-->
thumbnail

MEMAHAMI KEBANGKITAN GERAKAN ISLAM KAMPUS

Posted by Yushan on Tuesday, April 12, 2016

Geliat kehidupan kampus ditandai dengan menguatnya kembali gerakan mahasiswa yang berhaluan Islam. Fenomena ini dapat dibaca jelas dengan tampilnya generasi baru Islam, paling tidak yang terefleksikan dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan kelompok-kelompok dakwah kampus (halaqah) yang banyak mengambil peran dalam berbagai momentum dan dinamika kampus.
Berbeda dari tampilan beberapa organisasi kemahasiswaan Islam lain yang sudah ada sebelumnya, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), maupun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), kehadiran KAMMI seakan-akan mewakili sebuah spirit "Islam baru" yang mencerminkan "totalitas" dan "kesungguhan", baik dalam tujuan perjuangannya maupun dari segi perilaku politik sosialnya. Pendek kata, KAMMI terlihat betul-betul ingin merefleksikan sebuah potret generasi muda Islam yang ideal, sebagai generasi yang sholeh, menjunjung tinggi moralitas Islam dalam berbagai aspek kehidupan (kaffah).
Lazimnya, mereka tumbuh dan berkembang pesat di berbagai kampus yang berlatarbelakang negeri dan umum (bukan di perguruan tinggi berlabelkan agama, seperti IAIN maupun STAIN). Lebih spesifik lagi, biasanya perkembangannya sangat pesat di fakultas-fakultas eksakta, bidang keilmuan pasti, seperti MIPA, kimia, fisika, matematika dan lain sebagainya. Meski di fakultas-fakultas sosial juga ada, tetapi persentasenya jauh lebih kecil dibanding perkembangannya di fakultas eksakta.
Meski organisasi ini masih terhitung belia, tepatnya berusia 10 tahun, tetapi daya resonansi dan popularitasnya cukup mengagumkan. Bahkan, belakangan, karena kuatnya ruh Islam yang dipegangnya, organisasi baru ini mampu menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi kalangan mahasiswa di kampus-kampus besar.

Efek Modernisasi
Harus diakui, arus modernisasi yang berjalan kuat dan pesat, membuat dinamika kemahasiswaan berjalan sangat dinamis dengan tingkat kebebasan berpikir yang sangat tinggi. Melalui disiplin keilmuan yang diterimanya serta jaringan pergaulan dan informasi yang mampu diaksesnya, menjadikan mahasiswa hidup dalam dunia kebebasan yang sangat lebar. Modernisasi telah benar-benar menggeser dan meruntuhkan segala pranata yang sudah mapan, termasuk pranata moral keagamaan dan sosial.
Seorang ilmuan muslim Mesir kenamaan Hassan Hanafi, mensinyalir bahwa modernisasi mampu menyuguhkan sejuta opsi dalam satu hal kecil yang sangat terbatas sekalipun. Di sana tersedia sejumlah standar dan ukuran-ukuran. Siapa pun bebas menggunakan ukuran dan standar tersebut, bahkan juga berganti-ganti dari satu standar ke standar yang lain. Kebebasan menggunakan standar inilah yang kemudian meruntuhkan segala bangunan pranata sosial-keagamaan yang sudah mapan.
Lihatlah bagaimana generasi muda kampus melakukan seks bebas, obat-obatan terlarang, dan larut dalam tuntutan-tuntutan gaya hidup modern lainnya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berlatarbelakang masyarakat desa dengan kultur yang sangat bertolak belakang. Alfin Tofler menyebut gejala ini dengan cultural shock, sebuah keterkejutan budaya yang tanpa disadari menyeretnya ke dalam arus kebudayaan baru yang tidak dikenal sebelumnya.
Modernisasi memang benar-benar menjadi satu persoalan tersendiri dalam kultur masyarakat praindustri, seperti Indonesia. Di dalamnya terjadi aneka kontradiksi yang berjalan dalam satu irama perubahan pada dimensi kultural dan kesadaran manusia. Dalam jeratan kultur seperti inilah, lanjut Hassan Hanafi, setiap orang berkecenderungan kembali kepada nilai-nilai primordialnya atau membangun mekanisme defensif dengan mengusung sebuah nilai-nilai fundamental yang sangat asasi. Biasanya, alternatif pengimbang terhadap modernisasi dipilihlah nilai-nilai keagamaan.
Tesis yang diajukan oleh Hanafi adalah semakin deras arus modernisasi mengguncang sendi-sendi kultural sebuah masyarakat, maka kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai primordialnya juga semakin kuat. Ini yang ditemukan Hanafi tentang perkembangan fundamentalisme kristen di zaman pencerahan Eropa, atau munculnya gerakan Islam puritan di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk berkembangnya gerakan Islam radikal di Pakistan, Mesir dan Turki, khususnya di zaman Kemal Attaturk.
Tampaknya, sinyalemen Hanafi tidak terlalu berlebihan untuk digunakan dalam meneropong fenomena perkembangan menguatnya gerakan Islam di berbagai kampus umum di Indonesia. Setidaknya, ada dua indikasi yang menguatkannya.
Pertama, gerakan Islam kampus ini berkembang di kota-kota besar dengan tingkat modernisasi yang cukup tinggi. Sebaliknya, di kota-kota yang derajat modernisasinya sangat kecil, kehadiran mereka sulit untuk diterima. Artinya, fenomena itu menjadi kekhasan masyarakat perkotaan.
Kedua, sebagai bentuk kecenderungannya yang sangat kuat terhadap ornamen-ornamen keagamaan (Islam), nuansa puritanismenya ditonjolkan jauh lebih kental sehingga kontras dengan khazanah-khazanah lokal. Ini menjadi ciri yang paling tampak dari gerakan-gerakan Islam puritan. Biasanya mereka kesulitan membangun titik konvergensi antara tuntutan formalisme keagamaan dengan realitas aktual kebudayaan lokal yang sedang berkembang.
Mengapa modernisme, pada dimensinya yang lain, mendorong orang untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental atau primordialismenya? Seorang ilmuan Donald Smith menengarai ada tiga sebab.
Pertama, modernisme dapat menyebabkan pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur eklesiastikal. Modernisme dapat menyebabkan ruang sosial pecah, tanpa terhubung antara satu dengan yang lain. Misalnya politik terpisah dari agama, ekonomi dijauhkan dari prinsip-prinsip keadilan dan lain sebagainya.
Kedua, ekspansi politik merambah ke dalam semua segmen sosial dalam menjalankan semua fungsinya, sehingga agama kehilangan peran sosialnya.
Ketiga, terjadi transvaluasi kultur politik yang lebih mengutamakan pentingnya nilai-nilai yang rasional, pragmatis, profan dan non-transendental. Ketiga hal ini, lanjut Smith terjadi secara universal di semua lapisan masyarakat modern.

Agenda yang Belum Tuntas
Begitu kuatnya pengaruh modernisme yang mampu meruntuhkan segala bangunan sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, maka dalam dunia Islam timbul polemik yang cukup serius, apakah modernisme sesuai dengan agama atau malah bertolak belakang.
Kelompok yang memahaminya bertolak belakang dari doktrin agama mengambil sikap resistensi dan konfrontasi, sehingga disebut sebagai kelompok fundamentalis. Ini muncul di beberapa negara seperti Iran, Sudan dan lain-lain. Mereka membangun sebuah antitesa dengan menampilkan Islam sebagai kekuatan tandingan. Di sini kesadaran keagamaan tidak semata-mata dipahami sebagai cara dan pola hidup, tetapi juga dipahami alternatif sistem yang harus diperlawankan dengan sistem mana pun juga.
Sementara kelompok yang menyetujui modernitas mengambil sikap afirmatif-kompromistik dan menganggapnya sebagai bagian dari dimensi doktrinal keagamaan. Sederhananya, menurut kelompok ini, bukankah agama sendiri menganjurkan kemajuan.

Bagaimana sebetulnya pengaruh modernitas terhadap bangunan keagamaan?
Seorang cendekiawan muslim Indonesia Prof Dr Nurcholish Madjid mengatakan bahwa esensi modernisasi sebenarnya adalah rasionalisasi. Sebuah upaya penempatan formula-formula teologis kedalam bingkai ilmiah-teoritis. Dengan demikian, dalam konteks keagamaan, modernisme diperlawankan dengan dogmatisme. Karena dogmatisme sudah pasti irrasional. Itulah sebabnya, mengapa sang cendekiawan selalu mengkampanyekan keharusan modernisasi terhadap bangunan keagamaan sejak tahun 70-an.
Tetapi rasionalisasi terhadap segala bangunan keagamaan, terutama pada anasir teo-ritualistiknya, mengakibatkan hilangnya dimensi spiritualitas agama yang menyebabkan perilaku dan praktik keagamaan itu sendiri menjadi kering dan gersang.

oleh Aminullah Yunus
Ketua Umum Badko HMI Jateng-DIY
8:04:00 PM
thumbnail

GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI GERAKAN PEMBERDAYAAN DAN IDENTITAS

Posted by Yushan on

Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.

Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya. 

Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa. 

Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri Presiden Soeharto. 

Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada kehidupan gerakan mahasiswa. 

Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas". 

Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.

Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa --- jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan efektif. 

Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling)..

Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa penggulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.

© Copyright 1999 Masyarakat Transparansi Indonesia
The Indonesian Society for Transparency
http://www.transparansi.or.id
E-mail: mti@centrin.net.id
Jl. Ciasem I No. 1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12180
Telp: (62-21) 724-8848, 724-8849 Fax: (62-21) 724-8849 [MTI] [Jurnal Transparansi Edisi 20/Mei 2000] [Jurnal Transparansi Online]
1:15:00 AM
thumbnail

HERDER, MAHASISWA DAN TENTARA

Posted by Yushan on Monday, April 11, 2016

Thomas G. Masaryk (1850-1937) seorang pembebas di negara Cekoslovakia pernah mengatakan, "Diktator selalu kelihatan baik hingga menit-menit terakhir kekuasaannya!" Tapi seorang dikatator yang baik, belum tentu mempunyai pengikut yang baik juga. Sebab kediktatoran adalah wujud dari nafsu rendah manusia untuk mempertahankan kekuasaan atas manusia lainnya justru dengan menggunakan manusia lainnya. Kediktatoran tidak akan muncul ketika tak seorang manusiapun mau diperbudak oleh manusia lainnya.

Kediktatoran tidak akan muncul ketika tak seorang manusiapun mau diperbudak oleh manusia lainnya. Kedikatatoran bisa muncul dimana saja dan kapan saja. Seorang dosen akan berubah menjadi diktator ketika menggunakan kekuasannya untuk menekan anak didiknya guna tujuan-tujuan pribadi. Begitupun seorang pejabat pemerintah yang diberi kepercayaan oleh rakyat akan muncul sebagai seorang diktator ketika memaksakan suatu kehendak atau kebijaksanaan yang sama sekali merugikan rakyat. Kediktatoran adalah kekuasaan minoritas atas mayoritas. 

