BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Masuk dan Penyebaran Islam
Menurut para ahli sejarah, masuk dan penyebaran islam di indonesia
terdapat tiga teori, yaitu teori Gujarat, teori Saudi, dan teori China. Yaitu :
1.
Menurut teori Gujarat. Islam masuk wilayah Indonesia dari anak benua India
seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar. Menurut Snouck Hurgronje, Islam masuk dari
daerah Doccon di India, berdasarkan fenomena sosial bahwa ajaran tasawuf yang
dipraktikkan oleh orang-orang muslim di India bagian selatan mirip dengan
ajaran islam di Indonesia. Termasuk munculnya syi’ah di daerah Sumatera atau
Jawa, dugaan itu juga muncul dari dearah India. Sebab saat itu kerajaan islam
Deccon (salah satu kerjaan di India) telah memiliki hubungan baik dengan Iran
negeri pusat penyebaran paham Syi’ah.
2.
Menurut teori saudi. Pendapat yang menyatakan bahwa islamisasi di Indonesia terjadi
pada tahun 1111 atau abad ke 12 M. Pada saat itu orang-orang Aceh dari
Sumatera bagian barat laut memeluk islam atas ajakan seorang kebangsaan Arab
asli. Kemudian setelah masuk Islam mereka mendakwahkan islam khususnya di
daerah tersebut.
3. Menurut teori China. Teori yang
menyatakan bahwa masuknya islam di Indonesia langsung dari Mekah atau Madinah.
Menurut teori ini bahwa islam masuk ke Indonesia sekitar abad 7 atau 8 M. Atau
abad ke 2 H, yaitu pada masa Khulafaur Rosyidin. Ekspedisi islam ke Indonesia
dibawa langsung oleh para pedagang dari Arab sejak awal abad hijriyah atau abad
ke 7 M. Menurut sumber literatur Cina pada awal abad ke 2 hijrah telah muncul
perkampungan-perkampungan muslim Arab dipesisir pantai Sumatera. Diperkampungan
ini orang-orang muslim Arab bermukim dan menikah dengan penduduk setempat serta
membentuk komunitas-komunitas muslim. Teori ini adalah yang paling kuat dan
diterima para sejarahwan masa kini.
B. Corak Islam Di Nusantara
1. Masa Kesulthanan
Di
daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti
daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama Islam
secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik
penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah
menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di
kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan Islam selanjutnya
tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan
kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat
Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan
di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di
kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya
berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam
Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah
Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai
lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar,
di berlakukannya hukum bunuh bagi orang murtad, hukum
potong tangan untuk pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat
zina. Guna memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa,
maka dilakukan upaya agar Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang
lainnya, serta dibangun masjid sebagai pusat pendidikan Islam.
Dengan
kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan
untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan
syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan
akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada
di bawah kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin oleh
Sultan Agung. Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di
bawah kekuasaan Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon,
Priangan dan lain sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata
laksana kerajaan dengan istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak
sesuai dengan arti sebenarnya.
2. Masa Penjajahan
Ditengah-tengah
proses transformasi sosial yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang
Barat, yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris.
Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang
pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada
mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang karena
Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli
perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia. Apalagi setelah
kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan
Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai
masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian
lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang di
kenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah
Islam dalam tiga kategori, yaitu:
a. Bidang
agama murni atau ibadah
b. Bidang
sosial kemasyarakatan; dan
c. Politik.
Terhadap
bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat
Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat
kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk
membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum
Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan alat kebiasaan.
Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan
dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum
Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik
kenegaraan atau ketatanegaraan.
3. Gerakan dan organisasi
Islam
Akibat
dari “resep politik Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang
permulaan abad xx umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah
menghadapi tiga tayangan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide
etimpera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui
asosiasi. Namun, ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat
dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan
menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun
organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi
tandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai
hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat,
serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.
Akibat
dari situasi ini, timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah
pemikir-pemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam
itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama
Islamlah yang dapat di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan (pangreh
praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan
antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara
pemimpin Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di
kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir
yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua
kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama
tradisional. Selama pendudukan jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak
kepada kaum muslimin dari pada golongan nasionalis karena mereka berusaha
menggunakan agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perantara politik
berikut ini yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang menguntungkan
kaum muslimin, yaitu:
a. Shumubu, yaitu Kantor
Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda.
b. Masyumi, yakni singkatan
dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada
bulan oktober 1943.
c. Hizbullah, (Partai Allah
dan Angkatan Allah), semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda Muslimin
yang dipimpin oleh Zainul Arifin.
C. Perkembangan Peradaban
Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Barat dan Penjajahan Jepang
1. Perkembangan Peradaban
Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Bangsa Barat
a. Masa penjajahan portugis
Perjalanan
bangsa Portugis hingga benua Asia tidak terlepas dari watak sebagian besar
bangsa Eropa (beragama Kristen) yang membenci umat Islam. Seperti yang telah
kita ketahui bahwa pernah terjadi peperangan besar yang terjadi antara umat
Islam dan Kristen yang disebut “Perang Salib” (1096-1270 M). Penguasaan
besar-besaran oleh umat Islam di daerah Timur Tengah dan beberapa wilayah Eropa
pada saat itu memancing umat Kristen di sekitarnya untuk segera mengambil alih
kedudukan itu. Walaupun perang Salib berhasil dimenangkan oleh umat Islam,
namun beda halnya dengan yang terjadi di belahan Dunia Islam sebelah barat.
