-->

HERDER, MAHASISWA DAN TENTARA

Posted by Yushan on Monday, April 11, 2016

Thomas G. Masaryk (1850-1937) seorang pembebas di negara Cekoslovakia pernah mengatakan, "Diktator selalu kelihatan baik hingga menit-menit terakhir kekuasaannya!" Tapi seorang dikatator yang baik, belum tentu mempunyai pengikut yang baik juga. Sebab kediktatoran adalah wujud dari nafsu rendah manusia untuk mempertahankan kekuasaan atas manusia lainnya justru dengan menggunakan manusia lainnya. Kediktatoran tidak akan muncul ketika tak seorang manusiapun mau diperbudak oleh manusia lainnya.

Kediktatoran tidak akan muncul ketika tak seorang manusiapun mau diperbudak oleh manusia lainnya. Kedikatatoran bisa muncul dimana saja dan kapan saja. Seorang dosen akan berubah menjadi diktator ketika menggunakan kekuasannya untuk menekan anak didiknya guna tujuan-tujuan pribadi. Begitupun seorang pejabat pemerintah yang diberi kepercayaan oleh rakyat akan muncul sebagai seorang diktator ketika memaksakan suatu kehendak atau kebijaksanaan yang sama sekali merugikan rakyat. Kediktatoran adalah kekuasaan minoritas atas mayoritas. 

Dibalik itu semua, seorang diktator adalah manusia yang paling pengecut di dunia. Untuk itu ia merasa perlu melengkapi diri dengan segala jenis pengamanan. Rumahnya dijaga oleh herder-herder besar yang hanya tunduk kepada tuannya. Herder-herder ini akan menyalak pada siapa saja yang bukan tuannya. Herder-herder ini bermata tajam, bertelinga nyaring, dan berhidung peka untuk mengantisipasi semua bahaya yang mengancam tuannya. Namun ketika sepotong daging diberikan kepadanya, herder ini akan diam dan menikmatinya.
***
Dalam negara moderen, kediktatoran muncul samar-samar. Teknologi, ilmu pengetahuan, dan medium informasi digunakan untuk mewujudkan dan sekaligur memberikan bungkus yang seindah-indahnya agar kediktatoran diterima dan dikagumi masyarakat, terutama oleh masyarakat awam yang kurang kritis dan kurang jeli. Sebaliknya di negara primitif dan terkebelakang, kediktatoran nyaris muncul terlanjang, irrasional, ditakuti rakyat awam, tetapi kelihatan lucu dan menjadi bahan tertawaan kalangan intelektual. Kedikatatoran yang muncul telanjang ini bisa berupa penggunaan tentara, arogansi kekuasaan, pamer kekayaan, pemakaian doktrin-doktrin kepatuhan, aksi propaganda dan sloganisme, dan penggunaan fasilitas negara bagi sekelompok orang tertentu Kediktatoran diatas tidak menunjukkan sikap rasionalnya. Penghormatan dan penguasaan manusia lain sebagaimana yang mereka inginkan justru tidak menimbulkan simpati dan empati, tetapi malah sikapantipati dan caci-maki, sekalipun sikap ini banyak muncul melalui bisik-bisik di warung-warung, tulisan grafiti di beton-beton kota, puisi-puisi perlawanan, dn kalang-kadang nyelonong ke alat-alat komunikasi lainnya, dari yang paling primitif sampai moderen.  Nantinya tumpukan bangkai-bangkai huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat itu akan membentuk danau dan kanal. Suatu saat, tumpukan itu akan meluap dan akan menyapu bersih sebersih-bersihnya segala sesuatu yang menghalanginya, termasuk kediktatoran. Itulah yang disebut sebagai people power. People power sedang mengintip kesempatan. People power itu lahir dari dendam-dendam sejarah dan ketakutan yang dipendam lama, berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun.
***
Sejarah telah berbicara kepada kita bahwa betapapun kuatnya sebuah kediktatoran, maka waktu akan menggerogotinya pelan-pelan. Tak seorang diktatorpun bertahan lama dan abadi. Hitler, Mussolini, Stalin, sampai Marcos, semuanya ditelan ambisinya sendiri dan meninggalkan nama yang cacat sepanjang sejarah.  Begitupun negara, tak satupun yang bisa menghegomoni dunia dibawah kekuasaannya. Romawi, Yunani, Persia, Sriwijaya, Majapahit, dan bahkan kekuasaan Eropa Barat yang mempunyai teknologi dan ilmu pengetahuan pun pada akhirnya bertekuk lutut dikalahkan dan dimakan waktu. Sovyet pun tinggal nama. Yang tinggal dari negara-negara itu hanyalah mitos-mitos dan kepingan-kepingan sejarah yang kadangkala dimanfaatkan manusia sekarang untuk mengambil keuntungan bagi kekuasaannya.