Dibalik itu semua, seorang diktator adalah manusia yang paling pengecut di dunia. Untuk itu ia merasa perlu melengkapi diri dengan segala jenis pengamanan. Rumahnya dijaga oleh herder-herder besar yang hanya tunduk kepada tuannya. Herder-herder ini akan menyalak pada siapa saja yang bukan tuannya. Herder-herder ini bermata tajam, bertelinga nyaring, dan berhidung peka untuk mengantisipasi semua bahaya yang mengancam tuannya. Namun ketika sepotong daging diberikan kepadanya, herder ini akan diam dan menikmatinya.
***
Dalam negara moderen, kediktatoran muncul samar-samar. Teknologi, ilmu pengetahuan, dan medium informasi digunakan untuk mewujudkan dan sekaligur memberikan bungkus yang seindah-indahnya agar kediktatoran diterima dan dikagumi masyarakat, terutama oleh masyarakat awam yang kurang kritis dan kurang jeli. Sebaliknya di negara primitif dan terkebelakang, kediktatoran nyaris muncul terlanjang, irrasional, ditakuti rakyat awam, tetapi kelihatan lucu dan menjadi bahan tertawaan kalangan intelektual. Kedikatatoran yang muncul telanjang ini bisa berupa penggunaan tentara, arogansi kekuasaan, pamer kekayaan, pemakaian doktrin-doktrin kepatuhan, aksi propaganda dan sloganisme, dan penggunaan fasilitas negara bagi sekelompok orang tertentu Kediktatoran diatas tidak menunjukkan sikap rasionalnya. Penghormatan dan penguasaan manusia lain sebagaimana yang mereka inginkan justru tidak menimbulkan simpati dan empati, tetapi malah sikapantipati dan caci-maki, sekalipun sikap ini banyak muncul melalui bisik-bisik di warung-warung, tulisan grafiti di beton-beton kota, puisi-puisi perlawanan, dn kalang-kadang nyelonong ke alat-alat komunikasi lainnya, dari yang paling primitif sampai moderen.  Nantinya tumpukan bangkai-bangkai huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat itu akan membentuk danau dan kanal. Suatu saat, tumpukan itu akan meluap dan akan menyapu bersih sebersih-bersihnya segala sesuatu yang menghalanginya, termasuk kediktatoran. Itulah yang disebut sebagai people power. People power sedang mengintip kesempatan. People power itu lahir dari dendam-dendam sejarah dan ketakutan yang dipendam lama, berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun.
***
Sejarah telah berbicara kepada kita bahwa betapapun kuatnya sebuah kediktatoran, maka waktu akan menggerogotinya pelan-pelan. Tak seorang diktatorpun bertahan lama dan abadi. Hitler, Mussolini, Stalin, sampai Marcos, semuanya ditelan ambisinya sendiri dan meninggalkan nama yang cacat sepanjang sejarah.  Begitupun negara, tak satupun yang bisa menghegomoni dunia dibawah kekuasaannya. Romawi, Yunani, Persia, Sriwijaya, Majapahit, dan bahkan kekuasaan Eropa Barat yang mempunyai teknologi dan ilmu pengetahuan pun pada akhirnya bertekuk lutut dikalahkan dan dimakan waktu. Sovyet pun tinggal nama. Yang tinggal dari negara-negara itu hanyalah mitos-mitos dan kepingan-kepingan sejarah yang kadangkala dimanfaatkan manusia sekarang untuk mengambil keuntungan bagi kekuasaannya.

Institusi-institusi formal seperti dinas rahasia, militer dan penunjang kekuasaan negara lainnya punakan menemukan kebangkrutan. Sejarahnyapun akan dihilangkan dari muka bumi. Sejarah tentara akan dihilangkan karena dianggap memberikan cacat lahir dan batin bagi manusia yang mencintai keluhuran. Pengagung-agungan sejarah tentara hanya diperlukan ketika tentara berkuasa, baik sebagai herder, atau sebagai diktator. Tetapi setelah manusia muncul sebagai mahkluk yang beridentitas, berpribadi, bermoral dan mempunyai tingkat intelegensia yang tinggi, maka orang-orang akan menghapuskan jabatan tentara dalam silsilah keluarganya. Mempunyai tentara akan dianggap sebagai perilaku paling primitif dalam sebuah negara berdaulat dan dalam sebuah peradaban. Tentara hanya menghabiskan devisa, memupuk kebencian, dan membunuh hati nurani, terutama hati nurani tentara itu sendiri ketika mereka dengan wajah dingin harus menghabisi nyawa manusia lainnya yang tak berdosa hanya atas nama "perintah atasan!"
***
Dan sejarah juga sudah menunjukkan, terutama di Indonesia, bahwa dalam setiap perubahan mahasiswa selalu memberikan kontribusinya, besar atau kecil, sebagai pion atau aktor. Mahasiswa yang terbunuh dalam Peristiwa Tiananmen adalah korban kediktatoran pemerintah China. Begitu juga mahasiswa-mahasdiswa yang bergerak di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah, sekalipun akhirnya mereka dikalahkan tau mengalah demi kepentingan yang lebih besar. 

Tengok dan bacalah Revolusi Perancis 1789 yang digerakkan kaum borjuasi, kalangan muda dan diilhami oleh pikiran-pikiran Voltaire, serta digerakkan oleh mahasiswa-mahasiswa kritis dan radikal seperti Roberpierre dan Danton.  Tengok juga roboh dan tumbangnya rezim kolonialis Jepang dan Belanda di Indonesia yang banyak ditunjang oleh peranan mahasiswa dan pemuda Indonesia, baik sebagai aktivis politik maupun sebagai tentara pelajar dan mahasiswa. Lihat juga pemberontakan daerah, perebutan Irian Barat, dan proses integrasi Timor-Timur yang digunakan sebagai pasukan khusus yang banyak ditugaskan untuk rehabilitasi pasca pendudukan. Masa-masa itu menunjukkan hubungan mesra, bahkan teramat intim, antara mahasiswa dan tentara. Tentara yang hanya mempunyai pasukan tempur dibantu oleh mahasiswa yang mempunyai pemikiran dan mampu memahami aspek-aspek sosio-kultural masyarakat yang kurang dipahami tentara. Hubungan mesra itu makin dikokohkan dan dimitoskan dengan peristiwa '66 yang heroik itu, ketika mahasiswa bekerjasama dengan tentara menumpas PKI dan antek-anteknya. 

Namun apa hendak dikata, dalam tahun-tahun berikutnya ketika kekuasaan sudah mantap dalam genggaman tentara, pelan-pelan mereka menafikan keberadaan generasi mahasiswa berikutnya, dan malah menindasnya. Dengan menguasai institusi politik, tentara mampu membuat sekolah-sekolah dan pusat-pusat ilmu pengetahuan untuk mempelajari apa-apa yang dulu mereka dapatkan dari mahasiswa dan kalangan intelektual lainnya. Dan ketika tentara mampu berpkir dan berteori, maka mahasiswa langsung masuk dalam deretan kaum kriminal yang harus ditumpas habis ketika sedang menuntur sesuatu, apalagi ketika mahasiswa menggugat kekuasaan. Aksi mahasiswa 1974 dan 1978 dikalahkan dalam sekali sapu. Pimpinan mahasiswa dibenamkan dalam dinginnya dinding-dinding penjara.

Dan sekarang, apabila kita mau bergerak, kita terlebih dahulu harus mempelajari dulu ilmu tentara, atau melakukan kolaborasi dengan kaum intelektual bebas yang masih mempunyai idealisme dan moral. Sekalipun negeri ini sudah tidak aman lagi bagi jenis intelektual semacam itu, dengan adanya berbagai usaha untuk menjatuhkan mereka, sama seperti yang dilakukan terhadap mahasiswa. Dan negeri ini, pada akhirnya mungkin akan menjadi milik tentara, milik herder, milik diktator. Maukah kita???????
Alumni Sejarah UI, Pengamat Politik

Oleh Indra J. Piliang
11:57:00 PM
thumbnail

Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek

Posted by Yushan on Sunday, April 10, 2016

Pengantar :
Pada tahun 1968, seorang Marxist dari Belgia, Ernest  Mandel berbicara  di  depan 33 perguruan tinggi di Amerika  Serikat  dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari Montreal ke Vancouver. Lebih  dari 600 orang memadati Education Auditorium di  New  York University  pada tanggal  21  September  1968  untuk  menghadiri "Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner". Presenta¬si  Mandel di tempat itu dipandang sebagai kejadian yang  sangat menonjol oleh majelis dan salah satu saat penting  dari  seluruh perjalanannya.  Pidato  dan beberapa kutipan dari  diskusi  yang mengikutinya menjadi dua bagian pertama dari pamflet ini.
Pidato  Mandel  adalah polemik yang  sangat  hebat  terhadap kecenderungan "aktivisme" dan "spontanisme", yang belakangan  ini muncul  di  kalangan  kaum radikal di dunia  Barat.  Ia kemudian berbicara  mengenai konsepsi Marxis tentang integrasi yang  tidak terpisahkan  antara teori dan praktek.  Selama  diskusi,  Mandel menjawab sejumlah pertanyaan yang kontroversial di kalangan kaum radikal  dengan  argumen  panjang lebar.  Beberapa  di antaranya berbicara tentang azas sosial ekonomi dari Uni Sovyet,  "Revolusi Kebudayaan"  di  Cina, perlunya dibentuk sebuah  partai Leninis, dorongan moral lawan dorongan material, dan banyak hal lainnya.
Bagian  ketiga  pamflet  ini adalah  pidato  yang  diberikan Mandel  pada  Seminar  Ilmu dan Kesejahteraan yang diadakan  di Universitas Leiden, Negeri Belanda pada tahun 1970, ketika sedang dilakukan perayaan 70 tahun universitas tersebut. Mandel  berpen¬dapat bahwa kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang ekspansi universitas  yang cepat  dan  menghasilkan "proletarianisasi"  tenaga  intelektual, yang  tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan tidak  berhu¬bungan dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia.
Makin  terasingnya  tenaga  kerja  intelektual  ini  sedikit banyak  menggerakkan perlawanan mahasiswa yang, walaupun  tidak menduduki posisi sebagai pelopor kelas buruh, dapat menjadi  picu peledak  di dalam masyarakat luas. Menurutnya mahasiswa  memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik  yang  radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas penduduk.  Mahasiswa harus berjuang di dalam universitas  dan  di balik  itu  untuk masyarakat yang  menempatkan pendidikan untuk rakyat di depan penumpukan barang.  

Gerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek
Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah  tokoh mahasiswa  lainnya di Eropa, telah menjadikan  konsep  menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang revolusioner  tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan  yang sewenang-wenang.  Persatuan teori dan praktek ini dapat  dibilang pelajaran  yang paling berharga dari rekaman sejarah yang  diukir oleh  revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika  dan bagian dunia lainnya
Tradisi  historis yang mengandung gagasan ini  dimulai  dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha  yang sadar  untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi  sebuah keadaan  di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi  pasar yang  buta  dan mulai menggurat nasib dengan  tangannya  sendiri. Aksi  pembebasan  yang sadar ini tidak  dapat dijalankan  secara efektif,  dan  tentunya tidak dapat berhasil,  jika  orang  belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengen¬al  kekuatan  sosial yang harus dihadapinya, dan  kondisi  sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.
Sama  seperti persatuan antara teori dan  praktek  merupakan penuntun  yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat  ini, begitu  pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi,  revolusi yang sadar,  hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas  masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerak¬kan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan  kata lain,  jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan  evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi.  Ini  adalah konsepsi utama yang diberikan  Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.
Kita  akan coba melihat bahwa kedua konsep  itu,  menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan mahasis¬wa  di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali  dalam  aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri. Gerakan  mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana  dan  di Amerika  Serikat pun tidak berbedasebagai perlawanan  terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di  dunia  Barat tempat kita hidup,  walaupun keadaannya  sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan  lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan  di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial. Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika  Serikat termasuk di dalam perkecualian itu;  para  buruh imigran  yang  dibayar  rendah di Eropa Barat  juga termasuk  di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat,  maha¬siswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima  gaji  atau upah yang mendapat bayaran  lumayan.  Ketika memasuki  universitas mereka secara umum  tidak  disiapkan  oleh hidup  yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan  lengkap  tentang  alasan-alasan  perlunya  perlawanan sosial.  Mereka  baru akan memahaminya ketika  berada  di dalam kerangka  universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian  atau  golongan kecil  elemen-elemen  yang  memiliki pengetahuan  politik yang memadai, tapi kepada  massa  mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi,  yang membimbing mereka pada jalan perlawanan
Singkatnya,  ini  sudah mencakup  organisasi,  struktur  dan kurikulum  universitas  yang amat tidak memadai dan  serangkaian fakta  material, sosial dan politik yang dialami  dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh keban¬yakan  mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik  borjuis yang berusaha memahami perlawanan  mahasiswa, harus  memasukkan  sejumlah pernyataan di dalam  analisis mereka terhadap  lingkungan mahasiswa, yang telah lama  mereka  enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.
Beberapa  hari  yang lalu, ketika berada di  Toronto,  salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya,  alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat material.  Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan  karena mereka  diperlakukan  buruh seperti buruh abad XIX.  Tapi  karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak  berhak berpartisipasi  dalam  menentukan kurikulum, tidak  berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan  mereka sendiri  selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas."Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang  non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar  borjuis ini  sebagian  telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa.  Struktur universitas borjuis hanyalah  cerminan  dari struktur  hirarki  yang umum dalam masyarakat  borjuis;  keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadar¬an sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berle¬bihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti  yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman  langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.
Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempe¬lajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu  bahwa  sampai Perang Dunia II,  wewenang  paternal  paling sedikit  dipertanyakan  di negara itu.  Kepatuhan  anak  terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyara¬kat (fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan  adanya  generasi orang  tua  di Jerman yang menerima Nazisme,  mendukung  Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa "kapitalisme rakyat" (disebut  juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan  menghadapi resesi,  krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun  dari dua  atau tiga generasi orang tua seperti itu  kini menghasilkan rasa  jijik  di kalangan anak muda terhadap  wewenang orang  tua mereka.  Perasaan ini membuat anak-anak tersebut,  saat  memasuki universitas,  tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu  saja, tanpa perlawanan.
Mereka  pertama-tama berhadapan dengan wewenang  para  dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam  bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang  obyek¬tif  tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari  lembaga inilah  yang kemudian cepat bergeser menjadi  tantangan terhadap isi pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk  universi¬tas  masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa  harus mendengar  dosen-dosen berbicara melalui  sound  system. Mereka tidak  dapat  berbicara dengan dosen-dosen  itu  atau  sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog.  Perumahan dan  makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya  makin menajamkan  kekuatan  pemberontakan mahasiswa.  Tapi,  perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan pemberontakan  akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah dibenahi. Struktur  otoriter  dari universitas dan  substansi  yang  sangat lemah  dari  pendidikan, paling tidak dalam bidang  ilmu  sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi material di atas.
Inilah  alasan mengapa usaha-usaha mengadakan  reformasi  di universitas,  yang disorongkan oleh sayap liberal dalam  keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan  mencapai  tujuannya karena  tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan  maha¬siswa.  Mereka  tidak berusaha menekan  sebab-sebab  keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.
Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diaju¬kan  oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam  kenyataan, rancangan  reformasi itu tidak lain untuk  meluruskan  organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi  neo-kapitalis dan  masyarakat  neo-kapitalis. Tuan-tuan itu  mengatakan: tentu sangat disayangkan  adanya proletariat akademis;  sayang  sekali begitu  banyak  orang  yang meninggalkan  universitas  dan tidak berhasil  mendapat  pekerjaan. Ini  akan  menimbulkan  ketegangan sosial dan ledakan sosial.
Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan  membe¬nahinya  dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi  tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi  neo-kapitalis. Di  tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik  jika dikirim 100.000  insinyur daripada 50.000  orang  sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak.  Hal seperti inilah yang akan menghentikan pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan  fungsi  universitas pada  posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari  ekonomi neo-kapitalis  dan masyarakat. Hal ini akan menggerakkan ketera-singan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi  itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universi¬tas  dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan  mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan  disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan  keahlian  dan kebutuhan  mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan,  disi¬plin ilmu dan bidang studi yang berhubungan  dengan kepentingan penguasa  masyarakat  kapitalis,  dan  tidak berhubungan  dengan kebutuhan  mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di  uni¬versitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum Marxis  coba mencari  slogan-slogan  transisional dalam  gerakan  sosial  lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan "student power"  tidak dapat  diangkat di dalam lingkup universitas.  Dalam  masyarakat luas  slogan  ini memang dihindari karena artinya bahwa  sebuah minoritas  kecil menempatkan dirinya sebagai  pemimpin  mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan "student power" ini, atau  slogan lain yang sejurus dengan ide "self-management"  oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.
Tapi  di sinipun aku akan hati-hati karena banyak  persoalan yang  membuat  universitas berbeda dari  pabrik atau  komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan sebagian teore¬tisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanya¬kan  mahasiswa memang  akan menjadi buruh  atau  sudah setengah buruh.  Mereka dapat dibandingkan dengan orang  yang  magang  di pabrik karena kedudukan mereka sama --dari sudut kerja intelektu¬al dengan  orang  magang di pabrik-- dari  sudut  kerja  manual. Mereka  memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang  khas dalam  masyarakat.  Karena itu kita  harus hati-hati  merumuskan slogan tentang transisi ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan  ini sekarang.  Mari  kita terima saja gagasan "student  power"  atau "student  control" sebagai slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan  ini yang  tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak  akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena  mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengu¬bah  sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal  ini universitas  borjuis,  dan berpikir bahwa  masalah  sosial dapat diatasi  di segmen tertentu tanpa mengubah masalah  sosial  dalam masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja yang terasing,  baik  itu kerja manual maupun kerja  intelektual.  Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.
Sekali  lagi, ini bukan observasi teoretis yang  jatuh  dari langit.  Ini  adalah pelajaran dari pengalaman praktek.  Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya, telah  mela¬lui  pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa.  Dalam  garis besar,  gerakan  mahasiswa dimulai dengan  isyu-isyu  kampus  dan dengan  cepat mulai  bergerak  keluar  batas-batas universitas. Gerakan  itu mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan  politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di  dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah  penin¬dasan  komunitas  kulit hitam diangkat  oleh  sejumlah  mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa  Barat,  paling tidak di kalangan elemen  yang  maju,  yang paling  peka terhadap masalah-masalah yang  dihadapi  orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.
Mereka  terlibat  dalam  berbagai  aksi  solidaritas  dengan perjuangan  pembebasan revolusioner di  negara-negara  berkembang seperti  Kuba,  Vietnam dan bagian-bagian  tertindas lainnya   Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar  dalam gerakan  mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan  pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana  diferensiasi politik  yang nyata terjadi di kalangan gerakan  mahasiswa  kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil  tempat  di depan  dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm  melawan perang agresi imperialisme Amerika.Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai  dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu  oleh aksi  solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah negara  Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran  berkun¬jung ke Berlin.
Para  mahasiswa  pelopor tidak  sekadar  mengidentifikasikan diri  mereka  dengan perjuangan di Aljazair, Kuba  dan  Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses  yang sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin  memulai aksi  yang  revolusioner tanpa analisis teori tentang  asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang  mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi  lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang  revolu¬sioner menentang imperialisme.Melalui  analisis  tentang  kolonialisme  dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan  terorgani¬sir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang  masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis  internasional di  mana  kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem  ini,  kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti  kenapa kita harus mengikatkan  diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.Di  Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam  waktu  kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur  universitas  yang otoriter, dan  terus menuju masalah imperialisme  dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri  di mana mahasiswa-mahasiswa  Jerman itu bergerak. Mereka  kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk  memahami  alasan-alasan terdalam dari masalah  sosial  dan perlawanan.

Kesatuan Teori dan Aksi
Dalam proses keseluruhan kesatuan teori dan aksi yang  dina¬mis, teori kadang ada di depan aksi dan sewaktu-waktu aksi tampil di  depan teori. Bagaimanapun, pada setiap titik  keharusan per¬juangan mendesak para aktivis untuk memantapkan kesatuan ini pada tingkat yang lebih tinggi.Untuk memahami proses yang dinamis ini kita harus  menyadari bahwa  mempertentangkan aksi langsung dengan studi yang  mendalam itu sepenuhnya keliru. Saya tersentak ketika mengikuti Konferensi Sarjana Sosialis dan pertemuan lainnya yang saya ikuti di Amerika selama dua minggu terakhir, melihat bagaimana pemisahan teori dan praktek terus dipertahankan. Saya seperti sedang mengikuti perde¬batan  di  antara orang-orang tuli, di mana  sebagian pengunjung mengatakan, "yang  penting  aksi! Tidak perlu  yang  lain,  yang penting  aksi!"  sementara  di pihak lain  ada yang mengatakan, "Tidak,  sebelum bisa aksi, kita harus tahu apa yang  dikerjakan. Duduk, belajar, dan tulis buku." (tepuk tangan)
Jawaban  yang jelas dari pengalaman sejarah gerakan  revolu¬sioner, bukan hanya dari periode Marxis tapi bahkan dari  periode pra-Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya tidak dapat dipisah¬kan (tepuk tangan) Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan  berhasil  melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya  katakan sebelumnya, kita tidak dapat  membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan  mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk mengu¬ji teori kecuali melalui aksi.
Setiap  bentuk  teori yang tidak diuji  melalui  aksi  bukan teori yang sahih, dan dengan sendirinya menjadi teori yang  tidak berguna  dari  sudut pandang pembebasan manusia.  (tepuk tangan) Hanya  melalui usaha terus menerus memajukan keduanya  pada  saat bersamaan,  tanpa pemisahan kerja, maka kesatuan teori dan  aksi dapat dimantapkan, sehingga gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat mencapai hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal  lain yang  membuat  saya tersentak, dan benar-benar menyentak  karena diajukan  dalam  satu pertemuan orang-orang  sosialis. Pemisahan teori dan aksi yang sudah begitu buruk, kini diberi satu  dimensi baru  dalam gerakan sosialis ketika dikatakan: di satu pihak  ada para  aktivis, orang-orang awam yang kerja kasar. Di  pihak  lain adalah elit yang kerjanya berpikir. Jika elit ini terlibat  dalam aksi demonstrasi,  maka mereka tidak akan punya  waktu  berpikir atau  menulis  buku, dan dengan begitu maka ada  elemen berharga dalam perjuangan yang akan hilang.
Saya  katakan bahwa setiap pernyataan yang  menyebut  adanya pemisahan kerja manual dan kerja pikiran di dalam gerakan revolu¬sioner,  yang memisahkan barisan aksi yang kerja kasar dan  elit yang  kerja pikiran, secara mendasar bukan  pernyataan  sosialis. Pernyataan  itu bertentangan dengan salah satu tujuan utama  dari gerakan sosialis, yang ingin mencapai penghapusan pemisahan kerja manual dan intelektual (tepuk tangan) bukan hanya dalam organisa¬si tapi, lebih penting lagi, dalam masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang  sosialis  revolusioner pada 50 atau 100  tahun  yang lalu  belum  dapat  melihat hal ini dengan jelas,  seperti  kita sekarang ini, saat sudah ada kemungkinan obyektif untuk  mencapai tujuan itu. Kita sudah memasuki satu proses teknologi dan  pendi¬dikan yang memungkinkan tercapainya hal itu. Salah satu  pelajaran berharga yang harus kita  ambil  dari kemunduran  Revolusi Rusia, adalah jika pemisahan  antara  kerja manual dan kerja intelektual dipertahankan pada masyarakat  yang sedang dalam transisi dari kapitalisme menuju sosialisme  dalam bentuk  lembaga, maka hasilnya pasti meningkatkan birokrasi  dan menciptakan ketimpangan baru dan bentuk-bentuk penindasan manusia yang tidak sesuai dengan kemakmuran sosialis. (tepuk tangan)
Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan  tentang pemisahan kerja manual dan kerja  pikiran  dalam gerakan  revolusioner. Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi  yang  baik jika tidak terlibat dalam aksi,  dan  tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima,  memperkuat dan memajukan teori. (tepuk tangan)
Gerakan  mahasiswa  Eropa  telah mencoba  mencapai  hal  ini sampai  tingkat tertentu di Jerman, Prancis dan Italia.  Di  sana muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa agitator yang juga dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan bertempur  mempertahankannya, dan pada saat yang dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan berdiskusi  dengan sosiolog terkemuka, ahli politik  dan  ekonomi dan  mengalahkan mereka dalam bidang ilmu mereka sendiri.  (tepuk tangan) Hal ini makin memperkuat keyakinan bukan  hanya  tentang masa depan gerakan mahasiswa tapi juga tentang masa ketika orang-orang ini sudah berhenti menjadi mahasiswa, dan harus berjuang di bidang lain.