Orang-orang Islam (Arab) yang telah berkuasa atas semenanjung Iberia
(Spanyol-Portugal) semenjak abad 6 Masehi mengalami pasang naik dan pasang
surut. Karena sebab-sebab perpecahan ke dalam, pertentangan politik, penonjolan
rasa keakuan yang melampaui batas, berebut kekuasaan dan kekayaan, tidak dapat
membedakan yang mana boleh dikerjakan sendiri-sendiri di antara
golongan-golongan dan yang mana harus bersatu, dan karena mengabaikan
ajaran-ajaran Syara’ Islam, maka pada periode demi periode mengalami kemunduran
dan persengketaan. Akhirnya pada tahun-tahun memasuki abad ke-15 M
daerah-daerah yang mereka kuasai, propinsi demi propinsi direbut kembali oleh
orang-orang Spanyol-Portugis hingga akhirnya pecahlah Kerajaan Islam Spanyol
yang jaya menjadi berkeping-keping di Afrika Utara. Istilah “reconquistia” pun
mulai didengung-dengungkan sebagai lambang kemegahan orang Spanyol dan
Portugis. Istilah ini dikemukakan oleh Dr. W. B. Sijabat yang berarti “merebut
kembali dari suatu yang pernah diambil pihak lain”.
Bersamaan
dengan itu, orang-orang Portugis mengambil kesempatan untuk melakukan apa yang
mereka namakan “reconquistia”. Mereka bukan saja merebut miliknya yang pernah
hilang, akan tetapi lebih dari itu. Mereka menjadi bernafsu untuk merebut milik
orang-orang Islam di mana saja mereka berada baik di Barat maupun di Timur.
Setiap orang yang beragama Islam bagi mereka adalah orang Moro, orang yang
harus diperangi. Mulailah orang-orang portugis berlanglang buana atas nama
“conquistador-conquistador” (jagoan penakluk) yang direstui Sri Paus. Tujuannya
berganda, membalas dendam, merebut tanah jajahan, kekuasaan politik, mengangkut
rempah-rempah dan harta kekayaan penduduk pribumi serta menyebarkan agama
Katholik.
Portugis
menetapkan diri mereka sebagai penguasa samudra Hindia pada awal abad ke-16.
Pada tahun 1509 mereka mengalahkan sebuah pasukan gabungan Mesir dan India
serta merebut Goa. Setelah menguasai Goa, bandar perdagangan di pantai barat
India, Portugis mengarahkan lirikan mata imperialismenya ke Timur, Malaka
(Malaysia). Pada tahun 1511 mereka menaklukkan Malaka di bawah pimpinan
d’Albuquerque , tahun 1515 menaklukkan Hormuz di teluk Persia, dan pada tahun
1522 mereka menaklukkan Ternate sebagai sebuah upaya untuk menguasai
perdagangan antara Cina, Jepang, Siam, Molucca, Samudra India dan Eropa.
Portugis diusir dari Ternate pada tahun 1575, tetapi mereka tetap menguasai
sejumlah kepulauan lainnya di Molucca.
Tahun-tahun
sekitar 1510 itu Kerajaan Islam Malaka memang sedang mengalami kemerosotan
akibat pertentangan dan perang saudara memperebutkan kekuasaan dan kekayaan.
Agaknya penyakit inilah yang sedang melanda umat Islam di mana-mana sejak dari
Spanyol hingga ke Asia Tenggara. Di Malaka, selain banyak sekali
berdatangan para pedagang bangsa Arab (Islam) juga tidak sedikit datang dan
pergi para pedagang Muslimin bangsa Indonesia baik yang berasal dari Sumatra
(Pase dan Perlak) maupun yang datang dari Jawa (Demak). Hal itulah yang lebih
menarik perhatian Portugis. Pertama, orang-orang dari Jawa ini pemeluk agama
Islam yang taat dan menjadi sahabat Malaka. Kedua, karena pedagang dari Demak
itu dagang dengan membawa rempah-rempah yang amat mempesonakan Portugis.
Ketiga, kapal-kapal dagang Demak tidak dipersenjatai karena tujuan pelayarannya
memang semata-mata untuk berniaga. Mulailah Portugis melakukan
provokasi-provokasi untuk memutuskan hubungan Malaka-Demak dan sekaligus
merampas rempah-rempah yang sangat harum di hidung orang Eropa itu. Lama
kelamaan gelagat buruk ini diketahui oleh Adipati Yunus yang ketika itu menjadi
sultan Demak. Mengusik dan merampas rempah orang Demak sama artinya dengan
mematahkan ekonomi Negara Demak dan menghalang-halangi dakwah Islam. Memang, di
kapal-kapal dagang orang Demak banyak pula berlayar para saudagar Islam bangsa
Arab, akan tetapi buat Demak banyak pula mereka adalah warga negaranya sendiri
yang selain sedang melakukan kegiatan berniaga sekaligus juga melakukan tugas
dakwah yang dilindungi oleh kedaulatan Demak. Sejak kerajaan Demak berdiri,
maka kegiatan dakwah dan niaga dilakukan secara serentak. Mubaligh-mubaligh dan
saudagar-saudagar pribumi Demak berdampingan bahu membahu dengan
mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar Arab. Mereka tidak saja dalam hubungan
antara murid dan guru tetapi telah menjadi satu saudara yang dipertalikan oleh satu
agama yaitu Islam di bawah daulat kerajaan Demak.
Perlawanan
pun mulai digencarkan yaitu pada tahun 1513 dan 1521 yang langsung dipimpin
oleh Sultan Yunus. Namun sayangnya pertempuran ini masih bisa dihalau oleh
pasukan Portugis yang memiliki kemajuan teknik dan pengalaman di laut sambil
berperang, bahkan pertempuran ini menewaskan Sultan Yunus sebagai syuhada’.
Peperangan tak berhenti di sini, dengan kata lain perlawanan tetap berlanjut
walau sering kali mengalami kegagalan.
Ternyata pertahanan yang dilakukan Demak ini membawa dampak negatif dalam sisi
internal. Pemerintahan pusat di Demak lebih mencurahkan kegiatannya pada
masalah politik terutama politik luar negeri. Penggarapan terhadap
masalah-masalah sosial, pendidikan, kemakmuran dan sebagainya tidak seimbang.