Institusi-institusi formal seperti dinas rahasia, militer dan penunjang kekuasaan negara lainnya punakan menemukan kebangkrutan. Sejarahnyapun akan dihilangkan dari muka bumi. Sejarah tentara akan dihilangkan karena dianggap memberikan cacat lahir dan batin bagi manusia yang mencintai keluhuran. Pengagung-agungan sejarah tentara hanya diperlukan ketika tentara berkuasa, baik sebagai herder, atau sebagai diktator. Tetapi setelah manusia muncul sebagai mahkluk yang beridentitas, berpribadi, bermoral dan mempunyai tingkat intelegensia yang tinggi, maka orang-orang akan menghapuskan jabatan tentara dalam silsilah keluarganya. Mempunyai tentara akan dianggap sebagai perilaku paling primitif dalam sebuah negara berdaulat dan dalam sebuah peradaban. Tentara hanya menghabiskan devisa, memupuk kebencian, dan membunuh hati nurani, terutama hati nurani tentara itu sendiri ketika mereka dengan wajah dingin harus menghabisi nyawa manusia lainnya yang tak berdosa hanya atas nama "perintah atasan!"
***
Dan sejarah juga sudah menunjukkan, terutama di Indonesia, bahwa dalam setiap perubahan mahasiswa selalu memberikan kontribusinya, besar atau kecil, sebagai pion atau aktor. Mahasiswa yang terbunuh dalam Peristiwa Tiananmen adalah korban kediktatoran pemerintah China. Begitu juga mahasiswa-mahasdiswa yang bergerak di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah, sekalipun akhirnya mereka dikalahkan tau mengalah demi kepentingan yang lebih besar. 

Tengok dan bacalah Revolusi Perancis 1789 yang digerakkan kaum borjuasi, kalangan muda dan diilhami oleh pikiran-pikiran Voltaire, serta digerakkan oleh mahasiswa-mahasiswa kritis dan radikal seperti Roberpierre dan Danton.  Tengok juga roboh dan tumbangnya rezim kolonialis Jepang dan Belanda di Indonesia yang banyak ditunjang oleh peranan mahasiswa dan pemuda Indonesia, baik sebagai aktivis politik maupun sebagai tentara pelajar dan mahasiswa. Lihat juga pemberontakan daerah, perebutan Irian Barat, dan proses integrasi Timor-Timur yang digunakan sebagai pasukan khusus yang banyak ditugaskan untuk rehabilitasi pasca pendudukan. Masa-masa itu menunjukkan hubungan mesra, bahkan teramat intim, antara mahasiswa dan tentara. Tentara yang hanya mempunyai pasukan tempur dibantu oleh mahasiswa yang mempunyai pemikiran dan mampu memahami aspek-aspek sosio-kultural masyarakat yang kurang dipahami tentara. Hubungan mesra itu makin dikokohkan dan dimitoskan dengan peristiwa '66 yang heroik itu, ketika mahasiswa bekerjasama dengan tentara menumpas PKI dan antek-anteknya. 

Namun apa hendak dikata, dalam tahun-tahun berikutnya ketika kekuasaan sudah mantap dalam genggaman tentara, pelan-pelan mereka menafikan keberadaan generasi mahasiswa berikutnya, dan malah menindasnya. Dengan menguasai institusi politik, tentara mampu membuat sekolah-sekolah dan pusat-pusat ilmu pengetahuan untuk mempelajari apa-apa yang dulu mereka dapatkan dari mahasiswa dan kalangan intelektual lainnya. Dan ketika tentara mampu berpkir dan berteori, maka mahasiswa langsung masuk dalam deretan kaum kriminal yang harus ditumpas habis ketika sedang menuntur sesuatu, apalagi ketika mahasiswa menggugat kekuasaan. Aksi mahasiswa 1974 dan 1978 dikalahkan dalam sekali sapu. Pimpinan mahasiswa dibenamkan dalam dinginnya dinding-dinding penjara.

Dan sekarang, apabila kita mau bergerak, kita terlebih dahulu harus mempelajari dulu ilmu tentara, atau melakukan kolaborasi dengan kaum intelektual bebas yang masih mempunyai idealisme dan moral. Sekalipun negeri ini sudah tidak aman lagi bagi jenis intelektual semacam itu, dengan adanya berbagai usaha untuk menjatuhkan mereka, sama seperti yang dilakukan terhadap mahasiswa. Dan negeri ini, pada akhirnya mungkin akan menjadi milik tentara, milik herder, milik diktator. Maukah kita???????
Alumni Sejarah UI, Pengamat Politik

Oleh Indra J. Piliang

Previous
« Prev Post

Related Posts

11:57:00 PM