Perlunya Organisasi Revolusioner 
Sekarang saya ingin berbicara tentang aspek lain dari kesat¬uan  teori dan aksi yang sudah menjadi perdebatan dalam  gerakan mahasiswa  Eropa  dan Amerika Utara. Saya  secara  pribadi yakin bahwa  tanpa organisasi yang revolusioner, bukan  suatu  formasi yang  longgar  tapi sebuah organisasi yang  serius  dan permanen sifatnya,  maka kesatuan teori dan praktek tidak  akan bertahan lama. (tepuk tangan)
Ada  dua alasan. Yang pertama berhubungan dengan  asas  dari mahasiswa  sendiri.  Status kemahasiswaan, hanya  berlaku  untuk jangka  waktu yang singkat, tidak seperti buruh. Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak ada yang dapat  memperkirakan apa yang terjadi  setelah ia  meninggalkan universitas. Pada kesempatan ini saya sekaligus  ingin menjawab salah satu argumen demagogis yang telah digunakan sejumlah pemim¬pin  partai-partai komunis di Eropa  yang  menentang  perlawanan mahasiswa. Dengan nada sinis mereka mengatakan: "Siapa mahasiswa-mahasiswa itu? Hari ini mereka berontak, besok mereka akan menja¬di bos yang menindas kita. Kita tidak perlu memperhitungkan aksi-aksi mereka dengan serius."
Ini adalah argumen yang tolol karena tidak  mempertimbangkan transformasi revolusioner dari peranan lulusan universitas sekar¬ang  ini. Jika mereka melihat angka-angka statistik, maka mereka akan  tahu  bahwa hanya sebagian kecil dari  lulusan  universitas yang  bisa  menjadi kapitalis atau agen-agen langsung  dari  para kapitalis  ini. Apa yang mereka khawatirkan mungkin saja  menjadi kenyataan  jika  jumlah  lulusan itu hanya 10.000,  15.000  atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi sekarang ada satu juta, empat juta,  lima  juta mahasiswa, dan tidak  mungkin kebanyakan  dari mereka  akan  menjadi kapitalis atau  manejer  perusahaan karena tidak ada lowongan sebanyak itu untuk mereka.
Argumen  demagogis  ini ada  benarnya.  Lingkungan  akademis memang  memiliki konsekuensi tertentu terhadap tingkat  kesadaran sosial  dan aktivitas politik seorang mahasiswa. Selama ia  tetap di  universitas, maka lingkungannya mendukung aktivitas  politik. Ketika ia meninggalkan universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di sekelilingnya, dan ia makin mudah ditekan oleh  ideologi  dan kepentingan borjuasi atau borjuasi kecil (petty-bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan melibatkan dirinya dalam lingkungan  sosial yang  baru  ini, apapun bentuknya.  Ada  kemungkinan  terjadinya proses  mundur ke posisi intelektual reformis atau liberal  kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas revolusioner.
Penting untuk mempelajari sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini  adalah  gerakan mahasiswa revolusioner yang  paling  tua  di Eropa.  Setelah dikeluarkan dari kalangan Sosial Demokrat  Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS yang militan meninggalkan  universitas. Setelah beberapa tahun, dengan  tidak adanya organisasi revolusioner, kebanyakan  orang-orang  militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis  sosialis,  tidak  aktif lagi dalam  politik  dari  sudut pandang revolusioner. Jadi, untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner  ini,  kita harus punya organisasi yang lebih luas jangkauannya  dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah  organisasi di mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama.Dan ada alasan yang lebih penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki  satu organisasi partai. Karena  tanpa  organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan aksi dengan  kelas buruh  industri,  dalam pengertian yang  paling  umum sekalipun. Sebagai  Marxis,  saya tetap yakin bahwa tanpa aksi  kelas  buruh tidak  akan mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan  dan  itu berarti  tidak mungkin juga dibangun masyarakat sosialis.  (tepuk tangan)
Di sini sekali lagi kita lihat bagaimana pengalaman  gerakan mahasiswa,  pertama  di Jerman, lalu Prancis dan Italia,  sudah berhasil  mencapai  kesimpulan teoretis tersebut  dalam praktek. Diskusi  yang  sama  tentang relevan atau tidaknya  kelas  buruh industri  bagi  aksi revolusioner dilakukan setahun  atau  bahkan enam bulan yang lalu di negara-negara seperti Jerman dan Italia.Masalah  ini  ditempatkan  dalam praktek  bukan  hanya oleh peristiwa revolusioner selama Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi juga oleh aksi bersama mahasiswa di Turin dengan buruh Fiat di Italia. Ini  juga diperjelas dengan usaha-usaha sadar  dari  SDS  Jerman untuk melibatkan bagian dari kelas buruh di dalam agitasi mereka di  luar universitas menentang perusahaan penerbit Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya undang-undang  darurat yang akan mencegah kebebasan sipil.
Pengalaman  seperti  ini mengajarkan  gerakan  mahasiswa  di Eropa  Barat bahwa mereka harus menemukan jembatan  dengan  kelas buruh industri. Masalah ini memiliki sejumlah aspek yang  berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Ada masalah programatik  yang tidak dapat saya jabarkan sekarang. Hal yang diungkapkan di  sini adalah bagaimana mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan  sebagai guru,  karena buruh tentunya menolak hubungan seperti itu,  tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan kepentingan yang sama. Terutama diuraikan masalah organisasi partai. Selain  penga¬laman  kalah beberapa kali untuk membangun kolaborasi di  tingkat rendahan dalam aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil mahasiswa dan  sejumlah  kecil buruh, setelah tiga  sampai  delapan  bulan, persekutuan itu akan hilang. Bahkan jika kalian memulai lagi dari awal,  dan  saat keseimbangan sudah tercapai, maka  sedikit  saja yang tersisa.
Kegunaan organisasi revolusioner yang permanen adalah  untuk menyediakan integrasi timbal balik antara mahasiswa dan  perjuan¬gan  kelas buruh oleh para pelopornya secara terus menerus.  Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana  dalam  batas  waktu tertentu,  tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial  yang berbeda yang memiliki tujuan sosialis  revolusioner yang sama.Kita  harus kritis  melihat apakah  integrasi  seperti  ini memang mungkin secara obyektif. Melihat pengalaman  di  Prancis, Italia,  dan  sejumlah negara Eropa Barat  lainnya,  maka  dengan mudah  kita bisa bilang ya. Dan garis inipun dapat  dipertahankan di Amerika Serikat. Dengan alasan-alasan historis yang juga tidak dapat  saya  uraikan sekarang, sebuah situasi  khusus muncul  di Amerika Serikat di mana mayoritas kelas buruh, yakni kelas buruh kulit putih, belum menerima gagasan sosialis tentang aksi revolu¬sioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.
Tentu  saja  hal ini dengan cepat  dapat  berubah.  Sejumlah orang  berpendapat seperti itu di Prancis, hanya beberapa  minggu sebelum  tanggal 10 Mei 1968. Namun, bahkan di  Amerika Serikat, ada  minoritas  dalam kelas buruh industri  yang  penting,  yaitu buruh  kulit hitam. Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa  setelah dua  tahun terakhir mereka tidak dapat menerima gagasan  sosialis atau  tidak mampu menjalankan aksi revolusioner. Di  sini paling tidak  ada kemungkinan langsung terjadinya kesatuan antara  teori dan praktek di sebagian kalangan kelas buruh.
Sebagai  tambahan, kiranya penting untuk menganalisa  kecen¬derungan sosial dan ekonomi yang dalam jangka panjang akan  meng¬guncang  ketidakpedulian  politik yang platen  dan konservatisme kelas buruh kulit putih. Pelajaran dari Jerman dengan  lingkungan yang  sangat mirip membuktikan bahwa hal  itu  mungkin terjadi. Beberapa  tahun lalu di kalangan kelas buruh di Jerman  mengendap stabilitas,  konservatisme,  dan integrasi  masyarakat  kapitalis yang tidak terguncang,  sama seperti Amerika  Serikat  di  mata banyak orang sekarang ini. Hal ini sudah mulai berubah. Kasus ini memperlihatkan bahwa pergeseran kecil di dalam perimbangan kekua¬tan, yaitu penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari pengusaha terhadap  struktur serikat buruh tradisional dan  hak-hak  dapat menciptakan ketegangan sosial yang mampu mengubah banyak hal.