Dan yang paling diabaikan adalah masalah kaderisasi atau pembinaan generasi
muda untuk calon-calon pengganti mereka di masa datang. Yang terasa pula ialah
bahwa jalannya dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidak terorganisir seperti
sedia kala. Padahal pelaksanaan politik yang lepas dari dakwah dan amar ma’ruf
nahi munkar dengan mudah akan menimbulkan penyelewengan-penyelewengan politik,
politik menjadi lepas dari norma-norma Taqwallah, maka akibatnya menjurus
kepada gejala “politik menghalalkan segala cara”. Kalau sudah demikian, pasti
goyahlah sendi-sendi kerajaan, jauhlah hubungan antara yang memerintah dan yang
diperintah, dan jurang itu akan semakin melebar jikalau tidak cepat
dijembatani. Oleh karena itulah, merenggangnya hubungan penguasa dengan para
ulama juga bisa dijadikan sebagai penyebab melemahnya kerajaan Demak. Pendek
kata, Islam sebagai pedoman hidup harus tetap dijaga, komunikasi yang baik
antara para ulama dan para penguasa sangat penting untuk diwujudkan.
Demak
telah berakhir, namun Islam tidaklah berakhir. Intervensi Portugis secara tidak
langsung justru menyokong bagi penyebaran Islam. Dengan hancurnya kekuasaan
Malaka, para guru dan misionari Muslim berpindah ke Sumatra Utara, Jawa,
Molucca, dan ke Borneo. Setelah hancurnya kekuasaan Malaka, tiga pusat utama
kehidupan politik dan kultural Muslim tumbuh berkembang. Di Aceh, sultan Syah
Ali Mughayat menyatukan lawan-lawan Portugis, dan berhasil mengalahkan mereka
pada perang di Pidie 1521 dan pada perang Pasai tahun 1524, menaklukkan wilayah
pesisir utara kerajaan Aceh yang menjadi pusat persaingan utama pihak Portugis.
Antara tahun 1529-1587 Aceh melancarkan usaha-usaha secara berkesinambungan
untuk merebut kembali Malaka. Antara tahun 1618 dan 1620, kerajaan Aceh merebut
Pahang, Kedah, dan Perak. Puncak kekuasaan Aceh tercapai pada masa pemerintahan
Iskandar Muda (1607-1636), yang mengorganisir sebuah rezim yang efektif dan
memperkokoh dominasinya atas para penguasa lokal (uleebalang) dan berbagai
kelompok perkampungan. Ambisi Sultan Iskandar untuk menguasai seluruh wilayah
semenanjung ini dipatahkan oleh kekuatan pemerintahan Malaya lainnya pada tahun
1629.
Beberapa
kesultanan Muslim didirikan di semenanjung Malaya pada abad 15 dan abad 16. Di
antaranya yang paling besar adalah kesultanan Johor (1512-1812). Kesultanan
Johor tidak merupakan sebuah dinasti, melainkan sebuah wilayah kewenangan yang
diperintah oleh beberapa penguasa yang berbeda. Johor bertempur melawan Aceh
dan Portugis untuk memperebutkan kekuasaan atas Malaka.
Jawa
menjadi wilayah bagi pusat kekuasaan Muslim ketiga. Antara tahun 1513 dan 1528,
sebuah koalisi kerajaan Muslim mengalahkan kekuasaan Majapahit, dan tumbuhlah
dua negara baru di wilayah pusat Jawa, yaitu kerajaan Banten di Jawa Tengah dan
Jawa Barat (didirikan pada tahun 1568), dan kerajaan Mataram di wilayah timur
Jawa Tengah.
Melanjutkan
perjalanan Portugis, setelah berhasil mengacau perdagangan di Malaka, mereka
mulai menemukan pedagang Melayu yang melarikan diri ke daerah lain seperti
Demak dan Makasar. Mereka yang menyelamatkan diri ke Maluku, oleh Portugis
diikuti jejaknya seolah dijadikan “guide”, penunjuk jalan untuk menemukan
Maluku. Islamisasi di Maluku pada saat itu sudah berkembang, yaitu sejak
pertengahan abad ke limabelas. Hal itu ditandai dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam yang dipimpin oleh penguasa-penguasa yang taat
beribadah dan sangat memperhatikan dakwah Islam.
Keadaan
seperti itulah yang tidak disukai Portugis. Mereka mulai menggunakan taktik adu
domba untuk kembali melakukan misi utamanya, yaitu menjajah bumi Nusantara dan
menghancurkan Islam. Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang
tiba di sana pada tahun 1522 M berharap dapat menggantikannya dengan agama
Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang
sedikit. Hingga pada suatu saat, seorang utusan dari Roma yang terkenal,
Fransisco Xaverius, melakukan kristenisasi besar-besaran sekitar tahun 1546
padahal ratusan tahun yang lalu Islam sudah memasuki Maluku dan penduduk
gugusan pulau-pulau yang padat itu telah memeluk agama Islam. Menghadapi
tantangan seperti itu maka tidak sedikit terjadi perlawanan terhadap
pasukan-pasukan Portugis yang membawa agama Katholiknya. Dakwah Islam itu
mencapai puncaknya ketika motivasinya didorong oleh unsur politik membela
kepentingan bangsa dan tanah air berhubung dengan perbuatan Portugis yang
melukai sentimen nasional yang sangat kuat.
Akhirnya tindakan kristenisasi tersebut membangkitkan semangat juang di
kalangan kaum Muslimin Maluku. Sultan Ternate mengambil inisiatif utnuk
mengadakan tindakan timbal balik. Keras dihadapi dengan keras, sentimen dengan
sentimen, ekspansi atau perluasan daerah diimbangi dengan ekspansi pula. Itu
sebabnya, di mata Gereja Katholik, Sultan Ternate dipandang sebagai “orang
keras paling dibenci”. Hal itulah yang oleh pemimpin Gereja sendiri akhirnya
diakui sebagai suatu fanatisme yang meluap-luap. Ya, tetapi siapa mendahului
siapa? Sekali pun penyebaran Kristen demikian pesat di kepulauan Maluku, namun
dakwah Islam terus berkembang baik di kepulauan Maluku Utara, Tengah maupun
Selatan. Umat Islam di sana mempunyai potensi yang hidup dan sanggup berdiri di
atas kaki sendiri. Keadaan pada waktu sekarang tetaplah demikian dan semakin
memperlihatkan perkembangan Islam yang mantap dan maju. Hal itulah yang membuat
kesadaran di kalangan pemeluk agama Kristen tentang keadaan Islam yang
sebenarnya di Maluku.
b. Masa Penjajahan Belanda
Penindasan
Belanda atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar
identitas bangsa Indonesia. Selain itu Islam juga dijadikan lambang perlawanan
bagi imperialisme. Bagi para penguasa pribumi, memeluk agama Islam berarti
memiliki dua senjata. Pertama, mendapat dukungan dari rakyat, karena rakyat
banyak dari kalangan petani dan pedagang yang telah menjadikan Islam sebagai
agamanya. Kedua, selain para penguasa dengan memeluk agama Islam mendapatkan
dukungan rakyat, juga dapat memiliki senjata dalam melawan agresi agama dan
perdagangan dari imperialis barat.
