pengaturnya. Inilah yang pasti sesuai dengan akal pikiran serta cara penelitian yang sehat. Pendapat semacam itu pula yang menyebabkan Socrates mempercayai serta beriman kepada Allah, juga yang dapat menundukkan Aristophanes yang mengingkari adanya tuhan. Keduanya pernah mengadakan suatu polemik yang kami kutip sebagai berikut:
Socrates: Adakah orang-orang yang mengherankan Tuan karena kepandaian mereka atau karena keindahan karyanya?
Aristophanes: Ya ada, seperti dalam hal sajak atau puisi saya sangat kagum kepada syair-syair cerita dari Homero, dalam bidang lukisan kepada Zoxes dan dalam hal pembuatan patung kepada Polextic.
Socrates: Pencipta-pencipta manakah yang kiranya patut lebih dikagumi, apakah pencipta gambar-gambar yang tidak dapat memberi akal dan kehidupan ataukah pencipta makhluk yang mampu memberinya akal pikiran serta kehidupan?
Aristophanes: Tentu saja patut lebih dikagumi pencipta makhluk yang dapat merasakan kenikmatan dan memiliki akal pikiran serta kehidupan. Tetapi itu terjadi sebagai hasil dari kebetulan belaka!
Socrates: Apakah kiranya patut dianggap sebagai hal yang kebetulan, jika sekiranya anggota-anggota tubuh ini digunakan untuk maksud dan tujuan tertentu. Misalnya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, lidah untuk merasakan. Lihat pula seperti mata ini di sekitarnya terdapat berbagai penjagaan, karena sangat sensitif dan sangat lemah. Oleh karena itu di waktu tidur pasti tertutup atau di waktu ada keperluan, dilindungi pula dengan bulu mata dan alis di atasnya. Demikian pula telinga, di dalamnya diberi suatu alat penerima yang dapat menampung segenap macam suara dan masih banyak lagi contoh yang lain. Cobalah tuan pikirkan, patutkah itu semua terjadi sebagai hasil dari kebetulan? Selain itu dapat pula dikemukakan adanya kecondongan dalam hati untuk mempunyai keturunan, begitu pula perasaan iba dan kasih sayang yang ada di dalam kalbu setiap ibu terhadap anaknya, padahal suatu hal yang amat jarang sekali bahwa seorang ayah atau ibu dapat menerima balasan atau keuntungan dari anaknya. Sementara itu bagaimana hal-ihwal seorang bayi yang dengan sendirinya lalu dapat memperoleh pengertian untuk menyusu dan cara menyusunya, sebentar setelah ia dilahirkan. Apakah menurut pendapat Tuan hal itu semua terlaksana hanya sebagai hasil yang didapat secara kebetulan?
Aristophanes: Tentunya bukan karena kebetulan. Yah, saya baru mengerti sekarang dengan secara pasti bahwa di sana memang ada petunjuk akan adanya penciptaan. Tetapi yang pasti ialah bahwa yang menciptakan itu tentu bersifat sangat agung sekali, yang mencintai akan adanya segala yang hidup. Namun masih ada yang membingungkan otak saya mengapa kita semua tidak dapat melihat yang menciptakan itu?
Socrates: Kalau begitu kita sudah menemukan titik yang sama yaitu mengakui adanya pencipta yang agung dan mencintai kehidupan di alam semesta ini. Tentang persoalan mengapa kita tidak dapat melihat pencipta itu, maka saya ingin mendapat jawaban Tuan, apakah Tuan merasa mempunyai nyawa, sebab kalau Tuan tidak bernyawa, tentunya Tuan sudah mati. Punyakah atau tidak?
Aristophanes: Ya, tentu saja saya punya. Mengapa?
Socrates: Jika demikian sudah mudah pemecahannya. Mengapa Tuan sendiri tidak dapat melihat nyawa yang menguasai diri Tuan sendiri. Jadi kalau Tuan tidak pernah melihat nyawa Tuan, apakah ini berarti kita boleh mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang timbul dari diri Tuan itu adalah semata-mata disebabkan karena secara kebetulan semua tanpa ada pemikiran sebelumnya?
Sampai di sini selesailah percakapan kedua orang ahli filsafat itu, yang sungguh-sungguh berfaedah untuk diresapkan dan direnungkan dalam-dalam. Maha Benar Allah swt. yang berfirman, “Dan setengah daripada tanda-tanda (ayat-ayat) mengenai adanya Allah ialah malam dan siang, serta matahari dan bulan. Janganlah kamu semua bersujud kepada matahari atau kepada bulan. Tetapi bersujudlah kepada Allah yang Maha Menciptakan semuanya itu, jika kamu semua benar-benar menyembah-Nya.” (Q.S. Fushshilat:37)
(Silahkan di Like dan di Share .. Terima Kasih)