Tugas saya di sini tidak lebih dari memberi informasi kepada kalian tentang masalah-masalah perjuangan kelas kalian  sementara tugas kalian adalah menyadari bahwa kalian harus bergabung dengan buruh.  Saya hanya akan menunjukkan satu di antara sekian  banyak saluran tempat  kesadaran sosialis  dan  aktivitas revolusioner dapat menghubungkan  mahasiswa dan buruh,  seperti  ditunjukkan bukan  hanya  oleh Eropa Barat tapi juga oleh  Jepang. Rangkaian penghubung  ini adalah pemuda dari kalangan kelas buruh.  Sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi selama beberapa tahun terak¬hir  yang  mempengaruhi struktur kelas buruh,  sistem pendidikan borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh muda, atau sebagian dari  buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam  teknologi yang  telah  berubah  bahkan dari sudut pandang para kapitalis sendiri. Amerika Serikat adalah contoh yang jelas tentang  kehan¬curan  total dari pendidikan bagi buruh muda berkulit hitam  yang tingkat  penganggurannya  sama tinggi seperti tingkat  rata-rata pengangguran seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan  ini memperlihatkan  apa yang tengah terjadi di kalangan pemuda  kulit hitam negeri itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum yang mendikte kepekaan ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda.  Kebusukan dan kemacetan sistem sosial sekarang  ini  jelas menunjukkan ketidakberpihakan para penguasanya kepada kaum  muda. Para penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak  membeda-bedakan antara  mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan semuanya sebagai musuh.Contoh  kongkret  dari ini adalah insiden  di Flins  ketika terjadi demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah  dibunuh oleh  polisi muncul kegelisahan besar. Polisi bergerak masuk  dan mulai memerika para demonstran, memerika kartu identitas  orang-orang  yang  lewat. Setiap orang yang berusia di bawah 30 tahun ditangkap karena dianggap potensial sebagai pemberontak,  sebagai orang yang akan bergerak menghantam polisi. (tepuk tangan)
Jika  kalian  secara  seksama  membaca  buku-buku  sekarang, industri  film dan bentuk-bentuk refleksi kenyataan  sosial  yang lain di dalam suprastruktur budaya selama lima atau sepuluh tahun terakhir,  kalian akan lihat bahwa di samping  semua  pembicaraan yang palsu tentang kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggam¬barkan jenis pemuda yang dihasilkan sistemnya dan juga  semangat memberontak  dari  kaum muda. Ini tidak terbatas  bagi mahasiswa atau  kelompok  minoritas seperti orang kulit  hitam  di  Amerika Serikat. Ini juga berlaku bagi buruh-buruh muda.Kiranya perlu dipelajari apa yang ada lingkungan buruh-buruh muda karena perjuangan memenangkan mereka kepada kesadaran sosia¬lis, kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis kelihatannya  pent¬ing  bagi  negeri-negeri Barat selama  sepuluh  sampai  limabelas tahun mendatang.  Jika kita berhasil mengangkat kaum  muda  yang terbaik menjadi sosialis revolusioner --saya  pikir  ini  sudah mulai dilakukan di negeri-negeri Eropa Barat-- kita  bisa yakin tentang kemajuan  gerakan kita. Jika kemungkinan ini lepas  dan kebanyakan  orang muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan,  maka kita  akan kalah dalam perjuangan yang menentukan dan akan  masuk ke  dalam liang kubur bersama sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.
Persatuan  teori dan praktek juga berarti bahwa  serangkaian gagasan  kunci  dari gerakan sosialis  dan tradisi revolusioner telah  ditemukan kembali sekarang. Aku tahu bahwa sebagian orang dalam  gerakan mahasiswa di Amerika  Serikat  ingin  menciptakan sesuatu  yang  sama sekali baru. Aku sepenuh hati  setuju dengan setiap  usulan yang menginginkan sesuatu yang lebih baik,  karena apa  yang  telah dicapai oleh generasi-generasi  sebelumnya  juga kurang  meyakinkan dari  sudut  pandang  pembangunan  masyarakat sosialis. Tapi penting juga aku utarakan peringatan. Jika  kalian menyangka  sedang menciptakan sesuatu yang baru, yang  sebenarnya sedang  dilakukan adalah mundur ke masa lalu  yang  jauh  lebih terbelakang dari masa lalu Marxisme.
Semua gagasan baru yang dimajukan dalam gerakan mahasiswa di Eropa selama tiga atau empat tahun terakhir, dan menjadi  populer di  kalangan mahasiswa Amerika Serikat, sebenarnya sudah  sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis dari evolusi  sosial dan kecenderungan kritik  sosialis dikembangkan dalam  jalur  para pemikir besar abad 18 dan  19. Terlepas  dari kalian  suka atau tidak, hal itu memang benar, dan berlaku  bagi ilmu sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian hukumnya  dicipta¬kan  di masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan  kecenderungan baru,  kalian harus maju dari landasan yang merupakan hasil  ter¬baik dari generasi-generasi sebelumnya. Keinginan  untuk  senantiasa menciptakan sesuatu  yang baru hanyalah  satu  aspek  awal dari radikalisme  mahasiswa.  Ketika gerakan  sudah  berkembang menjadi besar dan  bisa  memobilisasi massa yang besar maka yang akan terjadi adalah sebaliknya seperti ditunjukkan para sosiologis Prancis ketika melihat kejadian bulan Mei 1968. Saat itu massa mahasiswa revolusioner yang  luas ber¬juang  menemukan kembali tradisi sejarah dan  akar-akar historis mereka. Mereka  seharusnya sadar bahwa mereka akan lebih  kuat  jika mengatakan: perjuangan kami adalah perpanjangan dari  perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150 tahun lalu, atau  bahkan  2.000 tahun  lalu  ketika budak-budak  pertama memberontak   terhadap tuannya. Ini akan jauh lebih meyakinkan daripada mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama sekali baru yang terputus dari sejar¬ah  dan  terisolasi dari keseluruhan masa lalu seakan masa  lalu tidak  pernah mengajarkan apa-apa kepada kita dan tidak ada  yang dapat kita pelajari dari itu. (tepuk tangan)
Masalah ini akhirnya akan membawa aktivis mahasiswa  kembali pada beberapa konsep historis dasar dari sosialisme dan Marxisme. Kita  telah melihat bagaimana gerakan mahasiswa di Prancis,  Jer¬man,  Italia dan sekarang Inggris kembali kepada  gagasan-gagasan revolusi  sosialis dan demokrasi buruh. Bagi  seseorang  seperti saya, sangat menggembirakan melihat bagaimana gerakan revolusion¬er  Prancis mempertahankan hak kebebasan berbicara,  dan menghu¬bungkannya dengan  tradisi terbaik  dari  sosialisme.  Pertemuan kalian sekarang ini juga memperbarui kembali tradisi internasion¬alisme  dari  sosialisme lama dan Marxisme ketika kalian  bilang bahwa perlawanan mahasiswa bersifat mendunia dan  bahwa  gerakan mahasiswa itu bersifat internasional. Ini adalah internasionalisme yang sama, dengan akar-akar dan tujuan yang sama seperti internasionalisme dari sosialisme,  sama seperti  internasionalisme  dari kelas  buruh. Masalah-masalah internasional  yang  dihadapi adalah masalah  solidaritas  dengan kawan-kawan kita di Meksiko, Argentina dan Brasil yang  memimpin perjuangan  besar,  yang  mengangkat revolusi  Amerika  Latin  ke tingkat lebih tinggi setelah menderita kekalahan karena  kepemim¬pinan  yang buruh, reaksi internal dan represi imperialis  selama tahun-tahun belakangan ini. Kita harus menyanjung kekuatan  maha¬siswa-mahasiswa Mexico. (tepuk tangan) Dalam beberapa hari mereka telah mengubah situasi politik secara mendasar di negeri itu  dan membuang topeng demokrasi palsu yang dipasang pemerintah  Mexico untuk  menerima  jutaan dolar dari penonton-penonton  Olimpiade. Sekarang setiap orang yang menonton Olimpiade akan tahu bahwa  ia telah mengunjungi  negeri di mana para  pemimpin  serikat  buruh kereta apinya ditahan bertahun-tahun setelah masa tahanan  mereka berakhir; negeri di mana banyak pemimpin politik  kalangan  kiri dipenjara  bertahun-tahun tanpa  pengadilan,  di  mana pemimpin mahasiswa  dan ribuan milisi mahasiswa ditahan di  penjara  tanpa landasan  hukum. Protes mereka yang heroik  memiliki konsekuensi bagi  masa depan politik Meksiko dan perjuangan kelas  di  negeri itu. (tepuk tangan)
Penting  juga kiranya mengutarakan beberapa patah kata  ten¬tang  mahasiswa tahanan di negeri-negeri semi kolonial  lainnya, yang  tidak pernah dibicarakan orang, seperti pemimpin mahasiswa Kongo yang telah ditahan selama hampir satu tahun karena  mengor¬ganisir sebuah demonstrasi kecil menentang perang Vietnam ketika wakil presiden Humphrey bertandang ke sana. Kita tidak boleh lupa bahwa pemimpin-pemimpin mahasiswa Tunisia yang ditahan selama dua belas tahun dengan alasan yang sama, memimpin sebuah demonstrasi. Duabelas tahun di penjara! Kita harus menyadarkan masyarakat agar kejahatan penindas seperti ini tidak akan terlupakan.
Akhirnya, kita tidak boleh lupa perjuangan melawan intervensi  Amerika  Serikat di Vietnam, yang  tetap menjadi  perjuangan utama  di dunia sekarang ini. Dengan dimulainya negosiasi itu  di Paris,  tidak  berarti bahwa tidak ada yang  dapat  kita  lakukan untuk membantu perjuangan kawan-kawan kita di Vietnam. Untuk itu, saya  mengajak kalian ikut dalam aksi dunia yang  dimulai  oleh gerakan mahasiswa Jepang, Zengakuren, Federasi Mahasiswa  Revolu¬sioner Inggris bersama dengan Kampanye Solidaritas Vietnam,  dan Komite Mobilisasi Mahasiswa di sini. Ini adalah Minggu  Solidaritas  untuk revolusi Vietnam, dari tanggal 21 sampai  27  Oktober. Minggu  ini ratusan ribu mahasiswa, buruh muda  dan  revolusioner muda  akan turun ke jalan bersamaan untuk mencapai  tujuan-tujuan yang  diajukan kawan-kawan Vietnam! Perlihatkan pada dunia  bahwa di  Amerika  Serikat  ada ratusan ribu  orang  yang menginginkan penarikan  kembali pasukan Amerika dari Vietnam. Itu  pasti  akan berhasil. (terputus oleh tepuk tangan)
8:08:00 PM
thumbnail