Kehadiran
ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharu dan pengaruh
ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Ternyata
pesantren itu tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan
lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus berfungsi sebagai
wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi.
Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren. Akan
tetapi, peranannya dalam sejarah cukup militan. Diakui oleh Thomas Stanford Raffles
bahwa ulama merupakan part nearship para penguasa dalam melawan usaha perluasan
kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang peranan
multifungsi,termasuk bidang politik dan militer. Kelanjutan dari pengaruh ulama
yang demikian luas tersebut tidak hanya terbatas dibidang politik dan militer
saja, melainkan meluas juga terhadap ekonomi yang telah meninggalkan
bekas-bekasnya atas the ecology of economic activities. Maka jelaslah Belanda
di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama terutama dibidang perdagangan.
Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwifungsi sebagai pedlar
missionaries (da’i dan pedagang). Akibatnya, usaha perdagangan Belanda
menghadapi ancaman dari umat Islam. Pemberontakan Santri Abad ke-19 Kondisi
yang demikian itu mengubah kondisi pesantren yang tadinya sebagai lembaga
pendidikan, berubah menjadi a center of anti ducth sentiment (sebagai pusat
pembangkit anti Belanda). Dalam abad ini saja Belanda menghadapi empat kali
pemberontakan santri yang besar. Pertama, perang Cirebon (1802-1806). Kedua,
perang Diponogoro sebagai peperangan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial
Belanda di Jawa (1825-1830). Ketiga, perang Padri di Sumatra Barat (1821-1838).
Keempat, di Aceh sebagai pemberontakan santri yang terpanjang atau terlama
(1873-1908).
1) Perlawanan-perlawanan
yang dilakukan untuk membebaskan diri dari pengaruh Belanda tidak pernah putus.
Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu gagal karena beberapa sebab, di antaranya:
Belanda diperlengkapi dengan organisasi dan persenjataan modern sementara
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional,
2) penduduk Indonesia
sangat tergantung kepada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya
tertangkap atau terbunuh praktis perang atau perlawanan terhenti dengan
kemenangan di pihak Belanda,
3) tidak ada kesatuan
antara kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda, karena
4) Belanda berhasil
menerapkan politik adu domba, dan
5) dengan politik adu domba
itu, banyak penduduk pribumi yang ikut memerangi rekan-rekannya sendiri.
Pada
mulanya Belanda menempuh cara menghancurkan ulama dan Islam dengan melancarkan
politik agama non Islam. Akan tetapi, sekali pun gerakan ini dibiayai oleh
pemerintah, namun ternyata hanya mampu menarik suku-suku asing dari agamanya.
Dutch
Islamic Policy Melihat perkembangan ulama yang demikian ini, Snouck mencoba
memberikan diagnosis yang dijadikan Dutch Islamic Policy. Dia melihat ulama dan
santri itu sendiri tidak berbahaya, sekalipun mereka berada di desa-desa dekat
dengan para petani. Oleh karena itu diciptakan diagnosis “Menciptakan ulama dan
santri di desa-desa menjadi tuna politik (depolitisasi).” Pemerintah tidak
perlu takut kepada ulama dan santri, asal mereka dijauhkan dari propaganda
politik, baik dari kegiatan politik dalam negeri maupun luar negeri. Untuk
merealisasikan diagnosis tersebut, dianjurkan supaya pemerintahan menjalankan
dwikebijaksanaan (twin policies), yakni menganjurkan adanya toleransi agama,
dan menindak dengan kekerasan terhadap ulama yang masih melanjarkan kegiatan
politik dan militer. Mematahkan Ulama Melalui Tanam Paksa Untuk dapat mencapai
target diagnosis tersebut, Belanda memerlukan kawan. Snouck menasehatkan supaya
pemerintah menggunakan tenaga Pangreh Praja. Keadaan Jawa memungkinkan untuk tujuan
tersebut. Belanda telah berhasil melumpuhkan basis suplai ulama dan santri.
Pengreh Praja yang merasa mendapatkan keuntungan dari tanam paksa, dengan
menyalahgunakan kekuasaan telah ikut memperluas dan meratakan kemiskinan
rakyat.
Ulama
dan santri yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan dengan
penguasaan atas tanah. Tanam paksa benar-benar telah melumpuhkan rakyat.
Pemerintah takut terhadap ulama dan santri Jawa Barat yang memberontak selama
mereka mampu menguasai tanah sawahnya. Karena itu pelaksanaan tanam paksa harus
diperkeras dan diperlama. Akibatnya, kemelaratan benar-benar menindih kehidupan
petani muslim di Jawa Barat. Rusaknya Mental Penguasa Pribumi Petani sebagai
basis suplai yang telah rusak kehidupannya, tidak mendapatkan pembelaan dari
Pangreh Praja saat itu. Raja-raja tidak mampu berbuat untuk menolong rakyat.
Mereka telah kehilangan syari’at Islam sebagai landasan hukum dasarnya.
Selanjutnya, Ronggo Warsito memberikan gambaran tentang sikap penguasa pribumi
setelah lepas hubungannya dengan ulama. Tingkah laku mereka mengejar kemewahan,
menambah merajalelanya penderitaan rakyat.
Kondisi
yang demikian digambarkan oleh Harry J. Benda: Bangsawan Indonesia telah
kehilangan tambatan budaya dan politik mereka sebagai akibat penaklukan
Belanda.Depolitisasi Ulama Desa Kedudukan ulama benar-benar menyedihkan. Ulama
desa yang tuna politik tidak tahu tentang struktur pemerintahan di atasnya.
Para ulama desa dan pengikut-pengikutnya diputuskan hubungannya langsung dengan
kalangan priyayi atau bangsawan di atasnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan
apapun tentang struktur kenegaraan. Berita Nahdlatul Ulama dalam hal ini
memberikan gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat itu, antara lain:
“Para ulama kita satu dengan yang lainnya tak kenal mengenal atau kurang rapat
hubungannya hanya selaku kenalan saja. Tiada sampai pada bersama-sama kerja
untuk agama dan umat umum. Bahkan kadang-kadang ada kalanya yang diantara
mereka sembur-semburan antara satu dengan yang lainnya, dikarenakan berselisih
dalam masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan
kehinaan umat Islam yang diluar pagar rumahnya.” Membangkitkan Gerakan
Nasional Waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan akhirnya datang pula
struktur penjajahan yang ingin menciptakan Pax Neer Landica telah menemukan
efek samping yang menguntungkan umat Islam Indonesia. Penindasan yang diderita
telah melahirkan persamaan nasib. Islam bagi bangsa Indonesia identik dengan
tanah air. Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui
waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan.
Dicobanya
mendidik masyarakat supaya motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi
perdagangan. Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam
(16 oktober 1905). Setahun kemudian dirubahnya menjadi Sarekat Islam. Tetapi
Belanda melihatnya dari segi lain bahwa dengan adanya organisasi atau
perserikatan diartikan sebagai usaha membina persatuan, sebagai cara baru dalam
kebangkitan Islam. Apalagi aktivis SDI selanjutnya membentuk kerjasama dagang
antara Islam dan Cina Kong Sing. Sedangkan policy Belanda sejak abad ke-18,
berusaha mencegah asimilasi antara Cina dan Islam. Kesatuan Cina dengan umat
Islam akan mudah dijalinnya, karena latar belakang sejarahnya memudahkan
kesatuan tersebut. Sebagai misal sebagai hubungan umat Islam Cirebon dengan
Cina pada abad ke-15, yang dikisahkan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari,
bahwa panglima Wai Ping dan laksamana Te Bo beserta pengikutnya mendirikan
mercusuar di bukut Gunung Jati. Kesatuan Cina dalam susuhunan Mataram yang
disertai dengan masuknya Cina kedalam agama Islam, mengilhami Belanda untuk
melahirkan kebijaksanaan yang berusaha memisahkan asimilasi antara Islam dengan
Cina. Kebijaksanaan Belanda yang mencegah terjadinya asimilasi pada abad ke-20
adalah mudah dimengerti. Persoalannya terletak pada latar belakang sejarah
mereka. Negara cina juga sedang bertujuan menetang imperialisme barat,
sedangkan Indonesia memiliki sejarah yang sama. Oleh karena itu, bila terjadi asimilasi,
berarti mempercepat proses gulung tikarnya Belanda di Indonesia.
Telah
jelas bahwa pihak Islam telah menampung asimilasi tersebut dan di Negara Cina
telah berkobar revolusi Cina, karenanya dengan berbagai provokasi Belanda
menimbulkan bentrokan fisik antara Cina dengan umat Islam. Pancingan ini
berhasil melahirkan pemberontakan anti-Cina di Solo. Akibat pemberontakan ini
sangat menguntungkan Belanda yang pada awal mulanya ketakutan terhadap
menularnya revolusi Cina ke Indonesia. Bila revolusi ini benar-benar menjalar,
sukar ditumpasnya, karena telah adanya persatuan antara Islam dengan Cina.
Dengan adanya pemberontakan tersebut, selesailah usaha mencegah asimilasi, dan
Belanda merasa aman baik terhadap ancaman gerakan nasional dari bantuan Cina,
maupun dari bahaya menjalarnya revolusi Cina ke Indonesia. Dengan demikian,
Belanda telah berhasil memisahkan Cina-Indonesia yang dipelopori Islam,
sekaligus timbullah hubungan Cina-Belanda menentang perkembangan tuntutan
nasionalisme pribumi. Mencegah Kesatuan Islam-Priyayi Pemberontakan anti-Cina
dalam sejarah dituliskan sebagai perlawanan SDI plus lascar Mangkunegara
(1911), yang menyebabkan Belanda mengeluarkan skorsing terhadap kegatan SDI.
Tetapi, skorsing hanya berjalan selama 14 hari (12-26 Agustus 1912). SDI,
setelah menerima skorsing mencoba pula mengadakan konsolidasi. Ternyata pilihan
SDI tepat sekali, waktu itu SDI merintis jalan untuk menyerahkan pimpinan SI
kepada H. O. S. Cokroaminoto. Seperti yang kita ketahui, pilihan ini mempunyai
motivasi yang sesuai dengan tuntutan zamannya. Pada masa itu, tokoh priyayi
masih mempunyai nilai tersendiri di mata rakyat. H. O. S. Cokroaminoto selain
seorang muslim yang demokrat juga mempunyai darah ningrat, dan lebih dari itu
beliau adalah seorang pemimpin yang brilian. Hanya dalam waktu empat bulan SI
telah sanggup mengadakan konggres I di Surabaya (26 Januari 1973) konggres ini
mendapatkan dukungan masa rakyat yang luar biasa. Belanda ketakutan terhadap
usaha SI yang berusaha menyadarkan rakyat akan politik. Pemerintah mulai
melarang pembentukan sentral SI. Larangan ini tidak mempan, CSI dibentuk di
Surabaya (1915). Umat Islam yang tadinya diharapkan oleh pemerintah colonial
menjadi tuna politik (depolitisasi), justru sekarang bangkit berjuang
menyadarkan rakyat untuk menuntut pemerintahan sendiri.
Menghadapi
kebangkitan umat Islam dengan gerakan nasionalnya, Belanda mencari jalan lain.