PLURALISME : RAHMAT ATAU LAKNAT?

Posted by Yushan on Tuesday, March 8, 2016

yushan

Di saat konflik horisontal merebak di berbagai wilayah negeri ini, kata damai dan perdamaian memang terasa sangat indah. Di mana-mana orang berbicara dan meneriakkan keinginan untuk mewujudkan perdamaian. Bahkan TNI, lembaga yang selama ini anggotanya dikenal kerap melakukan tindak kekerasan dan melanggar HAM, tak mau ketinggalan menyuarakan seruan damai, seperti nampak dari berbagai spanduk yang berbunyi, "Damai itu indah" di berbagai markas dan kantornya di Jakarta.

Sebagai sebuah bangsa dan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar serta sangat beragam (plural), Indonesia memang memiliki risiko konflik dan perpecahan yang cukup besar. Karenanya sangat wajar apabila ada sejumlah pihak tak bosan-bosannya berupaya merukunkan berbagai elemen masyarakat yang selama ini terjebak konflik, termasuk konflik antar ummat beragama di Maluku, Poso, dan wilayah lainnya.

Upaya itu dilakukan antara lain dengan melakukan dialog antar ummat beragama yang sudah diselenggarakan berkali-kali di berbagai tempat. Ada juga apel keagamaan, seperti yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kebanyakan anggotanya pemuda NU dan Unit Kegiatan Kerohanian Kristen (UKKK) Universitas Dr Soetomo Surabaya. Acara bertajuk 'Cinta Damai dan Persahabatan Antarumat Beragama' itu menampilkan pembicara lintas agama, seperti H. Ali Maschan Moesa, MSi (Ketua PWNU Jatim), Didik (Pastor Paroki Sidoarjo), serta I Made Gunartha (Ketua I Parisada Hindu Dharma Kota Surabaya).
Yang lebih jauh adalah doa bersama lintas agama, seperti yang dilakukan kalangan LSM dan mahasiswa di pelataran Gedung Pola, bundaran Tugu Selamat Datang (HI) Jakarta dan beberapa tempat lainnya, tahun-tahun silam.

Meski kegiatan seperti itu baru merebak sejak gerakan reformasi bergulir, rintisannya sudah berlangsung sejak lama berupa wacana kenisbian ajaran agama. Sejak 1970-an pemerintah Orde Baru melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sudah mengajarkan siswa untuk berpartisipasi pada acara ritus ibadah agama yang tidak dianutnya. Lewat PMP pula digulirkan paham bahwa semua agama sama baiknya, sama-sama menyembah Tuhan dan sama-sama mengajarkan ummatnya berbuat kebajikan. Namun karena menuai banyak protes dari berbagai ormas Islam, bagian kontroversial itu akhirnya ditiadakan.

Selesai? Ternyata tidak. Meski tidak lagi diajarkan melalui PMP (kini berganti nama menjadi PPKN), wacana tersebut bergulir terus. Dimotori para cendekiawan dari berbagai IAIN dan Yayasan Paramadina, seperti (alm) Harun Nasution, Nucholish Madjid, Djohan Effendi, serta Komarudin Hidayat, berbagai pemikiran keagamaan yang meminjam istilah kalangan ini bercorak Neo-Modernisme terus ditumbuhsuburkan melalui berbagai tulisan di media massa dan forum-forum ilmiah.

Ada berbagai gagasan yang dilontarkan, seperti Islam Rasional, Islam Peradaban dan Islam Transformatif. Belakangan, sejak akhir 1990-an kemudian muncul gagasan Islam Inklusif, Islam Pluralis dan terakhir Islam Liberal.

Maret tahun ini Penerbit Paramadina menerbitkan buku berjudul Islam Pluralis, yang merupakan kumpulan tulisan Budhy Munawar-Rachman. Kemudian tengah bulan silam penerbit yang sama meluncurkan buku berjudul Wacana Islam Liberal. Buku terakhir ini merupakan kumpulan tulisan berbagai pemikir Islam bertaraf internasional yang disunting oleh Charles Kurzman, asisten profesor pada University of North Carolina. Di penulisnya terdapat nama antara lain Muhammad Iqbal, Chandra Muzaffar, Yusuf al-Qardhawi, Mohammad Natsir, Mehdi Bazargan, Benazir Bhutto, Fatima Mernissi, Mohamed Arkoun, Fazlur Rahman, dan Nurcholish Madjid.

Mohon masukan dan kritikan tentang Artikel ini karena jujur saja, sampai sekarang ini sayapun masih bimbang mengenai konsep pluralisme ini. secara pribadi, konsep pluralisme adalah sebuah perwujudan untuk membangun tali silatrrahim antar sesama ummat beraga agar terjalin kehidupan bahdatun Toyyibatun Wa robbul gafuur. Namun disisi lain juga berdampak buruk terhadap Islam sendiri, . . .
2:29:00 AM
thumbnail

SEJARAH KRISTENISASI DI INDONESIA

Posted by Yushan on Monday, March 7, 2016

PAULUS     Arti Kristenisasi
     1. Yang dinamakan kristenisasi ialah mengkristenkan orang
     atau membuat seseorang memeluk agama Kristen. Arti kata-kata
     itu menurut istilah ialah: mengkristenkan orang secara
     besar-besaran dengan segala daya upaya yang mungkin agar
     supaya adat dan pergaulan dalam masyarakat mencerminkan
     ajaran agama Kristen. Masyarakat yang demikian akan lebih
     melancarkan tersiar luasnya agama Kristen. Akhirnya
     kehidupan rohani dan sosial penduduk diatur dan berpusat ke
     gereja.
     2. Kristenisasi tidak hanya dilancarkan terhadap orang-orang
     yang belum memeluk agama atau mereka yang memeluk agama
     animisme saja, tetapi juga ditujukan terhadap orang yang
     telah memeluk agama Islam. Pengkristenan dipercayai sebagai
     satu tugas suci yang dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh
     ditinggalkan. Mengkristenkan orang dianggap sebagai membawa
     kembali anak-anak domba yang tersesat, dibawa kembali kepada
     induknya. Manusia-manusia sebagai anak domba akan dibawa
     kepada kerajaan Allah.
     3. Kristenisasi adalah usaha internasional, artinya mereka
     bermaksud menyebarkan agama Kristen ke seluruh dunia. Dapat
     diakui bahwa ini adalah mutlak hak asasi mereka, sebagaimana
     orang Muslimin-pun mempunyai tugas menyiarkan Islam ke
     seluruh dunia. Namun demikian memang perlu sama-sama
     disadari perlunya suatu garis pengamanan yang dapat
     menghindarkan terjadinya pergesekan dan perselisihan,
     sehingga masing-masing pemeluk agama tertentu tidak merasa
     cemas untuk dipaksa atau dibujuk atau diusahakan pindahnya
     kepada agama lain. Garis ini harus jelas dan ditaati
     terutama oleh para pemeluk agama yang telah disahkan oleh
     Negara Republik Indonesia seperti misalnya agama Islam dan
     Kristen (Masehi).
     4. Pada tanggal 30 Nopember 1967 Pemerintah mengadakan
     Musyawarah Antar Agama bertempat di gedung Dewan
     Pertimbangan Agung Jakarta, dengan maksud antara lain untuk
     membina saling pengertian dan saling toleransi antara
     pemeluk-pemeluk agama terutama Islam dan Masehi. Dalam
     sambutan tertulis Jenderal Suharto pada waktu itu, Pejabat
     Presiden Republik Indonesia, menyatakan keprihatinannya atas
     kenyataan bahwa penyiaran agama masih dilakukan orang
     terhadap mereka yang telah memeluk agama tertentu. Dijiwai
     oleh sambutan Pejabat Presiden itu maka pihak umat Islam
     mengusulkan rumusan persetujuan, yaitu: rakyat yang telah
     beragama jangan dijadikan sasaran penyebaran agama lain.
     Pihak Masehi menolak keras usul itu. Maka dicoba untuk
     mengadakan pertukaran pikiran dan pendekatan-pendekatan
     namun sia-sia, yang mengakibatkan musyawarah yang
     berlangsung hampir 24 jam itu tidak menghasilkan sesuatu
     yang kongkrit.
     5. Kristenisasi dalam pengertian politik ialah: berusaha
     untuk lahirnya undang-undang ataupun peraturan atau tindakan
     dan sikap penguasa, yang memberi kesempatan lebih banyak
     lagi bagi tersiarnya agama itu atau menguntungkan bagi agama
     itu. Apabila penyebaran dalam masyarakat telah berhasil dan
     dalam bidang politik berhasil pula, maka terbukalah jalan
     yang selebar-lebarnya untuk menjadikan keseluruhan
     masyarakat bernapaskan Kristen, sehingga diharapkan dengan
     cepat umat Kristen akan menjadi mayoritas, seperti umpamanya
     kejadian di Pilipina, yang sekarang ini ternyata menjadi
     basis perluasan ke seluruh Asia Tenggara.
     6. Usaha Kristenisasi itu dilakukan dengan segala daya,
     beaya peralatan yang lengkap, rencana yang masak, tehnik
     yang tinggi, kemauan dan kesungguhan yang mantap dan kuat,
     keyakinan yang mendalam serta melalui segala jalan dan
     saluran yang meresap dalam hampir semua aspek kehidupan
     manusia: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik dan
     segala macam hiburan.
 
     Sejarah Kristenisasi oleh Agama Protestan
     1. Zending Protestan pertama kali datang ke Indonesia pada
     tahun 1831 dengan dua orang pendeta bernama Riedel dan
     Schwarz ke Minahasa. Pada tahun 1850 mereka membuka sebuah
     Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Tomohon dan pada
     tahun 1868 dibuka pula Sekolah Guru Injil (Hulpzendelingen).
     Kristenisasi di Minahasa itu ditangani dan dibeayai oleh
     Nederlandse Zendelinggenootschap yang didirikan di Rotterdam
     tahun 1787. Pada tahun 1882 di Minahasa juga didirikan
     asrama dan sekolah khusus bagi anak-anak pegawai negeri
     serta orang-orang terkemuka. Semua sekolah tersebut mendapat
     subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1888 mereka
     mendirikan percetakan untuk mencetak buku-buku, selebaran
     dan sebuah surat kabar yang bernama, "Cahaya Siang."
     2. Di kepulauan Sangihe dan Talaud bangsa Portugis telah
     lebih dahulu menyiarkan agama Kristen. Pekerjaan ini
     kemudian diambil alih dan diteruskan oleh bangsa Belanda di
     Ambon dan Maluku dipelopori antara lain oleh: J. Kam pada
     pertengahan abad ke 19 juga. Dia adalah utusan dari
     Nederlandse Zendinggenootschap tersebut. Kemudian mereka
     luaskan sampai ke pulau Buru. Adapun daerah Sulawesi Tengah
     dan Tenggara kristenisasi dilakukan oleh Bala Keselamatan
     atau Leger des Heils, sedang Gereformeerde Zendingbond
     mengirimkan pendeta Van Den Loodrecht ke Luwuk pada tahun
     1913. Di Bolaang Mongondow pengkristenan dilakukan oleh
     Nederlandse Zendinggenootsehap. Pada tahun 1904 seorang raja
     meminta kepada Zending itu untuk mendirikan sebuah H.l.S.
     disana. Sekolah ini terlaksana pada tahun 1913. Perkumpulan
     De Nederlandse Zendingvereniging yang semula diberikan tugas
     mengkristenkan Jawa Barat, pada tahun 1915 juga beroperasi
     di Sulawesi Tenggara.
     3. Kristenisasi di Jawa Timur dipelopori oleh seorang tukang
     jam bangsa Belanda di Surabaya yang bernama Emde dan seorang
     tuan tanah bernama C. Coolen kira-kira pada tahun 1840.
     Empat tahun kemudian pengikut mereka berhasil membentuk
     sebuah desa Keristen di Mojowarno di mana dewasa ini berdiri
     sebuah rumah sakit Kristen yang amat besar dan modern. Pada
     tahun 1848 seorang zendeling lagi yaitu E.J. Jellesma datang
     ke Surabaya lalu ke Mojowarno. Dengan dibantu oleh seorang
     guru Injil Paulus Tosari didirikannya sebuah Kweekschool
     yang kemudian terpaksa ditutup pada tahun 1858. Tetapi pada
     tahun 1500 dapat dibuka kembali. Murid-murid dari pengikut
     C. Coolen menyebarluaskan agama Kristen ini sampai ke
     Pasuruan dan Kediri. Kemudian berdatangan para zendeling
     dari negeri Belanda untuk menyebarkan agamanya di
     tengah-tengah umat Islam. Mereka mendirikan rumah sakit
     rumah sakit di banyak tempat di samping rumah sakit besar
     Mojowarno.
     4. Di Jepara tinggal seorang bernama Tunggul Wulung yang
     terkenal dengan julukan Kiyahi Berahim. Dia adalah seorang
     petapa yang mengaku telah mendapat wahyu dari Allah lalu
     masuk Kristen. Tetapi kemudian dia campur-adukkan
     kepercayaan Kristen dengan Islam dan animisme, akhirnya dia
     tidak diakui lagi oleh gereja. Ada pula seorang santri
     bernama Sadrah, yang berhasil ditarik memeluk agama Kristen
     oleh seorang zendeling yang bernama Hoezoo. Sadrah kemudian
     mengembara hampir ke seluruh tanah Jawa dan banyak bertemu
     serta berwawancara dengan penyebar agama Kristen lainnya. Di
     Jakarta, dahulu Batavia, dia bertemu dengan MR. F.L.
     Anthing, bekas pejabat tinggi kehakiman di Semarang yang
     telah pindah ke Jakarta, Dia ini sangat besar jasanya dalam
     pernyebaran Kristen. Tahun 1867 Sadrah dibaptiskan dan dua
     tahun kemudian dia dipindahkan ke Purworejo untuk menyiarkan
     Kristen bekerja sama dengan nyonya Philips. Tahun 1870
     pindah ke desa Karangjasa dekat Bagelen dan terus giat
     menyebarkan agamanya dan memimpin kaum Kristen Jawa. Dari
     sana Kristenisasi diperluas oleh Dewan Gereja (Gereformeerde
     Kerken) ke Banyumas dan Kedu lalu meluas ke Yogyakarta dan
     Surakarta.
     5. Adapun di Sumatera pekerjaan zending dapat dikatakan
     dimulai pada tahun 1890 di dacrah Sumatera Pasisir Timur.
     Pada tahun 1894 mereka sampai ke utara Danau Toba daerah
     Batak Karo. Pada tahun 1915 mereka dirikan rumahsakit di
     bawah pimpinan seorang Zuster bangsa Belanda. Pulau Nias
     dimasuki pada tahun 1866 oleh para zendeling dari
     perkumpulan Rheinische Missionsgeselschaft, yaitu gabungan
     zending yang berdiri pada tahun 1823 dan berpusat di Barmen
     wilayah Dusseldorf, Jerman. Mereka juga melebarkan sayap ke
     Pulau Mentawai dan Enggano. Rheinische Missionsgeselschafe
     ini juga beroperasi di pulau Kalimantan sebelah Selatan dan
     Timur untuk mengkristenkan suku Dayak. Pada tahun l904
     kelihatan kemajuannya di Kuala Kurom dan Kahayan Hulu, lalu
     meluas dengan pesat.
     Demikianlah ringkasan sejarah kristenisasi yang dilakukan
     oleh agama Protestan di tanah air kita.
 