Pemerintah mencoba memecahkan hubungan antara umat Islam dengan kalangan
priyayi. Lebih-lebih perlu dijauhkan kalangan Pangreh Praja dari gerakan
politik yang dilancarkan SI. Dengan “Perintah halus”-nya, Belanda berhasil
menciptakan iklim pertentangan antara SI dan priyayi.
Pertentangan semacam ini semestinya menurut perhitungan pemerintah akan
menghentikan aktivitas SI. Ternyata pertentangan priyayi-ulama di lain pihak
menumbuhkan gerakan baru, yakni perserikatan ulama di Majalengka (1917) yang
dipimpin oleh K. H. Abdul Halim. Gerakan ini kerjasama dengan SI, sekalipun
mengkhususkan dalam bidang sosial pendidikan. Kemudian disusul dengan
berdirinya Persis (1920).
Memperalat
Komunisme Pemerintah Belanda dengan berbagai usaha ingin mematahkan gerakan
nasional yang digerakkan oleh umat Islam. Meskipun perpecahan ulama-priyayi
oleh pemerintah Belanda, ternyata tidak menghalangi gerakan membangkitkan
gerakan politik nasional. Sneevlite sebagai tokoh komunis pertama di Indonesia
berhasil menciptakan pertentangan dalam kalangan SI. Semaun dan Darsono
terpengaruh oleh marxisme, dan mencoba membelokkan Islam sebagai ideologi,
serta melancarkan berbagai fitnah terhadap H. O. S. Cokroaminoto, H. Agus
Salim, dan Abdul Muis. Akibatnya, gerakan SI berubah, yang tadinya berpusat
kepada usaha menanamkan kesadaran politik dan ekonomi nasional terhadap rakyat,
setelah adanya serangan Semaun dan Darsono, gerakan terfokus dalam usaha untuk
mengamankan SI. Kerjasama antara imperialisme Belanda dengan komunis akan mudah
dimengerti bila kita melihat latar belakang sejarahnya. Gerakan komunis di
Eropa, semenjak kegagalan Marx memimpin revolusi buruh dalam pemberontakan
komunis di Paris, tidak lagi menentang imperialisme barat tetapi justru
cenderung mendukungnya.
Komunis
Belanda mendukung karena takut kehilangan Indonesia sekaligus takut kehilangan
predikat sebagai penjajah nomor 3 atau 4 di dunia. Tanpa Indonesia, Belanda
hanya merupakan Negara dingin yang kecil di laut utara. Oleh karena itu,
seluruh usaha SI ditolaknya dan berusaha menghancurkan keyakinan rakyat
terhadap kepemimpinan H. O. S. Cokroamonoto, H. Agus Salim, Abdul Muis dan
Surya Pranoto. Tetapi, kenyataannya sejarah membuktikan, bagaimanapun usaha
orang-orang komunis, umat Islam tetap menuntut kemerdekaan.
2. Perkembangan Peradaban
Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang
Kemunduran
progresif yang dialami partai-partai Islam seakan mendapat dayanya kembali
setelah Jepang datang menggantikan posisi Belanda. Jepang berusaha
mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis “sekuler” ketimbang pimpinan
tradisional (maksudnya raja dan bangsawan lama). Dalam menghadapi umat
Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijaksanaan politik yang sama dengan
Belanda. Hanya dalam awal pendekatannya, Jepang memperlihatkan sikap
bersahabat, karena Jepang berpendirian bahwa umat Islam merupakan powerful
forces dalam menghadapi sekutu. Latar belakang sejarah umat Islam yang anti
imperialisme Barat, memiliki kesamaan tujuan dengan perang Asia Timur Raya.
Sikap umat Islam yang yang demikian itu akan dimanfaatkan oleh pemerintahan
kolonial Jepang.
Tetapi tentara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam. Mereka lebih
menyukai hubungan langsung dengan ulama dari pada dengan pemimpin parpol. Oleh
karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol. Dalam menghadapi
tentara Jepang, umat Islam bertindak untuk sementara menyetujui pembubaran
tersebut dengan mengeluarkan maklumat juga. Tindakan Jepang ini jelas
menunjukkan rasa takutnya terhadap Islam sebagai partai politik. Tapi di suatu
pihak, Jepang menyadari potensi umat Islam dalam menunjang tujuan perang.
Sekalipun Jepang tidak menyetujui dan tidak menyukai berhubungan dengan
pemimpin parpol Islam, namun Jepang memerlukan para ulama untuk membentuk wadah
organisasi baru untuk membina ulama dan umat Islam.
Untuk
tujuan di atas dibentuklah Kantor Urusan Agama (KUA) dengan ketuanya kolonel
Horie yang telah dipersiapkan konsepnya sebelum Jepang mendarat di Indonesia.
Karena begiitu Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 maret 1942, pada akhir
maret 1942 pembentukan KUA tersebut telah siap. Selain itu dibentuk pula Tiga A
(Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia). Dengan adanya Tiga A ini,
berdasarkan konsep Shimizui, dibentuklah Persiapan Persatuan Umat Islam (PPUI).
Pada tanggal 4 September 1942 melalui Tiga A diadakan musyawarah pertama di
Hotel des Indes. Hasil dari musyawarah ini, umat Islam menghidupkan kembali
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang berdiri tahun 1938 dan memilih W.
Wondoamiseno sebagai ketua. Sekalipun Jepang sangat memerlukan bantuan umat
Islam tetapi timbul rasa takut terhadap persatuan dan kebangkitan umat Islam.
Mayor Jendral Okazaki lebih menekankan perhatian pemerintahannya kepada ulama
daripada MIAI. Dengan cara ini diharapkan dapat mematikan MIAI yang
berkedudukan di Jakarta. Usaha di atas ini jelas gagal. Betapa mungkin KUA
dapat diperalat untuk menghancurkan MIAI. Orang Jepang harus menyadari bahwa
Islam bukanlah hanya sekadar agama, tetapi merupakan keseluruhan way of life
yang telah menyebar ke segenap lapisan masyarakat. Umat Islam Indonesia telah
lama berjuang menentang imperialisme Barat. Hal ini sesuai dengan dasar mengapa
umat Islam dapat bekerja sama dengan Jepang. Untuk memelihara kerja sama ini
hendaknya kita saling menghormati agama kita masing-masing. Perbedaan agama
tidaklah menjadi penghalang perbedaan tersebut. Sebenarnya Jepang sendiri
adalah imperialis. Tetapi bagi umat Islam saat itu tidak ada pilihan lain
kecuali menampakkan sikap yang demikian itu. Sebaliknya Jepang juga tidak
ubahnya dengan Belanda berusaha untuk menghancurkan Islam. Tetapi kondisi
peperangan yang menuntut bantuan stabilitas dalam negeri, memaksa Jepang untuk
mendekati umat Islam. Harry J. Benda menyatakan melalui propaganda Jawa Baru,
umat Islam membangkitkan Pan-Islamisme. Mengawasi Pesantren Tentara Jepang
banyak mewarisi hasil karya belanda, kebijaksanaan politik Islamnya Belanda,
dicoba direvisi sedikit. Perang dunia II menuntut Jepang untuk menggerakkan
massa Islam berpihak kepadanya. Untuk itu diletakkanlah Nippon's Islamic Grass
Roots Policy (kebijaksanaan politik Jepang terhadap kalangan rakyat jelata
Islam). Sasarannya adalah pesantren, desa, dan ulama, dan menjadikan ulama
menjadi pemimpin sipil terdepan yang berpartisipasi menciptakan ketentraman dan
kewaspadaan. Penguasa kepada ulama berarti bahwa Jepang menguasai desa dan
pesantren.
Untuk
melaksanakan policy di atas, Jepang menggunakan media pendidikan sebagai alat
propagandanya. Para ulama perlu ditingkatkan partisipasinya dengan diadakan
semacam kursus kilat, tujuannya untuk meningkatkan kesadaran ulama terhadap
situasi dunia dan semangat ulama supaya dapat sepenuhnya membantu Jepang.
Inilah sebagai pelaksanaan Islamic Gross-roots policy-nya jepang. Di satu pihak
Jepang menolak mentah-mentah eksistensi parpol Islam, tetapi di lain pihak
Jepang lebih menyukai mempolitikkan ulama. Dengan cara ini Jepang berharap
dapat menyalurkan potensi laten pesantren kepada kepentingan perangnya. Pembela
Tanah Air (PETA) PETA dibentuk pada tanggal 10 September 1943 oleh Gatot
Mangkupraja kawan Bung Karno. "Tetapi harus diingat bahwa Jepang
bagaimanapun juga adalah imperialis". Dasar inilah yang membuat
pembentukan PETA lebih bersifat politik daripada ketentaraan. Pembentukan PETA
bukan hanya karena permohonan Gatot Mangkupraja, ataupun usulan milisi dari R.
Sutarjo, karena Jepang sendiri telah memiliki konsep tentang pembentukan
tentara pribumi.
Untuk
merealisasikan tentara pribumi ini diserahkan pada Beppen (Seksi khusus, dinas
intelijen). Segera Beppan membentuk Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps
latihan perwira pasukan sukarela pembela tanah air Jawa) di Bogor. Disinilah
ulama dilatih sebagai calon daidanco (komandan batalion). Untuk mendapatkan
dukungan lebih banyak dari umat Islam, maka dikatakan bahwa tugas peta sebagai
tugas suci. Daidanki (Bendera peta) dengan lambang bulan bintang ini dijelaskan
oleh Kan Po sebagai lambang yang dihormati oleh rakyat di Jawa.
Tujuan
penguasa militer Jepang sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, tetapi
hanya menginginkan kerja sama lebih mudah dengan umat Islam Indonesia.adapun
usaha Jepang bertujuan :
a. Menanamkan semangat
Nippon
b. Menumbuhkan loyalitas
ulama terhadap Jepang
c. Meyakinkan kebencian
ulama terhadap sekutu
d. Perang asia Timur Raya
adalah perang suci
e. Menambahkan keyakinan
bahwa Jepang dan Indonesia adalah satu nenek moyang dan satu ras.
Tujuan
di atas menumbuhkan sikap takut Jepang akan timbulnya kesatuan umat Islam. Peta
selain diharapkan bantuannya, juga disiapkan untuk memecah belah struktur
organisasinya. Namun ulama masih sanggup memanfaatkan Peta untuk membangkitkan
semangat keprajuritan. Usaha ulama inilah yang menjadikan peta sebagai wadah
pembibitan pemimpin TNI nanti di kemudian hari. Bait A-Mal dan Jawa Hokokai
MIAI dalam memanfaatkan perubahan selama penduduk Jepang, digunakan pula untuk
menghimpun dana. Dari dana ini diharapkan dapat membiayai pembinaan umat. Untuk
itu MIAI diluar KUA mengadakan gerakan pengumpulan zakat Bait Al-Mal (BAM).
Usaha ini terlihat nyata di Bandung yang dipelopori oleh bupati Wiranta Kusuma
dan meluas di seluruh Jawa terbentuk 35 cabang (BAM).
Tampaknya
Jepang tidak sejalan dengan tindakan MIAI membentuk BAM tanpa Backing dari KUA.
Untuk mengimbangi atau mematikan BAM, Jepang melancarkan kegiatan Jawa Hokokai
(kebangkitan rakyat), dan Tonari Gumi (rukun tetangga) usaha ini benar-benar
berhasil tertunjang oleh kondisi peperangan sehingga BAM tidak bisa melanjutkan
usahanya. Masyumi
Pengaruh MIAI cukup membahayakan. MIAI masih sanggup menunjukkan kemampuannya
menggerakkan massanya, berbeda dengan partai sekuler lainnya yang sudah tidak
mampu menampakkan potensi massanya lagi. Oleh karenanya Jepang mencoba
menghilangkan pengaruh MIAI dengan membentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia,
sekaligus dengan pembentukan organisasi baru ini bertujuan untuk menurunkan
pimpinan MIAI dengan mengangkat Hasyim Asyari sebagai ketua Masyumi. Jepang
mengharapkan timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam. Tetapi kenyataannya
perkembangan Masyumi sangat cepat kontras sekali dengan Putera dan Hokokai.