     Sejarah kristenisasi oleh agama Katolik
     1. Pada tahun 1902 di Batavia (Jakarta) mulai didirikan
     Apostolisch Vicariaan Van Batavia. Tetapi agama Katolik
     telah masuk ke Indonesia jauh sebelum itu. Pada abad ke 16
     agama ini telah memasuki kepulauan Maluku, Ambon, Ternate,
     Solor dan Nusa Tenggara. Penyebarannya mula-mula dilakukan
     oleh bangsa Portugis yang menguasai kepulauan itu. Pada
     tahun 1546 seorang Apostel (muballigh) dari India juga
     datang ke sana, bernama Fransiscus Xaverius. Dia berhasil
     menarik simpati pemerintah Portugis dan penduduk asli. Tahun
     1605 pulau Ambon dapat ditaklukkan. Pada waktu itu di Ambon
     telah ada 4 buah gereja dan sekitar 16.000 orang beragama
     Katolik.
     2. Agama Katolik memasuki Sulawesi dari Makasar, dan itu
     semua dilakukan oleh pengikut madzhab Dominicus Orde (H.
     Dominicus hidup tahun 1170 - 1221) dan pengikut madzhab
     Yesuiten Orde. Madzhab Yesuit ini pada mulanya didirikan
     oleh seorang bangsawan Spanyol bernama Ignatius Loyola yang
     lahir tahun 1491.
     Dia adalah penganut aliran mistik dalam agama Katolik. Dalam
     peperangan melawan Perancis mendapat cedera yang
     mengakibatkan kelumpuhan seumur hidup. Mistiknya bertambah
     menebal dan mendapat banyak pengikut. Pada tahun 1529
     dibentuknya di Paris suatu jama'ah yang dibai'at untuk
     mengabdi kepada Paus dan menyebarluaskan agama Katolik,
     Tahun 1539 semua anggota jama'ah dilantik menjadi pastor dan
     tahun 1560 Paus Paulus III meresmikan jama'ah ini sebagai
     Jamaah Yesus atau the Society of Yesus. Jamaah terus
     berkembang maju dan bersama Orde Yesuit.
     3. Gerakan agama Protestan yang sangat memusuhi Gereja
     Katolik berhasil menghancurkan kedudukan Missie Katolik di
     India sejak abad ke 17. Tetapi revolusi Perancis telah
     menyebabkan terjadinya pergolakan politik di negeri Belanda
     yang mengakibatkan hancurnya pusat Zending Protestan dan
     bangkitnya kembali Missie Katolik, serta menjadi sangat
     kuat. Setelah jazirah Malaka dikuasai oleh bangsa Belanda
     dan kekuasaan mereka di Indonesia bertambah mantap, maka
     secara bertahap penyebaran agama Katolik di Sulawesi
     diambil-alih oleh bangsa Belanda, yaitu pada tahun 1807.
     Tujuh tahun kemudian yaitu tahun 1904 Pusat Missie Katolik
     di negeri Belanda mengirimkan 2 orang utusannya ke Jakarta
     yaitu Jacob Nellisen dan Lambert Prinsen. Kedudukan Missie
     dipusatkan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Pada tahun
     1834 di Padang ditempatkan seorang pastor. Sejak tahun 1808
     hingga 1845 mereka hanya mampu menempatkan 16 orang pastor
     itupun akhirnya hanya tinggal 4 orang.
     4. Dalam Perang Diponegoro (1825-1830) ditengah-tengah
     tentara Belanda ditempatkan seorang Pastor bernama Scholtes.
     Dia mengadakan perjalanan inspeksi sampai ke Sulawesi dan
     Maluku kemudian melaporkan hasil penyelidikannya kepada
     Paus. Berdasarkan laporan itu Paus menganggap sudah tiba
     waktunya untuk membantu dan meningkatkan Missie Katolik di
     Indonesia menjadi Vicariat (perwakilan), lalu mengirimkan
     Mgr. Jacob Croaff selaku pemimpinnya. Pada tahun 1848 dia
     digantikan oleh Mgr. Peterus Maria Francken dengan dibantu
     oleh 5 orang pastor. Di bawah pimpinannya, missie ini
     mendapat kemajuan. Dari pulau pulau yang jauh letaknya
     berdatangan permintaan dari umat Katolik yang hidupnya
     terpencil. Akhirnya pada tahun 1859 kaum Yesuiten membantu
     dengan mengirimkan missionaris ke pulau Jawa lalu
     menempatkan mereka di Flores dan kepulauan lainnya.
     5. Kemajuan Missie Katolik bertambah pesat setelah pada
     tahun 1874 Mgr. Francken digantikan oleh Mgr. Claessen yang
     sejak tahun 1848 bertugas di India. Didirikannya pos-pos di
     Cirebon, Magelang, Bogor, Malang dan Madiun. Untuk Sumatra
     di Medan dan Tanjung Sakti. Di Kalimantan dibangunnya
     pangkalan untuk kristenisasi suku Dayak. Demikian juga
     Makassar, Menado, Tomohon, Seram, Flores, Irian, Kendari,
     Sumbawa dan Timor. Claessen digantikan oleh Vicarius
     Apostoles M.J. Staal, kemudian pada tahun 1898 oleh Mgr.
     E.S. Luypen S.J. Sejak masa itulah agama Katolik mulai
     berkembang di pulau Jawa orang Jawa sukar untuk dirubah
     agamanya. Mereka beragama Islam dan tidak mau dikatakan
     tidak Islam, walaupun mereka tidak atau kurang menjalankan
     syari'ahnya. Missie mengambil jalan lain yaitu dengan
     mendekati anak-anak mereka yang pada umumnya hidup
     kekurangan. Untuk mereka didirikan sekolah-sekolah dasar
     dengan percuma, bahkan dengan diberinya alat-alat serta
     pakaian yang diperlukan. Kanak-kanak itulah yang berangsur
     di-Katolik-kan, dan itu terjadi sejak akhir abad ke 19. Maka
     dapatlah dikirakan bahwa banyaknya jumlah orang Jawa yang
     beragama Katolik adalah akibat karena mereka dahulu
     bersekolah di sekolah-sekolah Katolik.
     6. Pangkalan Missie untuk Jawa Tengah yang pertama ialah
     Muntilan dan Mendut di mana sejak dahulu telah berdiri
     sekolah Katolik. Sekarang Mundlan menjadi pusatnya agama
     Katolik, kemudian Yogyakarta pun dipenuhi oleh sekolah
     mereka. Guru-guru tamatan Muntilan dikirim ke luar daerah
     dan banyak pula yang berdinas di sekolah Pemerintah
     (Gubernemen). Dari tahun ke tahun mereka terus mendapat
     kemajuan. Sekolah bertambah banyak terutama sekolah
     Pendidikan Guru. Rumah Sakit dan Rumah Yatim juga dibangun,
     sehingga kelihatannya memang benar-benar menguasai lapangan
     sosial dan pendidikan. Pada akhir tahun 1923 sekolah mereka
     berjumlah 52 buah dengan 5.840 orang murid. Mereka memiliki
     surat kabar seperti Mingguan Java Post, Sociaal Leven En
     Streven, Katholik Schoolblad Van Nederlands Indie dan De
     Indische Voorhoede. Dalam bahasa Indonesia yakni Gereja
     Katholik serta dalam bahasa Jawa Swara Tama. Di samping itu
     mereka dirikan sebuah percetakan di Yogyakarta pada tahun
     1922.
     Untuk keperluan jalannya Missie Katolik beserta segala
     usahanya, mereka menerima bantuan keuangan dari negeri
     Belanda, yang diberikan oleh Dana St. Claverbond yang
     berdiri tahun 1889 dan oleh berbagai perkumpulan missie
     antara lain De Indische Missie Vereniging. Rupanya kaum
     Katolik tidak hanya berjuang dalam penyiaran agama,
     pendidikan, pengajaran, sosial serta pendirian
     gereja-gereja, tetapi juga berjuang dalam bidang politik.
     Pada tahun 1918 mereka telah mendirikan sebuah partai
     politik dengan nama De Indische Katholieke Partij.
     Sekianlah dengan sangat ringkas diuraikan sejarah masuknya
     Missie Katolik dan pekerjaannya di tanah air kita.
 
     Kristenisasi dan Politik
     Sebagaimana yang telah diterangkan di atas, adalah
     Kristenisasi mempunyai segi-segi politis. Demikian pula
     dalam sejarah perkembangannya selalu dipengaruhi oleh
     perubahan situasi politik, terutama di Eropa, di mana
     partai-partai mereka selalu aktif dalam sidang polltik. Di
     negeri kitapun mereka demikian juga halnya seperti ternyata
     dalam berdirinya De Indische Katolieke Partij.
     Pada zaman kemerdekaan dengan terbukanya kehidupan politik
     di negeri kita mereka tidak ketinggalan membentuk partai
     politik, di samping partai lain-lainnya.
     1. Partai Kristen Indonesia atau Parkindo didirikan di
     Jakarta pada tanggal 18 Nopember 1945 sebagai penjelmaan
     dari Partai Kristen Nasional (PKN) vang dipimpin oleh Dr.
     W.I. Yohannes. Di Sumatera didirikan orang Partai Kristen
     Indonesia yang disingkat PARKI. Pada bulan Maret 1947
     pimpinan dari kedua partai itu bertemu di Malang dalam
     kesempatan sidang Komite Nasional Pusat mereka setuju untuk
     bergabung. Maka tanggal 19 April 1947 Parki mengadakan
     Kongres di Prapat dan memutuskan melebur diri serta
     bergabung pada Parkindo.
     Dalam Anggaran Dasarnya keputusan Konggres di Sala pada
     tanggal 7-9 April 1950 dicantumkan antara lain:
     a. Partai Kristen lndonesia (Parkindo) berasaskan paham
     Kekristenan.
     b. Anggota Partai ialah warga negara Indonesia yang beragama
     Kristen serta berusia sekurang-kurangnya 18 tahun.
     Dalam deklarasi atau Pernyataan Dasar Pendirian Parkindo
     terdapat uraian sebagai berikut:
     Pasal 1
     Partai Kristen Indonesia (Parkindo) berdasar atas
     kepercayaan bahwa:
     a. Segala sesuatu adalah berasal dari Tuhan, oleh Tuhan dan
     untuk Tuhan.
     b. Bagi tiap-tiap Makhluk dan tiap-tiap lingkungan hidup
     demikian pula bagi negara dan pemerntahan panggilan dan
     hukum-hukum Tuhan sebagai ternyata dalam firman-Nya.
     Pasal 2
     Partai berpendirian bahwa negara berwujud karena Kehendak
     Tuhan dengan tujuan mengatur hidup manusia di dunia, agar
     dengan demikian warga negara dapat mempersiapkan diri untuk
     hidup yang kekal.
     Pasal 3
     Parkindo adalah Partai Politik warganegara Indonesia yang
     berhasrat memenuhi panggilan dan kewajibannya terhadah nusa
     dan bangsa dan bangsa-bangsa lainnya dengan jalan berusaha
     di lapangan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan atas
     dasar paham Kristen.
 
     2. Partai Katolik didirikan di Yogyakarta oleh Kongres Umat
     Katolik seluruh Indonesia pada tanggal 12 Desember 1949,
     sebagai penjelmaan fusi daripada 17 partai Katolik yang
     telah ada sebelum itu yakni:
     1. Partai Katolik Republik Indonesia (P.K.R.I.) yang
     didirikan di Surakarta.
     2. Partai Katolik Rakyat Indonesia (P.K.R.I.) yang didirikan
     di Makassar.
     3. Partai Katolik Rakyat Indonesia (P.K.R.I.) yang didirikan
     di Flores.
     4. Partai Katolik Indonesia Timus (Parkit) yang didirikan di
     Timor.
     5. Persatuan Politik Katolik Flores (Perkokaf) didirikan di
     Flores.
     6. Permusyawaratan Majlis Katolik (Permakat) didirikan di
     Menado.
     7. Partai Katolik Indonesia Kalimantan (Parkika) yang
     didirikan di Kalimantan.
     Melihat banyaknya partai-partai itu tahulah kita betapa
     besar hasrat mereka untuk berpolitik setelah negara kita
     merdeka. Anggaran Dasar Partai Katolik sebagai gabungan
     partai-partai tersebut di atas, telah disahkan dalam
     Kongresnya yang pertama di Semarang tanggal 12 Desember
     l949, di mana asas dan tujuan berbunyi sebagai berikut:
     1. Partai Katolik berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa pada
     umumnya serta Pancasila pada khususnya dan bertindak menurut
     asas-asas Katholik,
     2. Tujuan Partai Katolik ialah bekeria sekuat-kuatnya untuk
     kemajuan Republik Indonesia dan kesejahteraan rakyatnya.
 
     Kekuatan dan Kelemahan
     1. Apa yang telah diuraikan di atas memberikan gambaran
     kepada kita bagaimana ketekunan dan keuletan mereka dalam
     menyebarkan agama Kristen. Bagaimana kerapian organisasi
     mereka serta lengkapaya rencana yang mereka buat; dan
     bagaimana besarnya pembeayan yang sengaja disediakan. Apa
     yang kita lihat dewasa ini adalah kemajuan kristenisasi yang
     semakin meningkat. Berpuluh-puluh rumah sakit yang mereka
     dirikan, semuanya besar dan lengkap dengan peralatan yang
     modern. Beratus-ratus sekolah dengan gedungnya yang indah
     dan megah, dari Taman Kanak-kanak hingga Universitas dan
     Perguruan Tinggi, yang sebagian besar siswa dan mahasiswa
     terdiri dari kalangan orang Islam. Kantor dan gereja-gereja
     merupakan gedung-gedung indah menghiasi kota, terutama
     Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Belum lagi disebutkan
     proyek-proyek dalam bermacam-macam bidang tersiar di seluruh
     tanah air. Dalam dunia persuratkabaran dan penerbitan
     buku-buku serta pendirian percetakan-percetakan modern,
     mereka memegang peranan yang amat menentukan.
     2. Namun segala kebesaran yang mengagumkan sebagai yang
     tersebut di atas itu tidak berarti bahwa mereka tidak
     mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka banyak mempunyai
     kelemahan, itu sudah tentu. Kelemahan itu tidak terletak
     pada beaya, mereka berlebih dan melimpah-limpah dalam
     memiliki pembeayaan. Tidak terletak pada man-power, mereka
     cukup dan mempunyai kemampuan untuk membayar siapa saja yang
     bersedia bekerja bagi mereka. Tidak terletak pula pada ilmu,
     mereka ahli dan mampu memperkerjakan tenaga-tenaga ahli.
     Tidak juga pada kekuasaan dan pengaruh dalam bidangnya
     masing-masing.
     Tetapi kelemahan itu terletak pada kelemahan ajaran agama
     mereka sendiri dipandang dari segi ratio, justru dalam
     hal-hal yang prinsipiil. Yaitu tentang I'tikad Trinitas,
     Ke-Allahan Yesus, Dosa Turunan, Pertentangan Antara
     Ayat-ayat Dalam Kitab Suci Mereka, serta tentang Pengertian
     Wahyu dan sebagainya. Mereka menyadari bahwa ajaran Kristen
     sebagaimana tersebut di atas memang sukar diterima oleh
     akal. Hal-hal inilah yang telah menyebabkan kemunduran agama
     Kristen di dunia barat di mana orang-orang tidak bersedia
     lagi menerima ajaran bahwa Yesus adalah Anak Allah dan Allah
     Sendiri, seperti antara lain yang pernah dikemukakan oleh
     Dr. B.J. Boland ketika berkunjung ke kantor Pimpinan Pusat
     Muhammadiyah beberapa waktu yang lalu. Seperti yang telah
     pernah ditulis oleh seorang pastor dalam salah satu majalah
     bahwa jumlah pengunjung gereja di negeri Belanda semakin
     menurun, dan seperti yang sering diceritakan oleh
     orang-orang yang pernah mengunjungi Eropah dan Amerika
     Serikat. Padahal di sana disediakan kenangan yang
     melimpah-limpah untuk penyiaran agama Masehi dengan
     pendirian gereja serta pergedungan lainnya. Di sana dapat
     dikatakan uang itu tidak memperoleh sasaran yang semestinya,
     dan perlu dialihkan ke bagian dunia yang lain, ke timur.
     3. Dengan keadaan demikian maka nampakya di dunia barat
     terutama di Eropah sudak tidak dapat diharap lagi untuk
     menjadi bumi subur bagi agama Masehi, yang dewasa inipun
     telah menjadi hanya seperti adat, bukan agama yang
     dimengerti dan disadari secara jelas. Apalagi andaikata
     (mudah-mudahan jangan) Perang Dunia III sudah sampai pada
     taraf tidak terelakkan lagi, maka seperti yang telah pernah
     diramalkan orang, dalam 17 jam pertama dari meletusnya
     perang nuilir itu, seluruh Eropah Barat akan musnah demikian
     juga mungkin seperempat dari bumi Amertka Serikat. Begitulah
     agama Masehi akan kehilangan tempat berpijak serta basis
     yang amat kuat dan kaya raya. Jadi apa yang harus dilakukan
     orang dewasa ini ialah sejauh mungkin berikhtiar
     menghilangkan gejala yang mungkin dapat menimbulkan perang
     itu, dan usaha itu sampai sejauh sekarang ini telah
     berhasil. Apa yang terjadi hanyalah perang setempat seperti
     misalnya Victnam, Timur Tengah, dan kini di Afrika. Tetapi
     apakah keadaan ini dapat dipertahankan untuk selamanya?
     Nampaknya karena itu mengapa agama Masehi memerlukan tanah
     persemaian baru yang masih dapat bertahan lebih lama serta
     jauh dari kancah perang nuklir yang akan datang. Dan
     persemaian itu harus sejak sekarang disiapkan agar jika
     perang pecah (mudah-mudahan jangan) tempat yang baru sudah
     siap selesai serta telah dapat berjalan seperti yang
     diharapkan. Tempat itu terletak di timur, dimana penduduknya
     belum sekritis penduduk Eropa.
     4. Indonesia akibat penjajahan Belanda selama tiga setengah
     abad, penduduknya kebanyakan bodoh dan miskin. Maka usaha
     kristenisasi telah dapat menutupi kelemahan-kelemahannya itu
     dergan membangun usaha-usaha pertolongan kepada rakyat
     seperti mendirikan rumah pcmeliharaan orang miskin dan anak
     yatim piatu, membangun rumah sakit dan balai pengobatan, dan
     sekolah-sekolah yang beraneka macam ragamnya. Bangsa
     Indonesia yang memeluk agama Kristen pada umumnya bukan
     hasil daripada pengertian dan kesadaran, tetapi karena
     pendidikan dimasa kanak-kanak dan karena merasa berhutang
     budi atau jasa, sedang keyakinan dan pengertiannya terhadah
     agamanya yang lama (Islam) masih terlalu dangkal. Adapun
     mereka yang cerdas dan pandai atau mendapat gelar keilmuan
     yang tinggi telah lebih dahulu hatinya disegel dengan
     rumusan: imanadalah iman dan bukan pengetahuan, berimanlah
     lebih dahulu barulah berusaha untuk mengerti. Akan tetapi
     sampai berapa lama dan sampai berapa berapa generasikah
     segel ini dapat dipertahankan? Manusia di barat telah
     menjadi bukti bahwa akal tidak akan sanggup terlalu lama
     disegel. Segel itu jebol dan akan keluar mencari jalan
     lepas.
 

Oleh:Y.B. Sariyanto Siswosoebroto  
11:09:00 PM