Sejak awal Jepang telah mencoba untuk menetralisir Masyumi dari kegiatan
politik. Karena itu pimpinan Masyumi disumpah untuk membebaskan dirinya dari
kegiatan politik apapun. Dengan demikian Masyumi dapat menjadi wadah yang
menjauhkan umat Islam dari politik. Usaha ini juga mempunyai latar belakang
lain, yaitu agar Jepang mudah mematahkan basis suplai pesantren. Pemberontakan
Santri Peta Selain menghadapi sekutu, Jepang juga mempersiapkan diri agar dapat
mematahkan potensi Islam di Jawa Barat, yang ternyata berakar di desa-desa.
Melalui Romusha (prajurit kerja) dan menyerahkan padi, Jepang memperkirakan
akan dapat melumpuhkan potensi umat Islam. Ternyata tindakan Jepang dijawab
oleh umat Islam dengan adanya pemberontakan santri di Singaparna yang dipimpin
oleh Kiai Zainal Musthafa (NU), yang bercita-citakan menegakkan kebahagiaan
rakyat di dalam negara Islam yang bebas dari kekuasaan asing. Pemberontakan ini
secara fisik berhasil dipadamkan, tetapi tiga bulan kemudian pecah lagi
pemberontakan santri yang lebih meluas yang meliputi kecamatan Lohbener dan
kecamatan Simpang. Tentara dan polisi Jepang membasmi pemberontakan tersebut.
Pemimpin-pemimpin berhasil di tembak mati. Cita-cita pemberontakan tersebut
menginginkan tegaknya kebahagiaan dan negara Islam. Jepang pun segera
memberikan janji kemerdekaan yang sejalan dengan cita-cita tersebut. Perdana
Menteri dalam sidang Teikoku Gikai ke-85 di Tokyo tanggal 7 september 1944
mengumumkan janji kemerdekaan. Berita ini disampaikan secara resmi kepada
rakyat Indonesia dengan menyebutkan gambaran pembentukan "negara Indonesia
yang berdasarkan Islam". Kaum politis Islam setelah pemberontakan terjadi,
mereka sibuk dengan menyambut perkenan kemerdekaan. Tetapi Jepang lupa mengulur
waktu pelaksanaan janji. Bagi yang menantikan sekalipun baru satu tahun,
dirasakan terlalu lama. Apalagi dilakukan tindakan pemerasan yang dilakukan
diluar peri kemanusiaan.
Tepat
satu tahun setelah pembentukan santri sukamah, di Blitar timbul pemberontakan
Peta yang dipimpin oleh Supriyadi (14 februari 1945). Adapun motivasi yang
mendorong pemberontakan tersebut yaitu: 1. Tidak tahan melihat penderitaan
rakyat, 2. Tidak tahan melihat kesombongan dan kesewenangan Jepang, 3. Janji
kemerdekaan itu omong kosong.
Sebenarnya
baik pemberontakan santri dan Peta dilancarkan pada saat Jepang sedang
menghadapi kehancuran. Bila hal tersebut telah diketahui oleh rakyat banyak,
kemudian didukung oleh politis termasuk bung Karno dan bung Hatta, riwayat
Jepang tamat lebih awal dari penyerahan di Amerika.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Islam pada masa
penjajahan Portugis menghadapi banyak sekali tantangan. Sikap Portugis yang
sangat tidak menyukai Islam terbukti dengan berbagai usahanya dalam mengganggu
aktifitas dakwah terutama dalam lewat perdagangan. Dengan semangat juang
pemimpin atau raja-raja Islam dalam menghadapi ancaman Portugis itu, maka
sebagian besar rintangan bisa dihalau. Namun sayangnya Islam dalam lingkungan
Demak sempat mengalami gangguan internal sehingga memperlemah kekuatannya.
Walau demikian perkembangan Islam tidak berhenti. Seperti halnya Islam di
Maluku yang berhasil bertahan menancapkan perjuangan dakwahnya di tengah-tengah
kristenisasi pada masa penjajahan Portugis.
2. Pada masa penjajahan
Belanda terjadi pemberontakan pejuang-pejuang Islam yang berkobar untuk membela
tanah air. Untuk menghadapi umat Islam, Belanda menggunakan cara depolitisasi,
yaitu menjadikan para ulama tuna politik. Selain itu, banyak taktik Belanda
yang lainnya seperti adu domba antara Islam-Priyayi, tanam paksa dan lain-lain.
Namun tentu saja umat Islam tidak selamanya berdiam diri dalam urusan politik,
sehingga mulailah bermunculan organisasi-organisasi bernuansa Islam di sekitar
awal abad ke dua puluh. Inilah permulaan kembalinya Islam di kancah politik
secara nasional.
3. Perkembangan Islam pada
masa Jepang ini sangat berarti, karena kebijaksanaan yang diberlakukan bangsa
Jepang sedikit berbeda dengan Belanda, walau intinya tetap sama yaitu dalam
mengeruk kekayaan Indonesia alias imperialisme. Dengan demikian Islam dapat
lebih berperan dalam kehidupan kenegaraan walaupun tak sedikit pula tekanan
dari pihak Jepang. Perkembangan Islam ini dapat dilihat dari keterlibatan umat
Islam di dalam organisasi politik dan militer baik bentukan anak negeri maupun
bentukan Jepang.
DAFTAR ISI
http://putriisnainisebelasipadua.blogspot.com/2013/09/corak-dan-perkembangan-islam-di.html
Ira, dkk. 1997. Sejarah Sosial Umat Islam. Semarang: PT
Rajawali Pers Persada
Mansur Suryanegara, Ahmad. 1995. Menemukan Sejarah:
Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Waridah Q., Siti, dkk. 2001. Sejarah Nasional dan Umum
untuk SMU Kelas I. Jakarta: Bumi Aksara
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Zuhri, Saifuddin. 1979. Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Al Ma’arif
Hasjmy,
A., Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, cet.1, Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1990.
Murodi, Sejarah
Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1994.